Gimai Seikatsu Vol.5 Chapter 08 Bahasa Indonesia

Chapter 08 — 29 Oktober (Kamis) Ayase Saki

 

Hanya tersisa dua hari lagi sampai hari Halloween tiba. Hal pertama di pagi hari, aku menerima dokumen dari wali kelas kami.

'Mencari Relawan.'

Itulah yang tertulis di bagian atas. Mereka mencari sukarelawan untuk membantu membersihkan jalanan kota setelah hari perayaan Halloween. Kerumunan besar menciptakan jumlah sampah yang lebih besar, atau begitulah kata guruku. Itu mengingatkanku, aku mengobrol dengan Yomiuri-senpai tentang Halloween sekitar seminggu yang lalu. Dia bilang kalau kami mungkin juga mengenakan kostum, mengingat mumpung ada kesempatan. Dia bahkan berbicara tentang telinga kucing yang akan menambahkan jumlah imutan dalam kostum, yang membuatku berpikir sejenak.

Persenjataanku tidak dirancang untuk meningkatkan sisi keimutanku. Berdandan dan terlihat imut mungkin memiliki benang yang serupa, tapi jelas bukan hal yang sama. Satu-satunya alasanku tidak pernah memikirkannya lebih jauh sampai saat ini adalah karena aku belum menemukan siapa pun yang membuatku ingin terlihat imut di hadapannya. Sebenarnya… sebelum aku lulus SD,kurasa aku selalu merasa senang setiap kali Ibu memanggilku imut. Namun, aku tidak berpikir kalau aku salah mengertikan maksud dari kata itu. Kupikir aku tidak masalah dengan 'tampan', 'cantik', 'bergaya', atau segala sesuatu yang serupa dengan kalimat pujian itu. Daripada arti kata yang akurat, selama anak kecil memahaminya sebagai penegasan dari orang tua mereka, mereka akan senang mengenai segalanya.

Namun, ayahku berbeda. Setiap kali aku mengenakan baju yang Ibu pilihkan untukku dan menerima pujian darinya, Ayahku tidak menyukainya. Semakin aku dipuji karena penampilanku, semakin bagus nilaiku naik, semakin banyak orang di sekitarku memikirkanku, dan semakin sedikit Ayahku memberi perhatian serta menghargai keberadaanku.

“Kamu mirip sama seperti dia, membuatku menderita.”

Ia terus menggumamkan kutukan tersebut pelan-pelan, yang mungkin membuatku merasa sangat kesal dan bingung ketika menyangkut kata 'imut.' Tapi meski begitu, aku terus memilih pakaianku dengan hati-hati dan menjaga penampilanku. Semua itu supaya aku sama sekali tidak menunjukkan kelemahan di mata dunia yang ada di sekitarku. Bukan untuk menarik perhatian dan minat. Namun—

“Sakiii!”

Suara Maaya membuatku mengangkat kepalaku. Sepertinya jam wali kelas pagi sudah berakhir saat aku melamun, dan Maaya sekarang berdiri di depanku.

“Maaya, jam pelajaran akan segera dimulai, tau.” Aku bilang.

“Heh, heh, heh. Trick or treat! Beri aku permen!”

“Ya, ya, kamu bebas menjahiliku sesukamu, aku takkan memberimu apa pun.”

Senyum polos Maaya dengan cepat berubah menjadi seringai yang tidak menyenangkan.

“Kalau begitu… kamu harus berdandan sebagai maid yang memakai telinga kucing, menyanyikan lagu-lagu idola saat kita berada di ruang karaoke lain kali!”

“Aku juga tidak mau melakukan itu.”

Dan juga, itu bukan tingkah jahil lagi. Kamu cuma menggunakanku untuk memuaskan keinginanmu sendiri, bukan?

“Yah, kesampingkan candaan tadi, hari Halloween terjadi pada hari Sabtu tahun ini, ‘kan?”

“Sepertinya begitu.”

“Kami sedang berpikir untuk mengadakan pesta karaoke pada hari Sabtu itu.”

“Aku tidak bisa ikut. Aku punya kerja sambilan.”

“Antara persahabatan dan uang, mana yang lebih penting?!”

“Uang.”

Sungguh pertanyaan yang bodoh. Pekerjaan ya pekerjaan. Mana mungkin aku bilang  tidak.

“Masuk akal,” gerutu Maaya.

“Memang.”

“Hm, oke. Semoga beruntung dengan itu. Aku akan memberi tahu semua orang.”

“Semua orang?”

Siapa yang dia bicarakan?

“Dari kelas kita? Kamu membantu persiapan festival budaya ‘kan, ingat? ”

“Ahhh… kurasa aku memang membantu.”

Kupikir kalau tugas itu akan jauh lebih baik daripada dipaksa bekerja sebagai pelayan selama festival yang sebenarnya, cuma itu saja.

“Kamu membantu di belakang layar tanpa mengeluh sekali pun, jadi semua orang cukup berterima kasih.”

“Tidak usah, aku cuma melakukan apa yang ditugaskan padaku.”

Aku bahkan tidak tahu kalau aku melakukan sesuatu yang bisa menuntut rasa terima kasih. Tapi sekarang kalau dipikir-pikir, itu berarti semua orang benar-benar ingin bekerja sebagai pelayan. Mengenakan pakaian yang mencolok dan berenda, mengatakan kalimat  seperti 'Selamat datang kembali, goshujin-sama, meong!'... Kamu bercanda, ‘kan? Tapi soal itu, teman Asamura-kun… Maru-kun, ‘kan? Ia rupanya telah mengunjungi semua kafe berbeda yang ditawarkan festival itu. Mungkin anak cowok benar-benar berpikir kalau baju semacam itu terlihat imut? Kira-kira apa Asamura-kun juga akan memanggilku imut jika aku memakai itu di depannya?

“Dan sekarang kamu memikirkan Asamura-kun lagi, ya?”

“Ap ... kamu ini ngomong apaan, sih?”

Maaya tidak memberiku tanggapan apa pun. Dia cuma kembali ke tempat duduknya sembari menyeringai lebar di wajahnya. Akhir-akhir ini, rasanya dia benar-benar bisa membaca pikiranku.

 

◇◇◇◇

 

Jam pelajaran berakhir untuk hari ini, dan karena aku tidak memiliki pekerjaan sambilan yang perlu dikhawatirkan hari ini, aku segera pulang ke rumah untuk mengerjakan studiku. Setelah aku membuat beberapa kemajuan dalam belajarku, aku ingat bahwa Asamura-kun punya jadwal les di sekolah lesnya hari ini. Ia menyebutkan seorang gadis yang dikenalnya di sana, dan bilang kalau mereka bergaul dengan cukup baik. Apa Ia biasanya duduk di sebelah gadis itu saat mereka mengambil les bersama?

Aku merasakan dorongan tiba-tiba untuk melihat Asamura-kun secepat mungkin. Maksudku… gadis itu bisa melihat wajahnya sepanjang waktu… Ahh, emosi ini sungguh menyedihkan. Aku bisa menebak mengapa Asamura-kun tiba-tiba begitu bersemangat tentang sekolah les. Aku seharusnya tidak memiliki perasaan yang bertentangan tentang hal itu. Itu sangat kasar.

Sebagai gantinya aku memasak untuknya setiap hari, Ia akan mencarikan pekerjaan sambilan yang menguntungkan bagiku—itu adalah kontrak awal kami, janji kami satu sama lain. Secara pribadi aku menganggap kalau kontrak itu tidak valid pada saat ini, tapi mengingat sifat Asamura-kun, Ia tidak menerima hasil tersebut begitu saja. Ia mencoba membalas balik kepadaku untuk masakan yang aku lakukan untuknya setiap hari. Dalam konteks itu, jelas sekali alasan mengapa Ia mengambil lebih banyak jadwal les di sekolah lesnya sekitar akhir liburan musim panas adalah karena Ia bekerja lebih keras dengan memikirkan masa depan, dan semua ini sebagai bagian dari tujuannya untuk membalas budi padaku dengan kepercayaan dan rasa terima kasih.

Faktanya, nilai Asamura-kun semakin baik. Hal itu saja menunjukkan bahwa dirinya tidak hanya bermain-main dengan gadis yang Ia temui dan malah rajin dengan belajarnya. Namun, meski kepalaku mungkin memahami logika ini dan benar-benar tidak masalah dengan itu, tapi hatiku tidak mau mendengarkan. Sebaliknya, hatiku diliputi dengan perasaan tidak pasti dan tidak aman. Aku segera membuka  aplikasi LINE dan mengiriminya pesan.

'Kalau kamu sudah selesai, bisakah kita berbelanja di supermarket? Aku ingin membeli bahan-bahan untuk sarapan besok.'

Aku sedikit khawatir kalau Ia mungkin meragukan karena aku mendadak mengajaknya seperti itu. Biasanya aku hanya memasak dengan apa yang aku miliki untuk membuat sarapan, jadi menyuarakan keinginanku untuk berbelanja selarut ini mungkin tampak tidak wajar. Namun, Asamura-kun langsung menyetujuinya dan menyarankan agar kami bertemu di depan sekolah les. Helaan napas lega keluar dari bibirku.

Aku memasang kembali headphone-ku, dan aku langsung disambut dengan lantunan musik yang menyenangkan seolah-olah aku hanyut di lautan. Aku memanjakan diriku dengan irama lofi yang sudah sangat familiar, yang memungkinkan konsentrasiku meningkat lagi. Dengan motivasi tinggi, aku menyetel pembatas waktu selama 25 menit di smartphone-ku.

Aku menelusuri catatan di depanku dengan tenang. Seakan sedang ditarik ke bawah ke laut terdalam, semua kebisingan dan gangguan di sekitarku menghilang. Bahkan suara yang masuk ke telingaku mulai terdengar jauh dan semakin lebih jauh. Pada saat aku menyelesaikan tujuh pertanyaan, suara bip elektronik mengganggu konsentrasiku. Baiklah, ini waktunya istirahat. Aku mengatur timer lain selama 5 menit dan mengendurkan tubuhku yang kaku. Ini adalah metode belajar baru yang aku temukan baru-baru ini: Teknik Pomodoro. Menggabungkan interval belajar 25 menit yang dipasangkan dengan istirahat lima menit untuk merilekskan tubuh.

Pada awalnya, aku agak khawatir bahwa jumlah waktu belajarku pada suatu waktu akan sedikit berkurang. Kedengarannya seperti aku takkan bisa menyelesaikan hal seperti itu. Namun, setelah mengujinya, aku menyadari bahwa aku membuat banyak kemajuan seperti sebelumnya. Idenya adalah bahwa manusia berhasil beralih ke mode fokus penuh ketika mereka berada di tenggat waktu. Dengan menetapkan tenggat waktu yang jauh lebih pendek dari biasanya yang hanya 25 menit, otakmu dilatih untuk merasa tergesa-gesa dengan batas waktu yang semakin dekat, sehingga kamu lebih fokus pada tugas yang ada.

Tak perlu dikatakan lagi, setiap orang memiliki metode belajar mereka sendiri yang paling cocok untuk mereka, tapi aku baik-baik saja dengan metode yang satu ini. Aku mungkin harus memberitahu Asamura-kun tentang metode ini ketika ada kesempatan. Tapi Ia mungkin akan berusaha lebih keras lagi untuk mencoba menyamakan hubungan timbal balik kami. Setelah mengulangi putaran 25 menit dan bersantai selama 5 menit, aku memutuskan bahwa aku mungkin harus mulai menyiapkan makan malam sekarang juga. Aku berhenti belajar dan membawa buku catatan kosakata bahasa Inggris kecil ke dapur.

Malam ini, cuma ayah tiri dan aku saja di rumah untuk makan malam. Asamura-kun akan pulang terlambat karena menghadiri les, dan Ibu juga tidak membutuhkannya. Aku berencana memasak nasi, sup miso, dan ayam teriyaki. Mudah dibuat dan takkan memakan banyak waktu. Sekitaran aku menyelesaikan sebagian besar persiapanku, aku mendengar pintu depan terbuka.

“Aku pulang. Oh, baunya enak sekali.”

“Aku memasak ayam teriyaki. Sebentar lagi akan siap. Apa Ayah tiri ingin makan segera? ”

“Aku mungkin mau, ya.”

“Oke.”

Ayah tiri melenggang ke kamarnya untuk berganti pakaian. Aku pergi ke depan dan menyiapkan bagiannya serta bagianku sendiri. Begitu beliau kembali, kami mulai makan malam bersama. Setelah Ia dan Ibu menikah, kami sudah beberapa kali makan malam seperti ini ketika Ibu dan Asamura-kun tidak ada di rumah, yang mana cuma ada kami berdua. Karena ini juga pernah terjadi dengan ayahku sebelumnya, aku awalnya merasa sangat gugup. Dan aku ragu kalau aku berhasil menyembunyikannya.

Aku membayangkan Ia pasti memiliki bagian kesulitannya sendiri ketika mencoba mengukur jarak yang harus Ia pertahankan dari seorang gadis yang sekarang tiba-tiba menjadi putrinya. Hal tersebut menjadi terlihat jelas di mataku dari caranya berbicara denganku yang sedikit canggung tetapi berbeda dari ketika aku berbicara dengan Asamura-kun. Ia mungkin telah mendengar tentang masa laluku dari Ibu juga. Aku ingat kalau beliau sangat berhati-hati denganku, misalnya seperti Ia berusaha untuk tidak menyakiti atau menakut-nakutiku. Tapi sampai sekarang, kami baik-baik saja. Aku sangat berterima kasih padanya dan Asamura-kun.

Tapi sejujurnya, fakta bahwa dia adalah pria dewasa entah bagaimana masih menghalangiku untuk mempercayai beliau sepenuhnya. Ia sama sekali tidak bersalah, tetapi kenangan dari hal-hal yang aku alami sebagai seorang anak sekarang membuatku memiliki respons otomatis. Mungkin karena musim Halloween yang akan datang, membuatku lebih mudah untuk mengingat masa laluku yang jauh. Namun aku mendapati diriku mengajukan pertanyaan yang biasanya tidak aku lakukan.

“Yah, apa yang tidak kamu sukai dari Ibu?”

“Hah?! Uhuk uhuk!”

Aku pasti telah mengagetkannya dengan pertanyaanku, karena Ia tiba-tiba mulai tersedak sepotong ayam. Setidaknya, aku merasa lega karena ayam itu mendarat kembali di piringnya.

“Pertanyaanmu mendadak sekali. Apa yang aku tidak suka? Bukannya kamu biasanya menanyakan yang sebaliknya?”

“Sangat jelas kalau kalian saling menyukai satu sama lain dari cara kalian berinteraksi ketika kalian bersama.” Aku tersenyum dan melanjutkan. “Aku tidak berpikir pernikahan bisa bertahan lama jika kamu hanya melihat sisi baik seseorang. Selama orang-orang tetap bersama, mereka akan selalu menemukan sesuatu yang negatif tentang orang lain… dan karena sudah beberapa bulan sejak kalian mulai hidup bersama, aku ingin tahu apakah ada sesuatu yang tidak disukai Ayah tiri.”

“Hmm, begitu.” Dia menyeka mulutnya dengan tisu dan mulai berpikir.

Entah mengapa, aku tiba-tiba merasa gugup. Aku khawatir bahwa aku mungkin telah melampaui batas-batasku. Tapi sekarang, aku ingin mereka berdua bahagia dalam pernikahan baru mereka. Aku tidak ingin mengalami hal yang sama seperti yang pernah aku alami dengan ayah kandungku, jadi jika aku mendengar keluhan darinya sekarang, aku mungkin dapat membantu mencegah sesuatu nanti.

“Itu bukan sesuatu yang tidak aku suka, tetapi ketika itu adalah sesuatu yang juga tidak kusukai… Biasanya, dia bertingkah seperti dia sangat pekerja keras dan stabil, tapi dia sebenarnya sangat buruk dalam menjadi orang dewasa yang aktif.”

“Ya, itu benar.”

“Juga, ketika aku mencoba bersikap tegas dengan Yuuta tentang sesuatu, dia akan memarahiku nanti.”

“Oh?”

Itu sesuatu yang tidak terduga. Aku tidak pernah membayangkan bahwa mereka akan tidak setuju dengan metode mereka membesarkan Asamura-kun. Dan aku yakin mereka juga membicarakanku.

“Juga, dia cenderung banyak mengomel tentang pekerjaannya.”

“Hah? Dia melakukan itu?”

“Dari waktu ke waktu. Begitu dia sudah buka mulut, sulit untuk membuatnya berhenti.”

“Aku tidak pernah tahu…”

Meskipun kami telah hidup bersama sepanjang hidupku, dia tidak pernah menunjukkan sisi dirinya itu kepadaku.

“Maksudku, itu semua hal yang bisa kamu harapkan dari sebuah bar. Pelanggan mabuk dan mencurahkan isi hatinya. Aku pikir dia tidak ingan membuatmu khawatir tentang itu. Sebelum kalian berdua tinggal bersama kami, dia rupanya mengandalkan rekan kerjanya untuk mendengarkan keluhannya.”

Ahhh, jadi itu sebabnya dia sesekali pulang lebih lambat dari biasanya. Salah satu alasan ayah kandungku menjadi tidak bisa mempercayai Ibu adalah karena dia pulang pada waktu yang berbeda. Hal itu menyebabkan Ayah menuduhnya berselingkuh. Tetapi jika Ia justru bisa menerimanya dan merawat kelelahan mental Ibu, dia tidak perlu melampiaskan semua stres itu di tempat kerja, dan kemudian dia akan bisa pulang tepat waktu. Yah, sepertinya aku tidak punya cara untuk mengkonfirmasi atau menyangkal hipotesis ini sekarang. Ini sudah terlambat.

“Um… Jika semua omelan itu terlalu berlebihan untuk Ayah, beri tahu aku. Aku selalu bisa meminjamkan telinganya sendiri, ”kataku.

Meski seharusnya aku tidak boleh bicara begitu, aku khawatir bahkan keluhan kecil ini pada akhirnya dapat menghancurkan keluarga ini juga. Namun, Ayah tiri hanya dengan tenang menatap mataku, mengeluarkan tawa lembut.

“Haha. Kamu tidak perlu khawatir tentang itu, Saki-chan.”

“Tapi…”

“Seperti yang sudah aku bilang, Akiko-san memiliki sisi yang tak ada harapan. Tapi dibandingkan denganku, semua itu terlihat lucu.”

“Hah?”

“Aku tidak berpikir aku lebih buruk dari dia. Aku hampir tidak pandai memarahi Yuuta seperti dia bersamamu, dan aku banyak mengeluh ketika aku capek atau kesal. Ketika aku berpikir tentang bagaimana kami berdua mirip dalam hal itu, aku tidak bisa menyalahkannya untuk apa pun, dan itu berlaku dua arah. ” Ia menyipitkan matanya saat berbicara, mengingatkanku pada tatapan lembut Asamura-kun, yang membuatku sadar bahwa dia serius. “Belum lagi… baik Akiko-san dan aku telah melalui banyak hal sebelumnya, yang juga memainkan peran besar dalam hal ini.”

“…Ya.”

“Aku pikir arti dari menikah berarti kamu dapat menerima bahkan sifat buruk dari pasanganmu.”

“Sifat buruk…”

Rasanya seperti terbangun dari tidur panjang. Butuh beberapa saat, tetapi akhirnya aku menyadari bahwa ... mungkin aku benar-benar dapat menyerahkan Ibu kepadanya. Dan… bukan hanya Ibu.


“Jadi… misalnya, bagaimana jika Nii-san atau aku menjadi anak nakal? Apa Ayah tiri dapat menerima itu tentang kami? ”

“Tentu saja.” Dia menjawab tanpa ragu-ragu. “…Tapi, err, kenapa kamu bertanya begitu? Apa kamu kebetulan tertarik pada hal semacam itu? ”

“Tidak, sama sekali tidak. Itu cuma perumpamaan.”

“Selama tidak melanggar hukum… Tidak, itu tidak benar. Bahkan jika kamu melanggar hukum, dan kamu diberikan hukuman berat tanpa ruang bagi buatmu untuk mengklaim tidak bersalah, aku takkan pernah menyangkal bahwa kamu adalah bagian dari keluargaku. Tidak peduli apa yang terjadi.”

“… Begitu ya.”

Kurasa aku menyukai Asamura-kun. Bukan sebagai kakak laki-laki, tapi sebagai lawan jenis.

Tentu saja, aku tidak punya keberanian untuk menjatuhkan pernyataan yang mengejutkan itu. Tapi aku punya firasat bahkan jika aku bilang begitu, beliau mungkin akan menerima perasaan dan keinginanku. Kami bisa berpelukan seperti yang kami lakukan hari itu, atau seperti pasangan di Ikebukuro itu… Yah, mungkin tidak di depan orang lain, tapi berciuman secara umum. Seolah ada Iblis berbisik di samping telingaku, memberitahu bahwa dia ingin mencoba kontak fisik yang normal antara laki-laki dan perempuan, dan aku perlahan-lahan terpengaruh.

…Tidak, aku tidak boleh ngelunjak. Aku melompat beberapa tahapan di sini, dan semua logika serta alasanku runtuh sebagai hasilnya. Sementara aku tenggelam dalam pikiran, kami berdua terdiam dan baru saja menyelesaikan makan malam kami dengan tenang. Aku memeriksa waktu lagi, dan sepertinya aku harus bersiap untuk keluar dan bertemu Asamura-kun.

“Aku mau pergi keluar dulu.”

“Kamu mau pergi berbelanja sekarang? Waktunya sudah sangat larut.”

“Tidak apa-apa. Aku akan bertemu dengan Nii-san.”

“Tapi aku tidak bisa membiarkan seorang gadis berjalan sendirian selarut ini ...”

“Aku akan mengambil jalan memutar melalui kawasan bisnis dan menghindari jalan-jalan berbahaya, jadi Ayah tidak perlu khawatir. Ketika cuma ada aku dan Ibu, aku selalu keluar terlambat untuk penjualan di menit-menit terakhir.

“Hmm, jika kamu berkata begitu.”

Ia sepertinya belum sepenuhnya yakin, tapi setidaknya aku mendapat izin. Maafkan aku, tapi setelah berbicara dengan Ayah, keinginanku semakin kuat. Aku sangat ingin bertemu Asamura-kun sekarang. Dan karena waktu kita sepakat untuk bertemu adalah jam 8 malam, aku pun pergi dari rumah.

 

◇◇◇◇

 

Aku tiba di gedung utama sekolah les dan memeriksa waktu. Karena jadwal lesnya pasti sudah selesai sekarang, aku pergi ke depan dan mengiriminya pesan.

'Aku sudah sampai.'

Aku bersandar di lampu jalan dan menjelajahi internet di smartphoneku. Aku memeriksa beberapa artikel dan materi untuk ujian masuk universitas sambil melirik pintu masuk sekolah les. Sembari melakukannya, aku melihat seorang gadis jangkung meninggalkan gedung. Untuk sesaat, aku dibuat terpesona. Dia memiliki penampilan dan sosok yang luar biasa sehingga kupikir aku sedang melihat seorang model. Bahkan pinggulnya tinggi. Meskipun secara tidak sadar, aku memeriksanya dengan cermat dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia mengenakan sweter rajutan yang menyembunyikan proporsinya dan jeans ketat di bawahnya.

Awalnya mungkin terlihat polos, tetapi hoodie yang dikenakannya diwarnai dan ditata seperti tren terkini. Jika dia mengenakan rok yang memperlihatkan kakinya, aku yakin dia akan mendapat banyak perhatian dari para pria.

“Tidak, aku tidak boleh terus menatapnya seperti ini.” Aku menegur diriku dengan suara pelan.


Aku menghela nafas dan melihat ke layar smartphoneku lagi, tapi tatapanku langsung melayang kembali ke pintu masuk. Akhirnya, siluet gelap muncul dari dalam gedung—Asamura-kun. Begitu dirinya melangkah ke dalam cahaya, aku bisa melihat wajahnya lebih jelas, membuatku menghela nafas lega. Kami saling menyapa dan menuju ke supermarket terdekat.

Selama perjalanan belanja kami, aku sekali lagi diingatkan akan sikap tegas Asamura-kun, serta kebaikannya yang tidak terbatas pada satu orang saja. Ia mungkin bahkan tidak menyadarinya, tetapi Ia akan mengambil lada hitam di atas rak untukku dan bertanya, “Apa ini barangnya?” Ia juga sopan terhadap wanita yang membagikan sampel gratis. Ia berusaha untuk tidak menunjukkan prasangka atau bias terhadap orang lain. Dalam hal itu, Ia mungkin sama denganku, tapi kurasa aku tidak akan pernah bisa mencapai levelnya. Sepertinya aku tidak dapat menciptakan suasana yang mengundang di sekitar aku ... Yang kemungkinan besar karena perilaku kekerasan ayah kandungku. Sejak itu, aku merasa seperti mandek.

Kami selesai membeli semua yang kami butuhkan dan melewati pusat kota Shibuya. Di sana kami bertemu dengan sekelompok orang yang mengenakan kostum meskipun faktanya sekarang belum hari Halloween. Ketika mereka melewati cukup dekat untuk menyentuh bahu kami, aku merasa pusing dan mual dari kerumunan, sekali lagi menyadari bahwa aku merasa paling aman setiap kali aku menjaga jarak aman dari orang lain. Beberapa orang terhuyung-huyung ke kiri dan ke kanan dengan wajah mabuk dan pipi memerah, berbau alkohol bahkan dari kejauhan.

Aku hampir menabrak seorang pria yang berjalan terhuyung-huyung ke arahku, tapi Asamura-kun untungnya ada di antara kami untuk bertindak sebagai perisai. Ia bahkan memutuskan kalau kami lebih baik  mengambil jalan yang lebih kecil, jauh dari keramaian ini. Aku meliriknya saat dirinya mendorong sepedanya dengan keranjang penuh bahan makanan yang telah kami beli dan merenung dalam hati. Apa itu tidak apa-apa buatku untuk jujur ​​dengan keinginanku dan meminta kami untuk berpegangan tangan? Satu langkah lagi yang harus aku ambil terhalang oleh fakta bahwa kedua tangan Asamura-kun memegang sepedanya, jadi Ia tidak memiliki tangan yang terbuka untukku pegang. Pada saat itu, aku tidak tahu apakah itu berkah tersembunyi atau bukan.

 

◇◇◇◇

 

Kami sampai di rumah sekitar jam 9 malam. Aku pergi duluan dan menghangatkan sisa makan malam yang telah kusiapkan untuk Asamura-kun. Aku pikir Ia pasti kelelahan dari sekolah les, namun Ia baru saja mulai membersihkan piring yang ayah tiri dan aku tinggalkan sebelumnya.

“Kamu bisa membiarkanku mencuci piring.”

“Ayolah, kamu tidak perlu melakukan semuanya. Tidak ada lagi yang bisa aku berikan kembali, jadi setidaknya biarkan aku melakukan ini. ”

Aku tidak bisa menerima begitu saja pernyataan itu

“Tidak ada yang bisa kamu berikan kembali, ya? Itu tidak benar, kok.”

Aku takkan mengatakan itu dalam keadaan normal apa pun. Alasan dirinya belum memberitahuku tentang motif dan motivasinya saat ini di balik kerja kerasnya kemungkinan besar supaya aku tidak merasa bersalah tentang hal itu. Ia mungkin berencana untuk mengakui semua itu begitu sudah mencapai tujuannya. Seperti kata pepatah, diam itu emas. Aku mungkin akan menyakiti harga dirinya dengan mengatakan ini. Ia mungkin akan membenciku, tapi aku masih ingin memberitahunya bagaimana perasaanku yang sebenarnya.

“Memangnya kamu pikir aku tidak menyadarinya? Kamu diam-diam mencoba membantu keuangan rumah tangga kita, ‘kan? ”

“Ap—…?”

“Yah, kamu tidak berhasil menemukan pekerjaan sambilan yang menguntungkan, jadi kamu mungkin mencoba membantuku dan orang tua kita  dengan cara yang berbeda. Alasan kenapa kamu lebih sering menghadiri sekolah les mungkin karena kamu memikirkan masa depan dan menginvestasikan lebih banyak waktu sekarang. Sepertinya kamu ingin memanfaatkan uang yang telah dibayarkan untuk sekolah les sebaik mungkin.”

“Luar biasa ... Kamu benar-benar bisa menebak niatku.”

“Mempertimbangkan waktu ketika kamu memutuskan untuk mengambil lebih banyak jadwal, kurasa itu masuk akal. Apalagi…"

Aku sangat gugup hingga tenggorokanku terasa kering. Aku menggunakan sup miso sebagai alasan untuk berhenti sejenak, merasakan betapa hangatnya itu dengan menyesapnya. Seperti yang aku harapkan, rasanya masih agak hangat. Ayo, cepat katakan. Aku bisa melakukannya. Aku bisa mengatakan padanya bagaimana perasaanku yang sebenarnya.

“—Aku selalu memikirkanmu, Asamura-kun. Tentu saja aku akan memperhatikan hal semacam itu.”

Aku mulai berkeringat deras. Pasti karena microwave dan pemanas yang kami pakai. Setelah aku memeluknya pada hari itu, aku selalu merasakan sensasi ini memenuhi dadaku. Sejak kejadian itu, aku tidak pernah secara terbuka menyuarakan kasih sayangku, aku juga tidak pernah meminta untuk mengulangi apa yang aku lakukan. Aku tidak ingin memaksakan hasrat dan keinginanku padanya. Aku hanya menunggu dirinya menyadari perasaannya dan mengakuinya kepadaku. Kami membuat hubungan kami jadi ambigu, menyebut diri kami saudara yang lebih dekat dari sewajarnya, tapi itu membuat kami tidak memiliki titik acuan sama sekali, mempersulit kami untuk memutuskan kapan dan di mana kami akan melewati garis batas.

Aku melirik ke arah Asamura-kun. Ia mencurahkan hati dan jiwanya untuk mencuci piring. Mungkin Ia tidak mendengarku sama sekali? Hal itu akan membuat semua keberanian yang aku kumpulkan menjadi sia-sia. Darah mengalir deras ke kepalaku, dan satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah mengalihkan tatapanku. Dinding putih di depanku anehnya begitu menenangkan. Sekarang apa? Apa aku perlu mengulanginya lagi? Berbalik, meraih tangannya, dan menyuarakan keinginanku untuk menyentuhnya? Pemikiran semacam itu masih sibuk melintas di benakku ketika aku mendengar suara pintu terbuka. Setelah itu, Ayah tiri melangkah keluar dari kamarnya dengan ekspresi mengantuk. Kejutan tersebut membuat punggungku tegak lurus.

Jangan sekarang. Aku tidak bisa dengan berani menggoda Asamura-kun dengan adanya beliau di sekitar kami. Ia mungkin orang yang cukup baik untuk menerima perasaanku, tapi masih ada urutan dalam segala hal. Ia menjulurkan kepalanya ke dapur, mengambil sepotong ayam hangat, dan menghilang ke kamar mandi.

Dia baru saja makan, bukan? Tetapi ketika Ia menyeringai dan berkata “Enak!”, Aku menyadari sesuatu. Aku membayangkan kalau beliau pasti khawatir. Meski Ia sudah mengizinkanku pergi keluar, Ia mungkin masih khawatir karena aku keluar malam-malam begini. Ia mungkin menunggu sampai aku kembali dengan Asamura-kun. Setelah Ia melihat bahwa kami berdua pulang dengan selamat, aku yakin Ia akan tidur nyenyak. Keegoisanku membuatku kehilangan sepotong ayam. Terlebih lagi itu bagian Asamura-kun. Maaf, Asamura-kun. Maaf, Ayah tiri. Melihat bagaimana kalian berdua menerimaku sebanyak ini, dan menunjukkan betapa khawatirnya kalian kepadaku, mau tak  mau aku jadi merasa tenteram. Hal tersebut memberiku keberanian tentang hubunganku dengan Asamura-kun.

 

 

Sebelumnya  ||  Daftar isi  ||  Selanjutnya


Ilustrasi Saki kalau dia pakai baju maid dan bando telinga kucing :v 



close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama