Chapter 05 — 21 Oktober (Rabu) Asamura Yuuta
Udara pagi yang dingin merayap
masuk ke bawah selimutku, membuatku menggosok kaki setelah terbangun. Karena
waktunya sudah semakin mendekati musim dingin, bangun di pagi hari hanya akan
menjadi lebih menyakitkan dari sini. Aku segera mulai kehilangan kehangatan
selimutku setelah aku mendepaknya ke atas untuk memaksa diriku bangkit dari
tempat tidur. Pada waktu yang hampir bersamaan, jam alarmku berdering. Aku
mematung sejenak, membanting tanganku ke arahnya untuk membungkam alarm yang
menusuk telinga.
“Aku menang.”
Tentu saja, tidak ada
manfaatnya buatku untuk memenangkan pertarungan khayalan semacam ini, tapi
kemenangan kecil tersebut membantu dalam membentuk suasana hatiku untuk hari
ini ... yah, kurasa itu sedikit berlebihan. Pokoknya, hari ini adalah pesta
ulang tahun Narasaka-san. Aku diliputi dengan perasaan tekanan yang aneh karena
itu, mencoba yang terbaik untuk mengabaikannya saat bersiap-siap untuk
berangkat ke sekolah. Aku hanya sedikit khawatir kalau aku takkan bisa akrab
dengan orang lain yang akan dia undang.
Setelah menyelesaikan persiapanku,
aku berjalan ke ruang tamu. Tampaknya Ayase-san sudah menyelesaikan sarapannya,
karena dia sekarang membereskan hidangan yang dia gunakan dan memasukkannya ke
rak pengeringan.
“Selamat pagi. Kamu bangun
lebih cepat, ya?”
“Aku perlu mampir ke stasiun
kereta untuk membeli hadiah.”
Ketika aku memanggilnya, dia
segera mengambil tasnya. Begitu ya. Dia pernah mengungkit kalau dia akan
membeli hadiah pagi ini. Aku baru mengingatnya sekarang.
“Kalau begitu, aku berangkat
dulu.”
“Ya. Hati-hati di jalan,
Saki-chan. ”
“Sampai jumpa nanti, Nii-san.”
“Ya. Sampai nanti, Ayase-san.”
“Mhmm.” Ayase-san mengangguk
dan melangkah keluar.
“Apa kamu tidak segera
berangkat kerja, Yah?”
“Yup. Aku tidak perlu terburu
-buru hari ini.”
Kurasa beban kerja yang
dipaksakan padanya sedikit berkurang belakangan ini? Aku membuka penanak nasi
dan sedikit udara beruap menerpa wajahku, menyapaku dengan aroma manis nasi kuning
keemasan menggelitik hidungku.
“Ini…”
“Nasi kastanye. Rasanya cukup
lezat, tau. Saki-chan sangat pandai membuat nasi sampai-sampai rasanya tidak
adil.”
Jika Ayase-san masih ada di
sini, dia mungkin akan mengatakan sesuatu seperti “yang aku lakukan hanyalah menambahkan beberapa bahan lain dengan
nasi.” Tapi, seperti yang Ayahku bilang…
“Ini memang kelihatan enak.”
Aku menaruhnya ke dalam mangkuk
nasi kecil dan duduk di kursi terbuka. Lauknya …? Acar daikon lobak dengan belut,
serta beberapa prem. Dan jangan lupa dengan sup miso yang biasa. Bahkan ada
beberapa bawang di atas hari ini. Mangkuk nasi di depan ayahku sudah kosong.
“Mau nambah lagi, Ayah?”
“Tidak usah. Aku harus segera
berangkat kerja. ”
“Baiklah.”
Kacang kastanye yang dicampur
ke dalam nasi seukuran ibu jariku. Aku mengambilnya dengan sumpit dan
memasukkannya ke dalam mulutku.
“Panas!”
Aku mengunyah kastanye yang
mengepul, yang mana langsung cepat pecah dan mengisi mulutku dengan rasa manis.
Hidanagn ini benar -benar rasa musim gugur.
“Ya, ini lezat.”
“Benar, ‘kan?”
“Aku bisa memakan ini sepanjang
hari.”
Ah, jadi itulah alasan kenapa
dia menjaga lauknya sedikit mungkin. Ayahku akhirnya pergi bekerja, dan aku
melanjutkan untuk membersihkan piringku sendiri dan memasukkannya ke dalam
mesin pencuci piring. Aku bahkan menambah porsiku hari ini. Aku merasa agak
kembung sekarang. Ayase-san meninggalkan rumah juga beberapa saat yang lalu.
Untungnya, jika aku mengendarai sepeda hari ini, aku masih bisa sampai tepat
waktu sebelum jam pelajaran dimulai. Aku merasa tidak nyaman karena udara
dingin membuat tanganku sakit saat menggenggam pegangan. Suhunya tidak cukup
dingin sampai-sampai bisa melihat napasku sendiri, tapi juga tidak cukup hangat
untuk membuat perjalanan yang menyenangkan ke sekolah. Lagipula, sebentar lagi
akan memasuki musim dingin.
Aku berhasil sampai di ruang
kelas tiga menit sebelum bel berbunyi.
◇◇◇◇
Kegiatan belajar mengajar
berakhir dalam sekejap mata.
“Aku akan menghubungimu besok,
Asamura,” Maru mengucapkan salam selamat tinggal singkat dan pergi ke klubnya.
Nah, sekarang waktunya untuk merayakan
pesta ulang tahun.
Ayase-san sudah mengirimiku
pesan siang tadi yang isinya berbunyi: “Aku
akan bepergian ke sana secara terpisah, jadi kamu bisa pergi ke sana duluan.”
Ayase-san mengenakan pakaian
kasual, ya? Aku dulunya akan merasa tegang dan canggung bila pergi keluar
sambil mengenakan bajuku sendiri, tapi semuanya sudah sangat berbeda sekarang. Aku
tinggal berjalan dengan percaya diri dan mempercayai selera fashion Ayase-san. Aku
berjalan ke pintu masuk depan dan berganti ke sepatu luarku. Di sana aku melihat
seorang cowok berlarian sambil mengenakan jersey. Karena cowok itu tidak
memegang tas pelajarnya, dia mungkin tidak akan pulang dalam waktu dekat. Ia
mungkin berniat pergi ke klub olahraga atau sejenisnya yang serupa.
Sulit untuk mengenali punggung
siapa itu, tapi ... itu Shinjou, iya ‘kan? Tunggu, apa Ia tidak menghadiri pesta
ulang tahun Narasaka-san? Aku benar -benar berharap untuk melihatnya di sana.
Atau Ia akan baru bergabung dengan kami setelah latihan klubnya selesai? Sejujurnya,
aku tidak tahu kalau Ia sangat bersemangat tentang latihan tenisnya. Pokoknya, aku
mengayuh pedalku menuju ke apartemen. Ayase-san tidak terlihat di mana pun. Dia
mungkin sudah pergi duluan setelah berganti pakaian kasualnya, atau dia belum
pulang. Yah, kami nanti bisa bertemu di tempat Narasaka-san, jadi tidak ada
yang perlu dikhawatirkan.
Hal yang kuketahui ialah aku
tidak perlu mencemaskan tentang pakaianku lagi. Yang aku butuhkan hanyalah percaya
pada penilaian Ayase-san yang terampil dan cerdas. Aku lalu mengenakan jaket
yang baru saja aku beli dan membuka aplikasi LINE-ku. Beberapa saat setelah
meminta Narasaka-san mengenai alamatnya, dia mengirimiku balasan beserta peta
yang melekat padanya.
“Di sekitaran sana, ya?”
Letaknya dekat dengan sekolah
les, dan aku kebetulan bertemu Ayase-san sebelum dia pergi menuju ke tempat
Narasaka-san, jadi aku sudah punya sedikit gambaran. Daerah tersebut memiliki
area kecil untuk memarkirkan sepedaku dengan aman juga. Setelah menaiki
sepedaku, tidak butuh waktu lama untuk mencapai daerah yang dekat dengan rumah
Narasaka-san. Aku membuka peta dan memperbesarnya. Setelah melihat ke kiri dan
kananku, aku melihat nama perusahaan di papan iklan hijau besar yang cocok
dengan peta yang aku miliki. Berkat itu, aku berhasil menentukan lokasiku.
Dari titik itu dan seterusnya, aku
terus mendorong sepedaku ketimbang mengendarainya. Trotoar di samping jalan
sempit ini sangat bergelombang sehingga sepedaku memantul-mantul sepanjang
jalan. Untungnya, aku hanya butuh beberapa menit untuk mencapai apartemen yang
dimaksud. Aku memarkir sepedaku di lokasi yang ditentukan yang sudah dia
sebutkan dalam pesannya dan menuju ke dalam.
Namun, sebelum membunyikan bel
pintu, aku malah memilih untuk mengiriminya pesan LINE dulu. Aku berharap dia
ada di rumah sekarang, tapi aku benar-benar akan kebingungan jika orang lain
dari keluarganya menjawab interkom. Untungnya, aku tidak perlu khawatir dalam
hal itu. Sebelum aku mendapat balasan dari LINE, aku melihat Ayase-san dan
Narasaka-san berjalan menuju gedung dari sisi jalan yang berlawanan. Pintu
masuk gerbang depan terbuka dan mereka mendekatiku.
Ayase-san mengenakan rok denim
dengan kardigan halus dan sweter rajutan longgar yang menggantung satu bahu di
bawahnya. Itu adalah pakaian yang sangat sesuai dengan karakter Ayase-san. Aku
merasa sedikit khawatir kalau dia akan kedinginan selama cuaca dingin ini. Dia
melihat ke arahku dan dengan lembut melambaikan tangannya. Narasaka-san
bertingkah seperti biasa dengan bertingkah melampaui harapan, dia melambaikan
tangannya seperti orang-orang yang mengucapkan salam pada pesawat yang lepas
landas di bandara. Semua gerakannya sangat mirip ... Aku tidak tahu, mirip binatang
kecil.
“Apa kamu sudah menunggu dari
tadi~?”
“Tidak, aku baru saja sampai di
sini.” Aku juga melambaikan tangan dan melihat sekeliling.
Sejauh yang aku bisa lihat, hanya
ada mereka berdua yang satu -satunya muncul sejauh ini.
“Sekarang, mari kita mulai! Ke
lift dengan kalian berdua!”
Hah? Tunggu sebentar. Ada
sesuatu yang tidak beres.
“Di mana yang lainnya?”
“Hm?”
Kenapa kamu malah menatapku
dengan ekspresi kebingungan yang seakan-akan menyiratkan 'Kamu ini ngomong apaan sih ~?', Huh? Cuma aku orang yang bingung
di sini.
“Orang lain yang kamu undang…”
“Tidak ada orang lain yang
datang ~ Aku hanya mengundang kalian berdua saja.”
“Cuma kami berdua ... aku dan Ayase-san?
Kenapa?”
“Umm, karena aku merasa seperti
itu?”
Aku tidak menerimanya sebagai
jawaban. Penjelasan macam apa itu?
“Ayo masuk, ayolah, kita
seharusnya tidak berbicara di sini, rasanya dingin tau.”
“Be-Benar juga ...” Aku tidak
yakin apa yang harus dikatakan, jadi aku menoleh Ayase-san demi meminta bantuan,
tapi dia hanya memalingkan mukanya.
Tunggu, apa dia ... tahu
tentang hal ini? Aku terlalu fokus pada ekspresi Ayase-san sehingga aku
benar-benar melewatkan gumaman pendek dari Narasaka-san yang dengan cepat
menghilang ke udara.
Kami turun dari lift dan tiba
di depan pintu dengan tikar bertuliskan selamat datang menyapa kami. Dia
mengambil kunci dari kantongnya dan membuka pintu.
“Oke, masuklah. Tidak perlu
sungkan-sungkan segala. Anggap saja di rumah sendiri.”
“Narasaka-san, boleh aku menggunakan
sandal ini?”
“Ah, ya. Kamu boleh pakai yang
itu, Asamura-kun. ”
Aku mengangguk dan memakai
sandal bermotif beruang. Setelah kami berjalan melalui lorong sempit yang
mengarah dari pintu masuk, kami mencapai ruang tamu dan dapur. Kesan pertamaku
ialah ruangan tersebut cukup luas. Itu dibangun seperti apartemen rata-rata, sebagian
besar sama dengan apartemen tempat tinggalku sendiri.
“Hari ini, kita akan menuju ke
sini!” seru Narasaka-san, membuka pintu dengan tangan kirinya.
“Kita tidak merayakannya di
ruang tamu?” tanya Ayase-san, terdengar kebingungan.
“Lagipula, cuma ada kita
bertiga saja,” Narasaka-san menanggapi dengan acuh tak acuh.
Tunggu, jadi kami akan berada
di kamar Narasaka-san? Aku dibuat melongo. Ketika aku memikirkan kamar seorang
gadis, aku merasa keringat dingin mengalir di punggungku. Sejak Ayase-san dan aku
menjadi saudara tiri, aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlalu
kepikiran mengenai kamarnya di rumah, bahkan sampai memalingkan muka dari pintunya
ketika ditutup.
Namun, Narasaka-san tidak
menunjukkan keraguan saat dia memandu kami ke kamarnya. Tepat ketika dia
membuka pintu untuk menyerbu masuk ke dalam, Ayase-san meraih lengan bajunya
untuk menghentikannya, dan menutup pintu sekali lagi.
“Maaya, ini takkan membuatmu
menyesalinya nanti, ‘kan?”
“Hm? Apa maksudmu?”
“Yah ... aku sendiri sih tidak
masalah, tapi ada Asamura-kun bersama kita, ingat? Apa kamu tidak keberatan
kalau Ia melenggang dengan santainya masuk ke dalam kamarmu? ”
“Hmmm ...” Narasaka-san
meletakkan satu jari di dagunya, menatap langit-langit saat merenungkannya. “Aku
adalah gadis yang baik dan sudah memastikan untuk menyembunyikan semua buku
dewasa yang bisa di temukan ke dalam laci, aku juga sudah membersihkan kancut
segar yang aku baringkan, dan aku memasukkan seragamku ke dalam lemari, jadi
seharusnya baik -baik saja.”
Dengan sejumlah besar rentetan
bom yang terdengar di telingaku ini, aku segera memilih untuk mengosongkan
kepala dan pikiranku. Aku ketiadaan. Kehampaan. Kekosongannya adalah aku, dan aku
adalah kekosongan. Aku tidak mendengar apa-apa sekarang. Bagaimana hal itu bisa
membuatmu menjadi 'gadis yang baik,'?
“Da-Dasar bodoh! Pelankan
suaramu!”
“Aku tidak mengatakannya di
depan adik-adikku, jadi jangan khawatir.”
“Itu adalah akal sehat yang
paling sedikit yang bisa aku harapkan darimu!”
“Jadi, apa masalahnya?”
“Maksudku … apa itu aman?”
“Kamu itu rempong sekali,
santai saja! Semuanya akan baik -baik saja. Tidak perlu takut.”
“Ucapanmu itu justru membuatku
lebih ketakutan!” Ayase-san menghela nafas dan melepaskan tangannya dari pintu,
memungkinkan Narasaka-san untuk membukanya sekali lagi. “Maaf sudah mengganggu
...” Ayase-san bergumam dan melangkah masuk, diikuti aku yang ada di belakangnya.
Kamarnya sendiri memiliki luas
sekitar 10 meter persegi dengan tempat tidur di sebelah jendela. Di sepanjang sisi
kiri dindingnya tampaknya menjadi meja belajarnya. Sebanyak itu yang bisa aku
jelaskan tanpa harus melirik setiap detail kecil. Aku hanya perlu memikirkan
urusanku sendiri dan berusaha untuk tidak terlalu menatap pada sesuatu yang
masih menyembul keluar dari mana saja. Semoga
tak ada pertanda buruk! Aku meneriakkan pepatah kuno untuk menenangkan
diriku yang tersipu. Yang satu ini melawan salju, karena aku lebih suka tidak
melihat Ayase-san dimakamkan oleh segunung salju. Yah, aku tidak punya
konfirmasi jika nyanyian ini benar -benar bekerja dengan longsoran besar yang
bisa mengubur seseorang yang hidup.
“Wow.” Ayase-san mengeluarkan
suara kekaguman. “Jadi kamu menjaganya
tetap bersih.”
“Tentu saja, jika tidak,
adik-adikku akan mengikuti contoh yang buruk.”
Kurasa itu masuk akal. Dia
benar-benar seorang kakak perempuan tulen.
“Ayo duduk, ayo duduk~.”
Dia menempatkan tiga bantal di
sekitar meja bundar, mendesak Ayase-san dan aku untuk memasuki kamarnya. Dia
adalah orang pertama yang duduk, dan diikuti kami berdua. Ah, Narasaka-san
duduk di bantal yang paling dekat dengan pintu. Tepat ketika Ayase-san dan aku
duduk, dia segera bangun lagi, seraya mengatakan “Aku mau ambil beberapa minuman dulu,” dan meninggalkan ruangan
secara instan. Seperti yang kuduga, dia memilih posisi ini untuk menjamu
pengunjungnya. Pada tingkat ini, kami akan menjadi orang yang diurus, padahal
ini adalah hari istimewanya.
“Rasanya benar -benar tidak terasa
seperti pesta ulang tahun, ya?” celoteh Ayase-san.
“Tapi bukannya berarti kita
bisa berjalan-jalan seolah ini adalah tempat kita sendiri juga sih ...”
“Yup…”
Kami berdua agak bingung dan
tidak yakin apa yang harus dilakukan. Narasaka-san dengan cepat kembali sembari
membawa sebotol teh 1,5 liter, serta tiga cangkir.
“Baiklah, lalu mari kita mulai
pesta ini!”
“Sekali lagi, berhentilah mencoba
mengkhawatirkan kami dan cepatlah duduk.” Ayase-san meraih tangan gadis itu dan
mendorongnya ke bantal.
“Tapi sudah jadi tugas tuan
rumah untuk melayani tamu mereka, ‘kan?”
“Setidaknya untuk hari ini,
logika itu tidak mempan. Hari ini adalah hari ulang tahunmu, jadi santailah
sedikit!”
Ekspresi Narasaka-san sedikit
cemberut dan merasa tidak puas, tapi apa yang Ayase-san ucapkan ada benarnya
juga . Walau begitu, aku tidak dalam posisi untuk menekan pendapatku sendiri, jadi
aku hanya menyerahkan masalah ini kepada Ayase-san.
“Hal semacam ini sudah sering terjadi.
Jadi itu bukan masalah besar~”
“Masih jadi masalah besar tau!
Ini.” Ayase-san menyelipkan kantong plastik di seberang meja.
“Hm? Apaan tuh? Ini bukan hadiah,
‘kan?”
“Karena belum waktunya makan
malam, jadi itu cuma camilan ringan.”
Narasaka-san lalu membuka
kantong plastik dan mengeluarkan kotak putih yang berisi tiga kue kecil.
Ayase-san rupanya membelinya di toko kue dekat stasiun kereta. Dia tidak
merencanakan hal ini pada awalnya, tetapi datang dengan tangan kosong
membuatnya tidak nyaman, jadi dia membelinya dengan tergesa-gesa. Setidaknya
itulah yang dia katakan. Begitu rupanya. Itulah yang dia lakukan sebelum datang
ke sini. Aku harus membayar bagianku nanti. Tiga kue itu terdiri dari
shortcake, Mont Blanc, dan cheesecake. Itu adalah ide yang cerdas sehingga
semua orang bisa makan satu irisan tanpa rebutan.
“Ohh, kelihatannya enak!”
“Tentu saja. Sayangnya, aku
tidak punya lilin.”
“Keren, aku akan mengambil
beberapa piring dan garpu!”
“Sekali lagi, duduklah di situ.
Jangan terlalu berlebihan dengan melayani tamu.”
“Hmph.”
Narasaka-san kembali duduk, dan
pesta ulang tahunnya benar-benar dimulai. Aku tahu kalau aku masih ngedumel hal
ini, tapi ... ini seriusan cuma ada kami bertiga, ya?
Sebelum kami mulai makan
potongan kue, kami memutuskan untuk memberinya hadiah. Aku memberinya cangkir
dari anime yang sangat dia sukai. Cangkir itu tidak memiliki gambar karakter
besar yang dicetak di atasnya, jadi seharusnya tidak ada masalah untuk digunakan
di rumah. Dia menerima cangkir tersebut dengan senang hati. Setidaknya dia
kelihatan senang. Ayase-san menindaklanjuti dengan memberinya sepasang sendok
dan garpu. Mereka memiliki motif bunga di pegangannya, dan ujungnya tampak
seperti mahkota.
“Ooo, ini imut banget!”
“Sayangnya itu bukan perak
asli.”
“Ini sudah lebih dari cukup!
Terima kasih, Saki! Sekarang kita bisa makan kue dengan benar! ”
“Aku tidak berpikir sampai
sejauh itu. Apalagi cuma ada dua pasangan saja. ”
“Ah, aku tidak keberatan. Aku
akan menggunakan garpu yang ada di kotak.” Aku mengambil garpu plastik dari
dalam kotak kue.
“Aku ingin makan dengan garpu
baru,” ujar Narasaka-san dan mengambil garpunya.
“Kamu mungkin harus mencucinya
terlebih dahulu, ‘kan?”
“Ide bagus. Aku akan
melakukannya dengan sangat cepat. Kamu akan mengizinkanku kalau cuma sebatas
itu, kan?”
“Yahh…”
“Oke! Aku akan segera kembali!”
Narasaka-san meninggalkan
ruangan untuk mencuci peralatan makan, kemudian dengan cepat kembali setelah
satu atau dua menit. Pada akhirnya, dia masih orang yang merawat kita ... yah,
kebiasaan lama memang susah dihilangkan, kurasa. Dia adalah kakak perempuan
yang pada dasarnya seumur hidupnya. Kami mengisi cangkir kami dengan teh dan
bersulang. Ketika kami mulai makan kue, ibu Narasaka-san datang untuk menyambut
kami sembari membawa beberapa cemilan di tangan. Dia benar-benar sangat mirip dengan
Narasaka-san, dan dia tampak seperti ibu yang lembut dan peduli. Tentu saja,
kami tidak punya alasan untuk menolak cemilan tersebut, dan aku mulai sedikit
khawatir kami takkan punya area kosong di perut untuk makan malam nanti.
Aku baru ingat, Ayahku bilang
kalau dirinya akan pulang terlambat setelah makan malam dengan rekan kerjanya.
Dan Akiko-san takkan pulang sampai larut malam, jadi kami tidak perlu khawatir menyiapkan
makan malam untuk malam ini. Paling tidak, Ayahku tampaknya telah selamat dari
kegentingan lain di tempat kerjanya.
Begitu kami selesai memakan
semuanya, Ayase-san dan Narasaka-san mulai membicarakan kenangan saat kami semua
pergi ke kolam bersama. Awalnya aku agak gugup, tapi akhirnya aku berhasil
sedikit rileks, dan aku meletakkan tanganku di belakang bantal seraya mendengarkan
percakapan mereka ... tapi kemudian punggungku sepertinya menabrak sesuatu,
yang mana membuatku menyentak ke depan. Ruangan itu cukup kecil, dan memiliki
tempat tidur, meja belajar, meja kecil, rak buku, dan sebagainya, jadi aku
tidak punya banyak ruang untuk berbaring.
Aku melirik kotak kecil yang aku
senggol tadi, sepertinya itu cuma wadah untuk memegang sesuatu. Aku merasa lega
karena aku tidak merusak sesuatu yang super mahal. Aku melihat-lihat lagi dan
melihat beberapa action figure anime
yang tampak akrab. Barang-barang ini mendukung pernyataan Ayase-san bahwa
Narasaka-san sebenarnya lumayan menyukai anime. Meski kurasa kalau itu bukanlah
action figure secara teknis. Mereka
lebih terlihat seperti robot, ‘kan? Pemikiran itu membantuku mengingat sesuatu.
Musim panas lalu, Maru pernah bilang kalau Ia akan mengirimkan jenis barang
yang sama ke teman online-nya. Kurasa barang semacam ini pasti sangat populer,
ya.
“Omong-omong tentang ulang
tahun, punyamu sebentar lagi tiba di bulan Desember, ‘kan Saki?” Suara
Narasaka-san menyadarkanku kembali ke kenyataan.
Aku bahkan tidak menyadari
kalau topiknya sudah berubah ke arah itu.
“Hei, hei, Asamura-kun, kapan
hari ulang tahunmu? Karena kamu secara teknis kakak laki-lakinya, pastinya
sebelum Saki, ya?” Narasaka-san mendekatkan wajahnya ke arahku ketika dia
bertanya.
“Aku juga pada bulan Desember.”
“Hah? Kalian berdua berulang
tahun di bulan yang sama?”
“Punyaku seminggu setelah
miliknya,” kata Ayase-san.
“Ah, benarkah? Jadi kamu kakak
laki-laki yang beda seminggu?”
Sekarang dia menyebutkannya, kurasa
itu benar. Seminggu setelah ulang tahunku, dia akan berumuran sama denganku.
Tapi lagi-lagi, kami bukan anak SD lagi, jadi aku tidak merasa seperti orang
dewasa cuma karena beda satu minggu. Aku juga tidak ingin diperlakukan seperti
itu.
“Yah, di atas kertas,” kataku.
“Tapi aku yakin kalau kamu
pasti merasa senang jika ada gadis secantik Saki memanggilmu 'Onii-chan', kan?”
“Maaya, sudah cukup,” Ayase-san
menggerutu dengan wajah lurus.
“Kamu tidak perlu malu-malu
segala kali ~”
“Aku menyuruhmu buat berhenti
karena itu membuatku tidak nyaman.”
“Lalu ... bagaimana dengan 'Onii-san'?”
“Itu tidak jauh berbeda dari
sebelumnya.”
“Lalu, kalau begitu ... sebagai
tebakan terakhirku ... 'Nii-san'?”
Ini bukan permainan menebak—itulah
apa yang Ayase-san dan aku mungkin ingin katakan— tapi kami tidak punya
kesempatan untuk melakukannya. Sebaliknya, kami berdua langsung mematung.
Perilaku dan nada yang digunakan Narasaka-san membuatnya terdengar seperti
keluar dari mulut Ayase-san. Untuk sesaat, aku pikir aku mendengar sesuatu.
Seperti halnya sekarang, Ayase-san hanya memanggilku Nii-san bila di depan orang tua kami, jadi begitu Narasaka-san mengungkit
itu sekarang benar-benar mengguncang ketenanganku.
“Sudah…cukup…”
“Huuuh? Cuma segitu saja tidak
ada masalah, ‘kan? Kamu ‘kan adik perempuannya. Atau ... apa kamu sudah
memanggilnya begitu?”
“Asamura-kun adalah Asamura-kun.
Tidak kurang atau lebih.”
“Tapi itu membosankan sekali ~”
“Dan apa masalahnya? Cukup
tentang ini, sudah hentikan! ”
KEPROK,
Ayase-san bertepuk tangan. Narasaka-san tampak sangat terganggu dan kesal
karena dia tidak bisa bersenang-senang, tapi segera memancarkan senyum cerah
yang membuatnya terlihat seperti dia sudah melupakannya.
“Karena kamu di sini merayakan
ulang tahun bersamaku, kita harus merencanakan pesta besar untuk kalian berdua
di bulan Desember!”
Apa yang dia maksud dengan 'pesta besar'? Aku mulai merasa sedikit
khawatir. Aku benar-benar tidak terlalu menyukai gagasan mengadakan pesta ulang
tahun. Lagipula…
“Saat ulang tahunmu jatuh pada
bulan Desember, kamu cenderung akan menggabungkannya dengan hari Natal.”
Aku berbicara dari pengalamanku
sendiri, dan Ayase-san dengan cepat setuju. Aku memiliki firasat kalau itiulah
yang terjadi. Adapun situasi keluargaku pada waktu itu, ulang tahun adalah
sesuatu yang sangat kunantikan. Lagi pula, setidaknya pada hari itu, orang
tuaku takkan bertengkar. Jadi jika ulang tahunku digabung dengan Natal, aku takkan
memiliki keluhan ... Namun, aku sekarang mengakui bahwa rasanya seperti sedikit
sia-sia. Ayase-san ikut mengangguk, menunjukkan bahwa dia mungkin telah
melalui pengalaman yang serupa.
Saat kami mendiskusikan hal
itu, aku mendengar derit samar dari pintu. Ketika aku menoleh ke arah pintu, aku melihat seorang bocah laki-laki,
mungkin sekitaran umur anak TK, mengintip ke dalam ruangan. Narasaka-san
berbalik pada waktu yang hampir bersamaan.
“Hei, sudah kubilang kalau aku
akan menghabiskan waktu bersama teman-temanku. Bermainlah dengan mamah dulu
sebentar! ”
Katanya, tetapi bocah itu terus
menatap kami. Atau lebih tepatnya, ketika kamu mengikuti arah tatapannya, Ia
kelihatannya menatap cemilan di atas meja. Narasaka-san tampaknya menyadari hal
ini juga, dan dia dengan tenang menggelengkan kepalanya.
“Tidak boleh. Kita sebentar
lagi akan makan malam.”
“Tidak adil…”
“Oh ayolah!” Narasaka-san
bangkit dan berlari ke arah bocah itu. “Kamu akan mendapatkan bagianmu sendiri
nanti, tetapi makan malam lebih dulu, oke?”
“Tapiiiiiiiiiii!”
Meski bocah itu mengamuk,
Narasaka-san tetap tenang dan berbicara dengan suara lembut. Adik laki-lakinya
masih tidak terlalu puas, tetapi setelah ditepuk punggungnya beberapa kali, Ia pergi
dengan enggan.
“Pergi ke mamah.”
“Cemilaannnnn!”
“Setelah kamu makan malam.”
“Tidak adil kalau cuma kamu
saja yang mendapatkannya, Maa-neechan!”
“Hei! Apa mulut ini yang terus
mengeluh, haaahhhh?”
“Ouchh!”
Narasaka-san lalu menyeret
bocah itu keluar dari ruangan sambil menikmati ledekan khas antar saudara.
Setelah itu, aku mendengar beberapa keluhan lain dari luar ruangan. Berapa
banyak adik yang dia miliki? Setidaknya sekarang suaranya terdengar jauh lebih
tenang.
“Maaf tentang itu. Aku pikir Ia
sibuk dengan hal-hal lain.”
“Jangan khawatir.” Ayase-san
menggelengkan kepalanya pada permintaan maaf Narasaka-san, dan aku mengangguk.
“Ia punya banyak tenaga, ya.”
kataku.
“Ia salah satu yang terkecil.
Pada dasarnya, Ia adalah yang paling bungsu.”
Dari suaranya, ada kesenjangan
usia yang cukup antara Narasaka-san dan beberapa adik laki-lakinya.
“Ini tugas yang sulit untuk
mengurus begitu banyak adik ~”
Atau begitulah yang dia katakan,
tapi dia jelas -jelas menikmati dirinya sendiri. Jelas sekali kalau dia sangat
peduli pada adik-adiknya, dan aku pikir itu penting untuk hubungan keluarga
yang sehat. Itu mengingatkanku, saudara yang umurnya hampir sama biasanya
memiliki semacam persaingan untuk siapa yang bisa mendapatkan lebih banyak
kasih sayang dari orang tua mereka, tapi ketika kesenjangan usia jauh lebih
besar, seperti dalam kasus ini, itu mengubah saingan lebih banyak menjadi
anggota keluarga yang membutuhkan perlindungan. Pada dasarnya, dia
memperlakukan mereka hampir seperti anaknya sendiri.
“Aku yakin kamu akan menjadi
ibu yang hebat di masa depan nanti, Narasaka-san.”
Dia pasti takkan mengabaikan
anak-anaknya untuk berlarian di suatu tempat. Perkataanku tidak punya maksud
lain selain dengan niat pujian, tapi Narasaka-san menatapku dengan kelelahan
untuk alasan aneh.
“Asamura-kun, kamu seharusnya
cuma boleh mengatakan itu kepada Saki, oke?”
“Maaya, apa yang kamu
bicarakan?”
Hah? Cume boleh kepada
Ayase-san ...? Butuh waktu sejenak untuk menyadari bagaimana perkataan bisa bermakna
lain dari 'Kamu akan menjadi ibu yang
hebat' berarti 'Aku akan merasa
beruntung memilikimu sebagai istriku.' Kurasa aku memang tidak harus
mengatakan kalimat itu kepada Narasaka-san, dan harusnya ... tunggu, tidak.
“Hah? Kamu tidak mau
Asamura-kun mengatakan itu?”
Bukan begitu juga masalahnya.
“Jelas-jelas masalahnya bukan
begitu di sini.”
Sepertinya Ayase-san setuju
denganku.
“Kamu tidak ingin menjadi
seorang ibu? Kamu bisa menjadi ayah juga.” Narasaka-san bertanya pada
Ayase-san.
“Aku menghormati ibuku, tapi di
sini bukan begitu intinya. Aku tidak pernah sekalipun memikirkan hal itu. Dan
juga, mana mungkin aku bisa menjadi seorang ayah.”
Maksudku, semuanya tergantung
dari kamu melihatnya dari sudut pandang biologis atau dari konstruksi sosial
tentang apa yang dimaksud dari menjadi Ayah.
“Ah, aku paham.”
“… Kali ini apa lagi?”
“Kamu ingin menjadi menantu!”
“Bagaimana kamu bisa mencapai
kesimpulan itu?” Narasaka-san disambut dengan suara dingin seperti es, bersama
dengan tatapan tajam.
Aku tidak tahu seberapa banya
dia tahu sampai-sampai bisa menggoda kami dengan cara ini. Ayase-san
menggelengkan kepalanya dan menghela nafas.
“Mengapa aku malah disiksa pada
hari ulang tahun Maaya?”
Bukannya itu karena
Narasaka-san melanjutkan sandiwara komedi ini? Narasaka-san memperhatikan
tatapanku dan mulai merajuk.
“Terus menatap lagi dan kamu
akan mulai mengebor lubang ke tubuhku, Asamura-oniichan. Lihat? Aku tidak
menakutkan sama sekali,kok ~” ucapnya, sambil mengarahkan jari telunjuknya yang
kecil ke arah aku.
Apa sebenarnya yang harus aku
lakukan dengan ini?
“Jangan khawatir, aku takkan
merasakan apa-apa bahkan jika kamu menggigitnya."
“Aku takkan menggigit kok, jadi kamu tidak perlu cemas.”
“Benar, karena Saki bersama
kami.”
“Aku takkan melakukannya bahkan
tanpa ada dia.”
“Apa yang kamu bicarakan,
Maaya?”
Sepertinya Ayase-san tidak
sadar. Aku menghindari peluru di sana. Namun, ini bukan akhir dari Narasaka-san
yang menggoda. Aku benar-benar terkesan Ayase-san berhasil menjaga wajah
pokernya sepanjang sore.
Karena sudah waktunya bagi ayah
Narasaka-san untuk pulang, Ayase-san dan aku memutuskan untuk meninggalkan
kediaman Narasaka. Dari apa yang dia katakan, dia akan merayakan bersama
keluarganya setelah ini. Dia mungkin menyiapkan kue besar dengan lilin di
atasnya, yang akan dilengkapi dengan masakan ibunya untuk menjadikannya
perayaan yang menyenangkan. Bersama adik
laki-lakinya yang duduk di sekelilingnya, aku hanya bisa membayangkan mereka
semua tersenyum bahagia.
“Kamu punya keluarga yang
bahagia. Kalian semua tampak rukun dan dekat.” Ayase-san berkomentar saat kami
meninggalkan apartemen.
Narasaka-san tampak sedikit
terkejut dengan komentar ini.
“Kamu ini bicara apa?”
“Hah?”
“Saki, justru itu kalimatku.”
Narasaka-san membentuk tangannya ke dalam bentuk pistol, mengarahkannya ke
Ayase-san.
Lalu dia selanjutnya sedikit
menggerakkan tangannya untuk mengarahkannya ke arahku. Tanpa menciptakan suara,
dia menembakkan peluru khayalan saat tangannya mundur.
“Kalian juga cukup dekat, kan?”
“Seriusan deh, sekarang apa
lagi?”
“Oh? Mungkin kamu tidak mau aku
mengatakannya? Kalau kalian berdua adalah saudara
yang cukup dekat?”
“Tunggu, apa…?”
“Begitu ya, aku paham. Jadi
kamu lebih suka kalau aku bilang ‘pasangan
suami istri yang terus mesra,’ ya?”
“Si-Siapa juga yang pasangan
suami istri ...?!”
“Ibumu dan ayah Asamura-kun,
‘kan?”
“Ughh...”
Aku pikir ini mungkin pertama
kalinya aku melihat Ayase-san benar-benar dikalahkan seperti itu.
“Tapi memang benar, ‘kan? Kamu
pernah bilang begitu sebelumnya.”
“Ku-Kurasa begitu.”
Alasan mengapa pipi Ayase-san
terlihat agak memerah kemungkinan besar bukan karena angin dingin yang bertiup
menerpa setelah kami melangkah keluar. Terutama ketika melihat ekspresi
Narasaka-san, yang tidak bisa menyembunyikan senyum menyeringainya.
“Hmmmm? Memangnya kamu pikir, siapa yang aku bicarakan~?”
“Aku mau pulang. Sampai jumpa
besok.”
“Okieees! Sampai jumpa! Antar
dia sampai selamat di rumah, Asamura-kun! ”
Melihat bahwa Narasaka-san tahu
kapan harus menghentikan dirinya untuk tidak terus menggoda sangat menjelaskan
bahwa dia menghargai persahabatannya dengan Ayase-san. Badut kerajaan yang
bijak tahu kapan waktunya melawak tanpa membiarkan kepalanya berguling, seperti
yang mereka katakan.
“Kalau begitu, selamat
beristirahat di hari ulang tahunmu.” Aku membungkuk sedikit ke arah Narasaka-san
dan berlari menyusul Ayase-san.
“Ya ampun, yang gadis itu tahu
cuma bagiamana cara menggoda orang,” kata Ayase-san pada dirinya sendiri.
“Tapi, kamu tahu…”
Ayase-san memandang ke arahku.
“Jika kita terlihat seperti
saudara yang rukun, mungkin jarak kita saat ini sempurna?”
“Itu sih ... masuk akal, tapi
...”
Dalam perjalanan pulang,
Ayase-san masih saja terus ngedumel, mengeluh, tersipu, dan semuanya terkait
dengan percakapan yang dia lakukan dengan teman baiknya. Itu adalah lingkaran 'dasar Maaya' yang tak ada habisnya sampai
kami sampai di rumah. Di mataku, mereka berdua terlihat seperti teman yang
sangat baik. Betapa indahnya bisa memiliki teman baik, seperti yang pernah
dikatakan Muyanokouji Saneatsu. Dia adalah penulis berpengaruh dari sejarah
sastra Jepang, tetapi aku belum membaca banyak karyanya.
Namun, hal semacam itu tidak penting
sekarang, karena aku sendiri senang bahwa Ayase-san dan Narasaka-san terlihat
rukun. Ini adalah jenis kegembiraan yang kamu rasakan ketika kamu melihat
seseorang yang kamu sayangi bergaul dengan orang lain. Hal yang sama berlaku
untuk sahabat, teman baik, dan bahkan ketika melihat pasangan yang sudah
menikah. Aku memikirkan Ayahku dan Akiko-san, dan kemudian menoleh ke Ayase-san.
Mereka berdua cukup rukun sampai-sampai tidak bertengkar di hadapan anak-anak mereka sendiri.
Aku memikirkan semua
kemungkinan yang bisa terjadi di masa depan yang jauh. Namun, cowok SMA biasa
semacam diriku tidak memiliki masa depan tertentu dalam pikiran. Tubuhku secara
tidak sengaja bergidik karena dingin, dan aku mendengar daun-daun di atas kami
gemerisik karena tiupan angin.
Sebelumnya ||
Daftar isi || Selanjutnya