Cerita Pendek 2 — Hari Ketel Bersama Adik Tiri
Pada suatu hari, ketel listrik
kami sepertinya sudah rusak. Ketika aku akan menekan tombol untuk
menyalakannya, tidak ada respons seperti biasanya, maupun cahaya yang
berkedip-kedip.
“Hah?”
“Apa ada yang salah?”
Ayase-san sedang mencuci piring
di sebelah wastafel, dan dia berbalik ke arahku.
“Kurasa ketel listriknya rusak.”
Aku menekan tombol beberapa
kali, tapi tidak ada yang terjadi. Lampunya tidak menyala, dan tombol kembali
ke keadaan awal seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
“Yup, kurasa ini memang sudah
rusak. Kebanyakan tombolnya sudah tidak berfungsi lagi. Yah, karena benda ini
sudah berumur panjang, jadi…”
“Emangnya kamu sudah
menggunakannya selama itu?”
“Hmmm…”
Aku mencoba mengingat ketika
kami pertama kali mendapatkannya. Aku mulai menggunakan ketel ini pada waktu
sekitar ujian masuk sekolah SMA-ku, lebih tepatnya lagi ketika aku baru saja
mulai minum kopi dan teh hitam, jadi…
“Kurang lebih tiga tahunan?”
“Lumayan lama juga.”
“Ayah memenangkannya dalam
undian pesta akhir tahun di kantornya, jadi rasanya tidak terlalu disayangkan.”
Namun setelah kepergian Ibu,
karena benda ini hanya butuh satu menit untuk membuat secangkir kopi, kurasa
kami sudah membuat benda ini bekerja seperti budak.
“Ini merepotkan,” gerutuku.
“Kenapa kamu tidak menggunakan
ketel kompor saja?”
“Kami tidak punya benda semacam
itu.”
“Ah, jadi begitu.” Ayase-san
mengangguk.
Poin bagus dari ketel listrik
adalah kamu bisa mendapatkan air panas sebanyak apapun dan kapan pun semaumu,
tetapi tanpanya, kami buntu. Kami juga tidak memiliki air panas ekstra.
“Apa?” tanya Ayase-san seraya menatapku
dengan bingung.
“Aku hanya berpikir bahwa aku
jarang melihatmu menggunakan ketel listrik ini.”
“Karena aku menggunakan ini,”
balasnya dan mengeluarkan gelas stainless merah dari mesin pengering piring.
“Bolak-balik ke dapur rasanya buang-buang waktu, dan mengganggu konsentrasiku
saat mau belajar. Kamu cenderung sering datang ke sini, ‘kan?”
“Ya, itu bisa membuat pikiranku
tenang selama beberapa menit.”
“Begitu ya.”
“Aku sedang berpikir untuk
membeli mesin penyulingan kopi pribadi. Aku nanti bisa menggunakan jumlah biji
kopi yang aku inginkan untuk satu cangkir.”
“Ah, benarkah? Aku tidak mengira
kalau kamu adalah penggemar besar kopi. ”
Aku tidak terlalu percaya diri dengan
kecintaanku pada kopi untuk menyebut diriku seperti itu, tetapi aku lumayan
menikmati proses pembuatannya.
“Aku tidak terlalu menikmati mencuci
piring, tetapi aku menikmati waktu singkat di mana aku bisa fokus pada satu
proses tanpa memikirkan hal lain. Kurasa sesuatu yang mirip dengan itu. ”
Aku tahu bahwa ini hanya
menghabiskan piringku yang berguna untuk memasak. Tapi bahkan dengan pemikiran
itu, aku bisa mencucinya seperti yang dilakukan Ayase-san sekarang. Hal
tersebut memberiku momen kedamaian juga, bahkan sampai membuatku melamun
sesekali.
“Aku akan mencuci sisanya, jadi
kamu bisa kembali mengerjakan tugas PR-mu, Ayase-san.”
“Bagaimana kamu bisa tahu itu…?”
“Mengenai PR-mu?” Aku meraih
smartphone-ku yang kutaruh di meja makan, dan menunjukkan layar padanya.
'Ada
latihan membaca dan tugas rangkuman untuk PR kita hari ini. Adik perempuan tersayangmu
dalam keadaan darurat, jadi tolong bantu dia, ya~'
Sepertinya Ayase-san belum
menerima pesan ini dari teman baiknya yang sangat khawatir karena dia tidak
jago pelajaran bahasa Jepang modern.
“Maaya… Kenapa dia terus
mengganggumu seperti ini?”
“Aku tidak keberatan membantumu
jika kamu merasa kesulitan pada suatu materi, tapi aku pikir kalau ini dia cuma
menggoda kita lagi.”
“Aku bisa …. mengerjakannya sendiri.”
“Baiklah. Aku akan membawakanmu
kopi nanti.”
“…Terima kasih, lalu aku akan
menyerahkan sisanya padamu.”
Aku melihat Ayase-san kembali
ke kamarnya dan mulai mencuci beberapa piring terakhir.
“Kurasa aku harus berbicara
dengan Ayah untuk membeli teko baru.”
Mempunyainya selalu lebih
nyaman ketimbang tidak. Lagipula, hal tersebut memungkinkanku untuk membantu
adik perempuanku dengan secangkir kopi hangat.