Chapter 9 — 30 Oktober (Jumat) Asamura Yuuta
Kami akan mendapatkan hari
libur sekolah besok, dan hari itu juga berbarengan dengan perayaan Halloween.
Mengingat hal itu, aku bisa merasakan kegembiraan memenuhi ruang kelas saat
istirahat makan siang bergulir. Beberapa orang lebih suka Malam Natal dalam hal
festival, dan aku bahkan pernah melihat anime di mana hari terakhir sebelum
festival budaya diulang berulang kali. Hal itu mungkin menjelaskan mengapa
teman sekelasku sangat menantikannya. Bukannya aku tidak memahami perasaan
mereka. Begitu hari festival tiba, mau tak mau kamu berpikir bahwa akhir sudah
dekat.
Meski begitu, aku terkejut
bahwa teman-teman sekelasku sangat menantikan perayaan Halloween. Aku bisa
mendengar percakapan tentang itu di sana-sini. 'Kostum apa yang harus kita pakai? Mau berpesta di mana?’ masih banyak
lagi pertanyaan serupa yang muncul di sekitarku. Hanya radius 30cm di sekitar
mejaku saja yang bebas dari suasana hati ini.
“Yuuta. Bisa kita bicara
sebentar?”
“Umm … ada apa? Kamu membuatku
kaget saja.”
Shinjou memasuki ruang kelas
dengan ekspresi serius di wajahnya yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku
mempunyai firasat kalau ini tidak akan berakhir dengan baik.
“Aku ingin membicarakan sesuatu.
Bisa kita pergi keluar ke balkon?”
“Kamu ingin berbicara
denganku?”
“Ya.”
“Tahan dulu sebentar, Shinjou.
Kamu tidak merencanakan sesuatu yang buruk, kan?”
“Sama sekali tidak. Aku sangat
serius. Tolong, Tomokazu.”
“Hmph… Yah, jika Asamura sendiri
setuju, aku takkan menghentikanmu.”
“Aku tidak keberatan, ayo
pergi.” Aku bangkit dari tempat dudukku dan menuju ke balkon bersama Shinjou.
Karena betapa dinginnya musim
sekarang, tidak ada siswa lain yang repot-repot keluar saat istirahat makan
siang. Aku hanya bisa melihat beberapa siswa di bawahku, jadi hal pertama yang
terlintas di kepalaku adalah mungkin kami tidak perlu datang jauh-jauh ke sini
untuk berbicara secara rahasia.
“Sebenarnya…” Shinjou mulai angkat
bicara. “Setelah pesta Halloween yang akan diadakan kelas kami, aku ingin
mengadakan pesta kedua hanya dengan Ayase saja.”
“… Ah, benarkah?”
Karena kami berdua memiliki
giliran kerja pada hari itu, aku sudah tahu kalau dia tidak bisa ikut berpartisipasi,
tetapi aku berpura-pura tidak mengetahuinya. Aku tidak ingin orang lain tahu di
mana dia bekerja.
“Tapi ada satu hal yang ingin aku
ketahui sebelum itu.”
“Tentang apa?”
“Yuuta, kamu menyukai Ayase,
kan?”
Sejenak, aku bahkan tidak yakin
apa aku masih tetap tutup mulut, atau apa Ia mendengarku berkata 'Hah?'. Rasanya seolah-olah semua
kebisingan di sekitarku menghilang. Yang bisa kulihat hanyalah sosok Shinjou
yang memegang pagar pembatas. Aku bisa melihat pembuluh darah di pergelangan
tangannya, jadi aku tahu kalau dirinya pasti menanyakan itu dengan tulus. Aku
membayangkan bahwa Ia gugup. Dan aku terkejut dengan betapa seriusnya dia. Dari
caraku melihatnya, Shinjou Keisuke adalah cowok yang cerdas. Ia cowok populer
karena suatu alasan. Semua pendekatannya terhadap gadis-gadis penuh dengan
kepercayaan diri, memberiku perasaan bahwa Ia tidak hanya fokus pada satu gadis
saja. Bahkan tindakannya yang ingin berteman denganku, meskipun dengan motif
tersembunyi, tampak seperti keputusan yang mendadak, sesuatu yang Ia lakukan
secara tiba-tiba hanya karena itu tampak menarik. Aku telah memaksakan anggapan
dan kesalahpahamanku kepadanya.
Namun, tatapannya sekarang
tampak lurus, tanpa ragu-ragu. Ia tidak meledekku, dan dirinya juga tidak
berusaha menipuku.
“Sebagai adik?”
“Kamu sendiri sudah tahu apa
yang aku maksud. Aku tidak datang ke sini untuk menanyakan hal semacam itu
padamu, dan kamu seharusnya sudah tahu sebanyak itu, kan?”
“Misalnya aku memberimu jawaban
untuk pertanyaan itu. Apa yang akan kamu lakukan, Shinjou?”
“Tergantung pada jawabannya.”
Shinjou tidak menunjukkan niat
untuk mundur atau melarikan diri. Meskipun aku mengabaikan keyakinannya, aku
tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Ayase-san dan aku tidak pernah secara
jelas mendefinisikan apakah perasaan kami berasal dari perasaan romantis atau
hanya bagian dari kasih sayang keluarga. Ini adalah konsep yang samar-samar dalam
pikiranku sehingga mana mungkin aku bisa menjelaskannya kepada orang lain. Hal
itu membuatku menyadari betapa praktisnya label seperti 'kekasih' atau 'saudara' .
Bisakah aku dengan percaya diri menyatakan bahwa aku menyukai Ayase-san? Di
sini, kepada Shinjou?
Ketika Ayase-san memelukku pada
hari itu, hubungan itu pun lahir, dan definisi yang berasal darinya ialah,
sepasang saudara yang cukup dekat dan akur. Seharusnya tidak berbeda dari
hubungan yang dimiliki Shinjou dan adik perempuannya. Dan meskipun begitu,
bisakah aku benar-benar mengakui perasaanku di sini, dan bertingkah seperti
kita sudah menjadi pasangan?
...Apa hal tersebut benar-benar
sesuatu yang penting sekarang? Pikiranku terhenti. Aku tidak tahu bagaimana
perasaan Ayase-san tentang semua ini. Tapi bagaimana dengan perasaanku sendiri?
Mari kita bahas ini dengan sebuah contoh. Tergantung pada jawabanku, Shinjou mungkin
akan melanjutkan pendekatannya dengan Ayase-san. Apa itu sesuatu yang aku
inginkan? Apa aku akan merasa senang jika Shinjou mengundangnya berkencan, dan aku
melihat mereka berdua pergi bersama?
Apa aku menyukai Ayase-san atau
tidak? Jika aku tidak mengetahuinya dengan lebih baik, sepertinya ini adalah
cara Shinjou untuk memberiku dorongan. Hubungan samar-samar kami mungkin bukan
sesuatu yang bisa dikategorikan dengan istilah atau ide, tapi aku bisa
memberikan banyak nama selama itu hanya bagian dari duniaku dan dunianya. Meski
begitu, ketika orang lain menanyaiku tentang hal itu, sama seperti Shinjou yang
sekarang, aku tidak bisa mengandalkan definisi ambigu kami. Aku yakin kalau Ia
mengharapkan ekspresi yang kami berdua bisa pahami.
Pada kenyataannya, aku tidak memiliki
sesuatu yang pasti akan membuatku bisa menyatakan apakah perasaanku ini adalah
kasih sayang dalam artian romantis atau hanya kepedulian terhadap adik
perempuan. Tetapi jika seseorang memaksaku untuk memberi mereka jawaban yang
pasti di antara pilihan keduanya, maka ada satu jawaban yang lebih baik aku
pilih.
“Shinjou, aku tidak keberatan untuk
memberimu jawabanku, tapi aku ingin kamu menjanjikan sesuatu padaku.”
“Apa itu?”
“Ini hanya jawaban pribadiku
sendiri, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan perasaan Ayase-san.
Hubungan yang kami miliki tidak dapat dengan mudah diungkapkan dengan
kata-kata, jadi aku tidak ingin kamu mengambil kesimpulan secara sembarangan.”
“Ba-Baiklah… Aku tidak
sepenuhnya mengerti, tapi tentu saja, aku janji.”
Bahkan jika Ayase-san atau aku
menyadari bahwa kami tertarik secara romantis satu sama lain, perasaan tersebut
tidak lebih dari persepsi individu kami sendiri, sesuatu yang tidak boleh
diumumkan secara publik. Kami berdua hanyalah saudara, bukan sepasang kekasih.
Yang bisa kami lakukan adalah terus mengekspresikan diri kami seperti itu, dan
Ayase-san tidak mengakuiku sebagai pacarnya. Setidaknya, tidak untuk saat ini.
Namun, ada sesuatu yang bisa aku katakan pada diriku sendiri.
“Aku menyadari ini untuk diriku
sendiri—”
Jika aku tidak bisa membuatnya
menyerah pada Ayase-san tanpa mendefinisikan perasaanku yang tidak jelas, maka
aku harus menggunakan kata-katanya sendiri untuk membuatnya jelas baginya.
“—bahwa aku menyukai Ayase-san. Apa jawaban itu sudah cukup
memuaskanmu?”
Begitu aku mengungkapkannya ke dalam
kata-kata, segalanya jadi mulai jelas. Aku ingin Shinjou menyerah pada
Ayase-san. Itulah yang aku rasakan dengan tulus. Begitu aku menyadarinya, aku
menyadari bahwa aku memiliki keinginan untuk menjalin hubungan dengan Ayase-san
yang melangkah lebih jauh dari apa yang kami miliki saat ini.
Aku tiba-tiba menjadi khawatir
tentang bagaimana reaksi Shinjou dan melirik wajahnya. Karena sampai sekarang
aku tidak pernah memiliki saingan dalam cinta, aku bahkan tidak dapat memahami
sikap apa yang Ia miliki terhadapku. Apa Ia akan merasa marah atau sedih? Apa
dirinya akan mulai merajuk? …Banyak kemungkinan situasi yang muncul di
kepalaku, tapi tidak satupun dari tebakanku tepat sasaran.
“Jadi begitu rupanya.”
Ekspresinya, anehnya terlihat …
netral. Bahkan nada suaranya membuatnya terdengar seolah-olah Ia sudah
mengharapkan jawaban ini sejak awal, atau Ia sudah sudah membayangkan
kemungkinan seperti ini di kepalanya sebelumnya. Ekspresinya tampak ... sangat
tenang.
“Terima kasih buat jawabannya,
Yuuta.”
“Tidak masalah.”
“Aku akan menghubungimu nanti.”
“Baiklah.”
Shinjou meregangkan tubuhnya,
memunggungiku, dan mulai berjalan. Setelah
melihatnya berjalan kembali ke kelasnya sendiri, aku merenung sebentar
dan melihat ke luar sekali lagi. Apa yang Shinjou rasakan saat aku mengatakan
itu? Bagaimana Ia akan bertindak mulai sekarang? Hal semacam itu hanya Shinjou
sendiri yang mengetahuinya. Tapi kata-kata terima kasihnya terasa tulus bagiku.
Aku yakin kami akan berhasil melewati ini dengan berbagai cara. Atau...apa aku
bertindak terlalu mementingkan perasaanku sendiri dengan hanya berasumsi
begitu? Setidaknya, dengan secara terbuka menyatakan perasaanku pada Ayase-san,
rasanya aku sudah menjadi lebih kuat dan mendapatkan kepercayaan diri.
◇◇◇◇
Setelah kembali ke ruang kelasku,
Maru mengalihkan perhatiannya dari buku teks di mejanya dan berbicara kepadaku
dengan nada prihatin.
“Apa yang kalian berdua
bicarakan?”
“Cuma beberapa urusan. Aku
tidak bisa memberitahu detailnya, tetapi semuanya sudah beres sekarang. ”
“Hm…Yah, kalau kamu bilang
begitu.” Maru tampaknya masih belum sepenuhnya yakin, tetapi juga tidak
menanyaiku lebih jauh.
Keheningan dalam percakapan
kami memungkinkan aku untuk mendengar teman sekelas kami yang lain berbicara
satu sama lain. Sesuatu tentang pesta di Shibuya besok. Mencoba mengabaikan
topik itu, aku memutuskan untuk bertanya kepada Maru tentang sesuatu.
“Apa kamu punya rencana, Maru?”
“Di hari Halloween?”
“Ya.”
“Aku takkan pergi ke semacam pertemuan
para maniak pesta.”
Atau begitulah bilangnya,
tetapi ketika aku bertanya apa Ia punya rencana secara umum, Ia memberitahu
kalau Ia diajak ke karaoke.
“Apa kamu ingin ikut juga,
Asamura?”
“Aku punya giliran kerja sambilan
jadi sayangnya tidak bisa ikut.”
“Wokee,” balas Maru dan bahkan
tidak mencoba mengundangku.
Alasan kami bisa berteman
begitu lama meskipun aku tidak secara aktif mencoba untuk berkenalan
kemungkinan besar karena Ia tahu kapan harus mundur. Dalam hal itu, Ia kebalikan
dari Shinjou. Kurasa aku telah tumbuh sebagai seseorang, karena semuanya
berhasil dengan Shinjou juga. Meski demikian … ada banyak teman sekelasku yang
punya rencana di Shibuya besok, ya? Namun Ayase-san dan aku memiliki pekerjaan
di toko buku dekat stasiun kereta hari ini dan besok. Aku tahu kalau aku telat
mencemaskan hal ini, tetapi cara Shinjou bertindak membuatku berharap kalau
setidaknya, Ia takkan memberi tahu Ayase-san tentang apa yang aku katakan tadi.
Dan bahkan lebih dari itu, aku
tidak ingin ada rumor aneh yang beredar. Aku lebih suka tidak terlihat oleh
teman sekelas kami. Mempertimbangkan ukuran kerumunan, akan sulit untuk melihat
wajah orang-orang di sekitarmu. Tapi karena kami berdua bekerja pada waktu yang
sama, aku harus mengantar Ayase-san pulang setelah jadwal pekerjaan kami
selesai. Dengan kata lain, kami masih harus melewati kerumunan. Kira-kira
bagaimana pendangan orang lain terhadap kami dalam skenario itu. Kami mungkin
harus berhati-hati selama waktu itu.
◇◇◇◇
Setelah jam pelajaran berakhir,
aku pulang ke rumah sebentar dan kemudian pergi menuju tempat kerjaku.
Mengingat keramaian yang menumpuk di dekat stasiun kereta, aku benar-benar
tidak ingin menggunakan sepeda. Semakin dekat aku ke stasiun kereta, semakin
banyak orang yang aku lihat mengenakan kostum. Ada seorang penyihir yang
mengenakan gaun gothic hitam sambil memegang sapu dan zombie dengan kapak
mencuat dari kepalanya. Kupikir aku melihat sekelompok wanita berkostum normal,
tetapi mereka memiliki perban di mana-mana dengan darah menetes dari mulut
mereka ...
Perayaan Halloween harusnya baru
dimulai besok, kan? Jika ini adalah festival intro untuk Hari Raya Semua Orang
Kudus, maka Halloween seperti Malam menjelang Natal. Namun mayoritas orang
sudah memulai festival hari ini…atau cuma perasaanku saja? Nah, setiap kali
adat disesuaikan dengan daerah baru, niat dan ide asli mereka biasanya
dipelintir menjadi sesuatu yang lain. Itu sering kali terjadi, serius. Namun,
melihatnya terjadi di depan matamu sendiri tidak pernah berhenti mengejutkan.
Rasanya seolah-olah kota Shibuya sendiri telah berubah menjadi rumah hantu
raksasa. Rasanya terlihat seperti ada parade seratus setan di sini.
◇◇◇◇
Aku tiba di toko buku dan
segera mempersiapkan diri secara mental begitu aku masuk. Aku bisa melihat
beberapa pelanggan berkeliaran yang mengenakan kostum serupa dengan orang-orang
yang aku temui di luar. Apa aku harus menjalani ini meski belum hari
perayaannya? Dan seakan-akan itu saja masih tidak cukup, setelah aku mengganti
seragamku, manajer toko menyerahkan beberapa jenis topi yang aneh.
“Ini dia, Asamura-kun.”
“Apa ini?”
“Seperti yang kamu lihat, ini
adalah topi.”
Topi yang berbentuk seperti pisang kupas yang menggantung dari
samping, yang dimaksudkan untuk terlihat selucu mungkin. Topi semacam ini
sering disebut dengan topi badut.
“…Aku harus memakai ini?”
“Ya. Lagipula sekarang hari
Halloween, jadi setidaknya untuk hari ini dan besok. Itu bagian dari layanan
pelanggan kita.”
Memangnya … hal ini masih bisa
disebut sebagai layanan? Ketika aku melihat sekeliling, aku melihat manajer dan
semua pekerja sambilan serta pekerja tetap lainnya juga mengenakan topi ini.
Itu adalah pemandangan yang sulit dipercaya. Mungkin mengambil kedua shift
untuk hari ini atau besok adalah kesalahan pertamaku. Aku menyadari kalau aku
tidak punya pilihan lain selain memakai topi ini dan berjalan ke bagian
belakang toko. Karena menjelang hari Sabtu dan Minggu, kami tidak memiliki
rilisan baru yang masuk. Sebagian besar telah dikirim pada hari Jumat, dan
bahkan jika kami mencari-cari ruang kosong di rak, mana mungkin semuanya muat
di sana. Dan karena kami juga tidak bisa menumpuk majalah tebal untuk membuat
gunung besar, kami hanya bisa perlahan mengisi rak setiap kali kami menemukan
ruang. Pada dasarnya, mengisi ulang stok setiap kali ada yang terjual.
“Masuk!” Aku dipaggil dan
memasuki ruang penyimpanan dengan sisa stok.
“Kamu terlambat, Kouhai-kun.”
“Halo, Asamura-ku—san.”
“Oh, kalian berdua sudah ada di
sini.”
Dua orang yang sudah berada di
ruang penyimpanan sedang mengisi kardus di keranjang dorong, Yomiuri-senpai dan Ayase-san. Sepertinya
mereka sudah sampai di sini daripada aku. Saat aku melihat wajah Ayase-san,
jantungku berdetak kencang, tubuhku menegang. Aku teringat percakapanku dengan
Shinjou, yang membuat darahku berdesir. Aku sudah mulai memikirkan Ayase-san
sebagai kekasih di dalam kepalaku. Tidak ada gunanya merenungkan atau menderita
atas tindakanku.
“Kouhai-kun, kamu terlambat!
Terlambat, terlambat, terlambat!”
“Apa…?”
Itu mustahil…!
“Kamu masih punya waktu lima
menit lagi kok, Asamura-san. Jangan khawatir.”
“Oh syukurlah.”
Aku memeriksa jam yang ada di
dalam ruang penyimpanan, dan hal itu membuktikan pernyataan Ayase-san.
Yomiuri-senpai baru saja mengerjaiku lagi, ya? Yomiuri-senpai telah berjongkok
sambil mengisi kotak kardus dengan majalah baru, tapi dia berdiri, merentangkan
tangannya saat dia melakukannya. Dia membuatnya seolah-olah dia telah bekerja
selama berjam-jam, tetapi aku yakin shiftnya baru saja dimulai, sama sepertiku.
“Merasa sudah tua, Senpai?” Aku
menggodanya sedikit sebagai balas dendam.
“Gaaaah! Apa kamu dengar itu,
Saki-chan? Ia memperlakukanku seperti nenek-nenek peot!”
“Kamu memang bilang kalau kamu sudah
lelah sebelum Ia masuk, jadi aku tidak menyalahkannya.”
“Ka-Kamu menghianatiku… Waaah,
waaaaaaah! Kamu sangat kejam sekali! Kamu itu berada di pihak siapa, Saki-chan
?! ”
“Menangis pun tidak ada gunanya
ketika kamu berpenampilan seperti itu,” kata Ayase-san.
Dia tidak salah. Pura-pura
menangis sambil mengenakan topi badut sebenarnya tidak terlalu berpengaruh. Dia
justru terlihat seperti badut asli sekarang.
“Walah walah, ternyata kamu
sudah terbiasa denganku ya, Saki-chan. Begitu ya, begitu rupanya. Kalau begitu,
kurasa aku perlu mengubah strategi seranganku. ”
“Aku yakin kalau kamu punya
pilihan untuk tidak menyerang sama sekali, ‘kan?” kata Ayase-san.
“Nay. Kalau begitu nantikanya
akan membosankan, jadi kali ini waktunya untuk menyerang habis-habisan!” Dia
sepertinya mengira kalau dia adalah seorang pendekar yang akan pergi berperang.
Dia membalikkan punggungnya ke arah Ayase-san, berjalan ke arahku.
Dia menjulurkan kedua tangannya
ke depan, menggeliatkan jari-jarinya seperti tentakel.
“Hehe! Kouhai-kun, trick or treat! Jika kamu tidak memberiku
permen, aku akan menjahilimu, lo~!” Ujarnya sambil mendekatiku seperti zombie.
Menggeliat,
menggeliat, menggeliat.
“Halloween baru dimulai besok,
‘kan?”
“Sungguh naif! Dengan festival
seperti ini, kamu tidak bisa lengah bahkan sehari sebelumnya! Jika tidak, kamu
akan dihantui oleh sesuatu yang jahat! Sekarang berkati aku dengan permenmu!”
“Kamu cuma bilang begitu karena
kamu ingin permen, ‘kan? Juga, aku tidak terlalu menyukai ide festival di mana ada
zombie yang merayapiku. ”
“Kamu masih berniat untuk tidak
mematuhikuuuu ?!” Dia tiba-tiba berbalik dan mulai menempel pada Ayase-san dari
belakang punggungnya. “Segarkan matamu dengan ini! Aku telah menyanderanya!
Jika kamu tidak memberiku apa-apa… Aku akan berbuat jahil pada adik
perempuanmu!”
“Ap-, hei. Um, he-hentikan,
rasanya ge-geli…”
“Heh, heh, heh~. Inilah ganjaran
yang didapat gadis-gadis nakal jika mereka tidak memberiku permen!”
Yomiuri-senpai, kamu terdengar seperti om-om botak paruh baya, tau.
“Mari kita hentikan di sana,
oke? Kamu sedang menginjak tanah yang berbahaya dalam hal pelecehan di tempat
kerja. Aku sudah paham. Kamu cuma ingin permen, kan? ”
Begitu aku menyelesaikan
kalimatku, gerakannya langsung berhenti. Dasar gadis serakah …
“Bagus, bagus sekali, Kouhai-kun
tersayang. Kamu sebaiknya mengingat ini. Setiap kali kamu melihatku dengan adik
perempuanmu yang manis ini, kamu harus selalu menyimpan permen di sakumu. ”
Kakak macam apa yang akan
melakukan itu? Sejak dia mengetahui kalau aku dan Ayase-san adalah saudara
tiri, dia selalu menggoda kami seperti ini. Baiklah kalau begitu. Kamu akan
mendapatkan permenmu.
“Oke, kalau begitu, aku akan
membawanya nanti besok.”
“Oh, janji ya! Dan jika kamu
melanggar janji itu…”
Yomiuri-senpai membebaskan Ayase-san
dari genggamannya, dan kemudian terhuyung ke arahku lagi dengan tangan
terangkat ke udara.
“Hari ini cuma pratinjau! Kamu
akan melihat sesuatu yang lebih gila lagi besok!”
“Tentu, tentu, aku mengerti.”
Bersamaan dengan candaan garing
ini, jam di ruangan itu menandakan bahwa giliran kerja kami telah dimulai.
“Ah, sudah waktunya. Waktu
istirahat sudah selesai! Kouhai-kun, Saki-chan, ayo kembali bekerja! Hup, hup!
”
“Kamu sendiri orang yang
melakukan pekerjaan paling sedikit, ingat…?”
Meski begitu, begitu dia
benar-benar mulai bekerja, perbedaan pengalaman antara dirinya dan kami beruda benar-benar
terlihat. Belum lagi dia sudah memeriksa rak dan rak buku, memasukkan majalah
yang lebih sering dijual ke dalam kotak kardus. Kami berpindah-pindah antara
ruang penyimpanan dan toko buku utama beberapa kali, mengisi rak-rak ketika
tiba waktunya untuk istirahat. Sambil minum secangkir air di kantor dan
membicarakan ini dan itu, kami akhirnya membahas acara perayaan Halloween
besok.
Karena terjadi pada hari Sabtu,
biasanya kamu pergi keluar jalan-jalan atau tinggal di rumah untuk
bersenang-senang, tapi untuk kami bertiga dan shift kami, kami hanya dapat
melakukan hal semacam itu sebelum dan sesudah bekerja. Yomiuri-senpai
mengungkit kalau dia akan bertemu dengan teman-teman kampusnya setelah bekerja
untuk berjalan-jalan di sekitar Shibuya dengan kostum dan pergi keluar untuk karaoke
setelah itu. Seperti yang diharapkan dari seorang gadis kampus, dia benar-benar
bebas berkeliaran di malam hari. Rupanya, bahkan asisten profesor yang
mengajarinya juga akan berpartisipasi. Profesor tersebut rupanya ingin melihat
anak-anak itu lepas kendali dari dekat.
“Dia bilang 'Ini penelitian akademis, Yomiuri-kun sayang,'
tapi aku merasa dia hanya ingin berpesta dan butuh alasan untuk melakukannya.”
“Apa itu profesor yang sama dari
sebelumnya?” Ayase-san bertanya dengan ekspresi seolah dia tahu siapa yang
dibicarakan Senpai.
“Tebakan yang bagus. Seperti
yang sudah kamu duga, ini memang Kudou-sensei, oke.”
“Ah… Oke, begitu.”
Saat Ayase-san mendengar nama
itu, sikapnya berubah. Yomiuri-senpai langsung tersenyum pahit yang membuatku
berpikir bahwa mereka tahu sesuatu yang tidak aku ketahui.
“Kurasa dia meninggalkan kesan
yang cukup mendalam?”
“Apa semua profesor seperti
itu?”
“Hmmm… kurasa dia pengecualian.
Dia terkenal karena bertindak di luar jangkauan akal sehat dan pemikiran yang
cermat. Dia adalah tipe orang yang sangat jenius.”
“Yah, dia jelas bukan malaikat,
aku setuju dengan itu.”
Mendengarkan dari pinggir saja
membuatku merasa takut pada profesor itu. Juga, tunggu sebentar…
“Apa itu profesor yang sama
saat kamu minum teh sebelumnya? Di toko pancake itu, maksudku.”
“Oh benar juga, kamu menguping
kami saat itu, ya. Emang, professor itu.”
Aku benar-benar berharap kalau
dia tidak mencapku secara negatif seperti itu di hadapan Ayase-san. Aku cuma kebetulan
lewat dan mendengar percakapan mereka saja.
“Pokoknya, aku khawatir kita
akan mendapatkan lebih sedikit murid yang mau mendaftar ke universitas kita
jika dia terus bertindak seperti itu~!” Yomiuri-senpai menghela nafas.
Sementara itu, Ayase-san
menggumamkan sesuatu dengan pelan.
“Mungkin tidak sebanyak itu,
kurasa.”
Jujur saja, aku tidak yakin
apakah Yomiuri-senpai mendengarnya atau tidak.
“Seriusan, dia itu profesor
yang merepotkan,” ujarnya sembari tetap tersenyum.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya