Chapter 03 — 20 Oktober (Selasa) Asamura Yuuta
Sejak siang hari terus bergulir,
aku selalu merasa gelisah. Jam pelajaran pertama pada siang hari seharusnya
pelajaran bahasa Jepang modern, tapi teman sekelasku yang membaca dari buku
teks terdengar seperti sedang berbicara dengan bahasa asing. Semuanya cuma
masuk dari telinga kanan dan keluar ke telinga kiri. Hanya ada satu hal yang
bisa difokuskan oleh otakku yang berpikiran sederhana — acara kencan berbelanja
bersama Ayase-san.
Pemikiranku semata -mata fokus
pada rencana untuk membuat acara kencan sukses. Aku tidak cukup percaya diri
untuk membuatnya bisa bersenang-senang hanya dengan bersamaku, tetapi
setidaknya aku tidak ingin membuatnya merasa bosan denganku.
“Apa yang membuatmu galau lagi,
Asamura?”
Aku mengangkat kepalaku dan
bertemu dengan tatapan Maru yang berbalik ke arahku.
“Oi, Maru. Kita ini masih dalam
jam pelajaran tau.”
Kupikir aku memberi balasan
yang masuk akal, namun Maru menatapku dengan keheranan.
“Kamu ini bicara apa? Jam
pelajaran sudah selesai dari tadi.”
“Ap—?”
Aku dengan panik melihat
sekeliling dan melihat bahwa teman sekelasku sudah selesai bersiap-siap untuk
pindah kelas. Oh ya, jam pelajaran ke -6 hari ini adalah eksperimen kimia di ruang
kelas yang terpisah, ya?
“Kamu lagi-lagi melamun. Aku
tidak keberatan buat mendengar ceritamu. Meski, aku tidak bisa berjanji untuk
bisa membantumu, sih.”
“Tidak muluk-muluk dengan bisa
menepati janji memang sangat menggambarkan sifatmu, Maru.”
“Aku takkan berani berjanji
dengan hal-hal yang tidak bisa aku lakukan.”
Itu sebabnya aku mempercayainya.
Namun, meski begitu…
“Apa ini kelanjutan dari
terakhir kali?” ujarnya.
“Tidak juga…”
Ketika aku melihat ekspresi
meragukan di wajahnya, aku diingatkan tentang apa yang pernah Ia katakan
terakhir kali.
“Kamu pernah bilang kalau
sangat penting untuk menunjukkan pada seseorang bagaimana kamu peduli padanya, bukan?”
“Ya, tapi yang terpenting
adalah prosesnya. Kamu tidak bisa mempercayai hasilnya.”
Tampaknya Ia mengharapkanku
untuk mengungkit topik itu lagi. Aku tidak bisa mengatakan kepadanya kalau apa
yang Ia katakan itu salah, sayangnya, tapi aku ingin. Namun, Ia juga tidak
sepenuhnya salah. Di sisi lain…
“Apa maksudmu dengan kamu tidak
bisa mempercayai hasilnya?”
“Ini ucapan berasal dari
seorang cowok yang tidak tertarik pada make-up, jadi jangan terlalu
mempercayainya begitu saja. Ambilah contoh kamu melihat seorang gadis yang
merias dirinya dengan makeup. Apa kamu bisa menilai dengan yakin kalau dia berusaha
keras untuk membuatmu terkesan?”
“Umm…”
“Satu -satunya cowok yang bisa
dengan percaya diri mengatakan itu hanyalah mereka yang sering menggunakan
makeup juga. Setidaknya itulah yang aku rasakan.”
“Hmm, itu memang masuk akal.”
Aku kembali membayangkan
Ayase-san. Karena aku sudah melihatnya dalam keadaan tak berdaya, yaitu hanya
dengan piyama dan rambut berantakan karena habis bangun tidur, aku sekarang
mengerti betapa banyak upaya yang dia kerahkan untuk merias dirinya.
“Hasil hanyalah ... yah, hasil.
Tidak kurang maupun lebih. Hal yang sama juga berlaku dalam bisbol.”
“Bukannya itu jauh lebih buruk
dalam olahraga?”
“Itu akan mengayunkanmu dari
sukacita ke kesedihan. Masih sepuluh tahun terlalu dini buatku untuk merasa
percaya diri dengan hasilku. Jika kamu bahkan tidak bisa melihat seberapa banyak
upaya yang dilakukan lawanmu dalam latihan mereka, kamu sendiri takkan mampu membuat
kemajuan. Aku takkan bisa lengah sedikit pun untuk sesaat.”
Kurasa begitu ya? Itu pandangan
yang sangat tabah.
“Itulah sebabnya, sangat
penting untuk melihat proses di balik upaya orang lain. Walau pun itu gadis
yang kamu pacari, ya.” Aku mencoba merangkum argumennya.
“Tepat sekali. Tapi lagi-lagi,
hal yang sama berlaku untuk bisbol. Aku tidak punya niat untuk memamerkan upayaku
dalam keadaan normal, tetapi argumen berubah jika itu melibatkan orang yang aku
sukai. Bandingkan dengan makan makanan dari restoran dan makan makanan buatan
sendiri yang dibuat pacarmu. Kamu akan jauh lebih bahagia tentang masakannya
karena dia melakukannya untukmu, bahkan jika itu tidak sebanding dengan rasa
hidangan restoran.”
Poin yang bagus, walaupun
masakan Ayase-San lebih terasa lezat dibandingkan dengan hidangan yang biasa aku
makan di restoran.
“Bekerja keras sendiri juga
membantu daya tarikmu. Yah, meski secara pribadi, aku takkan menyuruhmu untuk
mengikuti saranku, kalau aku jadi kamu.”
“... Bukannya pada dasarnya
kamu bertentangan dengan dirimu sendiri, Maru? Memberitahuku untuk jangan
mengikuti saranmu.”
“Asamura, kamu itu pengecualian
dari formula.”
Aku sedikit memiringkan kepalaku
untuk menyiratkan kebingunganku. Aku gagal memahami mengapa aku jadi
pengecualian.
“Kamu sebenarnya tidak tahu?”
“Sayangnya, iya.”
“Itu karena kamu itu sangat
jelas dan gampang sekali dibaca. Kamu akan baik -baik saja.”
Untuk sepersekian detik, aku benar
-benar dibuat bungkam. Aku gampang sekali dibaca ...?
“Kamu hanya perlu jadi dirimu
sendiri. Bertindak normal seperti biasanya dan kamu pasti akan melewatinya.”
“Uhh…?”
“Jangan terlalu khawatir wahai
sohibku, Asamura Yuuta. Kamu itu terlalu canggung untuk melakukan semua ini. Kamu
juga terlalu kikuk untuk secara aktif menyembunyikan segala upaya yang kamu
lakukan ke dalam sesuatu— atau seseorang.
Jangan mencoba menahan diri, lakukan saja habis-habisan. Dengan kekuatan penuh,
tanpa perlu menggunakan rem.”
Memangnya kamu pikir aku akan merasa
lega setelah mendengar pernyataan seperti itu? Apa maksudnya dengan 'normal'? Bersikap normal? Bagaimana
caraku biasanya bertindak?
“Sekarang aku malah jadi lebih
bingung.”
Namun, Maru hanya menertawakan
kesengsaraanku sehingga kami hampir terlambat untuk pelajaran kami berikutnya.
◇◇◇◇
Setelah jam pulang sekolah, aku
pulang ke rumah untuk mengganti pakaianku. Kupikir jika aku pergi ke sana
dengan seragamku, hal itu akan membuat kami lebih menonjol. Aku mungkin bukan Casanova
yang berpengalaman, tapi bahkan aku sendiri sadar bahwa seragam sekolah bukanlah
baju yang tepat untuk kencan antara pria dan wanita. Tapi yang lebih penting
... pakaian.
Setelah berjam -jam merenungkannya,
aku tidak bisa mengenakan baju yang bisa membuatku percaya diri. Masalah lain
yang baru aku ketahui beberapa saat yang lalu ialah bahwa pasangan kencanmu
tinggal di apartemen yang sama membuatnya sangat sulit untuk memeriksa
bagaimana penampilanmu di cermin kamar mandi. Dia pasti akan mendengar bunyi
langkah kakiku jika aku terus berjalan bolak-balik antara kamar mandi dan
kamarku.
Maru mengatakan kalau aku harus
percaya diri dan bersikap jadi diriku sendiri, tapi hal itu mustahil bagiku.
Namun, karena aku hanyalah anak cowok SMA biasa, aku juga tidak memiliki cermin
besar seukuran badan di kamarku. Setelah menderita bolak -balik, aku memutuskan
untuk menggunakan alat manusia yang paling berguna dan portabel dari zaman
modern - smartphoneku dan fungsi kameranya untuk mengambil swafoto. Aku
mengaturnya setinggi mata dan berdiri cukup jauh dari smartphone untuk
memamerkan seluruh badanku.
“Ya, pasti yang ini.”
Pada akhirnya, aku menemukan pakaian
yang terasa terbaik buatku. Masalahnya hanya itu ternyata hampir sama yang
biasanya aku kenakan saat keluar. Ini benar -benar normal. Jaket hitam dengan
sweater rajutan abu -abu muda dan celana jeans denim hitam yang serasi.
Kelihatannya tidak buruk, atau begitulah yang ingin aku pikirkan, tetapi aku
tidak bisa yakin dengan selera modeku sendiri.
“… Kebanyakan cowok akan
memakai barang seperti ini juga, ‘kan?”
Aku merenungkannya sejenak dan
kemudian mengirim salah satu foto yang aku ambil tadi kepada Shinjou melalui
LINE. Aku menambahkan pesan kalau aku ingin meminta pendapat jujur adik
perempuannya. Dalam keadaan normal, mana mungkin aku mengandalkan metode
seperti ini. Namun, menimbang terhadap risiko Ayase-san berpotensi berpikir
kalau penampilanku terlihat payah, aku akan mengambil kemungkinan diledek oleh
seorang gadis SMP acak dalam sekejap.
Namun, semua kegalauan itu
menunda kesadaranku mengenai fakta kalau Shinjou harusnya sedang melakukan
kegiatan klubnya sekarang, dan aku ragu adik perempuannya ada waktu luang
ketimbang dirinya. Aku takkan bisa mengeluh jika aku hanya mendapatkan jawaban
setelah aku sudah keluar dengan Ayase-san. Tak kusangkan kalau aku bahkan tidak
berpikir sejauh itu ... atau begitulah aku
menyalahkan diriku sendiri ketika aku melihat bahwa pesanku sudah dibaca. Ia
mungkin sedang beristirahat saat ini. Terlebih lagi, aku mendapat respons
langsung.
“Dia
sudah membalas pesanku.”
Ketika aku membaca kata -kata
itu, keringat dingin mulai mengalir di punggungku. Aku baru mulai merasa malu
sekarang karena mengirim swafotoku ke seseorang yang secara praktis masih orang
asing, dan meminta penilaian mereka. Yang bisa aku lakukan hanyalah mengetik respons
dengan jari yang gemetaran.
'Apa
yang dia bilang?'
'Itu
normal.’
'Hah?'
‘Dia
cuma bilang begitu. Normal.'
Shinjou lalu mengirimi
tangkapan layar obrolannya dengan adik perempuannya. Bukannya ini berarti dia
tidak cukup tertarik untuk memberikan tanggapan yang sebenarnya? Mungkin
penampilanku kurang menarik sampai-sampai kelihatannya terlihat hambar?
"Maaf,
istirahat sudah mau selesai."
Ia meninggalkan pesan terakhir
itu. Aku mengiriminya emoji untuk menyampaikan rasa terima kasihku dan menghela
nafas kepada diri aku sendiri. Aku benar -benar kacau. Mendapatkan tanggapan
yang tidak jelas seperti itu hanya membuatku lebih kebingungan, jadi sama
sekali tidak ada manfaatnya. Ini semua salahku sendiri karena mencoba mengandalkan
orang lain dengan sedikit waktu yang telah aku berikan.
“Tapi bukannya dia dan adik
perempuannya terlalu dekat?” Aku bergumam pada diriku sendiri saat memeriksa
tangkapan layar obrolan mereka.
Mampu segera nyambung ke dalam
percakapan pada saat tertentu benar -benar menunjukkan seberapa dekat mereka
sebagai saudara. Namun lagi-lagi, cuma Shinjou saja satu -satunya orang yang
bisa aku ukur sendiri dalam hal itu, jadi tidak ada jaminan bahwa hubungan
semacam ini normal atau tidak. Aku melanjutkan pemikiran itu dan
membandingkannya dengan Ayase-san. Jika ada cowok yang aku kenal mengirimiku
swafotonya, dan menanyakan pendapat Ayase-san, apa aku akan menyampaikannya
kepadanya? Aku punya firasat kalau aku mungkin takkan melakukannya. Aku akan
memikirkan semacam alasan untuk tidak melakukannya. Aku sangat tidak ingin
mendengar pendapat Ayase-san mengenai cowok lain, tidak peduli apapun
subjeknya.
Sebagai perbandingan, Shinjou
dan adik perempuannya telah mencapai ikatan di mana mereka saling mempercayai,
memungkinkannya untuk hanya mengirim gambar secara acak untuk persetujuan dan
evaluasi. Fakta bahwa tak satu pun dari mereka memiliki masalah dengan hal itu
menunjukkan interaksi yang tepat antara sepasang saudara kandung. Sembari mengingat
hal itu, mungkin perasaanku berbeda dari konsep tersebut?
“Apa kamu sudah siap untuk
keluar?”
Sebuah suara memanggilku dari
sisi lain pintu kamarku, yang mana mengganggu pemikiranku. Sepertinya Ayase-san
sudah siap-siap.
“Ya, aku sudah siap ...
kurasa?”
Aku masih tidak punya
kepercayaan pada penampilanku, tapi cuma berdiri mengkhawatirkannya saja takkan
ada gunanya. Aku harus mengenakannya dan mendoakan kalau ini pilihan yang tepat.
Setelah membuka pintu, aku melihat Ayase-san bangun dari sofa ruang tamu. Dia
berjalan di hadapanku dan aku langsung menahan napas saat mengarahkan tatapanku.
Yang bisa aku pikirkan ialah — Ayase-san
memang hebat.
Dia mengenakan atasan baju rajutan
berwarna merah marun dengan jaket hijau lumut yang menekankan perbedaan warna dengan
cukup baik. Kombinasi warna yang saling melengkapi namun tidak terlalu cerah
untuk dilihat. Sekali lagi aku terkesan dengan rasa fashion dan koordinasi
pakaian yang mengagumkan. Aku bisa melihat liontin segitiga kecil yang
menggantung di atas dadanya juga. Selain seragamnya, sebagian besar baju yang
pernah aku lihat adalah penampilan celana pendek kasual, jadi ini sangat
berbeda. Dia mengenakan rok hari ini, terlebih lagi itu adalah rok panjang yang
berada jauh di bawah lututnya, memberi nuansa yang tenang dan damai.
Persenjataannya yang biasa
adalah sesuatu yang dekat dengan citra seorang gadis SMA biasa, namun hari ini,
rasanya dia telah melonggarkan pertahanannya sedikit ... seolah-olah dia
sedikit lebih mudah didekati. Dia sama cantiknya dengan sebelumnya, dia selalu
terlihat manis ... sekali lagi, aku bukan kritikus mode, itu semua hanyalah
pendapat pribadiku.
“Kalau begitu, ayo pergi.”
“Ah ... benar, tunggu
sebentar.”
“Hm?”
Ayase-san hendak memakai sepatu
botnya, tapi dia berhenti di tengah jalan untuk berbalik ke arahku lagi.
“Apa kamu melupakan sesuatu?”
“Tidak juga. Aku cuma penasaran
apakah berjalan ke stasiun kereta bersama akan menjadi ide yang bagus. ”
“Karena kita berdua mengenakan
pakaian kasual? Aku pikir seharusnya tidak ada masalah. Ini adalah sesuatu yang
biasa dilakukan saudara pada umumnya. Aku tidak terlalu keberatan.”
“Kalau begitu, itu memang masuk
akal. Maaf, karena sudah menungkit sesuatu yang aneh seperti itu.”
“Jangan khawatir tentang itu.
Itu memang penting, jadi aku bersyukur karena sudah mengingatkanku. Setiap kali
kita bermasalah dengan suatu keputusan, mari kita sesuaikan satu sama lain sama
seperti sebelumnya.” ucap Ayase-san, dan itu membuat aku merasa lega dari lubuk
hatiku.
… Ini dia. Inilah yang sangat aku
sukai dari dirinya. Dan dengan itu sebagai pemeriksaan terakhir, aku dan
Ayase-san meninggalkan gedung apartemen di belakang kami.
Sambil menunggu kereta
berikutnya di Stasiun Kereta Shibuya, aku diliputi ketidaknyamanan yang kuat.
Pada awalnya, aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya menggangguku, tapi
kemudian aku menyadari bahwa tatapan kami terus saling bertemu ketika kami berdiri
di samping satu sama lain. Itu karena wajah Ayase-san ... atau lebih tepatnya,
ekspresinya. Sepertinya dia mencoba menahan tawa.
Setiap kali dia melirikku,
ujung mulutnya berkedut ... setidaknya itulah yang kupikirkan. Apa dia
menertawakan penampilanku? Aku tidak berpikir kalau dia tipe orang semacam itu
... harapku. Mungkin dia melihat bagian dari pakaianku yang membuatnya terkekeh?
Jika aku bertanya tentang hal itu, aku mungkin meninggalkan percakapan dengan
pisau yang ditikam ke dadaku. Jadi aku tidak bisa. Mungkin dia hanya berusaha perhatian
dengan tidak menyebutkannya.
Semakin aku memikirkannya,
semakin realistis rasanya bagiku. Aku dengan cepat menggelengkan kepalaku untuk
menyingkirkannya dari pikiran -pikiran jahat ini. Jawaban yang benar dan salah
mungkin akan membuat segalanya jadi canggung, jadi aku memutuskan untuk tidak
membicarakannya. Tapi meski demikian, itu benar -benar terasa aneh ... oke, cukup!
Aku seharusnya tidak terus-menerus melirik ekspresinya juga. Dia akan berpikir kalau
aku bersikap kasar.
Aku mengalihkan perhatianku
dari Ayase-san dan mencoba yang terbaik untuk tidak melihatnya saat kami menaiki
kereta.
Setelah sekitar dua puluh
menit, kami akhirnya mencapai stasiun Ikebukuro. Setelah berjalan menuruni
tangga dari peron, kami secara singkat melintasi jalan bawah tanah dan
menyelinap melalui gerbang tiket. Kami berjalan melewati patung batu terkenal
di pintu masuk timur yang sering digunakan sebagai titik pertemuan, menaiki
tangga lagi, dan pergi ke permukaan. Ketika kami berjalan menyusuri jalan Sunshine, kami disambut oleh pemandangan
kios -kios crepe, kafe, toko sepatu, toko -toko mode antik, toko pakaian, pusat
gim, gedung bioskop, dan banyak tempat lain.
Distrik hiburan kota tentu
tidak mengecewakan nama julukannya, yang menjelaskan mengapa daerah ini
dipenuhi dengan orang -orang, mulai dari kelompok teman normal hingga sepasang
kekasih. Kamu bisa melihat semua jenis orang di mana pun sejauh mata memandang.
“Woaahh…”
Di sudut jalan, aku bisa
melihat sepasang kekasih berbagi ciuman yang penuh gairah dengan tubuh mereka
yang berdekapan, hal itu membuatku secara tidak sadar mengeluarkan suara
takjub. Tentu saja hal ini membuatku mendapat sikutan ringan dari Ayase-san.
“Tidak sopan untuk menatap
mereka seperti itu.”
“Maaf. Tanpa sadari aku
langsung bereaksi seperti itu.”
“Aku mengerti bagaimana
perasaanmu ... kamu terkejut ketika melihat itu tiba -tiba.”
Kami berdua tersenyum masam
satu sama lain dan menegur diri sendiri. Perasaan manusia benar-benar rumit dan
aneh. Setiap orang bebas melakukan apa saja dan di mana saja, serta perspektif
orang luar seharusnya tidak memengaruhi tindakan mereka. Itulah prinsip yang
ingin aku jalani. Dan terlepas dari itu, begitu aku menyaksikan adegan ciuman yang
ditampilkan tepat di hadapanku, aku justru meludahkan filosofiku sendiri.
Jika aku ditanya 'Jika ada pasangan yang berciuman di hadapanmu,
bagaimana perasaanmu?' dalam sebuah survei, aku biasanya menjawab dengan
blak -blakan 'Aku tidak akan merasakan
apa-apa,' namun pada saat ini, penilaianku menjadi bias karena adegan tak
terduga di depanku. Sebagian dari diriku mungkin menjunjung tinggi filosofiku,
sedangkan bagian lain menyerah pada naluriku. Nilai-nilai sebagai bagian dari
filosofiku yang telah aku bangun selama bertahun-tahun dengan pengalaman dan
pengetahuan sekarang telah hancur berkeping -keping ketika sel-sel otak aku membeku
di tempat, memungkinkanku untuk melihat di balik kedok yang aku andalkan.
“Apa itu sesuatu yang ingin kamu
lakukan, Ayase-san?”
“Tidak juga. Dan aku akan
sedikit terkejut jika ada seseorang yang bertanya apa aku mau melakukannya.”
"Sepakat. Kurasa tidak
perlu menyesuaikan diri dalam hal itu.”
“Tidak apa-apa. Itu juga
pertanyaan penting.”
Berciuman di hadapan orang lain bukanlah sesuatu yang ingin kami lakukan, maupun bukan sesuatu yang kami lihat sebagai diinginkan. Faktanya, jika ada sepasang saudara melakukan itu di depan umum, itu akan membuat keributan, jadi itu seharusnya tidak menjadi sesuatu yang layak dipertimbangkan, tapi seperti kata pepatah, ada iblis di dalam rinciannya[1]. Setelah aku mendapatkan kembali ketenanganku, Ayase-San dan aku terus menyusuri jalanan, berjalan ke jalan-jalan yang lebih kecil. Segera setelah itu, papan iklan biru raksasa menyambut kami dari atas. Papan tersebut sangat mencolok sehingga terlihat menonjol bahkan di tengah jalan Sunshine, dan ada banyak orang di pintu masuknya.
“Oh? Bukannya ini…”
“Toko untuk barang-barang merchandise anime. Tempat ini cukup
terkenal, dan menyediakan banyak hal yang berbeda.”
Aku tahu tempat ini. Cabang
lainnya terletak di Shibuya, dan Maru selalu menyeretku ke sana beberapa kali
sebelumnya. Aku agak terkejut karena segala sesuatu yang memenuhi pikiranku,
jadi butuh waktu untuk mengingat mengapa kami bahkan datang ke sini.
“Umm, Ayase-san?”
“Hm?” Dia menatapku.
“Kita … akan membeli hadiah
untuk Narasaka-san, iya ‘kan?”
“Ya.”
“... Kita akan membelinya di sini?”
Aku merasa kalau barang-barang
yang dijual di sini tidak sesuai dengan hadiah yang biasa diberikan kepada
seorang gadis SMA di masa jayanya.
“Dia sebenarnya cukup menyukai
hal ini.” Ayase-san menunjuk karakter anime pada poster yang tergantung di
depan toko.
Aku terperangah. Karena aku tipe
orang yang membaca novel ringan di waktu senggangku, aku tidak memiliki
prasangka terhadap hobi tertentu. Aku bukan tipe orang yang berlarian membeli merchandise
series tertentu, tapi kurasa aku mungkin akan terlihat sama ketika aku mencari-cari
penjualan buku baru ... tapi kesampingkan masalah itu sekarang. Aku harus lebih
fokus pada fakta bahwa gadis yang luar biasa ceria dan normie semacam itu akan
tertarik pada anime— dan ini bukan
prasangka. Rasanya seperti dia tidak tertarik dengan hal semacam itu setiap
kali kami berbicara sampai saat ini, itulah sebabnya aku jadi terkejut.
“Dia punya beberapa adik
laki-laki di rumah, ingat?”
“Sekarang setelah kamu
mengungkitnya…”
“Dia bilang kalau dia menonton anime
dengan adik-adiknya di semacam layanan streaming, itulah sebabnya dia cukup
berpengetahuan tentang anime baru dan sejenisnya. Dan dia bisa menontonnya saat
melakukan beres-beres rumah, yang juga merupakan nilai tambah untuknya. ”
“Jadi dia dipengaruhi
adik-adiknya, ya?”
“Awalnya sih, iya. Sekarang dia
sendiri sudah kecanduan, dia bilang sendiri padaku.”
Dengan demikian, Ayase-san
datang dengan ide untuk membeli barang-barang anime untuk membuat Narasaka-san
senang, aku rasa kalau itu masuk aka juga. Kami entah bagaimana berhasil
menyelinap melewati kerumunan di depan toko dan masuk ke dalam.
“Luas sekali. Aku bahkan tidak
tahu harus mulai dari mana. "
“Tinggal berjalan-jalan dan
melihat apa pun yang mengulik ketertarikanmu pasti akan membawa kita ke suatu
tempat. Aku tidak tahu di mana mereka menampilkan produknya, aku juga tidak
tahu apa yang disukai Narasaka-san.”
“Tenang saja, kamu bisa
meninggalkan bagian terakhir itu padaku.”
Dalam pencarian kami untuk
hadiah ulang tahun yang sempurna, Ayase-san dan aku perlahan-lahan menyusuri
bagian toko dari satu sudut ke sudut lainnya. Sembari melakukan itu, aku
belajar bagaimana barang-barang anime modern ditangani ketika menyangkut setiap
jenis kelamin. Area untuk barang-barang yang ditargetkan untuk wanita tidak
seperti jenis tempat 'BARANG ANIME
ABSOLUT' penuh yang biasanya kamu lihat. Sebaliknya, mereka menawarkan
barang -barang tertentu untuk karakter favorit, sebagian besar dalam bentuk
lencana, gantungan kunci, atau buku catatan. Karena mereka hanya memiliki
desain yang diukir di sudut, sekilas mereka tampak seperti aksesori yang benar
-benar normal.
“Ini sangat normal…”
“Ya, cukup stylish.”
“Begitulah penampilannya di
matamu?”
“Di sini ada—” kata Ayase-san
dan menunjuk ke rak buku di sebelah kami.
Rak itu berisi mainan boneka
dan gantungan kunci dari karakter yang bahkan aku tahu dari anime yang aku
tonton ketika masih kecil dulu.
“... yang ini mungkin sedikit
lebih sulit digunakan.”
“Begitu, begitu ya.”
Dengan kata lain, komersialisasi
barang-barang anime telah meningkat? Kalau diingat-ingat, Maru pernah
mengungkit hal yang sama padaku sebelumnya. Pertumbuhan pasar Barang Otaku
disebabkan oleh generalisasi budaya Otaku, yang mengarah pada perbedaan barang
yang lebih besar. Meski begitu, karena aku tidak pernah memiliki persepsi bahwa
menjadi seorang otaku dan tampak stylish adalah ide-ide yang bisa hidup
berdampingan, aku sedikit terkejut dengan penemuan ini.
Aku melihat sekeliling dengan
kaget, menyaksikan bahwa mayoritas pelanggan di toko semuanya berpakaian sangat
normal bahkan untuk bergaya. Aku bahkan bisa melihat jumlah cowok dan gadis
yang sama ... tidak, ada lebih banyak gadis daripada cowok saat ini. Oh ya,
beberapa waktu yang lalu, Ayase-san menyebutkan bahwa dia iri dengan bentuk
alisku meski aku tidak melakukan perawatan apa-apa. Banyak cowok di sekitarku
terlihat sama dalam hal itu, bukan hanya para wanita. Dan jika gen tidak
membantu mereka, mereka kemungkinan besar mencoba merapikannya.
Begitu rupanya. Itu sebabnya
Ayase-san dengan acuh tak acuh berasumsi kalau aku merapikan alisku. Maru
menyebutkan bahwa ada semakin banyak Otaku yang merawat penampilan luar mereka
pada akhir -akhir ini, jadi itu pasti menjadi bagian dari itu.
“Karena kita berurusan dengan
seseorang yang terbuka secara sosial seperti Maaya, aku cukup yakin dia takkan
terlalu peduli.”
“Masuk akal…”
Tidak peduli apa yang kami
berikan padanya, semuanya akan terasa bagus karena dia adalah Narasaka-san.
Meski aku tidak tahu apakah itu hal yang baik atau buruk. Pada akhirnya, kami
masih harus memilih sesuatu untuknya. Sebagai sedikit hadiah, setidaknya aku
ingin melihat senyumnya. Aku secara berkala mendengarkan pendapat Ayase-san
tentang berbagai hal, dan kami akhirnya berakhir dengan memilih cangkir dari
anime yang belakangan ini dia ikuti (yang target demografisnya ditujukan pada
anak-anak, wajar saja aku belum pernah mendengarnya sebelumnya). Dalam hal ini,
cangkir tersebut memiliki lambang anime yang diukir di atas cangkir.
Bila dilihat dari jumlah
keluarga Narasaka-san, dia pastinya tidak keberatan dengan mendapat beberapa
peralatan makan lagi yang dia miliki, dan karena itu dari anime yang mungkin
ditonton adik-adiknya, dia bisa membiarkan mereka menggunakannya jika dia tidak
mau.
“Fiuh. Terima kasih sudah
membantuku, Ayase-san. Kamu memberiku beberapa petunjuk bagus.”
“Benarkah? Aku senang kalau aku
bisa membantu.”
Dengan kantong plastik yang
berisi hadiah yang dibungkus di tangan, kami menyatakan urusan kami di sini
selesai dan meninggalkan toko di belakang kami. Waktu hari sudah mulai beralih
ke sore hari, karena langit menjadi gelap meski baru saja menginjak pukul 5
sore lebih.
“Kalau dipikir-pikir lagi, kamu
tidak membeli apa-apa, ya, Ayase-san? Apa kamu sudah mendapatkan sesuatu?”
“Sebenarnya aku mengubah
rencanaku. Aku akan membeli sesuatu besok.”
Atau begitulah ucapnya, tapi
pada akhirnya dia tidak pernah memberitahuku apa sebenarnya yang ingin dia beli.
Kami berjalan pulang, terguncang
dengan lembut dari kiri ke kanan di dalam kereta yang bergerak. Memikirkannya
kembali, hari ini benar-benar tidak terasa seperti kencan sama sekali. Berjalan
di sekitar toko sambil bertukar pendapat dan kadang-kadang saling bercanda
memang terasa menyenangkan, tapi kami bahkan tidak berpegangan tangan. Saat mengevaluasi
lokasi yang kami kunjungi, itu sama sekali bukan lokasi kencan yang tepat untuk
dikunjungi bersama. Sebaliknya, itu adalah tempat yang sering dikunjungi orang-orang
seperti Maru. Sekarang setelah aku pikir-pikir lagi, ada pusat gim dan toko-toko
pakaian yang kami lewati, tapi Ayase-san tidak menunjukkan minat pada salah
satu dari itu, itulah sebabnya kami tidak repot-repot buat mampir sebentar ...
padahal itu semua adalah lokasi kencan yang cukup tepat.
Dan tepat setelah aku selesai
membeli hadiah untuk Narasaka-san, kami berdua memutuskan untuk pulang. Ini
seharusnya menjadi kencan antara kami berdua, tapi aku merasa ada sesuatu yang
kurang. Aku baru saja kepikiran, kami bisa saja berhenti di tempat makanan
cepat saji untuk istirahat sebentar. Yah, karena ada makan malam menunggu di
rumah, jadi kurasa kami tidak perlu melakukannya.
Aku juga menyadari bahwa,
meskipun Ayase-san selalu tersenyum hari ini dari awal hingga akhir, sesuatu
terasa canggung tentangnya. Tentu saja, mana mungkin aku bisa mengetahui apa
sebenarnya itu. Aku hanya terganggu oleh ketidaknyamanan tidak jelas yang tidak
bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Seandainya saja aku bisa tahu apa itu, aku
bisa menyesuaikannya dengannya. Tapi sebaliknya, aku di sini merenungi segalanya
...
Sama seperti gerbong kereta
yang kami naiki, perasaan batinku dibuat gonjang-ganjing. Setelah menghabiskan
beberapa menit demi menit menghitung lampu jalan sporadis yang berkedip ketika
kami melewati mereka, aku memutuskan untuk melompati zonaku sendiri dan
bertanya padanya. Kami melakukan beberapa obrolan dan kemudian aku mengungkitnya.
“Apa ada sesuatu yang aneh
tentang penampilanku?”
“Hah? Tidak, sama sekali tidak.
Kenapa kamu bertanya begitu? ” Ayase-san tampak bingung dengan pertanyaanku,
yang mana membuatku merasa lega— atau itulah yang ingin kukatakan, tetapi aku
kurang percaya diri untuk merasa begitu.
“Dibandingkan denganmu, aku
cukup lalai dalam hal pakaian dan gaya rambutku, ‘kan? Aku merasa minder ketika
mengenai masalah selera modeku sendiri. “Aku mengaburkan perasaan tulusku.
“Aku pikir itu kelihatan bagus.
Ini paling cocok buatmu. ”
“Mhm, terima kasih. Tapi— ”Aku
sudah menduga dia akan mengatakan itu, jadi aku melanjutkan. “Pakaianmu
terkoordinasi dengan sangat baik sehingga membuat orang mengomentari kalau itu sangat
bergaya, kan?”
“Kurasa begitu?”
“Jadi, setelah dengan hati-hati
mempertimbangkan masalah ini, pakaian yang kamu kenakan sekarang ialah baju
yang menurutmu terbaik jika dilihat dari keadaan yang diberikan, bukan?”
“Kurang lebih begitu.”
“Aku juga berpikir kalau kamu
terlihat cantik dalam pakaian itu, tahu.”
Begitu aku melontarkan kalimat
itu, ekspresi Ayase-san langsung berubah, dan kupikir aku mendengar suara kaget
'ap— ...' yang samar darinya.
“…Terima kasih.”
Saat dia berterima kasih kepadaku,
rasanya senyumnya membeku dengan cara yang sangat canggung, tapi kepalaku penuh
dengan terlalu banyak hal lain, jadi aku tidak bisa melacak perubahannya saat
ekspresinya kembali seperti semula.
“Tapi, kamu tahu, aku bahkan
tidak tahu pakaian seperti apa yang terlihat bagus untukku. Aku tidak memiliki
pengetahuan untuk menilai itu. Dan karena aku memiliki nol kepercayaan pada
seleraku sendiri, aku tidak bisa memahaminya ketika seseorang mengatakan kalau
itu 'sangat sesuai denganku'.”
“Ummm ... jadi dengan kata
lain, kamu ingin mencoba dan berpakaian dengan cara yang membuatmu terlihat
bergaya di mata umum? Kamu tampaknya bukan tipe orang yang sangat peduli
tentang itu.”
“Aku merasa kalau ini akan
menjadi pelajaran penting untuk dilalui setidaknya sekali. Terlepas apa aku
akan menyukainya atau tidak, aku ingin mengetahui kode pakaian formal untuk
acara-acara semacam ini.”
“Ahh… begitu, begitu.
Kedengarannya seperti sesuatu yang kamu khawatirkan.”
Kupikir rasa minderku saja yang
memainkan peran besar dalam semua itu.
“Pada dasarnya, Kamu tidak
memiliki pengetahuan untuk ... baju semacam apa untuk kencan reguler, atau pakaian
secara umum, dan meski kamu ingin mempelajari lebih lanjut tentang hal itu, kamu
tidak memiliki kepercayaan diri pada penilaianmu sendiri?”
Ayase-san memang cerdas. Dia
langsung memahami dengan cepat.
“Tepat sekali.”
“Hmmm ...” dia mengarakan
tatapannya ke bawah dan mulai berpikir.
Setelah melewati satu stasiun
kereta selama perjalanan kami, dia tiba -tiba mengangkat kepalanya sekali lagi.
“Kita bisa mengambil jalan
memutar cepat dalam perjalanan pulang.”
“Tunggu sebentar, sekarang juga?”
“Jika kamu tidak keberatan
dengan seleraku dan apa artinya terlihat penuh gaya, maka aku tidak keberatan
membantumu untuk memilih sesuatu.”
Aku bahkan tidak memikirkan
pilihan itu. Jika itu pilihan pribadi Ayase-san, maka aku pasti bisa menaruh
kepercayaan pada hal itu, dan aku bahkan dapat mengetahui selera pribadinya
dalam baju dan penampilan, jadi skenario ini bisa membuatku menyelam sambil
minum air.
“Kalau begitu, tolong lakukan.”
“Jangan terlalu berharap. Aku cuma
akan memilih yang sesuai dengan seleraku sendiri.”
Justru itulah yang aku
harapkan.
“Jadi apa ada tempat yang
terlintas di benakmu?”
“Karena Daikanyama cukup dekat,
jadi itu menjadi pilihan pertamaku.”
“Benar ... tapi aku sangat
minta maaf tentang ini. Seandainya saja aku membicarkan hal ini lebih cepat, kita
bisa pergi ke tempat yang ada di Ikebukuro.” Aku berbicara dengan nada minta
maaf, tetapi Ayase-san menanggapi dengan senyum yang menyenangkan.
“Tidak apa-apa. Jangan khawatir
tentang itu. Kita berdua sama-sama melewatkan waktu yang tepat untuk berbicara .
”
“Ahaha, itu benar. Terima
kasih.”
Dan karena itu sudah
diputuskan, kami berpindah ke kereta lain di stasiun kereta Shibuya dan menuju
Daikanyama. Mempercayai rasa arah Ayase-san, kami berjalan menyusuri jalan ke
toko yang bersangkutan. Lampu-lampu toko di sekitar kami belum mati, dan cahaya
yang mempesona dari jendela menerangi aspal di depan kami. Setelah berjalan-jalan
singkat dari stasiun kereta api, kami memasuki toko pakaian khusus pria.
Segera setelah masuk, aku
diingatkan bahwa hal ini tidak dapat dibandingkan dengan mengunjungi supermarket atau minimarket. Aku
mencari keranjang belanja atau kereta belanja tapi sama sekali tidak menemukannya.
Aku masih melihat-lihat dalam kebingungan ketika seorang karyawan wanita dengan
santainya mendekatiku.
“Apa ada yang bisa saya bantu,
mas?”
“Ah, um.”
“Kami ingin melihat-lihat dulu
sebentar.” Ayase-san muncul dari belakangku, menawarkan bantuan kepada aku.
Karyawan itu dengan samar-samar
tersenyum, memandangi aku dan Ayase-san dengan sekilas, dan menundukkan
kepalanya.
“Baiklah. Jangan ragu untuk
memanggil saya jika anda berdua membutuhkan bantuan dengan sesuatu.” Dia
meninggalkan kata-kata tersebut dan berjalan pergi tanpa menciptakan suara apa
pun.
“Tadi itu cukup mengagetkanku…”
“Mungkin dia pikir kamu datang
ke sini sendirian?”
Untuk beberapa alasan, nada
suara Ayase-san terdengar sangat tajam. Apa itu karena penampilanku sangat
tidak serasi dengan miliknya, yang membuat kami terlihat seperti pelanggan yang
terpisah? Aku mulai merasa gugup dan terus terang saja hampir terasa terdampar
di dunia asing. Aku tahu kalau itu semua salahku sendiri karena memberikan
banyak tekanan, tapi apa boleh buat. Berbeda dengan seberapa bingungnya aku,
Ayase-san terlihat lebih percaya diri. Dia berjalan di depanku dengan sikap
yang membuatmu berpikir kalau dia memiliki tempat itu.
“Apa kamu sering ke sini?”
“Hah? Mana mungkin.”
“Oh…”
“Toko ini biasanya menjual
pakaian pria, ingat?”
Yah, kurasa itu masuk akal.
“Maksudku, mengenakan pakaian
yang terkoordinasi dengan pakaian pria lebih merepotkan, tapi Asamura-kun ...
apa kamu benar-benar berpikir kalau baju semacam itu akan terlihat bagus
padaku?”
Pertanyaannya membuatku
penasaran, jadi aku memikirkannya. Tadi malam, sebelum pergi tidur, aku
meluangkan waktu untuk memeriksa majalah mode yang aku beli tempo hari. Namun
terlepas dari itu, aku masih merasa seperti tidak memiliki materi referensi,
jadi aku mencari “pakaian pria” dan "pencocokan", tapi yang aku
dapatkan hanya foto model wanita. Ketika aku melihat beberapa situs dalam hasil
pencarian, aku menemukan kalau baju semacam itu adalah semacam genre yang
berfokus pada mode pria yang ditargetkan pada wanita.
Mereka bukan pakaian yang akan
dipakai pria, melainkan baju yang memiliki “nuansa” pria, begitu banyak pakaian
terlihat jauh lebih santai dan nyaman daripada pakaian bergaya dengan sepatu
hak tinggi dan semacamnya. Aku ingat melihat jas dan jaket juga. Seharusnya ada
sesuatu yang serupa di sini yang dapat menjawab pertanyaan Ayase-san ...
Jaket denim berwarna ringan
yang menekankan bahunya ... ya, sesuatu seperti itu ada di sana. Aku melihat
manekin mengenakan jaket hitam dengan ikat pinggang pria tebal dan
membayangkannya dipakai Ayase-san. Rasanya seperti aku mengisi uang untuk gim
mobile demi mendandani karakter dalam gimku. Aku masih benar-benar awam dalam
hal selera mode, tapi berkat manekin yang didandani dengan benar mungkin berkat
karyawan toko, aku bisa membayangkannya dengan mudah pada Ayase-san asli yang
berdiri di hadapanku. Menggunakan imajinasiku, aku mendandani Ayase-san seperti
yang aku bayangkan. Jaket hitamnya menggantung dari bahunya, dia merentangkan
punggungnya saat dia berpose seperti model di atas catwalk.
“Aku berpikir kamu akan
terlihat tampan.”
Segera setelah aku mengatakan
itu, aku mendengar suara yang mirip seperti kucing yang habis diinjak, dan aku
dengan cepat melirik ke arah itu. Pada saat yang tepat, aku melihat Ayase-san
memalingkan mukanya.
“Ak-Aku tidak memakai baju yang
semacam itu.”
“Hah? Ah, ya, tentu saja. Aku
yakin kamu takkan melakukannya. Tapi jika kamu bertanya padaku apa kamu
terlihat bagus atau tidak ... maka aku yakin kamu akan terlihat menakjubkan.
Khususnya dalam hal seperti itu— ”aku menunjuk ke manekin yang mengenakan jaket
hitam sambil melanjutkan. “Aku yakin kamu bisa dengan mudah melakukan hal seperti
itu ... tunggu, ada apa?”
Ayase-san dengan panik
melambaikan tangannya di depanku.
“Cukup. Sudah cukup, oke? Kita
datang ke sini untuk memilih pakaian buatmu, Asamura-kun. Bukan untuk
membicarakan bajuku sendiri! ”
“Benar, benar. Jadi, apa kamu
punya rekomendasi?” Aku ingat alasan awal kami datang ke sini.
“Astaga, kamu itu ... um, biar
kupikir-pikir dulu.”
Ayase-san meraih baju dan gantungannya,
mengangkatnya di depanku, dan membandingkannya dengan pakaianku saat ini. Dia kemudian
membuatku memunggunginya, dan dia memeriksa lebar bahu serta panjangnya.
“Hmmm. Asamura-kun, coba
berbalik lagi.”
“Mmm, hmmm? Kamu sudah
selesai?”
“Aku sudah selesai
memeriksanya.”
“Ba-Baiklah…”
Itu cuma satu pakaian, ‘kan?
Setelah peristiwa awal itu, Ayase-san menyeretku di sekitar toko, berhenti pada
jeda tertentu untuk mengambil satu atau dua pakaian, dan memeriksanya ke tubuhku.
Hal ini diulangi berkali-kali. Mungkin dia mencoba memeriksa baju semacam apa
yang terlihat bagus padaku. Dia mengambil pakaian dengan gantungannya,
mengarahkannya di dadaku, lalu menariknya lagi dalam siklus tanpa akhir. Setiap
kali tangannya menabrak dadaku, aku diserang oleh sensasi yang menggelitik.
“Hei, jangan bergerak dulu.”
“Ah, maaf.”
“Hmm? Bukan yang ini. Ini juga
bukan. Ah, terus berdiri seperti itu. ”
“Y-ya.”
Menuruti perintah Ayase-san, aku
tampaknya telah berubah menjadi boneka manekin. Pelanggan lain yang berjalan
melewati kami semua hanya tersenyum karena suatu alasan. Ayase-san begitu fokus
untuk memilih pakaian jadi dia tidak menyadarinya. Aku mulai merasa kalau
kegiatan ini jauh lebih mirip seperti kencan.
Berbelanja di Ikebukuro memang
menyenangkan, tempat yang kami kunjungi juga bagus-bagus saja, suasana yang
kami miliki juga lumayan, tapi sangat berbeda dari citra klasik dari suatu
kencan yang ada dalam bayanganku. Namun skenario saat ini yang telah mencapai
titik di mana kami cukup dekat sampai kadang-kadang bersenggolan satu sama lain
... saat ini juga terasa lebih mirip seperti sesuatu yang dapat kamu
kategorikan sebagai kencan.
… Tapi apa benar begitu?
Hubungan Shinjou dengan adik perempuannya terlintas di pikiranku sekali lagi.
Mereka juga akan pergi berbelanja bersama, dengan adik perempuannya memilih
baju untuknya, aku yakin itu. Intinya, itu sama persis dengan yang Ayase-san
dan aku lakukan sekarang. Itu adalah sesuatu yang bahkan dilakukan saudara
normal. Kami memutuskan bahwa tindakan ini akan menjadi yang terbaik untuk saat
ini, namun rasanya seperti ada tulang kecil yang tersangkut di tenggorokanku,
membuatku merasa gelisah.
Apa aku sudah merasa puas
dengan hubungan kami sebagai saudara yang akrab satu sama lain, atau aku diam-diam
berharap untuk sesuatu yang melampaui apa yang kami miliki sekarang? Lebih dari
apapun, apa yang ingin aku lakukan dengan
Ayase-san? Seberapa jauh hubunganku dengannya?
… Dan mengapa aku terus-menerus
memikirkannya seperti ini? Jika orang tahu apa yang aku pikirkan pada saat ini,
mereka mungkin akan menganggap kalau aku ini menjijikan. Menyadari bahwa aku
telah terperangkap dalam labirin pikiranku sendiri, darah di seluruh tubuhku
mulai mendidih, dan bergegas menuju kepalaku. Aku mulai berkeringat meski di
luar cukup dingin, jadi aku yakin pemanas di tempat ini dinyalakan terlalu
panas.
“Oke, sudah kuputuskan,”
Ayase-san berbicara, meraih dua potong pakaian. “Aku akan memilih yang ini.”
“Um… bagaimana dengan
penampilanku?”
“Jaket yang kamu kenakan
sekarang baik -baik saja, tetapi yang disesuaikan ini sepertinya cocok juga.”
Bertemu dengan kosakata yang
tidak dikenal ini, aku secara tidak sadar mendapati diriku mundur selangkah.
“Disesuaikan … apa?”
“Kamu tidak tahu? Ini jenis
jaket yang disesuaikan.”
“Ahh, disesuaikan oleh
penjahit.”
“Jadi kamu sudah tahu?”
“Aku pernah membacanya di
buku.”
Aku pernah membaca sebuah novel
yang latar ceritanya terjadi di Inggris selama tahun 1870 -an, pada dasarnya
selama Zaman Victoria. Itu adalah kisah seorang gadis yang bekerja sebagai
penjahit. Itu sebabnya aku pernah mendengar kosa kata itu. Jaket disesuaikan yang
Ayase-san dipegang berwarna abu-abu terang, dan kerahnya tampak agak tipis.
Jika kamu membandingkannya dengan jaket normal yang kamu pakai di atas jas, itu
lebih menekankan bahu, sembari juga memberikan suasana yang menyenangkan berkat
warna-warna terang.
“Aku membuatnya sepolos mungkin
supaya lebih mudah dicocokkan.”
“Bukannya terlihat polos itu
kurang bagus?”
“Saat kamu mendapatkannya dengan
pola atau desain aneh, kamu harus mencocokkannya dengan yang lain, dan ... oh, kurasa
aku sudah mencapai titik di mana penjelasan diperlukan.”
“Aku benar-benar minta maaf.”
“Dan inilah yang akan kamu
kenakan di baliknya. Aku takkan merekomendasikan mengenakan ini selama musim
dingin yang dingin, tapi seharusnya tidak masalah kalau di bulan November.” ujarnya
sembari memberiku kaus putih sederhana yang sudah dia bawa di lengannya.
Yang itu, yang seperti jaket,
tampak polos dan sederhana tanpa desain atau gambar atau apa pun di atasnya.
Ada saku dada yang sangat kecil dan tidak menarik sehingga aku harus melihat
dua kali untuk melihatnya. Bersama dengan jaket, kaus itu juga memiliki bahu
miring sebagai bagian dari desainnya. Perpaduan yang sangat sederhana, tapi
karena harganya setidaknya dua kali lipat dari kaus biasa yang aku miliki,
kualitas dan desainnya pasti berada pada level yang sama sekali berbeda. Kurasa
aku takkan tahu ...
“Sedangkan buat celana jeans-mu,
kamu bisa tetap memakai jeans yang kamu kenakan sekarang. Belum lagi kamu akan
tekor jika membeli sepasang baju yang baru.”
“Terima kasih.”
“Bagus. Apa kamu ingin langsung
mencobanya? Supaya kamu bisa memutuskan apakah kamu menyukainya atau tidak.”
“Baiklah.”
Aku menerima pakaian dari
Ayase-san dan menyerahkan kantong plastik yang berisi hadiah Narasaka-san.
Setelah itu, aku berjalan ke ruang ganti dan memeriksa tampilan baruku di
cermin. Aku masih kekurangan kosa kata untuk menggambarkannya dengan benar, tapi
rasanya aku terlihat cukup bagus dengan pakaian baru ini. Rasanya seperti pakaian
musim gugur yang nyaman namun bergaya. Karena tidak menekankan bahuku yang
lebar, baju itu menciptakan kesan yang jauh lebih damai, yang tidak pernah aku
punya sebelumnya. Kain jaket terasa hebat dan sepertinya akan solid melawan
angin sepoi-sepoi. Sekarang aku harus siap untuk musim saat ini.
Namun, terlepas dari semua yang
disebutkan sebelumnya, aku masih gagal melihat perbedaan yang signifikan
dibandingkan dengan apa yang biasanya aku kenakan. Apa ini ... cukup cocok? Aku
tidak tahu. Ketika berkaitan dengan bidang apa pun yang tidak terlalu kamu
kuasai, praktis tidak mungkin untuk membedakan perbedaan kecilnya. Sebaliknya,
ini justru mengurangi tekadku. Mirip seperti orang tua dalam generasi yang
lebih tua memberitahu anak mereka untuk jangan main-main smartphone terus,
karena mereka menyatukan game mobile, musik, LINE, dan aplikasi belajar
semuanya ke dalam kategori yang sama. Mereka tidak tahu apa perbedaannya. Aku
mungkin telah meningkatkan penampilanku sebelumnya, tapi aku tidak melihat
adanya perbedaan untuk dapat dengan percaya diri mengatakan ya atau tidak.
“Bagaimana menurutmu?” Aku
melangkah keluar dari ruang ganti dan menunjukkan penampilan aku saat ini.
“Ya, aku pikir itu kelihatan
bagus.”
“Umm… apa ini cukup? Seperti,
mungkin aku harus mewarnai rambutku saat memakai ini?” Aku berbicara dengan
nada khawatir.
Karena adik perempuan Shinjou
menyebut penampilanku yang sebelumnya dibilang “normal", mau tak mau aku berpikir bahwa perubahan sedikit ini
mungkin takkan banyak berubah. Mungkin perubahan yang lebih drastis diperlukan.
Namun, Ayase-san mengejutkanku dengan berbicara yang mirip seperti seorang guru
TK menegur seorang anak kecil.
“Hei, kesan semacam apa yang
sampai membuatmu merasa puas?”
“Hah?”
“Jika kamu ingin pamer ke
sembarang orang di jalan, maka selera mode-ku sendiri harus membuatmu khawatir.
Aku benar -benar paham. Apa itu jenis tampilan bergaya yang ingin kamu miliki?”
“Tidak, tidak sama sekali…”
“Syukurlah,” kata Ayase-san
sambil tersenyum. “Lalu mungkin kamu bisa percaya padaku? Aku memilihnya untukmu,
dan aku pikir kamu terlihat cocok dalam pakaian itu.”
“Begitu ... ya, kamu benar. Maaf,
itu kasar untuk ditanyakan.”
“Tidak, apa yang kamu tanyakan
ada benarnya. Semua orang akan khawatir tentang bagaimana penampilan mereka di
mata orang asing. ”
Dia kemungkinan besar setuju
denganku dari lubuk hatinya, dan ketika aku melihat ekspresinya yang lembut,
aku akhirnya menyadari sesuatu di dalam kepalaku. Aku terjebak dalam labirin
pikiranku sendiri yang tak ada habisnya dan standarku sendiri. Keinginan
pribadiku untuk menjadi cowok yang dengan bangga dapat berdiri di sebelah
Ayase-san bukanlah sesuatu yang dekat dengan peduli tentang perasaan orang
lain. Berusaha untuk tidak jatuh ke dalam jurang yang membenci diri sendiri, aku
membangun barikade mental untuk melindungi pikiranku, hanya mengandalkan
penilaian pihak ketiga ketimbang punyaku sendiri.
Aku bahkan tidak tahu bagaimana
wajah atau tingkah laku adik perempuan Shinjou, namun aku memiliki niat untuk
menerima pendapatnya, kemungkinan besar karena keinginanku yang sebenarnya
selalu untuk mendapatkan pendapat dari seseorang yang cukup dekat untuk
mendapatkan pendapat, tapi juga cukup jauh dariku untuk tidak merasa sedih atas
tanggapan mereka. Yomiuri-senpai sudah memberitahuku sesuatu seperti ini
sebelumnya, bukan?
“Mengesampingkan
hal itu, Ia tidak perlu berdandan berlebihan. Hanya mengetahui bahwa Ia mencoba
membuatku bahagia dengan memberiku waktu yang lebih mudah saja sudah cukup
untuk membuatku merasa diperlakukan dengan benar.”
Kesannya, dalam hal ini, bukan
dari beberapa pihak ketiga yang hampir tidak aku pedulikan, tapi dari pasanganku
sendiri. Maru dan Shinjou juga pernah mengungkitnya. Yang penting adalah niat
mencoba terlihat penuh gaya. Hasil sebenarnya adalah masalah belakangan.
Orang-orang di sekelilingku terus mengarahkanku ke arah yang benar, tapi aku
justru pergi ke luar jalur sampai-sampai sekarang aku merasa malu. Tidak
masalah apa yang dipikirkan orang lain selama Ayase-san menyukai caraku
berpakaian. Itu jenis fashion terbaik yang pernah ada.
Aku membeli pakaian tersebut dan
kami berdua meninggalkan toko. Dalam perjalanan kembali ke stasiun kereta, Ayase-San
tiba-tiba berbicara.
“Asamura-kun, boleh aku mampir
dulu ke minimarket dalam perjalanan pulang?”
“Aku tidak keberatan.”
“Di supermarket mungkin lebih
murah, dan memiliki bermacam-macam bahan yang lebih besar, tapi terlalu makan
banyak waktu. Aku cuma perlu membeli mustard sejak kita kehabisan stoknya beberapa
waktu yang lalu. ”
“Mengapa mustard?”
“Aku kepikiran untuk membuat Oden malam ini.”
“Ahhh ... yah, karena
belakangan ini suhunya lumayan sangat dingin, jadi itu masuk akal.”
“Aku sudah berada dalam suasana
hati ingin membuat hot pot sejak
kemarin. Kita memang punya bahan-bahannya, tapi masakan itu jadinya lebih mirip
dengan hot pot vegetarian ketimbang hot pot yang normal.”
“Yang mana itu justru
membuatnya lebih sehat, jadi aku sama sekali tidak masalah. Tapi jika ada hal
lain yang perlu kita beli, tinggal bilang saja. Aku akan membawa barang-barang
itu.”
“Terima kasih …… um, apa aku barusan
mengatakan sesuatu yang aneh?” Ayase-san berkedip padaku dalam kebingungan.
Mungkin karena aku menyeringai
sekilas padanya.
“Tidak, tidak, sama sekali
tidak, kok. Maaf.” Aku meminta maaf dan menjelaskan diriku sendiri. “Hingga
saat ini, masalah fashion dan pencocokan pakaian serta sejenisnya terasa
seperti dimensi yang sama sekali berbeda. Rasanya seperti aku telah diangkut ke
dunia yang berbeda. ”
“Tapi tidak seburuk itu, kan?”
“Aku serius. Begitulah rasanya
menurutku. Namun kita sekarang tiba -tiba berbicara tentang makan malam hari
ini. Itu membuatku merasa seperti aku kembali ke kenyataan yang paling aku
ketahui.”
“Meninggalkan jejak yang kurang
mengenakkan?”
“Tidak juga. Aku sudah cukup
dengan dunia yang berbeda untuk hari ini. Saat ini, aku cuma ingin pulang dan
makan oden panas yang mengepul.
Sejujurnya, aku sedikit lelah. "
“Tidak heran. Tapi aku harap
kamu punya banyak kesempatan untuk mengenakan pakaian barumu.”
“Semoga saja. Kalau bisa sesering
mungkin, mengingat kamulah yang memilihnya untukku.”
Ya ampun, aku baru menyadari
apa yang baru saja aku katakan. Pernyataan itu membuatnya terdengar seperti aku
berharap supaya kami mempunyai banyak kencan mulai sekarang, bukan? Dalam batin
aku merasa panik, tapi karena Ayase-san menunjukkan senyum canggungnya yang
biasa dengan singkat sembari membalas 'Kamu
benar,' jadi kemungkinan besar percuma saja aku merasa cemas. Dan dengan
pernyataan memalukan itu sebagai pungkasan, kencan pertamaku dengan Ayase-san
berakhir.
Sekitar pukul 19:00, kami
menyelesaikan perjalanan belanja kami di toko paling dekat dan berjalan kembali
ke rumah. Kami menyelinap melalui pintu masuk yang diterangi dan menekan tombol
untuk memanggil lift.
“Ngomong -ngomong, bagaimana aku
melakukannya hari ini?”
Ayase-san menggumamkan
kata-kata ini dengan tenang sehingga pada awalnya aku gagal menyadari pertanyaan
ini diarahkan padaku.
“Maksudnya?”
“Apa aku lebih mudah diajak
bicara, lebih mudah didekati, atau apa kamu memperhatikan hal lain yang berbeda
mengenai aku?”
Aku diam di tempat dan berbalik
ke arahnya. Berkat lampu LED dari langit-langit, aku bisa dengan mudah melihat
seluruh penampilannya. Hanya untuk memastikan, aku sekali lagi mengamatinya
dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia masih mengenakan pakaian yang sama
dari sebelumnya: rajutan merah marun dengan jaket hijau lumut. Karena suhunya semakin
dingin dalam beberapa jam terakhir, dia mengancingkan jaketnya. Dengan kata
lain, dia mungkin tidak berbicara tentang aksesori yang dia miliki di dadanya.
Gaya rambutnya masih sama
seperti biasa juga. Dia tidak mengubahnya sama sekali, dia juga tidak
mengikatnya dengan ikat rambut. Aku juga tidak bisa melakukan ekstensi apa pun,
jadi dia seharusnya tidak bertanya tentang rambutnya. Tapi dia membuatnya
terdengar seperti ada sesuatu yang berbeda tentang dia hari ini ... di mana?
Kukunya? Parfum? Aku sudah menandai hal itu ketika kami pertama kali
meninggalkan apartemen. Kuku pinknya yang pucat tampak cocok padanya, tapi itu
tampaknya tidak memiliki hubungan dengan petunjuk 'lebih mudah diajak bicara,' jadi aku bisa mengesampingkannya.
Adapun parfumnya ... tidak,
tahan. Tidak mungkin aku bisa menggosok lebih dekat padanya dan mendapatkan
aroma yang baik. Wewangiannya mungkin lebih dari tipe yang menenangkan hari
ini, tapi mengingat kepribadian Ayase-san, tampaknya agak terlalu jauh untuk
bertaruh pada hal itu. Dan juga, aku tidak ingat kalau Ayase-san adalah tipe
orang yang bertanya padaku dengan pertanyaan "temukan perbedaannya”. Apa yang sebenarnya terjadi?
Sesuatu yang berbeda ... ah.
Mungkinkah itu hal yang menggangguku sepanjang hari?
“Ekspresimu, mungkin?”
“Tepat sekali.”
“Kamu menahan tawa, kan?” Aku
bertanya.
“Aku berusaha untuk jadi lebih
ramah.” Katanya pada saat yang sama.
Kami berdua berbicara pada saat
yang sama, namun mengatakan dua hal yang sama sekali berbeda. Tatapan kami
saling memandang. Apa yang baru saja dia bilang?
“Aku mengkhawatirkannya
sepanjang waktu, berpikir bahwa sesuatu tentang pakaianku ada yang aneh.
Ekspresimu terlihat seperti sedang mencoba menahan diri dari tertawa. ” Aku
menjelaskan itu padanya.
Mencoba menutupi emosi dan
pikiranku hanya akan memberi skala situasi ke arah yang salah. Sirene alarm di
kepalaku berdering seperti api telah pecah. Rasa merinding menjalar di belakang
punggungku, mendesakku untuk segera mendiskusikan hal ini sebelum
kesalahpahaman yang mengerikan bisa menimpa kami. Percakapanku dengan Ayase-san
yang tadi adalah dasar pengalaman untuk itu.
“Itu bukan ... aku sudah
bilang, kan? Kamu terlihat bagus apa adanya.”
“Maaf, tapi aku tidak cukup
percaya diri.”
“Jadi seperti itulah yang
terlihat di matamu ...” bahu Ayase-san merosot dalam kekalahan, memenuhiku
dengan rasa bersalah yang tidak bisa dijelaskan. “Aku berusaha tampak lebih
mudah didekati ... menjadi lebih menyenagkan dengan adanya aku ...”
“Oh, itu… maaf.”
"Kurasa hal semacam ini
terlalu sulit bagiku ... dan sekarang kita berdua mengatakan sesuatu yang tidak
seperti kita, ya?” ujar Ayase-san dan mengembalikan ekspresinya dengan seperti
yang biasa aku lihat.
Lift tiba di lantai kami. Lampu
menyala dan pintu pun terbuka. Ayase-san melangkah ke dalam terlebih dahulu,
dan aku mengikuti di belakangnya karena aku membawa semua barang yang kami beli
di kedua tangan. Dia menekan tombol untuk menuju lantai kami, dan aku berbicara
saat pintu lift hendak tertutup.
“Tapi aku pikir kalau kamu
baik-baik saja dengan caramu biasanya bertindak. Bagaimanapun juga, karena itu
menggambarkan siapa dirimu.”
“Ap…?”
Cara dia menahan ekspresinya
dan sikapnya adalah seseuatu yang dia upayakan keras, jadi itu akan sia -sia
untuk mencoba mengubahnya. Tanpa adanya tanggapan yang datang dari Ayase-san,
lift perlahan bergerak ke atas.
Malam itu, ketika aku sedang
mengerjakan beberapa soal matematika yang berusaha aku pecahkan, aku menerima
pesan LINE dari Shinjou. Dari segi konten, sepertinya merupakan kelanjutan dari
percakapan yang kami miliki siang ini.
‘Aku berbicara dengannya lagi saat makan malam, dan dia benar -benar
memikirkan pakaian yang kamu kenakan. Dia bilang kalau sebagian besar temanku
mencoba sok berdandan sampai-sampai kena getahnya sendiri, dan dia suka karena kamu
tidak melakukan semua itu.”
Tampaknya kata 'normal' dalam kamus kosa kata adik
Shinjou bukan berarti 'konyol' atau 'payah', dan malah memiliki lebih banyak
makna positif. Sebagian dari diriku berharap kalau dia harusnya menjelaskan itu lebih cepat, karena hal tersebut bisa menyelamatkanku dari banyak rasa sakit dan
penderitaan, tetapi aku menyimpan keluhanku di dalam hati dan
mengiriminya pesan singkat 'terima kasih.'
Aku pikir hasil ini adalah sesuatu yang aku peroleh berkat tersesat dan
mengambil jalan memutar. Terkadang itu lebih baik daripada mengambil jalur
langsung.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya