Chapter 3 — Eh? Beneran?
Pengingat :
【 】 = Perkataan pakai bahasa Rusia
( ) = Monolog Masachika/Alisa/ Yang
lain tergantung warna
“( )” =
bisik-bisik
==================================================
Suara membalik buku teks dan
guratan pulpen bergema di ruangan ber-AC. Hari ini pun, Masachika mengerjakan
tugas liburan musim panasnya bersama Alisa di ruang tamu.
Ini adalah keempat kalinya
mereka mengadakan sesi belajar bersama, walaupun situasi yang sekarang
merupakan situasi yang akan membuat setiap remaja puber salah tingkah jika
berduaan bersama seorang gadis cantik. Sekarang, Masachika sudah terbiasa
sampai-sampai Ia bisa berkonsentrasi pada tugasnya ......., mana mungkin bisa
Ia bertingkah begitu.
Itu karena, seiring
bertambahnya jumlah sesi belajar, tekanan diam dari Alisa semakin kuat. Jika
ditanya tekanan apa yang dimaksud ... Singkatnya, itu adalah tekanan seperti “Apa kamu benar-benar akan menyelesaikan ini
cuma dengan belajar saja?”
“...”
Bahkan saat diam-diam
menggerakkan pulpennya di atas kertas, Masachika bisa merasakan tekanan aneh
dari orang yang duduk di depannya. Tidak, sebenarnya, sejak hari pertama Ia
sudah berpikir, “Padahal cuma untuk
sekedar belajar, tapi dia memakai baju yang cukup mencolok~”
Namun, gadis yang berdandan
tidak hanya untuk dilihat orang lain, tapi juga untuk meningkatkan suasana hati
mereka sendiri. Jika kamu berpikir kalau gadis bersemangat dalam cara
berpakaiannya karena ingin “Menunjukkannya
kepada seorang pria”, maka itu salah besar. Karena menyadari hal tersebut,
Masachika tidak pernah terganggu dengan pakaian Alisa ... tapi hari ini, dia
bahkan memakai sedikit riasan. Berkat itu, kecantikannya yang sudah tampak tidak
realistis menjadi semakin sempurna, dan mempunyai penampilan yang sangat menakjubkan.
Hal ini jelas-jelas tidak bisa diabaikan Masachika lagi.
(Ya, dia jelas-jelas berdandan ... padahal
kita cuma mengerjakan tugas liburan musim panas bareng doang)
Masachika sudah terbiasa
melihat wajah Alisa, tapi saat melihatnya begitu .... ya, saat melihat Alisa
yang berdandan habis-habisan membuatnya jadi terpesona. Tidak, tepatnya, daripada
terpesona olehnya, Masachika justru ... “Ah
~ Sungguh indah sekali. Makasih banyak ~ makasih banyak ~”. Ini sama persis
di mana hanya dengan melihatnya saja sudah membuatmu bahagia. Ini sudah berada
di tingkat penyembahan.
Kemudian, Alisa yang menyadari
tatapan Masachika, tiba-tiba mengangkat wajahnya dan memiringkan kepalanya
sedikit.
“… Apa?”
“Bukan apa-apa ... Aku cuma berpikir
kalau kamu tumben-tumbennya memakai riasan hari ini.”
“Hmm... yah, cuma sedikit saja
sih?”
“Oh, begitu ya. Tidak, aku pikir
kalau kamu terlihat lebih cantik dari biasanya, tau?”
“... Benarkah? Makasih.”
Alisa menanggapi pujian
canggung Masachika dengan santai, seolah-olah dia sudah terbiasa mendengarnya. Namun,
suasana tegang yang menyelimuti mereka sebelumnya terasa agak mereda, dan mulut
yang sedikit mengendur mewakili perasaan batin Alisa yang tidak puas. Namun,
begitu Masachika melihat buku catatannya dengan malu-malu, bibir longgar Alisa
kembali cemberut.
Dia memandang bagian atas
kepala Masachika dengan tatapan tidak puas, dan kemudian bergumam dalam bahasa
Rusia sambil memainkan pita yang mengikat rambutnya dengan jari-jemarinya.
【Jika kamu merasa begitu ... ajak aku dong】
“... Apa kamu tadi bilang sesuatu?”
“Tidak, kok? Aku cuma bilang, 『Karena lambat memberi pujian, jadi minus 1
poin』”
“... Kalau itu sih maaf banget
ya, habisnya Alya-san yang berdandan terlihat sangat cantik sih, jadi mulutku
sampai tak bisa berkata apa-apa.”
“Ini tidak terlalu ... sampai
dibilang berdandan ...”
Tidak,
mulut mana yang bicara begitu. Tatapan Masachika berubah
menjadi lembut pada perkataan Alisa. Alisa yang biasanya tidak memakai riasan
selalu berkata, “memakai riasan itu melanggar
peraturan sekolah? Tanpa diberitahu pun aku tidak memerlukannya, kok”, tapi
dia sekarang memakai riasan meski hanya sedikit. Kalau penampilan sekarang
bukan berdandan, lantas apa namanya?
Alisa menanggapi tatapan Masachika,
yang dipenuhi dengan niat seperti itu, dengan sedikit mengalihkan pandangannya.
“Ini sih, ya ... ini cuma
latihan. Setelah terjun ke masyarakat, kamu pasti akan diledek jika kamu tidak
bisa merias wajah sedikit pun, kan? Jadi, ketika aku sedang ingin saja, aku
akan mencoba berlatih sedikit ...”
“Hmm~ begitu ya~.”
“... Apa-apaan dengan tatapan
itu?”
“Bukan apa-apa kok~? Ini sangat menyegarkan untuk mata. Mau dilihat
dari sudut mana pun, kamu terlihat cantik dan manis, rasa-rasanya aku bisa
melihatnya untuk selamanya~”
Ketika Masachika mengatakan hal
itu dengan nada lembut, sudut mata Alisa berkedut. Kemudian, dia tiba-tiba
kepikiran sesuatu dan berkata dengan senyum nakal.
【Apa hanya dengan melihatnya saja ... sudah
membuatmu merasa puas?】
Alisa membuat suara provokatif
dan tatapan mata yang sedikit mengundang. Pipi Masachika berkedut karena godaan
tiba-tiba dalam bahasa Rusia.
“... kamu bilang apa tadi?”
“Tadi aku bilang, 『Memangnya kamu tahu seberapa bagus atau
buruknya riasan?』”
Saat dia mengatakan itu dengan
nada meledek, Alisa menyilangkan tangan di bawah dadanya dan menyandarkan
tubuhnya di sandaran kursi.
【Lihat, kamu boleh menyentuhnya, loh? 】
(... Menyentuh apa?)
Pikir Masachika dengan wajah
datar. Kemudian, dengan ekspresi datar, Ia mengalihkan pandangannya ke bukit
kembar yang menegaskan kehadiran mereka di lengan Alisa dan .... mengarahkan
tatapannya ke wajah Alisa dengan tekad kuat. Dan senyum songongnya … yang
seakan-akan mengatakan “Kamu pasti tidak
paham apa yang aku bilang ‘kan fufufu~” terasa sedikit menjengkelkan.
(Dasar gadis kampret ...gimana kalau aku
menjawab【Kalau
begitu, dengan senang hati aku terima tawarannya】, dan
menggrepe-grepe oppai-nya.)
Jika memang begitu, ekspresi
macam apa yang akan Alisa tunjukkan? Hal itu membuatnya cukup tertarik, dan
seandainya saja Masachika mempunyai pilihan save
& load, Ia ingin mencobanya sekali, tapi ... mau dilihat dari manapun,
itu adalah pilihan yang langsung mengarah pada Dead End, jika Ia benar-benar melakukannya, tak diragukan lagi
kehidupannya akan hancur, jadi Ia hanya memikirkan itu di dalam kepalanya saja.
Tanpa mengetahui pemikiran
jantan (?) Masachika, Alisa terus berkata dengan nada provokatif sambil
menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan kanannya.
【Khusus untuk saat ini, kamu bebas melakukan apapun
sesukamu, loh? 】
(Asyikk, grepe-grepe yuk~☆ )
Bersamaan dengan izin dalam
bahasa Rusia, Masachika langsung membuka tangannya lebar-lebar dan menyelam ke
dada Alisa …….atau itulah yang Ia inginkan, tapi Masachika dengan cepat
memalingkan wajahnya dan melihat ke luar jendela.
(『Padahal
kamu mendapat peluang besar, tapi kamu
malah tidak menyadarinya, sungguh menyedihkan sekali. Baka~Baka~ 』 atau
itulah yang kamu pikirkan iya ‘kan~ …. cerewet, aku menyadari semuanya, tapi
tetap mengabaikannya, tau! Kamu harusnya bersyukur kalau aku ini cowok
terhormat. Ba~ka Ba~ka!)
Sambil berpura-pura tidak
menyadari pipi Alisa yang sedikit memerah dan menyeringai, Masachika setidaknya
mencoba untuk melawan balik di dalam hatinya. Ini bukan lolongan pecundang,
tapi lebih mirip seperti gertak sambal si penakut. Kemudian, Alisa menghela
nafas dan melanjutkan.
“Sayang sekali, waktu habis.”
“… Apanya?”
Ketika Masachika meliriknya,
Alisa membalas dengan senyum konyol, seolah-olah ingin berkata, “Astaga~ yare yare~”
“Kamu baru saja melewatkan
kesempatan besar, tau.”
“Hah?”
“Kasihan sekali ... kamu sudah
kehabisan semua keberuntungan bulan ini.”
“Tidak, apa sih yang kamu
bicarakan?”
“Entahlah~? Kamu mungkin baru bisa
memahaminya jika lebih banyak mempelajari hati wanita.”
Alisa mengangkat alisnya dan
mengatakannya dengan terkekeh. Ini seperti seorang wanita dengan pengalaman
seratus tahun mengolok-olok anak kecil yang naif. Lama-kelamaan Masachika pun
merasa jengkel dengan sikap songong Alisa yang tertawa mengejeknya.
(Haaaaah ~~~ !? Mempelajari hati wanita
apanya!! Ini jelas-jelas salah bahasa Rusia! Jangan besar kepala dulu karena
bisa bebas mengolok-olok seorang pria dari zona aman karena hambatan bahasa,
dasar jablay palsu! Kampret, apa perlu aku mendorongmu ke bawah sekali dan
menghancurkan senyum songongnya itu!)
Yuki dalam wujud iblis kecil
menyoraki Masachika yang mengamuk dalam hati sembari berkata “Bagus banget~ ayo lakukan~ kasih dia
pelajaran, Aniki~”, dan Maria yang berwujud malaikat berkata, “Jangan! Jangan lakukan itu pada Alya-chan!”
seraya berusaha menghentikannya. Berkat pengekangan itu (?), Masachika meredam
dorongan hatinya untuk bertindak biadab dan berkata sambil merasakan kedutan di
pipinya.
“O-Ohh? Untuk seseorang yang
mengatakan begitu, kurasa kamu tidak memahami hati pria sama sekali, …. tapi
bagaimana dengan itu?”
“... Hati pria?”
“Ya, kamu tidak memiliki rasa
waspada karena dengan santainya datang ke rumah seorang pria di mana
keluarganya tidak ada dan secara praktis tinggal sendirian, itulah yang ingin
kukatakan.”
Masachika tertawa ironis,
merasa kalau dirinya menggali kuburannya sendiri di suatu tempat di hatinya. Kemudian,
alis Alisa berkedut, lalu dia mengangkat dagunya dan tersenyum provokatif.
“... Hmm~? Memangnya apa yang
akan terjadi … jika aku dengan santai masuk ke rumahmu ?”
Emangnya kamu punya nyali untuk melakukan sesuatu padaku?
Pipi Masachika semakin berkedut
karena provokasi yang bisa terlihat jelas melalui cibiran yang terkandung di
dalam kalimat Alisa.
(Fu, fufuhahaha ... Dia benar-benar
sangat meremehkanku, ya ... Oke, akan aku tunjukkan jurus ikemen yang sudah aku
kembangkan berdasarkan otome game!)
Setelah dipanas-panasi terus,
Ia tidak bisa lagi mundur. Ketika Masachika menyalak dalam hatinya, Ia berdiri dari
tempat duduknya dan bergerak mengitari meja ke sisi Alisa.
Lalu, saat Alisa menatapnya
dengan tangan terlipat, Masachika mencoba untuk mengangkat dagu Alisa sembari
membisikkan kalimat mematikan “Datanglah
ke kamarku” …..
(Tunggu dulu sebentar? Karena Alya memiliki
harga diri yang tinggi, jadi dia pasti membenci karakter tipe ‘Ore-sama’, iya
‘kan ? Mungkin aku harus membuatnya jadi lebih lembut ...)
Tepat sebelum itu, Ia
mempertimbangkan kembali tindakannya. Namun, tangan kanannya sudah dijulurkan
ke dekat wajah Alisa dan Ia tidak bisa menariknya kembali sekarang. Bila
mengangkat dagunya takkan berhasil, mau ke mana tangan ini akan diarahkan ....
“...”
Setelah ragu-ragu sejenak,
Masachika segera meraih rambut Alisa dan meletakkannya di telinganya, dan Ia berkata
dengan senyum di mulutnya…
“Aku akan menunggumu di kamar.”
Kemudian, sambil tertawa, Ia
pun membalikkan badannya, lalu memasuki kamarnya dan menutup pintu. Kemudian,
Masachika tersenyum nihilistik seolah berkata “Aku benar-benar melakukannya”…..
(Tadi itu jelas-jelas terdengar seperti
kalimat cowok perayuuu~~~!)
Masachika menutupi wajahnya
dengan kedua tangan dan ambruk di tempat. Ia menggeliat ke tempat tidurnya dengan
jari-jari kakinya yang terasa geli, lalu membenamkan wajahnya di kasur, dan
berteriak tanpa suara.
(Lagian apa maksudnya dengan “ Aku akan
menunggu di kamar” !!! Kalimat seperti itu baru diucapkan ketika orang lain
meninggalkan tempat duduk! Atau saat orang lain akan pergi mandi! Maksudku, itu
jelas-jelas ngaco banget saat tiba-tiba berdiri dan berkata “ Aku akan
menunggumu di kamar”, iya ‘kan!?)
Masachika menggeliat tidak
karuan sambil mencengkeram selimut dengan sekuat tenaga, seolah-olah sedang
menambahkan daftar dari sejarah hitamnya. Ia menempatkan semua kekuatannya ke
dalam tubuhnya dan mulai melemaskan badannya.
(Hmm ... yah, kalau dilihat dari
perspektif yang berbeda, bisa dibilang kalau ini adalah hal yang baik ... Aku
tinggal menunggu satu menit, dan kemudian melompat keluar dari ruangan seraya
melontarkan lelucon “Kenapa kamu malah tidak datang!”, lalu suasana di antara
kita mungkin akan kembali normal.”
Saat Masachika menenangkan
dirinya dengan pemikiran itu ... Suara ketukan yang tertahan terdengar di
telinganya.
“!? Iya.”
Ketika Ia membalikkan wajahnya
dari kasur, Masachika menjawab dengan tenang saat Ia buru-buru duduk di tempat
tidur. Kemudian, pintu kamar perlahan terbuka, dan Alisa masuk dengan ekspresi
tenang di wajahnya, lalu menatap Masachika secara diagonal.
(Kenapa kamu malah beneran datang!!)
Pipi Masachika berkedut pada
perkembangan yang benar-benar tak terduga ini. Namun, Alisa sepertinya tidak
menyadarinya, dia melipat tangan kirinya di bawah dadanya dan memain-mainkan
rambutnya dengan tangan kanannya, seolah-olah berkata, “Yah? Ajakannya memang bagus, sih? Aku datang, tapi apa?” seraya
memalingkan muka dengan tatapan tegas.
Sikap Alisa yang masih dalam
mode “gadis baik-baik” menyalakan kembali rasa persaingan dalam diri Masachika,
sembari menggerutu dalam hati, “Jika kamu
ingin terus melakukannya, akan kuladeni sampai akhir”. Ketika Ia mengontrol
otot-otot wajahnya dengan sekuat tenaga dan tersenyum, Ia menepuk-nepuk tempat
di sebelahnya dan dengan lembut mengundang Alisa.
“Ayo, kemarilah.”
(Bunuh saja akuuuuuuuuuuuu)
Dan Ia segera menyesali
tindakannya sendiri. Masachika merasa ingin mati karena harus menahan rasa malu
pada perilakunya sendiri yang sangat memalukan.
“... Hmmph.”
Di hadapan Masachika, yang
ekspresinya membeku dan menggeliat kesakitan di dalam hatinya, Alisa mendengus
dengan acuh tak acuh dan kemudian….
(Kenapa kamu duduk! Kenapa kamu malah
beneran duduk !!)
Dia duduk dengan lembut di sebelah
Masachika. Alisa lalu menyilangkan kakinya dengan santai dan memainkan ujung
rambutnya, sambil masih memalingkan wajahnya.
(Tadi itu kamu harusnya berkomentar
“Menjijikan”! Lalu aku bisa membalas dengan nada bercanda “Kejam sekali!”! Apa
kamu baik-baik saja dengan ini!? Apa kamu beneran takkan bilang apa-apa!?)
Duduk berdampingan di tempat
tidur, di dalam kamar pria, apalagi situasi di mana rumahnya sedang kosong. Masachika
hanya bisa memikirkan satu kemungkinan perkembangan masa depan yang bisa
terjadi dari situasi ini.
(Gi-Gi-Gi-Gi-Gimana nih!? Bagaimana kalau
aku membuat candaan untuk mengelabuinya!? Tidak, karena sudah sejauh ini, aku
pasti akan dianggap pengecut kalau mundur sekarang! Dia akan berpikir kalau aku
ini si keparat yang tidak punya nyaliii !!!)
Tanpa perlu beribu-ribu alasan,
tapi memang begitulah faktanya. Faktanya, Masachika tidak memiliki nyali untuk
mendorong Alisa ke bawah dan juga tidak memiliki sifat karnivora untuk memakan gadis yang dibawanya masuk ke
kamar. Namun, mengakuinya di sini sama saja dengan mengakui kekalahan, dan itu
cukup menjengkelkan.
(Jika aku mundur di sini ...)
Di dalam imajinasinya,
Masachika bisa melihat Alisa mengejeknya dengan senyum konyol.
『Ara
?? Bukannya kamu ingin mengajariku tentang hati pria? Aku ingin tahu apa itu
hati pria Masachika-kun saat waktunya tiba Ia akan berubah jadi pengecut? Hmm,
begitu rupanya. 』
Masachika merasa kesal oleh
hasutan Alisa, meski mengetahui kalau itu hanya imajinasinya sendiri. Jika hal
tersebut dikatakan oleh seorang Onee-san yang memiliki banyak pengalaman cinta,
Ia bisa memahaminya. Tapi ...
(Aku tidak mau mendengarnya dari orang
yang hampir tidak punya teman, apalagi pacar …!!)
Termotivasi oleh pemberontakannya
yang membara, Masachika mengambil langkah lebih jauh. Usai mengangkat pinggulnya
dengan ringan, Masachika mendekatkan dirinya pada jarak di mana kakinya hampir
menyentuh kaki Alisa. Sembari tersenyum ringan, Ia kemudian membisikkan sesuatu
ke telinga Alisa saat dia memalingkan wajahnya.
“Kamu gugup, ya? Imutnya~.”
(Seseorang tolong hentikan akuuu———!!)
Masachika berusaha sekuat
tenaga menjaga ekspresinya dengan tenang saat Ia berteriak di kepalanya dan terus
memperbarui dirinya dengan sejarah hitam satu demi satu. Ia merasa seperti
sedang memakan buah simalakama.
(Yukiii! Ayanooo! Kalau sudah begini,
Ayah pun tidak masalah ! Seseorang tolong datang ke kamarkuuu … !! Bukankah
biasanya ada anggota keluarga atau seseorang yang akan menghalangi adegan
seperti ini!?)
Masachika berharap adegan klise
dalam anime bisa mengatasi situasi ini, tapi ... kenyataan tidak berjalan
sesuai harapannya. Tidak, atau bisa dibilang tidak bertambah buruk?
Pokoknya, perkataan Masachika
mencapai telinga Alisa tanpa terganggu oleh keadaan yang tak terduga. Kemudian,
Alisa yang menerima kata-kata itu …. berbalik
dengan pandangan sekilas, dan setelah memperbaiki ekspresinya karena
membeku sesaat karena melihat wajah Masachika dari dekat, dia lalu tersenyum
provokatif.
“Gugup? Tidak sama sekali, kok.
Sebaliknya, bukannya Masachika-kun sendiri yang lebih gugup?”
Usai mengangkat dagunya dan
berkata begitu, Alisa lalu membaringkan dirinya di tempat tidur.
“... Lihat, katanya kamu akan
mengajariku mengenai hati pria?”
Pipi Alisa sedikit memerah saat
dia sedikit meringkuk di samping Masachika dan secara provokatif mengundangnya dari bawah. Ditambah
dengan bahunya yang kaku secara tidak wajar, dia jelas-jelas terlalu memaksakan
dirinya.
(Kamu ini—, berpura-pura kuat juga ada
batasanya kalii—— !! Jika kamu melakukan
itu, aku tidak punya pilihan selain menutupinya!? Tidak punya pilihan lain,
okee!?)
Situasinya sudah berubah
menjadi semacam perlombaan. Orang yang menginjak rem duluan adalah orang yang
kalah.
(Ah~ ya ampun! Kalau sudah begini, aku
tidak peduli jika kita berada di dalam lingkaran sihir pemanggilan dunia lain!
Semua orang yang ada di dunia lain~! Di sini ada pahlawan wanita loh~! Hmm?
Tunggu sebentar, bukannya nanti aku akan ikut terlibat dalam pemanggilan juga?
Ahhhhhhh terserah, aku tidak peduli entah itu pengunjung dari luar angkasa atau
penjajah dari dimensi lain, atau apapun itu, demi bisa keluar dari situasi iniiii——
!!)
Entah itu karena keinginan
Masachika langsung terkabulkan atau bukan. Namun tiba-tiba, Alisa menyadari
sesuatu seraya meraih selimut yang ada di atas tempat tidur ... dan kemudan, ekspresinya
langsung menghilang dalam sekejap mata.
“... Nee, Masachika-kun.”
“Hmm?”
Masachika merasakan kebingungan
dan sedikit rasa lega pada nada dingin yang mendadak keluar dari mulut Alisa.
Tanpa memedulikan reaksinya, Alisa perlahan bangkit dari tempat tidur ... lalu
mengambil sesuatu dengan tangan kanannya dan menyodorkannya di depan mata
Masachika.
“Apa ini?”
Benda yang Alisa tunjukkan
ialah rambut hitam yang panjang.
(O-Oh itu ya)
Masachika mengingat saat Ia
membungkus Yuki dengan selimut kemarin, dan mulai berkeringan dingin. Pada saat
yang sama, Ia melarikan diri dari kenyataan sembari mengatakan, “Yuki juga pernah melakukan hal yang sama ~
hahaha”.
Namun, Ia segera menyadarinya.
Ini adalah bom yang sudah lama Ia tunggu-tunggu untuk menghancurkan situasi
yang seperti neraka ini. Setelah itu, jika Ia bisa memainkan apinya dengan
baik, Ia bisa menyelesaikan perlombaan yang tidak baik buat hatinya ini.
Masachika yang menyadari hal tersebut ... tidak lagi membuang-buang waktu dan
memainkan poninya dengan gaya lebay.
“Hmm? O-Oh, itu sih ... itu
mungkin dari rambut Yuki yang kemarin datang berkunjung dan bermain
pertandingan gulat di tempat tidur bersamaku?”
“... Hmm, gitu ya.”
Masachika mencoba menyalakan
api dengan kalimat ala cowok brengsek yang sudah menunggu tamparan di pipinya. Alisa
kemudian tersenyum dengan senyum menakutkan dan dengan cepat meraih kerah
Masachika.
(Ah, leherku akan dicengkeram…. )
Segera setelah merasakan firasat
semacam itu, tangan Alisa menarik kerah kemeja polonya. Namun ... dia tidak meraih
bagian atas, tapi pada bagian samping. Kemudian, jari putih panjang Alisa
membelai leher Masachika yang terbuka.
“Ah……”
Masachika secara tidak sengaja
mengeluarkan desahan kecil karena sensasi tulang punggungnya merinding. Ia
merasa malu akan hal ini dan hampir memalingkan wajahnya secara refleks, tapi …
Ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Alisa. Senyum Alisa yang menyihir dan
menakutkan memberinya rasa bahaya dan pada saat yang sama daya tarik yang kuat,...
Hal itu membuat Masachika menelan ludah dengan kecut.
Riasan Alisa yang tidak biasa
memancarkan kecantikan yang lebih dewasa dari sebelumnya, yang mana hal itu
sangat menarik perhatiannya dan tidak bisa memalingkan muka. Apakah ini yang
disebut pesona wanita yang begitu menggoda? Dia memiliki pesona dewasa yang
memaksanya untuk mendekat meskipun Ia tahu kalau itu akan membawanya lebih
dekat pada kehancuran.
(Wow, ada Onee-san dewasa ...)
Masachika benar-benar dibuat
terperangah oleh sisi tak terduga dari teman sekelasnya yang tadianya Ia anggap
jalang palsu. Alisa kemudian menggerakan jari-jarinya di sepanjang leher
Masachika, yang hanya terbujur kaku dan tidak bisa melawan...
“Lalu—”
Kata-kata yang disertai senyum
gelap …. keluar dari bibir merah tipisnya yang merona.
“Ini bekas gigitan apa...?”
“…… Eh?”
Pernyataan tersebut menyadarkan
kembali Masachika. Hal itu menyadarkannya kembali, Ia lalu menelaah pertanyaan
itu di otaknya ... dan segera, keringat dingin bercucuran di punggungnya.
(Ahhhhhhh—— ! ! Yang itu masih membekas
yaaaa—— !!)
Rasa sakit dari saat Yuki
menggigitnya kemarin pagi kembali terlintas di benaknya, dan pada saat yang
sama, Yuki yang dalam wujud iblis kecil, tertawa jahat di dalam pikirannya.
Adegan ini mirip seperti seorang cowok yang ketahuan berselingkuh oleh pacarnya
karena menemukan tanda cupang di lehernya. Faktanya, hal itu tidak terlalu jauh
dari kebenarannya.
(Ga-Ga-Ga-Ga-Gawat!! Gimana nih!?)
Naluri bertahan hidup Masachika
dengan keras memperingatinya akan kemungkinan ledakan yang jauh lebih besar
dari yang Ia perkirakan. Jari-jemari Alisa di lehernya anehnya terlihat menakutkan.
Entah bagaimana, pemikiran tentang “Kalau
tidak salah, leher adalah bagian vital dari tubuh ‘kan ...” mendadak muncul
di benaknya.
Masachika mencoba mencari
semacam alasan, tetapi Ia tidak bisa memikirkan alasan apapun untuk bekas
gigitan di lehernya. Masachika merasa kalau Ia bisa mengungkapkan bahwa Yuki
adalah adik perempuannya, Ia bisa meminimalisir dampak kerusakan sampai batas
tertentu, tapi hal itu takkan mungkin terjadi.
Sebenarnya, Masachika juga sempat
berpikir untuk mengungkapkan fakta ini kepada Alisa, setelah Sayaka dan Nonoa
mengetahui tentang hubungan kekerabatannya dengan Yuki. Ia pikir akan lebih
baik untuk mengatakan kebenarannya kepada Alisa, yang memiliki hubungan dekat
dengan mereka berdua. Tapi, hal itu dihentikan. Bukan oleh orang lain,
melainkan oleh Yuki sendiri.
『Terkadang,
rahasia bisa menjadi beban bagi orang yang mengetahuinya, tau? 』
『……Beban?
』
Yuki melanjutkan dengan
ekspresi serius saat Masachika tampak kebingungan dengan kata-kata yang tidak
terduga.
『Dengan
mengungkapkan rahasia kita, Onii-chan mungkin akan merasa lega. Namun, Alya-san
yang mengetahui rahasia tersebut, akan dipaksa untuk merahasiakannya sejak saat
itu, bukan? Dia bahkan harus menjaga rahasia itu dari Masha-senpai, yang
jelas-jelas kakaknya sendiri, ‘kan? Lagipula, bagaimana dengan perasaan
Alya-san yang mengikuti kampanye pemilihan ketua OSIS ketika mengetahui, kalau
Onii-chan dan aku adalah kakak beradik? Apa kamu yakin kalau dia mempunyai
tekad yang kuat ketika mengetahui, kalau saingannya adalah adik perempuan dari
pasangannya sendiri? 』
『!
』
Masachika dibuat terkejut
dengan pertanyaan yang dilontarkan padanya. Semuanya memang benar, persis
seperti apa yang dikatakan adiknya.
『Begitu
ya… jadi begitu rupanya. Rahasia terkadang bisa menjadi beban, ya ... baiklah,
aku mengerti. 』
Masachika menganggukkan
kepalanya berulang kali seolah-olah dia merasakannya, dan Yuki balas
menganggukkan dengan ekspresi serius seraya berkata…
『Ya,
persis seperti dalam kalimat dari beberapa manga』
『Ternyata
kata-kata bijak dari manga, toh!』
Setelah berdiskusi seperti itu,
mereka sampai pada kesimpulan bahwa mereka akan terus merahasiakan fakta kalau
mereka berdua adalah kakak beradik dari Alisa. Setidaknya, sampai pemilihan
ketua OSIS selesai. Namun, Ia merasa panik dengan situasi yang dialaminya
sekarang ... Meski Ia sudah mati-matian memikirkan sebuah alasan, tapi otaknya
terus mengalami kebuntuan karena di hadapkan oleh rasa bahaya.
“A-Ahhh~~~~ Ini, ya~? Ini sih~
saat bermain-main pertandingan gulat, Yuki yang hampir kalah tiba-tiba
menggigitku~ Astaga, gak boleh ada yang namanya main curang, iya ‘kan~”
Alhasil, apa yang keluar dari
mulut Masachika bukanlah sebuah alasan, tapi justru sebuah pengulangan cerita.
“Hmm~ ...”
Mendengar nada mengganggu dalam
suaranya, Ia lalu berusaha melirik ke arah Alisa ... Alisa pun melepaskan tangannya dari leher
Masachika dengan senyum menakutkan di mulutnya dan mengepalkan tinjunya.
“Nee ... Apa kamu tahu apa yang
sedang kupikirkan sekarang?”
.... Rupanya, pembuangan bom
telah gagal. Begitu Masachika menebak ini, Ia lalu kembali bersiap-siap dan
sekali lagi menjawab dengan gaya lebay
yang tidak berguna.
“Hah, tentu saja aku tahu ... karena aku adalah cowok jantan yang bisa
memahami hati seorang gadis.”
Usai mengatakan itu dengan
senyum yang kaku ... Masachika lalu berbaring di tempat tidur dan menatap Alisa
dengan ekspresi layaknya gadis kecil yang lucu.
“Tolong lakukan, dengan lembut,
ya?”
Dan kemudian Masachika serasa
rohnya sempat keluar sebentar dari tubuhnya. Entah itu dilakukan dengan lembut
atau tidak ... Ia sendiri tidak mengingatnya.
“Kalau begitu, ayo pergi.”
“Ussu. Dengan senang hati, aku
akan mempelajari hati seorang gadis. Ussu.”
Tiba-tiba tanpa Masachika
sadari, Ia sudah berhenti mengerjakan tugas liburan musim panasnya dan pergi
keluar bersama Alisa. Ketika Ia memeriksa waktu di smartphone-nya, waktu
menunjukkan pukul 15:20. … jadi, ada sekitaran 20 menit ingatannya terhempas
entah kemana. Selain itu, entah kenapa Masachika mendapati dirinya berada di
lorong apartemen dan menjawab Alisa dengan nada yang mirip seperti anggota klub
bisbol.
“... Hei, apa-apaan dengan nada
aneh itu?”
“Aku sendiri tidak tahu-ssu.”
Ya, Ia sendiri tidak tahu sama
sekali. Namun entah kenapa, ketika Alisa menatapnya, punggungnya langsung tegak
dengan sendirinya. Rupanya ada sesuatu yang ditanamkan dalam ingatannya saat
kesadarannya melayang entah kemana. Atau bisa dibilang terukir?
“Karena kedengarannya aneh,
kembalilah dengan nada bicaramu yang biasa.”
“Uss...I-Iya.”
Karena mendapat tatapan dingin
Alisa, Masachika menampar pipinya sekali dan kembali ke sikapnya yang biasa.
Lalu, saat Ia melihat kembali situasinya sekarang, …. sepertinya Alisa
mengajaknya berkencan dengan kedok “mempelajari
hati seorang wanita”.
“...”
Ketika Ia memikirkannya dengan
tenang, ada banyak hal yang ingin Masachika
tsukkomi kan, tetapi karena Ia sudah meninggalkan rumah, jadi apa boleh
buat. Masachika lalu membungkuk hormat pada permintaan sang putri.
“Lantas? Apa yang perlu hamba
ini lakukan?”
Alisa berkata dengan ekspresi
sedikit kesal pada Masachika, yang bertingkah lebay seolah-olah Ia adalah
seorang pramusaji atau semacamnya.
“Pertama-tama, dampingi aku ?”
“… Ya.”
Seperti yang diperintahkan,
Masachika lalu mengangkat sikunya dengan ringan dan berdiri di samping Alisa,
dan dia memasukkan tangannya ke dalam sikunya dengan sedikit canggung. Dan
kemudian ... dia terang-terangan mengangkat alisnya.
“... Tidak, jangan pasang muka
seperti “Entah kenapa rasanya berbeda…”, ketika
kamu sendiri yang menyuruhku untuk melakukannya.”
“A-Aku tidak memasang muka
seperti itu, kok!”
“... Gitu ya. Bagaimanapun juga,
karena biasanya panas, jadi segini saja harusnya cukup.”
Faktanya, saat mereka saling
mendekat, suhu tubuh mereka menambah panasnya musim panas, jadi Masachika
mengangkat tangannya dengan gaya untuk melepaskan pegangannya.
(Yah, Alya bukan tipe orang yang cuma diam
saja saat ditemani laki-laki)
Sambil memikirkan ini di dalam
hati, Masachika menoleh ke arah Alisa, yang kelihatanya sedikit tidak puas
dengan sesuatu.
“Kalau begitu ... kita mau
pergi kemana?”
“Bukannya itu tugasmu untuk
memikirkannya?”
“Eh? Bukannya ... ada tempat
yang ingin kamu datangi, dan aku akan pergi menemanimu, ‘kan?”
“Ya enggaklah. Bukannya sudah
kubilang kalau ini adalah kenc— ... jalan-jalan keluar untuk mempelajari hati
seorang gadis?”
“... Dengan kata lain, aku
harus melakukan yang terbaik untuk menebak kemana kamu ingin pergi?”
“Yah, kurang lebihnya begitu.”
Setelah membuat permintaan yang
tidak masuk akal sambil menyisir rambutnya, Alisa dengan ringan membusungkan
dadanya dan mulai berbicara dengan ekspresi agak sok di wajahnya.
“Dengerin baik-baik, oke? Kamu
tidak perlu mendapatkan jawaban yang benar. Selama kamu melakukan yang terbaik
untuk membuat senang dan menghibur pihak lain. Perasaan itulah yang membuat
gadis-gadis bahagia.”
“Begitu rupanya. Apa kamu
membicarakan pengetahuanmu dari shoujo manga?”
“I-Itu tidak benar, kok ...”
Ketika tatapan Masachika
berubah menjadi lembut dan bertanya, “Kamu
cuma mengutipnya dari manga shoujo, iya ‘kan?”, suara Alisa semakin lama
semakin mengecil dan tatapan matanya mengembara kemana-mana dengan cara yang
gampang sekali dimengerti. Namun, Masachika berbalik ke arah lift tanpa
bertanya lebih jauh lagi.
“Kalau begitu, ayo pergi ... dengan asal-asalan,”
“Hei, tunggu... apa maksudmu
dengan asal-asalan?”
“Itu cuma kiasan kata saja,
kok. Jangan khawatir, aku akan memikirkannya dengan benar.”
“Be-Benarkah? Kalau begitu
tidak masalah ...”
Alisa langsung mundur pada
perkataan Masachika, yang mengatakannya tanpa sedikitpun bercanda,... tapi
pikiran Masachika justru...
(Yah, jika kami berjalan-jalan di sekitar
area stasiun, dan melihat kalau ada tempat yang ingin Alya kunjungi, kami
tinggal masuk saja ke sana ... Terakhir, jika aku membawanya ke tempat yang
menjual makanan manis-manis, dia pasti takkan terlalu banyak komplen.)
Itu adalah asal-asalan dalam
artian yang gampang dan buruk. Tapi ... begitu Ia mulai berjalan, Masachika
mulai merasakan firasat buruk. Itu karena……
(Aku diawasi ... Aku benar-benar sedang
diawasi ...)
Secara mengejutkan, Alisa tidak
terganggu oleh suasana di sekitarnya. Mereka berdua berjalan menuju stasiun sambil
mengobrol, tapi tatapan Alisa hanya bolak-balik antara menghadap depan dan
melirik Masachika, bukan ke arah toko-toko yang ada di sekitarnya.
(Alya-chan memang gadis yang sangat baik
karena melihat ke wajah orang saat berbicara dengan mereka, ya!)
Masachika melarikan diri dari
kenyataan dengan berpikir begitu saat Ia bisa merasakan tatapan Alisa dari
sampingnya.
【... Kira-kira apa aku harus menimpanya, ya.】
Masachika dalam hati
memiringkan kepalanya pada gumaman Rusia yang tiba-tiba terdengar. Karena Ia
tidak begitu memahami maksudnya, Masachika tanpa sadar menoleh ke arah Alisa.
“Kamu bilang apa tadi?”
“Bukan apa-apa ... aku cuma sedikit
berpikir 『Kelihatannya menyakitkan』.”
Dengan lembut, Alisa melirik
leher yang mengintip dari kerah Masachika. Akhirnya Masachika mulai menyadari
mengapa Alisa terus menerus menatapnya.
(Oh, Ohhh! Jadi kamu tidak sedang melihat
wajahku, melainkan melihat bekas gigitan di leherku, ya! Ya ampun, aku jadi
terlalu narsis!)
Masachika yang mengira dirinya
sedang diawasi, merasa sangat malu
dengan kesalahpahamannya sendiri.
(Uwaahhhhhhhh~~~ jadi begitu rupanya yaa~…..
hmm? Tapi tunggu sebentar, maksud dari【Menimpa】itu apa…?)
Begitu Ia dengan santai
mempertimbangkan maksud dari kata tersebut ... Masachika dikejutkan oleh rasa malu yang hebat
dalam artian lain. Karena merasa tak bisa menahan rasa tersipunya, Ia
mengalihkan pandangannya ke atas dari wajah Alisa dan menatap ke etalase toko
yang ada di sana.
(Hissh, astagaaa~~!! Emosi macam apa yang
kamu bicarakan!? Apa ini tentang yang itu? Sebuah tren yang dulu populer di
mana kamu menulis nama orang yang kamu sukai di penghapus? Yang mana konon
katanya jika kamu tidak ketahuan, cintamu akan menjadi kenyataan. ...... tapi
yang ada justru, poin utamanya adalah menikmati sensasi apa kamu bakal ketahuan
atau tidak. Bahkan, ada orang yang menulis nama seseorang yang bahkan tidak
mereka sukai, atau dengan sengaja membuang bungkus penghapusnya supaya bisa
terlihat jelas. ... hah)
“Wahh!?”
Karena tidak dapat melihat
langsung ke muka Alisa, Masachika sedang melihat ke arah etalase sebuah toko
pakaian ...... tapi tiba-tiba, sosok yang dikenalnya memasuki bidang pandangannya,
dan hal itu membuat Masachika mundur karena terkejut.
“Apa yang kamu—— Eh,
Miyamae-san!?”
Alisa yang berbalik mengikuti
tatapan Masachika ikut terkejut juga. Ada dinding di belakang beberapa manekin yang
berjejer di etalase toko. Dan di sana, terdapat poster Nonoa di antara model
asing. Mereka berdua tanpa sadar berhenti saat melihat teman seangkatan mereka
yang berpose dengan anggun ke arah jalan utama.
“Uwaahh ... Hebat banget, ya.
Rasanya ini berada pada level yang berbeda dari membaca majalah ...”
“Kalau tidak salah, dia menjadi
model untuk merek orang tuanya, iya ‘kan ...”
“Emang ... tapi ketika aku melihat
foto-fotonya yang seperti ini, aku merasa seperti sedang melihat seorang
selebriti.”
Penampilan Nonoa yang
mengenakan pakaian modis dan berpenampilan misterius memang sebanding dengan
model profesional lainnya. Sebaliknya, dia tampak begitu mengesankan sampai-sampai
Masachika salah mengiranya sebagai seorang model profesional.
Pipi Masachika tiba-tiba
dicubit saat Ia menatap kagum pada penampilan Nonoa.
“... Adha apha?”
“Masachika-kun? Apa kamu tahu alasan
kenapa kamu dicubit?”
Saat berbalik, Ia bisa melihat
wajah mencela Alisa. Pada pertanyaan itu, Masachika ingat kalau mereka sedang “kencan untuk mempelajari hati wanita”. Sambil
di dalam hati berpikir “Oh sial”,
Masachika menjawab sambil menahan pipinya yang dicubit.
“... Karena aku terpesona oleh
gadis lain saat sedang berkencan.”
“Tepat sekali. Jika ini kencan
beneran, kamu akan kehilangan banyak poin, loh? Yah, untungnya ini bukan kencan
beneran, dan aku juga tidak terlalu peduli, sih.”
Setelah mengatakan itu, Alisa
tiba-tiba berbalik dan berjalan ke depan. Masachika lalu mengikutinya sambil mengusap
pipinya yang dicubit oleh Alisa.
(Untuk seseorang yang bilang kalau dia
tidak peduli, cubitan tadi rasanya terlalu kuat ... Apa itu cuma imajinasiku
saja?)
Bahkan saat berjalan begini,
tatapan yang Ia rasakan di pipinya terasa lebih tajam dari sebelumnya... Apa
itu benar-benar hanya Imajinasi Masachika belaka?
【Kenapa kamu tidak mau melihatku】
(Ah, ternyata ini bukan imajinasiku saja)
【Padahal kamu sendiri yang bilang, kalau kamu bisa melihatnya untuk
selamanya】
(Dia marah ... Dia benar-benar marah
...!)
Masachika langsung berkeringat
dingin saat Alisa memain-mainkan rambutnya dan menggumamkan keluhannya dalam
bahasa Rusia. Masachika tidak punya keberanian untuk melihat langsung ke wajah
Alisa dalam situasi ini. Wajah marah seorang gadis cantik membuatnya ketakutan
“Yah, meski ini kedengarannya
seperti alasan, tapi ... saat aku bilang “terpesona”
tadi, bukan berarti aku kepincut olehnya,
oke? Aku cuma merasa sedikit terkesan ...”
“Tidak masalah, kok? Mau tak
mau kamu akan terpesona saat melihat gadis cantik, jadi apa boleh buat. Lagipula,
itulah yang dinamakan Ha-Ti. P-r-i-a,
iya ‘kan?”
“Kurasa begitu. Kadang-kadang
tatapanku akan mengikutimu juga.”
“Ka-Kamu ini bilang apaan sih
...”
Ketika Ia menjawab dengan nada
yang sangat serius, Alisa langsung memalingkan wajahnya dengan malu-malu. Masachika
juga secara tidak sengaja terpesona oleh reaksinya yang gampangan itu.
【Aku juga ...sama sih 】
(!!!)
Dan kemudian, Ia menelan (muntah darah) pada reaksi gampangan
Alisa yang konsisten. Masachika pikir itu tidak adil bahwa dia tiba-tiba
melakukan penyergapan saat dirinya sedang lengah.
(Begitu ya... Bahkan Alya pun dibuat
terpesona oleh cowok tampan ya ... Mungkin saja pada Hikaru?)
Sambil menyeka muntahan darah
dari imajinasinya, Masachika melarikan diri dari kenyataan untuk mempertahankan
diri. Ia juga mengabaikan tatapan penuh arti yang diarahkan padanya. Karena Ia
sama sekali tidak peduli, maka Ia beneran tidak peduli sama sekali.
“Yah, kesampingkan hal itu...
Pokoknya, mana mungkin aku bisa terpesona pada Miyamae. Kalaupun ada, aku justru
merasa waspada.”
“Waspada?”
“Ah, enggak ...”
Masachika segera tutup mulut
ketika tanpa sengaja mengeluarkan perasaannya yang sebenarnya, yang mana tidak
perlu Ia katakan. Sulit untuk menjelaskan kepada orang lain rasa kewaspadaan
yang dimiliki Masachika terhadap Nonoa, dan bahkan jika Ia menjelaskannya, Ia
takkan mendapat simpati apapun.
Bagi kebanyakan orang yang
mengenalnya, Nonoa adalah gadis yang pendiam, ... atau lebih tepatnya, gadis yang selalu
terlihat lesu dan tidak berbahaya, bertentangan dari penampilannya. Masachika
setuju dengan evaluasi tersebut, dan karena Ia juga sama-sama orang yang tidak
mau direpotkan, Ia percaya kalau Nonoa pada dasarnya menghindari masalah dan
takkan melakukan sesuatu yang mengarah pada hal yang buruk. Namun ... Di sisi
lain, Ia juga mengetahui bahwa tidak ada —
dengan beberapa pengecualian— yang bisa
mengikat tindakan Nonoa selain sifat “tidak
mau direpotkan”-nya itu.
Bukan karena dilarang oleh
aturan hukum, dan juga bukan karena bertentangan dengan moralitas. Dia
cuma tidak melakukannya karena terlalu merepotkan. Namun, jika Nonoa menganggap
hal yang “dibutuhkan” melebihi dari “merepotkan”*, dia tidak segan-segan
mengabaikan hukum serta moralitas untuk mengambil tindakan. Karena Ia memahami
itu melalui pengalaman dan instingnya, Masachika mau tak mau merasa takut dan
waspada terhadap Nonoa. (TN : Cih, nanda yo koitsu, mendokusai, yahh tipe-tipe yang
kayak Ayanokouji gitulah :v)
Namun, Ia tidak berniat
memberitahu Alisa tentang itu. Ia tidak ingin terdengar seperti membicarakan
hal jelek di belakang punggungnya dan berpikir kalau itu bukan ide yang baik
untuk menanamkan prasangka buruk. Itu sebabnya, Masachika dengan cepat
mengelabuinya.
“Ah~ maksudnya, saat dia
berbicara denganku. Aku mendapat tatapan tajam dari kroni-kroninya. Bukannya
dia yang salah sih , tapi … saat aku hanya menyapa santai padanya, aku selalu
dipelototi oleh teman-temannya, jadi ketika aku melihatnya, aku secara refleks
menjadi waspada.”
“Oh jadi begitu maksudnya...”
“Ya. Dan yah, karena rambut
pirangnya itu menonjol. Tanpa sadar, pandanganku akan tertarik melihatnya.”
“Hmm~, lebih menonjol dari
rambutku?”
“Ah enggak, tentu saja,
menurutku rambut perakmu juga kelihatan indah ...”
“Aku cuma bercanda, kok.”
Dengan senyum kecil di wajahnya,
Alisa memilin-milin ujung rambutnya dan terus melanjutkan.
“Apalagi waktu dulu, rambutku
itu pirang, tau?”
“Hah, dulu...? ... Ohhh! Apa
jangan-jangan tentang itu? Katanya anak-anak di luar negri, warna rambut dan
mata mereka akan berubah ketika mereka tumbuh dewasa!? Wow, jadi beneran ada,
ya!”
Alisa mengedipkan matanya dengan
kaget seolah-olah dia sedikit kewalahan oleh kegembiraan di mata Masachika.
“Y-Ya ... Meski tampaknya
jarang sekali ada orang yang warna rambutnya memudar seperti aku.”
“Hee~~! ... begitu ya, Alya yang
berambut pirang, huh ...”
“... Apa? Apa kamu tertarik?”
“Yah, sejujurnya, aku ingin
melihatnya.”
“Be-Begitu ... kalau begitu,
aku akan menunjukkan fotonya padamu lain kali.”
“Oh, seriusan nih? Aku sangat
menantikannya.”
Bahkan sekarang, Alisa memiliki
kecantikan layaknya seorang peri, tapi ketika dia masih kecil, dia pasti
secantik bidadari. Pipi Masachika mengendur saat memikirkannya.
(Dulu Yuki juga terlihat seperti
bidadari,… tapi sekarang justru...)
Dalam imajinasinya, Yuki yang
berwujud iblis kecil mengeluarkan tawa jahat “Ke~ke~ke~”, Masachika merasakan kejamnya aliran waktu dan tatapan
matanya memandang ke arah jauh. Ia merindukan masa-masa adik perempuannya yang
masih polos dan lugu. Yah, jika dia beneran keluar lagi, Masachika mungkin akan
menggali luka lamanya.
“…Umm.”
“Hmm?”
“... Masachika-kun sendiri
gimana?”
“??”
“Masachika-kun sendiri ...
dulu, anak yang seperti apa?”
Tiba-tiba, Masachika menemukan
ekspresinya membeku pada pertanyaan tak terduga yang diajukan dengan cara yang
sedikit enggan.
“... Ada apa? Tiba-tiba
menanyakan itu.”
Karena tidak dapat membalas
kembali dengan cepat, Masachika mengajukan pertanyaan dengan suara sekeras
ekspresinya. Kemudian, Alisa sepertinya menyadari bahwa sikap Masachika sedikit
berubah, dan dia mengeluarkan suara “Ah ...” kecil sebelum melanjutkan
bertanya dengan sikap yang semakin sungkan.
“Yah, belakangan ini aku baru
tahu hari ulang tahunmu, iya ‘kan? Kalau dipikir-pikir lagi, hal itu mungkin
menimbulkan masalah jika aku tidak tahu banyak tentang pasangan kampanyeku
sendiri ...”
“Ohh … begitu maksudnya.”
Penampilan Alisa yang semakin
menciut membuat Masachika menyesal karena sudah menciptakan suasana aneh selama
kencan. Kemudian secara sengaja, Ia menjawab dengan suara yang cerah.
“Hmm ... yah, dulu itu aku jauh
lebih serius daripada sekarang, tau? Aku tidak pernah tertidur selama jam
pelajaran dan tidak pernah melupakan apa pun.”
“Benarkah?”
“Ya, lagi pula, aku bukan otaku
pada waktu itu… Huh~ hobi otaku yang aku sukai selama waktu SMP, membuatku gila
karena aku masih punya sikap serius…”
“Oh gitu ya ......”
Tatapan Alisa sedikit mendingin
pada nada bercanda Masachika, dan dia berpura-pura berpikir sejenak.
“Lalu ... apa makanan
kesukaanmu?”
Masachika mendecakkan lidahnya
dalam hati pada pertanyaan yang mendadak itu, … tapi Ia merasakan perhatian
Alisa dan berterima kasih padanya dengan jujur.
“Hmm ... yah, kupikir kamu
sendiri sudah mengetahuinya, aku itu sangat menyukai makanan pedas, oke? Dan
... yah, makanan yang disukai kebanyakan orang seperti ramen atau kari?”
“Makanan pedas ...”
“Apa kamu tidak menyukai
makanan pedas?”
“Eng-Enggak, kok. Bukankah aku
pernah makan ramen pedas bersamamu sebelumnya?”
“Ah, ya.”
Padahal Masachika bertanya apakah
dia tidak menyukai maknan pedas berdasarkan situasi saat itu. Rupanya, Alisa
masih berpikir kalau dirinya belum ketahuan hampir sekarat di depan semangkuk
ramen super pedas.
(Tapi yah, jika dia bersikeras kalau dia
menyukai makanan pedas, aku takkan bertanya lebih jauh lagi, sih ...)
Alisa terus bertanya kepada
Masachika, yang dalam hati cenderung bertanya kenapa dia terus bersikap keras
kepala mengenai itu.
“Lalu, di sisi lain, makanan
apa yang tidak kamu sukai?”
“Kurasa tidak ada. Dari dulu
aku selalu diberitahu untuk tidak boleh pilih-pilih makanan ...”
“Begitu ya…”
“Ah, tapi aku tidak suka borscht buatan kakekku. Baunya itu seperti
tanah.”
“Bau tanah...?”
“Mungkin bitnya dimasak dengan
payah... tapi, itulah sebabnya borscht
yang dibuat Alya tempo hari cukup revolusioner.
Rasanya sangat enak sekali, tau.”
“Be-Benarkah? Itu sih,
sama-sama.”
Begitu mendengar pujian
langsung Masachika, Alisa mengalihkan pandangannya dengan malu-malu. Kemudian,
dia mengangkat dagunya sambil memainkan ujung rambutnya dengan jari-jarinya dan
berkata.
“Yah, kalau kamu mau, aku bisa
membuatkannya lagi untukmu, loh? Mungkin pada sesi belajar berikutnya.”
“Eh, tidak usah ... Aku jadi
merasa tidak enakan mengenai itu. Butuh waktu empat jam, iya ‘kan? Untuk
membuatnya.”
“Tentu saja aku akan memintamu
untuk membantuku. Kamu bisa melakukannya, ‘kan? Memasak.”
“Ahh … begitu rupanya.”
“Kalau begitu sudah diputuskan.
Pada sesi belajar berikutnya ... Nah benar juga, mungkin kamu bisa membantuku
mulai dari berbelanja.”
“Ah~... baiklah, siap.”
Ketika Masachika menganggukkan
kepalanya dengan senyum masam, Alisa tertawa dalam suasana hati yang baik dan
tiba-tiba menyadari sesuatu, lalu memalingkan wajahnya sedikit.
【Ra-Rasanya seperti pasangan suami istri, ya? 】
(... Benar juga, sih.)
Alisa lalu mencuri-curi pandang
ke arahnya, dan dengan gelisah memainkan ujung rambutnya. Karena itu sudah
menjadi pemandangan biasa, jadi Masachika melihatnya dengan tatapan jauh. Ia
tidak mengungkitnya, tidak menanyakannya, dan juga tidak melakukan tsukkomi.
(Pasangan suami istri ... ya?)
Namun, begitu rupanya. Kalau
dipikir-pikir lagi, berbelanja bersama, memasak bersama, dan duduk mengelilingi
meja makan bersama adalah hal biasa dilakukan oleh pasangan yang tinggal
bersama, meski dibilang suami istri itu sedikit berlebihan. Dan ketika
membayangkan adegan itu ... Masachika terkejut pada dirinya sendiri yang secara
alami berpikir kalau itu “tidak terlalu buruk
juga”.
(Yah, waktu yang kuhabiskan bersama Alya
… aku tidak membencinya sama sekali)
Gadis yang selalu serius,
angkuh, selalu mengomentari tentang segala hal, dan meributkan hal sesuatu
dengan cara yang aneh ... tapi Ia tidak berpikir kalau itu mengganggu. Keseriusannya
yang semacam itu dan fakta bahwa dia sedikit berpura-pura itu sangatlah
imut..... Masachika bahkan berpikir kalau itu menggemaskan.
(Oh ... entah kenapa, rasa ada sesuatu
yang lembut dan halus)
Masachika mendapati dirinya
tersenyum pada sensasi yang dengan tenang mengangkat hatinya. Kemudian, saat
perasaan lembut dan hangat mengalir di hatinya, Ia dengan lembut memegang
tangan Alisa.
“! ……Apa?”
Genggaman tangan Masachika yang
begitu mendadak menghentikan langkah Alisa, dan tangannya bergetar dengan
sentakan. Mata Alisa melebar dan ekspresinya membeku sesaat, tapi Masachika
menoleh padanya dengan senyum lembut.
“Entah bagaimana, aku ingin berpegangan
tangan. Apa itu tidak boleh?”
“Eh … umm……”
Alisa mengalihkan pandangannya
pada penyataan Masahcika yang begitu blak-blakan ... dan setelah beberapa detik, dia mendongak
dan mengangkat dagunya seraya berkata.
“Y-Yah? Gadis juga tidak merasa
keberatan walau sedikit dipaksa, kok? Tentu saja, itu cuma pendapat secara umum,
oke? ... Ya. Aku akan membuat pengecualian khusus kali ini dan mengizinkanmu
untuk memegang tanganku. Lagipula, akulah yang menyarankan jalan-jalan ini, iya
‘kan?”
Masachika tertawa kecil pada Alisa,
yang memberinya izin dengan cara yang bertele-tele.
“Terima kasih untuk itu. Kalau
begitu, ayo pergi?”
“Um ... ayo?”
Diterima dengan ringan, dan
ditarik dengan lembut,...... Alisa menjadi terlihat lebih pendiam. Ke mana
perginya sikap angkuhnya tadi? Dia berjalan dengan tenang bersama Masachika, melirik
tangan mereka yang tergenggam dan wajah Masachika secara bergantian. Kemudian,
sambil memalingkan wajahnya sejenak, dia menggumamkan sesuatu dalam bahasa
Rusia.
【Apaan sih, duh ... 】
Alisa bergumam begitu dan
dengan ringan menggenggam erat tangannya. Selain itu, Masachika tertawa pelan ….
tanpa meringis kesakitan di dalam batinnya. Entah kenapa, Ia merasa sangat
tenang sekarang dan bisa menerima sisi dere
Alisa tanpa tergerak olehnya. Alisa kemudian menatap sosok Masachika, yang
tersenyum dengan ramah dan lembut tanpa henti.
Keduanya berjalan perlahan
sambil berpegangan tangan di area komersial dekat stasiun tempat toko penyewa
berjejer di kedua sisi. Tidak ada percakapan di antara mereka, dan mereka hanya
merasakan panas tubuh satu sama lain yang disalurkan dari tangan mereka yang
bergandengan, .... tapi setelah sekitar lima menit berlalu seperti itu. Alisa,
yang sepertinya sudah terbiasa berpegangan tangan, melihat sekeliling dan membuka
mulutnya dengan sedikit mengernyitkan alisnya.
“... Nee.”
“Hmm?”
“Apa ini cuma perasaanku saja,
atau kita ini dari tadi hanya berjalan tanpa tujuan?”
Karena tiba-tiba diungkit,
jantung Masachika melonjak dan keringat dingin mengalir di punggungnya. Tepat
sasaran. Ucapan Alisa sangat tepat sasaran . Dan yang terpenting, Masachika
sendiri bahkan tidak tahu mereka sedang berada ada di mana.
Pada awalnya, Masachika hanya
iseng berkeliaran dengan pemikiran bahwa jika mereka berjalan-jalan di tempat
yang banyak tokonya, Alisa akhirnya akan mengatakan “Oh, toko itu ...” atau sesuatu yang semacam itu. Selain itu, Ia sekarang berjalan-jalan dan berpikir “Kurasa berjalan-jalan begini saja sudah
cukup~” dengan perasaan yang sedikit berbunga-bunga ... Tapi tanpa Ia
sadari, mereka sudah berada di tempat yang belum pernah Ia kunjungi sebelumnya.
(Seriusan, ini sebenarnya di mana sih
...? Sialan, karena aku berjalan-jalan dengan perasaan berbunga-bunga, aku jadi
tidak tahu!)
Begitu Masachika kembali
tersadar, mereka benar-benar tersesat. Namun, jika Ia dengan jujur mengatakan
hal semacam itu, suasana hati Alisa yang sekarang sedang melayang-layang karena
terlalu gembira, akan tiba-tiba berubah dan jatuh ke dasar. Bagaimanapun juga,
Ia sendiri yang mengatakan “Jangan khawatir,
aku akan memikirkannya dengan benar”, di awal kencan tadi. Masachika tidak
berani bilang kalau aslinya Ia tidak punya rencana sama sekali.
Oleh karena itu ... Sebagai
tindakan putus asa, Masachika mengambil taruhan sambil dalam hati berkeringat dingin.
Ia lalu menjawab dengan ekspresi penuh ketenangan ketimbang ekspresi cemas
karena diragukan.
“Mana ada? Tenang saja, aku
sudah memikirkan tujuan kita, kok.”
“… Benarkah?”
“Ya, kita tinggal berbelok di
tikungan sana...”
Masachika dengan cepat menunjuk
ke tikungan yang tak jauh di hadapannya, tapi tentu saja Ia tidak tahu apa yang
ada di balik tikungan itu.
Tapi hal itu tidak ada masalah.
Karena Ia tidak mengatakan kalau “tujuannya”
ada di sana. “Ada tangga”, “ada papan
petunjuk”, atau “Hah? Apa ada di
tikungan lain?”, alasan apa saja tidak malasah. Ia bisa melakukan koreksi sebanyak yang Ia mau setelah melewati
tikungan.
Namun, ide Masachika yang
begitu licik ... seketika hancur saat Ia benar-benar berbelok di tikungan.
Tak disangka-sangka, jalan yang
mereka lalui itu buntu tepat setelah melewati belokan, dan hanya ada satu toko
di ujung jalan. Dan toko itu ... ternyata toko pakaian dalam.
(Tamatlah riwayatku)
Masachika berdiri dengan
ekspresi kaku karena kekuatan tebakannya sendiri (?). Lalu di sebelahnya, ada badai
salju yang dahsyat terjadi, dan tangan mereka yang saling berpegangan semakin
erat, seolah-olah ingin menyiratkan, “Aku
takkan membiarkanmu kabur.”
“Nee.”
“Ya”
“Apa ini tempat yang menjadi
tujuanmu?”
Suara mengerikan yang bergema
dari kedalaman lapisan es membuat Masachika menyadari bahwa ini adalah
pertanyaan terakhir yang harus Ia jawab. Masachika yang menyadari bahwa nasib
masa depannya akan bergantung pada jawabannya atas pertanyaan ini, ..... mulai
menoleh ke arah Alisa dengan ekspresi tulus dan menatap lurus ke matanya, lalu
berkata...
“Belakangan ini, aku pikir
ukurannya sudah tidak cocok lagi, jadi——”
Dengan kata-kata terakhir itu,
Masachika merasa kalau rohnya keluar dari badannya untuk kedua kalinya hari
ini. Walau Ia tidak mengingatnya, tapi ... Ia yakin kalau itu bukan hal yang
baik.
【... Kenapa kamu bisa tahu!!】