Gimai Seikatsu Vol.5 Chapter 07 Bahasa Indonesia

Chapter 07 — 29 Oktober (Kamis) Asamura Yuuta

 

Kira-kira seminggu telah berlalu sejak pesta ulang tahun Narasaka-san. Setelah bangun di pagi hari, aku berganti seragam dan menuju ke kamar mandi. Kami telah mencapai musim yang akan membuat kakimu bergidik kedinginan setiap kali berjalan di lantai. Syukurlah aku memiliki tekad yang cukup untuk terus berjalan, dan aku bercukur di depan cermin dan memakai lotion wajah. Setelah itu, aku menyisir rambutku supaya tetap segar. ‘Tetap segar' dalam hal ini hanya berarti menghilangkan rambut yang acak-acakan dari bekas tidur.

Sejak festival budaya, aku belajar dari Ayase-san dan menjadikannya rutinitas untuk merawat diri sendiri di pagi hari. Setelah melakukan itu untuk sementara waktu, aku menyadari kalau cuma aku satu-satunya yang tidak mengikuti perawatan kulit yang tepat.

“Aku tidak pernah membayangkan kalau itu akan menjadi milik Ayah.”

Botol biru dan transparan yang berdiri di wastafel adalah lotion wajah pria. Aku benar-benar kaget. Belum lagi benda itu sudah berdiri di sana jauh sebelum dirinya bertemu Akiko-san. Aku ingat Ia pernah bilang kalau dirinya harus berurusan dengan klien dari waktu ke waktu. Aku benar-benar tidak bisa meremehkannya. Demikian pula, aku menyadari bahwa aku sebenarnya tipe orang yang tidak peduli dengan hal-hal yang tidak berhubungan langsung denganku.

Aku mungkin harus lebih memperhatikan hal-hal di sekitarku. Atau lebih tepatnya, keinginanku untuk membangkitkan kasih sayang dari orang lain terlalu rendah sampai saat ini. Ayase-san bilang aku baik-baik saja dengan diriku yang sekarang, tapi aku tidak ingin berkompromi dengan perasaanku terhadap Ayase-san. Aku ingin bekerja lebih keras, meski itu hanya dengan kecepatan dan caraku sendiri.

Sebagai komentar dalam hal itu, sisi wastafel sekarang penuh dengan botol dan cangkir lain yang sekarang bukan hanya dari punyaku dan Ayahku, tetapi juga dari Ayase-san dan Akiko-san. Hal itu merupakan salah satu perihal yang membuatku menyadari bahwa keluargaku telah tumbuh. Ketika ada dua orang lagi yang tinggal bersamamu, jumlah objek di sekitarmu akan bertambah sama. Terlebih lagi karena bukan hanya dua pria saja yang tinggal di sini. Melihat semua barang kosmetik yang belum pernah aku dengar membuatku tercengang. Apalagi, menurut Ayase-san, dia bahkan tidak menyimpan sebagian besar produk makeup dan perawatan kulitnya di kamar mandi. Sejujurnya, apa lagi yang bisa mereka gunakan?

Setelah kami selesai sarapan, Ayase-san meninggalkan rumah duluan, dan aku mengikuti setelahnya, meninggalkan jarak yang cukup jauh di antara kami. Aku mengayuh sepedaku menerobos Shibuya. Waktu sekarang adalah masa-masa dimana ketika angin bertiup ke arahku sudah tidak terasa nyaman dan menenangkan lagi. Sebaliknya, rasanya cukup dingin. Satu bulan lagi dan angin sepoi-sepoi itu akan berubah menjadi angin yang membekukan. Aku memarkir sepedaku di tempat biasa, tiba di ruang kelasku tepat lima menit sebelum jam pelajaran dimulai. Aku mulai mempersiapkan materi belajarku. Maru baru masuk ke dalam kelas, mungkin setelah menyelesaikan latihan paginya, dan duduk di kursi di depanku.

“Pagi, Maru. Selesai dengan latihan pagimu?”

“Ya. Yah, masih latihan seperti biasa, bukan masalah besar.”

“Wokee.”

“Kamu akan terbiasa. Anggap saja sebagai pelatihan khusus. Jika kamu menggunakan sesuatu setiap hari, kamu akan berhenti mempedulikannya.”

Cara bicaranya mengucapkan kata-kata tersebut terdengar sedikit sugestif, tetapi bukankah membiasakan diri dengan pelatihan reguler sedemikian rupa cukup luar biasa? Beberapa saat kemudian, wali kelas kami masuk ke ruangan kelas, dan jam wali kelas pagi kami dimulai. Namun, sesuatu yang tidak biasa terjadi. Yaitu, guru membagikan salinan dokumen.

'Mencari Relawan.' Tertulis di bagian atas. Aku dengan cepat memindai dokumen. Sepertinya mereka mencari orang untuk membantu mengumpulkan sampah pada pagi hari setelah Halloween.

“Shibuya terkenal dengan malam Halloweennya, tapi sampah di pagi hari setelahnya sangat mengerikan,” bisik Maru dengan suara pelan, dan aku mengangguk.

Aku sudah mendengar tentang itu selama bertahun-tahun sekarang. Aku senang kotaku mendapatkan perhatian yang layak, tetapi aku tidak suka distrik itu berakhir seperti tempat pembuangan sampah. Dan jika itu belum cukup buruk, gagak yang malang akan mulai memakan apa saja yang bisa mereka dapatkan, dan tikus-tikus akan berpatroli di jalan-jalan. Tikus yang besar dan bulat juga. Apalagi baunya…

“Shibuya adalah salah satu kota penting di Jepang, tapi setelah malam berpesta seperti itu, jujur ​​saja, itu pemandangan yang menyedihkan, kata Maru.

“Apa kamu pernah melihatnya?” tanyaku.

“Selama latihan pagi.”

Ia dan rekan satu timnya tampaknya telah melewati Shibuya selama rute jogging mereka, itulah sebabnya Maru pernah melihat Shibuya pagi sebelumnya. Ia bahkan sampai mengerutkan alisnya, jadi itu pasti pemandangan yang menyedihkan. Wali kelas kami akhirnya meninggalkan kelas setelah mendesak semua orang yang tertarik untuk ikut berpartisipasi.

“Kegiatan ini pasti dilakukan pagi-pagi. Bagaimana menurutmu?” Aku bertanya kepada Maru.

“Kenapa aku harus membersihkan  kekacauan orang lain?”

“Yah, kurasa itu masuk akal.”

Peristiwa tunggal ini merampas hampir semua kegembiraanku untuk malam Halloween yang akan datang dalam hitungan menit.

 

◇◇◇◇

 

Hari ini adalah hari lain di sekolah les. Sejak kursus musim panasku, aku secara teratur menghadiri sekolah les. Berkat itu, dan sebagai hasil dari usahaku yang berkelanjutan, nilaiku naik sedikit sejak musim semi lalu. Aku juga merasa motivasiku untuk belajar semakin meningkat. Belum lama ini, aku baru saja belajar tanpa tujuan tertentu kecuali masuk ke universitas bergengsi, tapi sekarang aku memiliki sesuatu yang ingin kucapai. Masuk ke universitas terkenal bukanlah tujuan akhir, hal itu hanyalah sarana untuk mencapai tujuan yang aku pikirkan—pekerjaanku. Aku ingin masuk ke perusahaan yang menggaji cukup baik untuk bisa mengamankan masa depanku yang menyenangkan.

Demi mencapai tujuan itu, aku perlu memperoleh pengetahuan dan keterampilan akademik yang diperlukan untuk masuk perguruan tinggi bergengsi di tingkat nasional. Aku tidak dipaksa melakukan ini oleh siapa pun, aku juga tidak bekerja untuk mencapai tujuan ini dengan seseorang. Itu adalah tujuan yang aku buat untuk diriku sendiri. Aku bahkan belum memberi tahu Ayase-san. Atau lebih tepatnya, kurasa aku tidak bisa memberitahunya.

Lagipula, beginilah caraku untuk mencoba menebusnya. Untuk menebus fakta bahwa, meski menerima makanan yang lezat dari Ayase-san setiap hari, aku tidak memenuhi tawaranku. Aku tidak bisa menemukan kerja sambilan yang dibayar dengan baik dan menguntungkan tapi tidak mencuri terlalu banyak waktunya. Aku tidak dapat menemukan pekerjaan yang memungkinkannya untuk menjadi mandiri dari kami, tapi aku setidaknya dapat mencoba untuk mendapatkan kemampuan untuk menyediakannya sambil memberinya cukup ruang bernapas untuk tidak memaksanya menjadi ketergantungan. Aku khawatir, jika aku memberitahu dia tentang rencanaku, itu akan membuatnya merasa seperti dia berutang sesuatu padaku karena aku akan berusaha keras untuk membantunya. Tidak membantunya secara langsung, tetapi dengan cara yang memberi lebih banyak pekerjaan di bagianku, itulah sebabnya aku memilih untuk tetap diam tentang hal ini.

Saat aku mencapai gedung sekolah lesku, aku menerima pesan LINE dari Ayase-san sendiri.

'Kalau kamu sudah selesai, bisakah kita berbelanja di supermarket? Aku ingin membeli bahan-bahan untuk sarapan besok.'

Aku tidak keberatan dengan itu, jadi aku memberitahunya kapan waktu lesku  akan berakhir, dan kami memutuskan untuk bertemu di depan sekolah les setelah aku selesai. Yup, aku sangat menantikannya. Dengan penuh kegembiraan, aku membuka pintu kelas, dan mataku melihat seorang gadis jangkung yang familiar—Fujinami-san. Kursi di sebelahnya sepertinya sedang kosong, jadi aku menyapanya dan duduk.

Pelajaran les biasanya dimulai dari pukul 18:30 hingga 21:30. Namun, karena aku hanya memilih dua dari tiga slot, slotku akan berakhir setelah dua jam, yaitu pada pukul 20:20. Dan sepuluh menit kemudian, aku akan menemui Ayase-san. Selama kelas dan istirahat, Fujinami-san dan aku hampir tidak berbicara satu sama lain, tapi begitu tiba waktunya bagiku untuk berkemas, dia tiba-tiba memanggilku.

“Kamu sedikit berubah, ya?”

Sementara aku meletakkan pensil dan buku latihan yang telah kugunakan kembali ke dalam tasku, aku melirik ke arah Fujinami-san.

“Benarkah?”

“Ya. Apa kamu dapat pacar?”

“Pacar…? Tidak juga, aku bahkan tidak yakin bagaimana harus menjelaskannya.”

“Begitu ya. Selamat.”

“Kamu menerimanya dengan mudah, ya? Padahal aku sengaja untuk membuatnya terdengar ambigu.”

“Aku pikir kamu pasti punya alasan untuk melakukannya.” Fujinami-san melepas kacamatanya, menyekanya dengan kain mikrofiber di tangannya yang lain. “Jika hubunganmu dengan orang yang kamu sukai berkembang dengan cara yang menguntungkan, lalu entah  itu sebagai pacar, FWB, atau semacamnya, secara pribadi aku berpendapat bahwa itu adalah hasil yang menguntungkan.”

“Itu semua berkatmu karena sudah memberiku dorongan, Fujinami-san. Aku sangat berterima kasih atas apa yang sudah kamu lakukan.”

“Aku senang bisa membantu. Meski begitu, apa kamu yakin bisa bersikap ramah seperti ini dengan gadis lain?” Dia tersenyum dan berbicara dengan nada menggoda.

“Umm…Aku selalu menganggapmu sebagai teman, jadi…”

“Begitu rupanya. Jadi kita sudah berteman, ya? Kalau begitu tidak ada masalah.”

Aku senang dia setuju denganku. Dan ketika aku sedang berbicara dengannya, aku mengingat perkara lain.

“Aku baru ingat, kamu cukup mengenal daerah Shibuya, bukan?”

Aku telah tinggal dekat dengan pusat kota dan daerah sekitarnya selama bertahun-tahun sekarang, jadi bukan seperti aku seorang turis yang hampir tidak tahu jalan di sekitar Shibuya, tetapi aku juga tidak memiliki banyak pengalaman hanya berjalan-jalan di sekitar kota atau menikmati kehidupan malam seperti Fujinami-san. Hal paling banter yang kuketahui hanyalah lokasi toko buku yang berbeda sampai aku bisa menggambar peta, tapi itu saja.

“Aku membayangkan kamu mendapat informasi yang baik tentang Shibuya selama Halloween.”

“Ya, bisa dibilang begitu.”

“Apa kamu biasanya memeriksanya?”

“Ya. Aku cukup menikmati suasananya dan berpesta.”

Ketika aku mendengar itu, aku sedikit terkejut. Dia tidak tampak seperti tipe orang yang suka berpesta.

“Aku tidak menyangkanya.” balasku.

“Benarkah? Secara pribadi aku merasa, selama masa itu, rasanya sangat mengejutkan melihat betapa rendahnya orang bisa jatuh dalam hal kecerdasan dan rasionalitas, hal itu membuatku berpikir bahwa manusia tidak apa-apa bahkan jika mereka putus asa.” Fujinami-san menyelesaikan komentarnya dengan senyum kuno.

Itu kebalikan dari senyum Maru ketika Ia berbicara menentang seluruh gagasan berpesta, tetapi juga merasa seperti bagian dari alasan yang sama.

“Tidak apa-apa jika mereka putus asa, ya?”

“Ya. Lagipula, kita tidak jauh berbeda dengan monyet.”

“Jadi kamu tipe orang yang biasanya punya ekspektasi lebih tinggi dari orang lain?”

Fujinami-san mengedipkan matanya padaku dengan bingung. Kurasa aku mengatakan sesuatu yang mengejutkan.

“Apa… benar begitu?”

“Kamu mengharapkan sesuatu dari orang-orang di sekitarmu, itulah sebabnya kamu merasa kecewa. Ketika kamu mendapati diri kamu berharap terlalu banyak, kamu lalu menegur diri sendiri untuk menjaga keseimbangan.”

“Begitu ya… aku bahkan tidak pernah memikirkannya seperti itu sebelumnya.”

Aku merasa smartphone-ku bergetar di dalam tasku, jadi aku segera mengambilnya untuk memeriksa layar. Aku menerima pesan dari Ayase-san.

'Aku sudah sampai.'

Aku memasukkan smartphone-ku kembali ke kantong dan menyampirkan tasku di bahu. Ini cuma perjalanan belanja, sesuatu yang sulit dibilang sebagai “kencan,” namun begitu menyangkut menghabiskan waktu bersama Ayase-san, memilikinya di sisiku — hanya itu saja sudah membuat hatiku berdebar kencang.

“Apa itu dari gadis yang pernah kamu sebutkan?”

“Yep, dia menunggu di luar, dan… Oh, kurasa melihat smartphone-ku saat kita sedang berbicara merupakan tindakan kurang sopan, maaf.”

“Aku tidak merasa terganggu dengan hal semacam itu, jadi jangan khawatir.”

Jawaban itu sangat sesuai dengan karakternya. Cara dirinya tidak bermaksud memaksa orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan hal-hal tertentu saat berada di dekatnya agak mirip dengan Ayase-san.

“Aku akan keluar sekarang.”

“Ya, sampai jumpa.”

“Sampai nanti.” Fujinami-san melambaikan tangannya dan dia meninggalkan ruang kelas.

Saat itu, bel berbunyi, menandakan dimulainya giliran pelajaran ketiga hari ini. Aku menggunakan ini sebagai sinyalku untuk bergegas keluar dari ruangan. Ketika aku melangkah keluar dari gedung, aku melihat bahwa langit sudah menjadi gelap. Sedikit jauh dari pintu masuk, aku bisa melihat bayangan Ayase-san berdiri di bawah lampu jalan. Berkat cahaya yang menyinari rambutnya yang cerah dan wajahnya, aku bisa dengan mudah menemukannya dari kejauhan. Tatapan kami bertemu dan dia menunjukkan senyum tipis. Meski baru setengah hari, rasanya sudah lama sekali kami tidak bertemu.

“Apa kamu sudah menunggu dari tadi?” Aku mendekatinya dengan pertanyaan itu.

“Aku baru saja sampai,” balasnya sambil menggelengkan kepalanya.

Dia sudah mengganti seragamnya menjadi pakaian kasual dengan kardigan di atasnya. Mempertimbangkan waktu, dia kemungkinan besar sudah pulang duluan untuk berganti pakaian menjadi sesuatu yang lebih nyaman sebelum dia datang ke sini. Ini cuma perjalanan belanja sederhana, tetapi dia tidak menunjukkan pembukaan apa pun. Sebaliknya, aku, jelas, masih mengenakan seragamku, jadi aku merasa agak malu untuk berjalan di sampingnya. Sesuai rencana, kami mampir ke supermarket dalam perjalanan pulang.

Aku tidak pernah menaruh banyak perhatian sampai saat ini, tapi seluruh dunia tampak seperti sedang mempersiapkan suasana Halloween yang akan datang. Tepat setelah memasuki supermarket, aku melihat banyak rak penuh dengan manisan musiman.

“Semua pernak-pernik Halloween ini menyakiti mataku,” kataku dengan senyum masam, yang membuat Ayase-san berpikir sejenak.

“Karena semua benda berwarna oranye di sekitar kita?”

“Tepat sekali.”

Bahkan semua bungkusan diwarnai dengan warna orange cerah. Ini adalah warna labu Barat yang familiar. Awalnya tidak demikian; lentera dari Jack berwarna putih. Namun, ketika melakukan perjalanan keliling dunia dan mencapai Amerika, itu berubah menjadi gambar labu. Tidak butuh waktu lama untuk gambar ini sampai ke pulau terlindung tempat kita tinggal. Bahkan ember yang berisi cemilan itu berbentuk seperti labu. Mataku mulai sakit karena warna cerah di sekitarku.

“Area khusus department store juga sama,” kata Ayase-san.

“Ohhh, kamu benar. Aku melihatnya saat kita membeli hadiah untuk Narasaka-san.”

“Itu juga, tapi mereka memasang lampu di sekitar kota.”

Sekarang aku memikirkannya, salah satu sudut kawasan bisnis bahkan tampak seperti festival Tanabata dengan berapa banyak barang-barang Halloween yang aku lihat.

“Sekarang setelah kamu mengungkitnya, ya.”

“Tapi meski pada akhirnya musim ini akan berakhir, kita akan disambut oleh perayaan yang lain.”

Aku mengangguk menanggapi pernyataan Ayase-san. Setelah acara ini selesai, mereka akan berhenti menjual barang-barang ini keesokan harinya. Dan hal berikutnya yang akan mengisi semua rak ini adalah barang-barang Natal. Mereka mati-matian untuk membuat kita bersemangat secepat mungkin.

“Yah, setidaknya barang-barang Natal ada warna hijau di dalamnya, jadi jauh lebih sedap untuk dipandang.”

“Kamu memiliki pandangan paling lucu tentang acara semacam ini, Asamura-kun.”

“Oh, menurutmu begitu?”

“Aku belum pernah melihat seseorang menilai hari libur dari komposisi warna area penjualan.”

Atau bisa dibilang kalau aku terganggu oleh apa pun yang orang tidak pedulikan. Ayase-san dan aku melewati rak untuk membeli barang-barang terbatas dan mulai berbelanja secara nyata. Tata letak umumnya hampir sama di setiap supermarket, tetapi urutan yang dilakukan pelanggan benar-benar menunjukkan kepribadian mereka. Ini adalah sistem yang sama yang aku saksikan saat bekerja di toko buku. Dan bahkan jika perusahaan membuat jalur umum yang harus diambil pelanggan, pasti selalu ada pengecualian.

“Apa kita masih punya semua barang habis pakai di rumah?” Ayase-san bertanya padaku saat aku meletakkan keranjang di dalam kereta belanja.

Karena aku sudah berbelanja dengannya berkali-kali, aku menyadari bahwa dia suka membuat rute sejak awal, kemungkinan besar untuk menjaga efisiensi secara maksimal. Sangat cocok dengan kepribadiannya untuk mengambil rute tercepat ke gawang. Hal itu sama ketika kami pergi berbelanja pakaian. Dia sepertinya segera mulai memutuskan rute yang sempurna di dalam kepalanya. Dia tahu persis ke mana dia ingin pergi tanpa ragu-ragu.

“Hmm… apapun yang mungkin kita butuhkan…” Aku menelusuri ingatanku untuk memeriksa apa saja yang mungkin perlu kami beli.

Kami masih punya banyak tisu toilet dan tisu kotak. Kami juga punya lebih dari cukup kantong plastik sampah di rumah jika aku ingat dengan benar. Kami juga masih memiliki beberapa jenis deterjen dan kondisioner kain yang tersisa. Ayase-san angkat bicara sebelum aku sempat.

“Kurasa kita masih punya semuanya.”

“Sejauh yang aku ingat, kita seharusnya baik-baik saja.”

Setidaknya selama beberapa hari terakhir, aku tidak ingat melewatkan apa pun ... Begitu ya, aku kira aku harus membuat catatan untuk situasi seperti ini. Agak merepotkan untuk berjalan-jalan dengan selembar kertas di tanganku, tetapi aku bisa membuat catatan di smartphone-ku.

“Untuk bumbunya… Ah, kita mungkin butuh arak beras manis. Aku pikir kita memiliki beberapa lada yang tersisa, tetapi tidak lada giling,” kata Ayase-san.

“Kurasa kita bisa membeli beberapa.”

“Dipahami.” Dia berkata dan berjalan ke depan. Aku mendorong kereta belanja untuk mengejarnya.

Kami berjalan melewati bagian sayur, dengan Ayase-san memeriksa harga semuanya saat kami lewat. Dia berkomentar tentang betapa murahnya sesuatu, bergumam tentang harga produk lain, dan bahkan membandingkan lobak dan kubis satu sama lain.

“Sayuran hijau agak mahal kalau bukan musimnya.”

“Oh begitu.”

Aku mengerti apa yang dia maksud, tetapi aku tidak terlalu memperhatikan harganya untuk mengetahui kapan sesuatu lebih mahal atau tidak.

“Kira-kira harganya naik 20 yen lebih mahal dari kemarin.”

“Aku terkejut kamu mengingatnya.”

“Benarkah? Aku pikir ini wajar-wajar saja. ”

Sekali lagi, aku harus mengagumi Ayase-san. Aku tidak ingat berapa harganya kemarin, aku juga tidak repot-repot memeriksa harga sayuran setiap hari. Kami bergerak melewati sayuran begitu dia selesai memeriksa semua harga, dan kami pindah ke bagian daging. Aku bisa melihat ayam, babi, sapi, dan sebagainya. Di luar itu, aku bisa melihat rak ikan, dan meski Ayase-san melihat-lihat semua harga, dia tidak mengambilnya satu pun.

“Apa kita tidak membeli sesuatu hari ini?”

“Aku belum memutuskan menunya dulu. Jika aku berbelanja sendirian, aku akan membeli cukup untuk dibawa sendiri, tetapi karena ada kamu, kupikir aku bisa membeli lebih banyak di muka.”

Jadi jangkauan pilihannya telah meluas karena dia memiliki dua tangan lagi yang dapat membantu membawa segalanya?

“Oke, beri tahu aku apa yang harus dibawa.”

“Tapi, itu mungkin bisa jadi sedikit berat, tau.”

“Kamu selalu melakukan begitu banyak untukku, jadi hanya segini saja tidak masalah. Tinggal beritahu saja. Aku akan selalu ada di sini untuk membantu.” Aku memberitahunya.

Dia menjawab dengan tenang “Makasih.”

Dari ekspresinya, sepertinya dia sedikit tersipu, yang membuatku berhenti dan berpikir. Bahkan jika hanya pergi berbelanja seperti ini saat kami saling bertukar pendapat, hal semacam ini tidak terasa terlalu buruk.

“Oke, aku sudah memutuskan apa yang aku butuhkan. Aku membutuhkan beberapa potong ayam dan bungkus sayuran. Tapi sebelum itu, kita harus membeli bumbu dulu.”

“Siap.”

Aku pikir itu arak beras manis dan lada hitam, kan? Tunggu, di mana tempat arak berasnya?

“Di sebelah sana. Kamu bisa melihat label kecap dan saus lainnya.”

Aku menggerakkan kakiku ke arah yang dia tunjuk. Setelah mengambil arak beras manis yang dimaksud dan memasukkannya ke dalam kereta belanja, Ayase-san tiba-tiba mengembalikannya ke tempatnya dan mengambil botol yang lebih besar tepat di bawah.

“Apa yang itu lebih baik?”

“Ya, kupikir aku terlalu sering menggunakannya akhir-akhir ini, jadi kurasa sekalian saja membeli botol yang lebih besar."

“Begitu… Ya, itu masuk akal. Kamu cuma menggunakan setengah dari jumlah itu sebelum kamu pindah bersama kami.”

“Aku masih berbelanja dengan intuisi seperti itu, jadi aku benar-benar harus membiasakannya sekarang.” Ayase-san tersenyum masam.

“Oke, selanjutnya adalah lada hitam.”

Di balik rak penjualan ini ada barang-barang seperti garam, gula, dan merica. Aku melihat lada hitam di rak tertinggi dan memasukkannya ke dalam kereta belanja setelah mendapat izin dari Ayase-san. Kami berjalan kembali ke lorong daging, dan Ayase-san memasukkan ayam dan sayuran ke dalam kereta belanja. Saat kami berjalan ke kasir, Ayase-san tiba-tiba menghentikan langkahnya.

“Ini cukup murah, ya?”

“Hm? Labu?”

“Ya. Kupikir aku mungkin akan membelinya juga. ”

Di dekat kasir ada etalase khusus untuk segala macam barang tentang Halloween. Tapi kebanyakan labu. Tanda itu bahkan berbunyi “Dijual”, tetapi mereka semua adalah jenis labu Jepang hijau, tanpa adanya kesan Halloween sama sekali.

“Kalau satu buah penuh, mungkin terlalu banyak, tapi jika kita memotongnya menjadi dua, kita mungkin bisa memakan semuanya… Apa kamu bisa membawanya?”

Aku mengambil salah satu labu setengah potong yang dia sebutkan. Itu tidak terlalu ringan, tetapi bukannya mustahil untuk dibawa.

“Seharusnya baik-baik saja. Aku juga membawa keranjang sepeda untuk membantuku.”

Kami mengantre di kasir, mendapat poin belanja dengan aplikasi, dan menyelesaikan pembayaran. Begitu kami meninggalkan gedung supermarket, kami disambut oleh gelapnya malam. Saat kami berjalan melalui pusat Shibuya dalam perjalanan pulang, kami bahkan melihat sekelompok orang berkostum. Padahal masih ada dua hari tersisa sampai hari perayaan yang sebenarnya, jadi aku agak khawatir kalau mereka terlalu cepat. Menjadi kegirangan sih itu tidak masalah, tapi jangan memblokir trotoar juga karena itu tidak peka terhadap orang-orang di sekitar mereka. Aku mendorong sepedaku dengan keranjang penuh belanjaan di sini, memangnya kalian tidak bisa melihatnya?

 

◇◇◇◇

 

Pada saat kami tiba di rumah, waktunya sudah jam 9 malam.

“Makanan untuk malam ini sudah selesai, aku hanya perlu menghangatkannya,” kata Ayase-san.

“Terima kasih, tapi aku bisa melakukannya sendiri. Aku tidak ingin menyita terlalu banyak waktu belajarmu.”

“Jangan terlalu dipikirkan. Aku bisa belajar sambil memasak,” katanya dan mengeluarkan buku kosa kata bahasa Inggris kecil dari sakunya, tampak bangga pada dirinya sendiri.

Aku takkan menyebutnya sebagai senyuman, tapi aku bisa melihat perubahan kecil dalam ekspresinya yang memberinya kesan kekanak-kanakan. Perbedaan dari sikapnya yang biasa ini hampir membuatku tersenyum sendiri. Aku tidak ingin bersikap kasar dengan berpikir kalau dirinya terlihat imut jika seperti itu, jadi aku membuka pintu kulkas dan menyimpan semua produk segar yang telah kami beli. Ayase-san mulai menghangatkan makan malam kami di microwave dan aroma yang menggiurkan melayang ke arahku.

“Baunya enak sekali. Apa itu?”

“Ayam teriyaki. Tunggu sebentar.”

Karena dia tidak mengizinkanku untuk membantu menghangatkan sup miso yang sarat sayuran, aku malah memilih untuk mencuci piring yang menunggu di wastafel. Sepertinya Ayahku dan Ayase-san sudah makan, yang mana hal itu menjelaskan dari mana hidangan tersebut berasal.

“Ah.”

“Hm? Apa ada yang salah?”

Ayase-san menatap tanganku yang penuh busa sabun.

“Kamu bisa membiarkanku mencuci piring.”

“Ayolah, kamu tidak harus melakukan semuanya. Tidak ada lagi yang bisa aku berikan kembali, jadi setidaknya biarkan aku melakukan ini. ”

“Tidak ada yang bisa kamu berikan kembali, ya? Itu tidak benar, kok.”

“Apa maksudmu?”

“Memangnya kamu pikir aku tidak menyadarinya? Kamu diam-diam mencoba membantu keuangan rumah tangga kita, ‘kan? ”

“Ap—…?”

Kurasa dia bukan asal tebak, ya? Aku benar-benar tidak menyangka kalau dia bisa memahamiku dengan  mudah.

“Yah, kamu tidak berhasil menemukan pekerjaan sambilan yang menguntungkan, jadi kamu mungkin mencoba membantuku dan orang tua kita  dengan cara yang berbeda. Alasan kenapa kamu lebih sering menghadiri sekolah les mungkin karena kamu memikirkan masa depan dan menginvestasikan lebih banyak waktu sekarang. Sepertinya kamu ingin memanfaatkan uang yang telah dibayarkan untuk sekolah les sebaik mungkin.”

“Luar biasa ... Kamu benar-benar bisa menebak niatku.”

“Mempertimbangkan waktu ketika kamu memutuskan untuk mengambil lebih banyak jadwal, kurasa itu masuk akal. Apalagi……” Dia menuangkan sup miso ke dalam mangkuk kecil, menyesap untuk memeriksa suhu sebelum melanjutkan. “—Aku selalu memikirkanmu, Asamura-kun. Tentu saja aku akan memperhatikan hal semacam itu.”

“…!”

Aku tiba-tiba mulai berkeringat deras. Pasti karena microwave dan pemanas yang menyala. Walaupun air dari wastafel terus-menerus memercik ke pergelangan tanganku, rasanya tubuhku takkan mendingin dalam waktu dekat. Aku berulang kali menegur diriku untuk fokus mencuci piring, yang hampir tidak memungkinkanku untuk tetap tenang. Aku memeriksa ekspresi Ayase-san dari sudut mataku, tapi dia menundukkan kepalanya ke bawah, tidak mengizinkanku untuk mengetahui bagaimana perasaannya.

Aku mendengar pintu terbuka tepat saat suasana canggung mulai meliputi di antara kami berdua, dan itu membuatku tersentak ke atas karena terkejut. Ayahku muncul di dapur, mengambil sepotong ayam. Ia memasukkannya ke mulut sambil tersenyum. “Lezat!” katanya dan menghilang ke kamar mandi. Apa Ia mengabaikan giginya yang sudah disikat untuk mencicipi sepotong lagi? Astaga, aku terlalu terkejut bahkan untuk menegurnya karena itu.

Hidangan makan malamku yang terlambat terdiri dari sup miso, nasi putih, dan beberapa ayam teriyaki yang lezat untuk hidangan utama. Untuk saladnya, aku taruh beberapa irisan selada yang lebih besar di pinggiran piringku. Memakannya bersama ayam itu cukup enak. Setelah aku selesai makan malam, aku menghabiskan waktu untuk bersantai. Aku membiarkan perutku beristirahat dengan mencuci makanan dengan teh dan bertukar kata dengan Ayase-san, yang duduk di seberang meja.

Saat ini, kami sedang mendiskusikan gerombolan orang berkostum yang kami temui dalam perjalanan pulang. Lebih khususnya, sentimen kami tentang seluruh cobaan, mengingat itu bahkan belum Halloween. Dan bgaimana kami berdua meratapi nasib karena kami memiliki jadwal shift pada tanggal 31.

“Aku tidak pernah keluar selama Halloween, jadi aku benar-benar melupakannya.” kata Ayase-san.

Aku mengangguk sebagai jawaban. “Aku yakin di mana-mana pasti akan ramai. Mereka akan menggila karena suasana.”

“Pasti ada orang yang akan berbelanja di toko buku kita sambil mengenakan kostum.”

“Meski begitu, pekerjaan kita tidak berubah. Yah, kita mungkin akan mendapatkan jumpscare beberapa kali. Dengan kostum zombie atau mumi… Ayase-san, apa kamu tidak suka dengan hal-hal yang menakutkan?”

“…Aku memang tidak menyukainya,” katanya. “Tapi ... jika aku bersamamu, aku akan baik-baik saja.”

Mungkin, mendapatkan jadwal shift yang sama pada hari itu bukanlah hal yang buruk.

 

 

Sebelumnya  ||  Daftar isi  ||  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama