Chapter 04 — 20 Oktober (Selasa) Ayase Saki
Hari ini ialah hari di mana
Asamura-kun dan aku pergi berbelanja. Hanya memikirkannya saja sudah membuatku
merasa sangat cemas. Aku bahkan tidak bisa konsentrasi pada pelajaran di kelas.
Setelah jam istirahat makan siang berlalu dan suasana kelas yang lebih lesu
dimulai, aku hanya duduk di mejaku dan terus termenung dalam pikiranku sendiri
tanpa menuliskan apa pun yang ada di papan tulis.
Aku sedang memikirkan tentang
sikapku dan apa yang akan membuat cowok merasa lebih senang. Aku tengah
memikirkan apa artinya menjadi lebih dari saudara namun bukan sepasang kekasih.
Aku takkan pernah menyangka akan datang hari di mana aku mengkhawatirkan hal
semacam ini. Sebenarnya, itu kurang tepat. Ini bukan sembarang cowok. Aku tidak
peduli dengan cowok-cowok lain yang ada di sekitarku. Aku hanya tidak ingin
cowok yang kusayangi membenciku.
Sementara pikiranku mengembara
di awan, jam pelajaran kelima berakhir. Jeda singkat menyapaku, dan begitu pula
Maaya, yang datang dari salah satu ujung kelas ke tempat dudukku.
“Apa ada yang salah?”
“Hah…? Tidak ada apa-apa,
kenapa emangnya?”
“Pembohong, kamu pembohong~!
Kamu tadi melamun terus selama jam pelajaran.”
“Kamu harusnya fokus pada
pelajaran kali!”
Bagaimana dia bisa tahu tentang
itu? Jika kamu punya waktu untuk menatapku mendingan fokus saja pada pelajaran
di kelas. Yah, aku tidak bisa berargumen padanya karena dia memiliki peringkat yang
lebih tinggi dariku selama ujian terakhir... Lebih baik aku mengubah topik
pembicaraan.
“Kamu masih sepopuler biasanya,
ya? Bukan hanya para gadis; bahkan ada banyak cowok yang menyukaimu. Ini gila”
“Hmmm? Yah, … Aku sendiri tidak
begitu paham, tapi orang-orang bilang kalau aku ini cukup ramah!”
“Ramah, ya?”
Aku merasa seperti dia baru
saja menyodorkan soal matematika yang sulit padaku... Kira-kira apa artinya “ramah”, ya? Aku mencari melalui
kehampaan yang ada di dalam pikiranku demi mencoba menemukan jawaban, tapi
Maaya mendekatkan wajahnya ke arahku, dan berbisik ke telingaku.
“Jika kamu lebih sering
tersenyum, kamu pasti bisa langsung merebut hati Asamura-kun dalam sekejap!”
“Bisa tidak jangan bawa-bawa
Asamura-kun terus ketika membahas sesuatu?”
“Oh, apa tebakanku melenceng?
Karena kamu menekankan bagian 'cowok', kupikir ada anak cowok yang kamu sukai,
anak cowok yang kamu harap bisa menganggap baik tentangmu.”
Tentu saja, dia tidak salah.
“Jangan asal-asalan mencoba
mengarang sesuatu.”
“Hmmmmmmmm?”
Oke, aku paham, kamu sama
sekali tidak mempercayaiku. Tidak masalah. Bel sudah berbunyi, jadi aku
menggunakan buku catatanku untuk mengusir penampakan jahat yaitu Maaya. Sikap
ramah, ya? Menjadi ramah berarti… lebih banyak tersenyum? Aku tidak jago dalam
hal semacam itu, tapi jika itu bisa membuat Asamura-kun senang, aku bisa
mencobanya. Atau begitulah yang aku pikirkan sejenak dengan bersemangat, tapi
hal itu ternyata jauh lebih rumit daripada yang aku duga sebelumnya.
Jam pelajaran pun berakhir dan
aku pulang ke rumah. Setelah berganti pakaian yang sebelumnya sudah aku pilih
untuk hari ini, aku berdiri di depan cermin bundar yang terpasang di atas mejaku
untuk melatih ekspresi wajahku. Menarik ke sini, meregangkannya ke sana,
mengendurkan pipiku lagi… Rasanya otot-otot wajahku tidak terbiasa dengan
latihan sebanyak ini, dan rasanya mulai terasa melelahkan setelah beberapa
menit. Sebenarnya, ekspresi seperti apa yang dimaksud dengan senyuman?
Karena aku biasanya memasang
wajah poker yang melakukan pekerjaan cukup baik untuk menyembunyikan emosiku,
melihat ekspresi aneh yang saat ini aku buat di depan cermin membuatku merasa
tidak nyaman. Dari awal, kenapa juga aku melakukan ini? …Tidak, kamu akan
kalah dalam pertempuran ini jika kamu sadar kembali, Saki. Meskipun aku tidak
tahu dengan siapa aku akan kalah, sih. Setelah memelototi kaca cermin sedikit
lebih lama, aku memutuskan bahwa ini adalah senyum terbaik yang bisa aku kerahkan,
dan memutuskan untuk membiarkannya begitu saja. Aku melangkah keluar dari
kamarku dengan motivasi baru yang memenuhi tubuhku dan dengan lembut mengetuk
pintu kamar Asamura-kun.
“Apa kamu siap untuk pergi
keluar?”
Aku duduk di sofa di ruang tamu
sambil menunggu Asamura-kun, dan tak lama kemudian pintu kamarnya terbuka. Aku segera
bangkit dari sofa, tapi begitu tatapan mata kami bertemu, aku langsung membuang
muka. Aku bisa merasakan detak jantungku berdegup kencang. Dan aku juga
tiba-tiba menjadi khawatir tentang pakaianku sendiri, karena aku menghabiskan
sebagian besar waktuku untuk melatih ekspresiku.
“Kalau begitu ayo pergi.” Aku
bahkan tidak perlu menunggu tanggapannya dan langsung menyerbu ke pintu depan.
◇◇◇◇
Kami segera memutuskan ke mana
tujuan kami: Ikebukuro. Aku tahu seberapa banyak Maaya benar-benar menyukai
anime, manga, dan sejenisnya. Lagipula, dia terus membicarakannya padaku. Atau lebih
tepatnya, setiap kali ada merchandise yang dia sukai, dia terus mengusikku
tentang hal itu melalui LINE. Haruskah aku membelinya juga? Kenapa juga dia
mengatakan itu padaku?
Untuk menaiki jalur Yamanote
menuju tujuan kami, pertama-tama kami menuju ke stasiun Shibuya. Aku meluangkan
waktu untuk melirik Asamura-kun sambil menunggu kereta berikutnya tiba. Ia
mengenakan sweter rajutan abu-abu dengan jaket hitam di atasnya. Penampilannya
memiliki nuansa yang sama dengan bagaimana Ia biasanya berpakaian, yang mana
aku sendiri tidak membencinya sama sekali. Tidak terlalu mencolok, lebih rapi
dan pantas. Aku tidak punya cara yang lebih baik untuk menjelaskan pakaiannya
selain mengatakan kalau penampilannya itu sangat sesuai dengannya. Semuanya
tampak lebih baik karena itu cukup cocok untuknya.
Pada akhirnya, terlihat bagus
dalam sesuatu adalah bagian yang terpenting dalam hal fashion. Atau tunggu
dulu, apa semuanya akan terlihat bagus jika Asamura-kun yang memakainya? Yah,
yang mana saja tidak masalah, sungguh. Tapi, saat aku membandingkan diriku
dengan gaya tenang Asamura-kun, aku menyadari bahwa aku terlihat jauh lebih
mencolok. Bukannya aku menunjukkan jumlah kulit yang berlebihan atau
semacamnya, tapi karena kombinasi warna pakaianku yang berwarna merah marun
cerah dan hijau.
Pada dasarnya aku menggunakan
palet warna Natal, jadi kombinasi yang salah sedikit saja bisa mengubahku
menjadi badut, tapi aku tahu cara mencocokkan dengan benar. Aku bisa melihatnya
dengan baik di depan cermin di rumah, tapi aku penasaran bagaimana pendapat
Asamura-kun tentang pakaianku saat ini.
Aku sudah mencoba untuk memilih
gaya yang lebih kalem. Mencoba terlihat imut daripada menawan adalah satu hal,
tapi ini batasku. Sebagian besar pakaian yang aku miliki lebih condong ke gaya feminin
daripada polos, jadi itu sia-sia saja. Pakaian dan sikap seperti itu tidak dimaksudkan
untuk orang semacam diriku, karena aku selalu mengatakan apa pun yang aku
inginkan tanpa terlalu memikirkan keadaan. Selama perjalanan kami di kereta,
aku mencoba yang terbaik untuk bersikap seramah dan seriang mungkin saat
berbicara dengan Asamura-kun, tapi aku tidak tahu apa aku benar-benar berhasil
atau tidak.
Setibanya di Ikebukuro, aku
mengandalkan aplikasi GPS di smartphone-ku untuk memandu kami ke tempat tujuan.
Aku jarang mengunjungi kota ini sebelumnya, tapi berkat kemajuan teknologi,
kami berhasil menemukan jalan kami ke sana dengan selamat. Bila membandingkan
jalanan di sini dengan Shibuya, kamu takkan melihat banyak perbedaan. Jika ada
satu perbedaan yang perlu ditunjukkan, jumlah anak kuliahan dan pelajar SMA
seperti kami jauh lebih banyak daripada di Shibuya.
Lagi pula, itu semua berasal
dari fakta bahwa ada banyak tempat hiburan di sepanjang pintu masuk timur jalan
Sunshine yang ditargetkan pada kaum muda seperti kami, sedangkan bagian barat
lebih fokus pada tempat-tempat dewasa seperti bar dan restoran. Bersamaan
dengan itu, rasanya aku bisa melihat cukup banyak pasangan cowok dan cewek—yaitu,
pasangan—di sekitar kami. Atau mungkin aku menjadi lebih sensitif terhadap hal
semacam itu karena semua peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini.
“Wooaah…” Aku mendengar suara takjub
Asamura-kun dari sebelahku.
Aku mengikuti arah tatapannya dan
hampir saja memiliki reaksi yang sama. Di sudut jalan ada pasangan, tubuh mereka
saling berdekapan, berbagi ciuman penuh gairah. Aku hampir berhasil tidak
terengah-engah. Meski aku tidak ada hubungannya dengan ciuman itu, tubuhku
sendiri terasa seperti terbakar. Meski secara tidak sadar, aku langsung membayangkan
gambaran diriku dan Asamura-kun tumpang tindih dengan pasangan itu. Aku tidak
mempercayai apa yang baru saja aku pikirkan. Ini sama sekali tidak seperti sifatku.
Aku menoleh ke samping dan melihat tatapan Asamura-kun secara praktis terpaku
pada mereka. Untuk beberapa alasan yang tidak bisa aku jelaskan, aku tiba-tiba
menjadi cemas bahwa Ia mungkin bisa membaca pikiranku dengan baik, jadi aku
dengan cepat menyikut sisi tubuhnya.
“Tidak sopan untuk menatap
mereka begitu.”
“Maaf. Tanpa sadar, aku
langsung bereaksi.”
Ia justru meminta maaf padaku. Aku
hanya berusaha menyembunyikan rasa malu dan aibku sendiri, jadi mendapatkan
permintaan maaf yang jujur darinya membuatku merasa
lebih bersalah, jadi aku menambahkan beberapa kata lagi untuk menunjukkan
simpatiku.
“Aku mengerti bagaimana
perasaanmu. Rasanya pasti sangat mengejutkan saat tiba-tiba melihat pemandangan
itu.”
Itulah yang benar-benar aku
rasakan. Asamura-kun menyetujui pernyataanku dengan senyum getir, yang
membuatku menghela nafas lega. Aku senang aku tidak membuatnya marah atau
semacamnya. Setelah itu, kami memasuki toko yang dimaksud. Untuk saat ini, aku
sedang berpikir untuk mendapatkan beberapa merchandise dari anime yang pernah Maaya
ceritakan sebelumnya. Aku pikir desain yang bisa dia gunakan selama kehidupan
sehari-harinya akan menjadi hadiah yang terbaik, jadi aku mulai mencari barang
sembari mengingat hal itu.
Saat kami melewati rak-rak merchandise,
kami berdebat mengenai apakah setiap barang akan menjadi hadiah yang bagus
untuk Maaya atau tidak. Bagaimana dengan
yang ini? Kelihatannya agak kekanak-kanakan, tapi itu akan menjadi pasangan
yang cocok untuknya…dan seterusnya. Ini membuatku mengerti bagaimana
pendapat Asamura-kun terhadap Maaya, dan aku dipenuhi dengan perasaan senang
yang aneh setiap kali pendapat kami selaras.
Setelah dipikir-pikir lagi, ini
baru pertama kalinya Asamura-kun dan aku bepergian ke suatu tempat yang jauh
dengan kereta api untuk menikmati perjalanan belanja bersama. Kami memang pernah
pergi ke kolam, tapi itu dalam kelompok yang lebih besar. Hanya karena kali ini
cuma ada kami berdua, aku jadi merasa jauh lebih gugup, dan jantungku juga
berdetak lebih cepat.
Setelah kami selesai membeli
apa yang kami inginkan, kami memutuskan untuk pulang ke rumah. Aku sendiri awalnya
berencana untuk membeli hadiah juga, tetapi kemudian aku menyadari hal itu akan
membuatnya terlihat sangat jelas kalau kami telah membeli hadiah bersama. Tapi,
Maaya sudah tahu kalau kami bersaudara, jadi itu tidak terlalu menjadi masalah.
Tetap saja, aku mungkin akan membeli sesuatu yang lain besok sebelum berangkat
ke sekolah.
Bagaimanapun juga, kencan
pertama kami berakhir, dan kami naik kereta untuk pulang. Aku merasa lega
sekaligus kesepian, tapi kemudian Asamura-kun tiba-tiba menjatuhkan bom padaku.
“Apa ada sesuatu yang aneh
tentang penampilanku?”
Aku harus meluangkan waktu
sejenak untuk memproses apa yang baru saja diberitahukan kepadaku karena itu
sangat mendadak. Belum lagi aku tidak melihat ada yang salah dengan cara berpakaiannya.
Aku pikir Ia terlihat baik-baik saja persis seperti dirinya. Tapi setelah
sedikit berpikir, aku memutuskan sesuatu.
“Jika kamu tidak keberatan
dengan seleraku dan apa artinya terlihat penuh gaya, maka aku tidak keberatan
membantumu untuk memilih sesuatu.”
Pada akhirnya, kami memutuskan
untuk mengambil jalan memutar cepat ke toko pakaian pria terdekat yang bisa aku
pikirkan. Sepanjang jalan, aku mulai berpikir pada diriku sendiri. Aku
memutuskan untuk melakukan yang terbaik untuk menata Asamura-kun dengan cara
yang aku suka. Setelah itu, aku akan memintanya membandingkannya dengan penampilannya
saat ini sehingga Ia bisa merasakan jenis gaya dan pakaian yang disukainya. Ini
merupakan jenis penyesuaian satu sama lain, dalam arti tertentu.
Aku tidak tahu apakah kami bisa
menemukan sesuatu yang sesuai dengan label pakaian kencan formal, tapi hal
tersebut biar Asamura-kun sendiri yang memutuskannya. Aku tidak memiliki peran
nyata untuk dimainkan dalam hal itu. Ditambah lagi, aku lebih suka tidak
melihatnya berubah menjadi seseorang yang tidak jujur pada
dirinya sendiri…
Mungkinkah ini hanya aku saja yang bersikap egois lagi?
Dari stasiun kereta Daikanyama,
kami langsung berjalan lurus ke toko pakaian pria. Saat aku dengan percaya diri
memasuki tempat itu, Asamura-kun dengan blak-blakan bertanya padaku apa aku
sering datang ke sini. Kenapa juga aku sering datang ke sini? Tempat ini
memiliki barang yang sama persis dengan tempat mahal mana pun, jadi aku
langsung bisa mengetahuinya meski aku bukan pengunjung biasa. Maksudku, kamu
mungkin akan lewat sini jika kamu tertarik dengan gaya pria, kurasa. Tentu
saja, aku tidak tertarik dengan gaya semacam itu.
Kami berbicara sejenak ketika
Asamura-kun tiba-tiba menunjuk ke sebuah manekin, seraya mengatakan kalau
pakaian seperti itu akan cocok untukku.
Itu benar-benar membuatku merasa sangat cemas, dan aku bertanya-tanya
bagaimana tepatnya Ia melihatku. Itu adalah jaket kulit hitam dengan ikat
pinggang tebal. Aku mungkin tidak suka saat ada orang yang memandang rendah
padaku, tetapi aku juga tidak ingin terlihat seperti ketua berandalan.
“Aku pikir kamu akan terlihat
tampan.”
Ia ngomong apaan sih? Kami
datang ke sini supaya aku bisa
memilihkan pakaian untuknya, jadi
mengapa kami membicarakan pakaian untukku? Astaga, apa-apaan ini? Wajahku
terasa sangat panas. Toko ini benar-benar menyalakan pemanasnya, ya? Setelah
berjalan-jalan lagi, aku mulai memilih pakaian yang menurutku menarik dan
membandingkannya dengan tubuh Asamura-kun. Rasanya seperti aku sedang bermain-main
dengan boneka dandanku sendiri. Ini sangat menyenangkan. Pada saat yang sama, mau
tak mau aku mulai membayangkan kalau kami datang ke sini untuk berbelanja baju
sebagai pasangan suami istri.
...Tunggu, tunggu sebentar.
Bukan sebagai pasangan suami istri, tapi sebagai saudara, iya kan? Langsung
menyebut kami sebagai pasangan suami istri sudah sedikit terlalu berlebihan. Aku
sangat menikmati waktu yang kuhabiskan dengan Asamura-kun, tapi itu membuatku terasa
seperti cuma aku satu-satunya yang bersemangat. Aku harus menenangkan diri supaya
tidak terburu-buru.
Kami berjalan-jalan di dalam
toko lagi, dan akhirnya aku memilih jaket dan kaus putih untuk Asamura-kun.
Keduanya langsung aku lihat, dan aku tidak bisa menghilangkan kesan pertama
mereka.
Kami kembali dari jalan memutar
dan mulai melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Dari kejauhan, aku bisa melihat
cahaya familiar dari gedung apartemen kami, yang membuatku menghela nafas lega.
Dan aku juga terkejut dengan helaan itu. Aku bahkan tidak menyadarinya, tetapi
apartemen ini sekarang telah menjadi citra rumahku. Begitu kami melewati pintu
apartemen, aku akan kembali menghabiskan keseharianku sebagai adik tiri.
Sekarang dipikir-pikir lagi,
bagaimana aku melakukannya hari ini? Aku tidak tahu kalau Asamura-kun
mengkhawatirkan kesan dan penampilannya sendiri. Apa Asamura-kun menyadari
kalau aku mencoba bersikap lebih ramah dan bersahabat?
“Ngomong -ngomong, bagaimana aku
melakukannya hari ini?”
Butuh beberapa detik sebelum aku
mendapat jawaban. Tapi fakta bahwa Asamura-kun menebaknya dengan benar seraya
menanyakan 'Ekspresimu mungkin?',
membuatku merasa senang. Aku berhasill! Aku langsung merasa kegirangan saat
mendengarnya melanjutkan perkataannya, dan Ia mengatakan ...
“Kamu mencoba menahan tawamu,
kan?”
Apa?
“Ekspresimu terlihat seperti
sedang berusaha menahan diri untuk tidak tertawa.”
Rasanya seperti lutuku langsung
lemas setelah mendengar kata-kata itu. Apa-apaan itu…?
“Jadi seperti itulah yang
terlihat di matamu …”
Aku berusaha keras untuk
tersenyum supaya bisa membuat Asamura-kun bahagia, namun itu tidak berhasil
sama sekali. Argh, rasanya memalukan sekali. Semakin aku memikirkannya, semakin
pipiku mulai terbakar. Aku ingin menggali lubang dan bersembunyi di sana selama
sisa hidupku. Atau direduksi menjadi atom dan menghilang dari dunia selamanya.
Kira-kira apa aku memiliki tombol penghancuran diri? Aku merasa sangat malu
sampai-sampai aku bahkan tidak sanggup melihat wajahnya lagi. Yang bisa aku
lakukan hanyalah mengeraskan ekspresiku dan bertindak seolah-olah aku tidak
terpengaruh sama sekali. Aku tenang. Ini tidak menyakitkan sama sekali. Aku
tidak akan menangis.
Itulah ganjaran yang aku dapat
karena melakukan sesuatu yang tidak biasa aku lakukan. Hukuman karena mencoba
memasang ekspresi yang tidak bisa aku buat. Aku tidak bisa seramah dan seriang
Maaya. Aku hanya berharap aku kehilangan kemampuan untuk menunjukkan emosi apa
pun. Itu semua karena aku telah melakukan sesuatu yang biasanya tidak aku
lakukan. Jujur saja, ini sudah cukup. Lagi pula, orang yang bernama Ayase Saki
adalah gadis membosankan yang tidak pernah bisa menunjukkan keramahannya kepada
siapa pun. Begitulah kenyataannya.
“Tapi aku pikir kalau kamu akan
baik-baik saja dengan caramu biasanya bertindak,” kata Asamura-kun saat pintu
lift hendak tertutup. “Bagaimanapun juga, karena itu menggambarkan siapa
dirimu.”
“Ap-…?”
Aku pura-pura tuli dan
bertingkah seolah tidak mendengarnya. Apa-apaan ini…? Padahal itu cuma komentar
sederhana, tapi dadaku tiba-tiba terasa begitu hangat dan menenangkan. Inilah
sebabnya Asamura-kun itu berbahaya. Ia akan mengguncang batinku, membuatku
kehilangan pandangan tentang perasaanku dan ke mana aku harus mengarahkannya.
Apa kami tidak masalah untuk jadi saudara yang rukun, atau kita lebih cocok
menjadi sepasang kekasih?
Hubungan apa yang aku inginkan?
Hubungan apa yang Ia inginkan?
Pada hari itu, kami berdua
sepakat untuk meneruskan hubungan kami seperti dulu, tapi sekarang aku
seolah-olah bisa mendengar bisikan ghaib di telingaku.
—Apa
kamu benar-benar sudah merasa puas hanya
dengan ini?
Setiap kali Ia memberitahuku
kata-kata yang baik dan dukungan hati, aku mendapati diriku sendiri berpikir.
Atau bahkan, berharap. Aku ingin menyentuh pipinya, menariknya, dan mencubitnya
sebagai hukuman karena selalu membuatku bahagia dengan apa pun yang Ia katakan.
Tentu saja, tidak dalam artian buruk. Aku hanya ingin... menyentuhnya. Itulah
keinginan yang membara jauh di dalam diriku. Itulah yang aku rasakan ketika aku
dengan penuh semangat memeluknya di kamar terkunci pada hari itu. Tapi aku tidak bisa.
Aku hanya akan mengejutkannya. Tidak tahu kapan saat yang tepat untuk melakukan
itu, aku mendapati diriku tidak dapat bertindak sama sekali.
Aku harus menggunakan garam
mandi favoritku malam ini. Aku perlu meleleh di tengah aroma yang sangat aku
sukai dan menunggu perasaan yang bergejolak ini mereda.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya