Chapter 4 — Tidak, Bukan Begitu Masalahnya
“Panas banget ...”
Sambil menyampirkan tas Boston besar di bahunya, Masachika
berjalan di bawah pancaran terik matahari. Meskipun baru lewat jam 8 pagi, sinar
matahari di bulan Agustus terlihat sangat energik.
Saat berjalan, Ia masih merasa
baik-baik saja. Namun, ketika Ia berhenti di penyeberangan pejalan kaki, Ia
mulai berkeringat, dan hal itu sangat tidak nyaman bagi Masachika.
“Yah, kurasa lebih menyenangkan
pergi ke laut kalau cuacanya sepanas ini.”
Mau tak mau Ia berpikiran seperti
itu. Ya, hari ini adalah hari keberangkatan kemah pelatihan OSIS yang sudah
direncanakan oleh Touya.
Mereka sepakat untuk bertemu di
stasiun dekat sekolah pada pukul 08:30, dan dari sana mereka akan naik kereta
api serta bus menuju villa milik keluarga Kenzaki. Bahkan bagi Masachika, yang
lebih condong tipe orang indoor,
sangat menantikan berenang di laut untuk pertama kalinya setelah sekian lama,
dan merasa sedikit bersemangat. Namun .... begitu tempat pertemuan memasuki
pandangannya, langkah kaki Masachika secara alami berhenti.
“Panasnya …”
Bukan karena masalah suhu.
Tidak, mungkin dalam artian suasana,
Ia tidak salah.
Penyebabnya hanya ada satu. Touya
dan Chisaki sudah tiba duluan di tempat pertemuan, tapi ... suasana yang mereka
berdua pancarkan terlihat panas walaupun dilihat dari kejauhan. Jelas-jelas
mereka berdua tampak senang sekaligus malu karena akan bepergian dengan orang
terkasihnya. Karena mereka saling berpegangan tangan sambil saling menatap dari
depan.Terlebih lagi, dengan kedua tangan. Oh, mereka sekarang mulai saling
menjalin jari-jari mereka.
“Jadi susah mendekat, nih ...”
Begitu Ia berpikir apakah Ia harus
terus menunggu sampai anggota lain datang …. Tatapan matanya bertemu dengan
mata Chisaki yang tiba-tiba berbalik. ...... Mustahil, apa dia
bisa merasakan tatapanku? Pada jarak sejauh ini?
“... Kurasa aku tidak punya pilihan
lain selain pergi, ya?”
Karena keberadaannya sudah
ketahuan, Masachika mendekati mereka sambil mengangkat tangannya dengan ringan.
Kemudian, sebuah mobil asing mewah yang familiar melewati Masachika dari
belakang dan berhenti di terminal depan stasiun. Dua orang lalu turun dari
kursi belakang dan bergabung dengan Touya dan Chisaki terlebih dahulu sembari memegang
tas jinjing mereka yang tersimpan di bagasi. Tak perlu dikatakan lagi, mereka
berdua adalah Yuki dan Ayano.
(Waktu yang pas sekali, Yuki. Sekarang
aku tidak perlu merasa terjebak di antara mereka berdua.)
Sambil mengacungi jempol dalam
hati, Masachika bergabung dengan mereka berempat.
“Selamat pagi~”
“Oh, pagi juga, Kuze.”
“Pagi juga~”
“Selamat pagi, Masachika-kun”
“Selamat pagi, Masachika-sama.”
Saat mereka saling menyapa dan
berbicara singkat tentang rencana mereka untuk hari itu, dua anggota terakhir akhirnya
muncul sebelum waktu pertemuan.
“Maaf sudah membuat kalian
menunggu lama~”
“Terima kasih banyak sudah
menunggu kami.”
Si kakak perempuan yang
berjalan sambil melambaikan tangannya dengan senyum lembut, dan si adik
perempuan yang berjalan sambil membungkuk dengan serius. Dengan tambahan Kujou bersaudari
yang datang dengan suasana yang sangat kontras, semua anggota akhirnya sudah
berkumpul.
(Tidak, apa-apaan dengan deretan wajah
cantik ini!)
Masachika berteriak dalam hati saat
melihat semua gadis yang berkumpul dengan pakaian santai mereka.
(Seriusan deh, kalian semua sangat modis
!!?)
Ia tahu bahwa pakaian kasual
Alisa, Yuki, dan Ayano terlihat sangat modis, tapi Chisaki dan Maria juga tidak
kalah hebatnya. Bahkan saat mereka sedang berkumpul begini, Masachika tahu
kalau kelompok mereka menarik banyak perhatian dari orang-orang sekitar. Jika
didengar dengan seksama, Ia bisa mendengar suara-suara kekaguman seperti, “Oh, apa ada semacam pemotretan?” “Selebriti?”, “Apa mereka grup idola?" terdengar
dari semua tempat.
(Kami semua cuma anggota OSIS... Tidak, kalau
dilihat baik-baik, ini benar-benar terlihat seperti pemotretan selebriti)
Masachika yang cuma mengenakan
kemeja dan celana panjang tanpa merek, merasa sedikit tidak nyaman di hadapan
gadis-gadis cantik. Kemudian, Alisa menoleh ke Masachika dan menyapanya dengan
suara keras.
“Masachika-kun juga, selamat
pagi.”
“... Oh, pagi juga.”
Dalam situasi di mana semua
anggota OSIS lainnya hadir, dia dengan berani menyapa Masachika dengan nama
depannya. Ini adalah ... seperti yang sudah diduga, Yuki langsung menggigit
umpan.
“Ara? Alya-san ... Apa kamu
mengubah cara memanggil Masachika-kun?”
“Ya.”
Ketika Yuki bertanya sambil
menyembunyikan seringai merendahkan di balik senyum anggunnya, Alisa menjawab
tanpa gelisah sedikit pun.
“Jika dipikir-pikir, rasanya
agak canggung bila salah satu dari kami hanya memanggil dengan nama keluarga,
saat kami berdua mencalonkan diri pada pemilihan ketua OSIS, bukan? Selain itu,
aneh rasanya untuk memanggil pasanganku dengan nama belakangnya sementara
Yuki-san, lawanku, memanggilnya dengan nama depannya. Oleh karena itu, aku
memutuskan untuk memanggil Masachika-kun dengan nama depannya juga.”
Alisa mengucapkannya tanpa ragu,
seolah-olah dia sedang berdiri di atas papan podium. Tidak diragukan lagi, dia
sudah menyiapkan jawabannya terlebih dahulu, mengantisipasi bahwa dia pasti
akan ditanya begitu.
“Jadi begitu ya.”
Yuki secara mengejutkan mudah
diyakinkan oleh Alisa, yang memasang senyum sedikit bangga di mulutnya dan
merasa puas karena sudah menjelaskan maksudnya. Dan kemudian dia melanjutkan
dengan wajah yang tampak penuh perhatian.
“Memang benar... Aku mungkin tidak
begitu peka karena bertingkah sok akrab dengan Masachika-kun walaupun dia sudah
menjadi lawanku ...”
“Eh!? Ti-Tidak, kamu tidak
perlu mencemaskan hal itu, kok? Ka-Kalian berdua ‘kan teman masa kecil. Jadi
wajar saja kalau kalian bertingkah akrab satu sama lain.”
“Tapi, mengingat perasaan Alya-san,
memang benar kalau aku sudah melakukan sesuatu yang tidak peka...”
“Aku benar-benar tidak
memedulikannya!”
Alisa bergegas menimpali reaksi
permintaan maaf Yuki yang tak terduga. Melihat keadaan mereka berdua, Masachika
mempunyai firasat buruk.
“... Apa kamu benar-benar tidak
peduli?”
“Ya, ka-karena aku tidak ada
niatan untuk mengganggu persahabatan di antara kalian berdua ...”
“Benarkah! Syukurlah kalau
begitu!”
Usai mengatakan itu dengan nada
gembira, wajah Yuki tiba-tiba berubah menjadi ceria dan meraih tangan Alisa
sambil tersenyum.
“Kita adalah lawan yang bersaing
untuk posisi ketua OSIS berikutnya di sekolah, ... tapi mari kita lupakan hal
itu selama kemah pelatihan ini, oke? Ya, sesuatu yang mirip seperti perjanjian
gencatan senjata.”
“Eh, y-ya ... baiklah, mari
kita lakukan itu.”
Senyum Yuki semakin melebar
saat Alisa menganggu dengan sedikit kebingungan, ... Masachika jelas-jelas
merasakan senyum licik di balik senyum anggunnya yang seolah-olah mengatakan, “Aku sudah dapat janjinya!”. Dan dalam
hati, Ia berpikir, “Kamu selalu yang
memulai pertarungan”. Ia tidak berani mengatakan apa-apa, karena tidak
ingin mengganggu pembicaraan.
“Oke, kalau begitu sudah
waktunya untuk pergi.”
Pada saat itulah Touya angkat
bicara dan berbalik menuju stasiun. Kemudian, Yuki berbalik dalam suasana hati
yang baik dan ...
“Kalau begitu Masachika-kun!
Ayo pergi!”
Dia bergegas ke arah Masachika
dan mencoba meraih tangannya ... tapi Masachika, yang sudah menduga kalau dia
akan melakukan itu, dengan cepat mengangkat tangannya untuk menghindarinya.
Namun, Yuki terus mencoba dengan paksa memeluk lengannya melalui kekuatan
setengah menyeruduk….
“Kalau begitu Yuki-chan, ayo
pergi~”
“Eh, Masha-senpai?”
Namun, Maria yang mempersempit
jarak dari sisi lain, dengan mudah menangkap lengannya.
“Eh, ada apa sebenarnya?”
“Habisnya~, Alya-chan tidak mau
bergandengan tangan denganku, sih~”
Maria menjawab pertanyaan Yuki
sambil menggembungkan pipinya. Tidak, lantas
kenapa kamu mengambil lengan Yuki. Bukan hanya Masachika, tapi Yuki pun
memikirkan hal yang sama, tapi saat Maria memeluk erat-erat lengan ramping
Yuki, dia langsung menghilangkan keraguannya sekaligus.
Masachika tidak melewatkan saat
tatapan mata Yuki berubah menjadi tatapan om-om mesum dan menatap dengan penuh
perhatian pada payudara Maria yang menyentuh lengannya. Ngomong-ngomong, suara
hati Yuki yang berkata , “Woww, gede
banget” terdengar jelas oleh Masachika.
“Fufu, aku sangat menantikan
kemah pelatihan ini~♪ Hei
Yuki-chan, menurut Yuki-chan, apa tinta gurita rasanya enak?”
“Etto? Tinta gurita, ya? Masha-senpai,
apa kamu punya pengalaman memakannya?"
“Belum pernah, kok ~?”
“H-Huh?”
Kemudian, Yuki ditarik langsung
menuju stasiun oleh Maria. Setelah melihat punggungnya selama beberapa detik,
Masachika memanggil Alisa dan Ayano yang tersisa.
“…… Ayo pergi.”
“Ya.”
“Baiklah.”
Lalu, mereka bertiga mengikuti
di belakang. Hanya ada satu pikiran yang muncul di benak mereka. Itu adalah “Masha kuat sekali”.
◇◇◇◇
Kemudian, setelah sekitar dua
jam perjalanan kereta. Masachika naik kereta swasta di wilayah tertentu dan
sedikit terkejut dengan pemandangan di dalam kereta.
“Wuaahh, menakjubkan sekali.
Rasanya seperti naik kereta jadul. Dan kursinya, kursi kotak? Aku tidak tahu
apa namanya, tapi kursinya saling berhadapan.”
“Hmm, kalau tidak salah kalau
di kota, kamu mungkin cuma bisa melihatnya di beberapa kereta ekspres.”
“Wow, lihat ini~ lihat ini~!
Pintunya bukan yang otomatis, tapi pakai tombol!”
“Ara, benar banget~ ... kira-kira
apa yang terjadi jika aku menekan tombol ini sambil berlari, ya?”
“Kupikir pintunya takkan
terbuka, tapi jangan sekali-sekali menekannya oke, Masha.”
“Oh, aku akan mengambil foto.
Ayano, coba berdiri di samping Alya-san.”
“Apa yang di sebelah sini sudah
bagus?”
Mereka semua melihat sekeliling
bagian dalam kereta dengan penuh minat dan kegembiraan pada kereta kuno yang
sepi. Masing-masing dari mereka berpose sesuka hati di depan Yuki yang bertugas
untuk mengambil foto kenang-kenangan dengan kamera digital untuk publisitas
kegiatan OSIS. Tapi kemudian, Touya menyadari bahwa ada seorang nenek yang
kelihatannya penduduk setempat, sedang menatap mereka sambil tersenyum, dan Ia
terbatuk ringan untuk menutupi rasa malunya.
“Hmm... Lalu, setelah selesai
mengambil beberapa foto, kita akan duduk berkelompok yang terdiri dari empat
dan tiga orang dengan anggota yang biasanya tidak berkumpul. Ini juga merupakan
kesempatan bagi sesama anggota OSIS untuk saling mengenal satu sama lain.”
“Oh, ide bagus tuh! Kalau
begitu... apa kamu ingin memisahkan setiap pasangan dari anak kelas satu?”
Atas saran ketua OSIS dan wakil
ketua, pertukaran itu akan dibagi menjadi babak pertama dan babak kedua selama
40 menit perjalanan. Mereka duduk terpisah di dua set kursi di seberang lorong
satu sama lain.
“Oleh karena itu, mohon kerja
samanya~”
“Mohon kerja samanya juga.”
“Tidak, emangnya ini acara perjodohan?”
Yuki duduk di sebelah Masachika
di babak 20 menit pertama. Dan di seberang mereka, ada Touya dan Chisaki.
(Jika menyarankan tentang anggota yang biasanya
tidak berkumpul, bukankah ketua dan wakil ketua harusnya dipisahkan?....kurasa
aku tidak boleh mengomentari itu, ya..)
Masachika menelan diam-diam
kritiknya terhadap suasana “Aku dan Touya
adalah pasangan, tau” yang dikeluarkan oleh Chisaki dan sedang duduk di
depannya. Lagipula, jabatannya hanya
urusan umum. Ia tidak bisa melawan kekuatan tinju ... bukan, Ia tidak bisa
melawan kekuasaan yang dimiliki wakil ketua OSIS.
“... Umm, hobimu apa?”
“Tidak, bukannya itu jelas-jelas
pertanyaan khas perjodohan.”
Karena Yuki langsung terdiam,
jadi entah bagaimana Ia memulai percakapan, tapi ... Touya hanya membalas
dengan senyum masam, dan Masachika mengangkat kepalanya dengan sikap konyol.
“Benar juga ... Lalu, bagaimana
kalian berdua bisa pacaran?”
“Memangnya ini konferensi pers
pernikahan !!?”
“E-Eh~? Kamu beneran mau
menanyakan itu~?”
“Hmm? Tak disangka-sangka kamu antusias
sekali, ya? Chisaki.”
Chisaki memegangi pipinya
dengan kedua tangan dan tersenyum malu-malu, sementara Touya mengangkat satu alisnya
dengan setengah tersenyum. Namun, Chisaki tampaknya tidak terganggu dengan
reaksi pacarnya, dan tatapannya mengembara seolah-olah sedang mengenang kembali
ingatannya.
“Benar juga~ alasan kenapa aku
tertarik pada Touya ... hmm~, kurasa aku
harus mulai menceritakan masa kecilku dulu untuk membicarakan hal ini.”
“Ide bagus tuh. Aku ingin
mendengar cerita Sarashina-senpai.”
Ketika Masachika mencondongkan
tubuh ke depan dengan penuh ketertarikan, mulut Chisaki menjadi rileks seolah-olah
dia tidak puas. Kemudian, sembari mengalihkan pandangannya ke luar jendela
kereta, dia berbicara dengan nada nostalgia.
“Benar juga … kala itu, saat
aku masih gadis kecil lemah yang bahkan tidak berani membunuh serangga…”
“Ups, halusinasi ya?”
Pembukaan cerita yang tidak
terduga membuat Masachika melontarkan komentar kasar dengan wajah datar. Namun,
Chisaki terus melanjutkan tanpa terlalu memedulikannya.
“Pada waktu itu, meski rasanya
aneh kalau aku sendiri yang bilang, tapi dulu aku adalah seorang gadis cantik
yang sangat pendiam ... tipe yang mirip binatang kecil?”
“Begitu rupanya, bahkan
binatang buas masih bisa disebut binatang kecil ketika masih bayi, ya.”
“Aku selalu menjadi gadis yang
gugup, dengan suara yang kecil dan penakut ... dan tentu saja, aku sering
dibully oleh anak laki-laki di sekolah, saat aku keluar di jalan, aku diajak
bicara oleh paman yang mencurigakan, atau dibuntuti, atau hampir diculik ...
Pada suatu waktu, aku bahkan berhenti masuk sekolah karena ketidakpercayaan
pada pria dan mengidap anthropophobia[1].”
“... Eh? Benarkah?”
Bahkan Masachika pun merasa
ragu untuk mengolok-olok isi cerita yang begitu serius dan menarik kembali
sikap bercandanya. Kemudian, saat Masachika mengalihkan pandangannya ke arah Touya,
Ia membalas seraya mengangkat bahunya dengan ekspresi serius. Rupanya, itu bukan
cerita yang dibuat-buat langsung di tempat.
“Yah, untungnya ibuku selalu melindungiku, dan aku tidak mengalami trauma yang begitu berat ... tapi hal itu sudah cukup untuk membuatku jadi hikikomori[2].”
“...”
“Lalu suatu hari …. Apa kamu tahu anime yang berjudul ‘Flame Sword’?”
“Eh? Oh, kalau itu aku tahu.
Aku pernah melihatnya di komputerku karena disebut-sebut sebagai anime mahakarya.”
Flame
Sword adalah anime orisinil yang tayang pada beberapa tahun lalu.
Sebuah anime yang mengisahkan seorang anak laki-laki yang memulai perjalanannya
untuk menyelamatkan Kamiko, sosok heroine yang memegang nasib dunia, yang
diculik oleh negara musuh di masa kecilnya. Dalam perjalanannya, si karakter
utama bertemu rekan seperjuangannya dan melawan musuh-musuhnya, hingga akhirnya,
Ia semakin dekat dengan rahasia yang disembunyikan oleh heroine dan kebenaran dunia ... atau kurang lebih itu adalah kisah
fantasi.
“Pada waktu itu, aku menontonnya
secara real time~ ... Itu benar-benar
mengejutkanku. Ingat tidak adegan di mana kaisar yang jadi musuh terakhir dan
heroine berbicara setelah pertempuran di benteng perbatasan?”
“Adegan yang ada di ruang
singgasana itu?”
“Ya ya, yang itu.”
“Ah, itu memang adegan yang
sangat bagus, iya ‘kan?”
Itu adalah adegan pertama yang
memberi kesan bahwa si heroine
bukanlah gadis tak berdaya yang hanya menunggu bantuan karakter utama,
melainkan seorang wanita kuat dengan kemauan yang jelas dan rasa keadilan
tinggi. Si heroine berhadapan langsung melawan kaisar yang mencoba untuk
menguasai dunia dengan paksa, dan berbicara tentang cita-citanya sendiri tanpa
mempertimbangkan keselamatan pribadinya. Kaisar yang merupakan bos terakhir,
hanya mendengus seraya berkata, “Itu
hanyalah cita-cita naïf dari kaum lemah,” tapi Ia juga mengubah penilaiannya
terhadap si heroine ….. pada adegan itu, Masachika juga tanpa sadar berteriak
takjub ‘Heroine-nya keren banget——!’ .
Begitu
rupanya, jadi Sarashina-senpai langsung berubah setelah melihat heroine ya ……
sebelum Masachika menganggukkan hal itu, Chisaki yang juga sepertinya mengingat
hari-hari itu, mengangguk dengan emosi yang menyentuh.
“Saat melihat adegan itu
membuatku jadi berpikir ... Ah, begitu
ya. Pada akhirnya, semuanya tentang kekuatan.”
“Hmm?”
“Karena aku tidak punya
kekuatan, aku jadi diremehkan laki-laki dan hampir diculik. Aku mulai memahami
bahwa untuk bisa menyampaikan keinginanmu, pertama-tama kamu harus melakukan
kekerasan yang cukup …. untuk membungkam mulut orang lain.”
“Wuaahh, tak disangka kamu
menjadikan heroine jadi contoh buruk.
Jadi kamu dipengaruhi oleh bos terakhir, huh?”
“Setelah itu, aku memotong
rambut panjangku dan melatih pikiran serta tubuhku supaya tidak diremehkan lagi
oleh laki-laki ... Aku berlatih keras selama setahun di dojo seni bela diri
yang dikelola oleh kerabatku ... dan beginilah hasilnya.”
“Maksudnya dirubah total, ya.”
Masachika memberikan kesan
jujur sambil
melirik sekilas pada adiknya yang mengangguk dengan wajah seperti “Bos terakhir... emang mantap. Aku paham
banget” di sebelahnya. Chisaki tersenyum pahit pada evaluasi yang buruk
terebut.
“Hushh, cara bicaramu. Di situ
kamu harusnya bilang kalau aku tumbuh dengan normal ... Yah, berkat itu, aku
sekarang memilki keberanian untuk menggantikan aura gadis cantik yang lemah.”
“Sungguh perubahan tragis
sebelum dan sesudahnya. Bukan, malah lucu?”
“Karena ada masa lalu seperti
itu ... aku tidak bisa menganggapnya sebagai urusan orang lain ketika melihat Touya
berusaha keras untuk mengubah dirinya sendiri.”
“Oh, kamu tiba-tiba beralih ke
cerita tentang bagaimana kalian berdua bisa pacaran, ya. Aku tidak bisa
mengikutinya karena ada perkembangan yang begitu mendadak.”
Chisaki tiba-tiba mulai melirik
Touya dengan malu-malu, pipi Masachika berkedut dengan pasrah, dan Yuki cuma
bisa tersenyum kering. Namun, sepasang kekasih itu mulai saling menatap dengan
penuh gairah, tidak menyadari reaksi dari para junior mereka.
“Meski begitu, aku masih merasa
kaget saat Ia tiba-tiba menembakku setelah baru pertama kali bertemu~.”
“Oi, oi, yang itu jangan
diceritain juga kali.”
“Sudah, sudah ... tapi berkat
peristiwa itu juga aku bisa merasakan perubahan Touya, ‘kan?”
“Ya ... yah, aku sadar kalau
aku terlalu bersemangat.”
“Benar ‘kan~ tapi kupikir itu
hebat kok~?”
“Ah~ ya ampun! Sudah kubilang
jangan katakan itu!”
Touya dengan malu-malu
memelototi Chisaki, yang meledeknya sambil menyeringai. Namun, tidak ada nuansa
canggung di antara mereka ... yang ada justru hanyalah suasana yang agak manis,
Masachika dan Yuki yang melihan adegan di hadapan mereka sama-sama memiliki
pandangan jauh di mata mereka.
“(Pemandangan ini enggak baik
buat para jomblo~...)”
“(Apa yang kita lakukan
sekarang? Apa kita perlu bersikap mesra-mesraan juga? Ayo lakukan, ayo.)”
“(Enggak butuh, enggak butuh)”
Kakak beradik itu saling
berbisik sembari menghadap ke depan, tapi sepasang kekasih di depan mereka
sepertinya tidak menyadari hal itu. Sementara itu, 20 menit berlalu dan para
anggota berganti. Ayano menggantikan Yuki yang duduk duduk di sebelah
Masachika, dan Maria duduk di depan mereka.
“Mohon kerja samanya ya ~?”
“Mohon bantuanya juga.”
“... halo.”
Seperti biasa, Maria memasang
senyum lembut di wajahnya Dan seperti biasa pula, Ayano langsung membaur jadi
udara dengan tanpa ekspresi.
(Kenapa enggak ada yang mau pada bicara,
sih!)
Maria yang biasanya berperan
sebagai pendengar, dan Ayano yang biasanya membaur jadi udara. Masachika merasa
terganggu oleh kombinasi yang membuat percakapan sulit terjadi. Kemudian,
terlepas dari kenyataan bahwa itu masih bisa disebut percakan, Masachhika mengalihkan
pandangannya ke arah Ayano yang sudah akan menjadi udara, dengan tatapan
menegur.
“Ayano, sekali-sekali
kenapa kamu tidak mulai berbicara tentang sesuatu pada saat seperti ini?”
“! benar juga, maafkan atas
kelalaian saya.”
Mungkin dia pikir kalau apa
yang diucapkan Masachika ada benarnya, bahu Ayano gemetar sedikit dan
menundukkan kepalanya. Kemudian dia mengangkat wajahnya dan membiarkan
pandangannya mengembara sedikit sebelum membuka mulutnya dengan ekspresi datar.
“Pakaian pelayan seperti apa
yang disukai Maria-sama?”
“Pelemparan pertama, lemparan
keras.”
“Hmm~ kalau ditanya model baju
pelayan mana yang aku suka, aku lebih suka tipe yang klasik, mungkin~? Baju
pelayan dengan rok panjang itu terlihat imut, iya ‘kan~?”
“Di-Dipukul balik...!?”
“Jadi begitu rupanya, ya?”
“Ya, Tapi menurutku rok yang
sangat mini juga kelihatan manis, kok~? Lagian, aku juga suka lagu anime.”
“Ups? Bola yang kukira dipukul
balik terbang secara diagonal ke atas?”
“Begitukah? Saya juga sedang
mempelajari lagu-lagu anime sampai batas tertentu.”
“Dan bolanya ditangkap
seolah-olah itu hal yang wajar. Ini percakapan dari dimensi yang berbeda...!”
“Mempelajarinya? Ayano-chan, apa
kamu mau jadi penyanyi lagu anime?”
“Tidak, saya tidak bertujuan
seperti itu.”
“Apa begitu?”
“Ya.”
“...”
“…………”
“... Tidak, lempar kembali bola
yang kamu tangkap.”
“! Be-Benar juga. Etto ...”
Masachika menatap ke arah Ayano
ketika dia mengakhiri percakapan dengan jawaban yang terlalu singkat. Bahu
Ayano kemudian tersentak dan dia mulai melihat sekeliling kereta dengan
buru-buru.
“Fufu, kamu tidak perlu
buru-buru begitu, santai aja oke~?”
“Tidak, itu sih... etto...”
Mariya menenangkan Ayano, yang
jelas-jelas sedang mencari topik pembicaraan sekarang, dengan senyum mengembang
di wajahnya. Namun, ketika Ayano mengangkat bahunya seolah-olah dia takut
dengan perhatian seniornya, dia mulai berkedip berulang kali saat mencari-cari
topik pembicaraan.
“Etto, apa Anda menyukai kereta
api?”
“Asal mengungkit sesuatu yang
dilihat mata.”
“Hmm~ aku biasanya tidak naik
kereta, tau ~”
“Dan senpai langsung membalas
tanpa jeda sedikit pun. Apakah itu Bunda Maria?”
“Bagaimana dengan Ayano-chan?”
“Saya juga sama...”
“Makanya kamu melemparnya...
huh”
Masachika menepuk kepala Ayano
dengan heran dan berterima kasih atas usahanya memulai percakapan yang tidak
berkembang sama sekali. Kemudian, Ia memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan
untuk menggantikan teman masa kecilnya yang tidak pandai memulai percakapan ini.
“Etto, tadi senpai bilang
biasanya tidak naik kereta, apa itu berarti senpai lebih sering naik sepeda
atau bus?”
“Ya, aku suka jalan-jalan. Tapi
benar juga~ mungkin aku lebih sering menggunakan sepeda saat pergi keluar?”
“Hee~, entah kenapa rasanya
sedikit mengejutkan. Aku tidak bisa membayangkan Masha-san berkeliling
menggunakan sepeda.”
“Ara~ masa? Begini-begini aku
cukup bugar, lo? Aku biasanya bisa berjalan jika jaraknya sekitar tiga stasiun
kereta, dan aku bahkan bisa pergi lebih jauh lagi jika naik sepeda.”
“Itu sih luar biasa sekali. Tapi
bukannya lebih cepat menggunakan kereta api secara normal ketimbang pakai
sepeda …. apa senpai membencinya? Kereta.”
“Hmmm~ bukannya begitu sih ...
Aku suka melihat-lihat kota. Hanya dengan memasuki jalan yang biasanya tidak
kamu lalui, kamu bisa melihat tampilan baru dari kota, iya ‘kan?”
“Ahh......”
Masachika mengangguk seolah
memahami tentang apa yang Maria bicarakan. Ketika Ia berjalan-jalan sekitar
kota untuk mencari toko yang cocok untuk kencan ulang tahunnya (?) bersama
Alisa, Masachika dibuat terkejut saat menemukan bahwa ada banyak tempat yang
belum pernah Ia kunjungi, meski itu berada di dekat wilayah tempat tinggalnya.
Ketika Masachika setuju dengan
perkataannya, Maria menurunkan alisnya sedikit dan melanjutkan.
“Apalagi ... kereta itu
berbahaya, bukan?”
“Berbahaya ??”
“Soalnya, kadang-kadang ada
orang yang tersangkut di tali gantung pegangan tangan dan mengelami cedera di
pergelangan tangannya.”
“Hmm? Tali gantung?”
Masachika menoleh ke arah Ayano
karena belum pernah mendengar cerita semacam itu, tapi Ayano juga menggelengkan
kepalanya seolah-olah dia juga belum pernah mendengarnya. Kalau dipikir-pikir,
Ayano biasanya menggunakan mobil, jadi dia tidak sering naik kereta untuk alasan
yang berbeda dari Maria.
“Pergelangan tangan tersangkut
di tali gantung ...? Mungkin karena tarikan tiba-tiba saat kereta
terguncang...?”
“Hmm entahlah? Aku sendiri
belum pernah mengalaminya, dan sepertinya Chisaki-chan juga belum ... kira-kira
apa itu cuma terjadi pada laki-laki, ya?”
“Hmm? Sarashina-senpai?...Cuma
terjadi pada laki-laki?”
Penggalan kata-kata Maria
menarik perhatian Masachika ... dan pipinya berkedut saat membayangkan sesuatu
yang samar-samar muncul di benaknya.
“Etto, Masha-san. Apa fenomena
itu terjadi …. saat kamu bersama Sarashina-senpai?”
“Eh? Ya, benar sekali~... Saat
aku bepergian dengan Chisaki-chan, mungkin sekitar tiga atau empat kali?”
“... Apa jangan-jangan di
kereta yang penuh sesak?”
“Hmm~ entahlah? Tapi
penumpangnya cukup ramai~ sampai-sampai tali pegangan tangannya jadi penuh.”
“... Apakah pria yang terluka
itu adalah orang yang berdiri di samping atau di belakang Masha-san?”
“Ya! Bagaimana kamu bisa
tahu!?”
“... Ah itu...”
Berbanding terbalik dengan
Maria yang melebarkan matanya karena terkejut, Masachika justru menyipitkan
matanya. Dengan kata lain, pria yang terluka itu mungkin ..... kalau dipikir-pikir
lagi, Maria kemungkinan besar akan menjadi sasaran orang semacam itu. Alisa punya
sifat yang sangat berhati-hati dan, dalam artian baik atau buruk, dia itu
terlalu mencolok untuk dijadikan sasaran. Misalnya saja saat mereka berdua naik
kereta bersama sebelumnya, hampir semua penumpang di gerbong yang sama
mencuri-curi pandang ke arah Alisa. Tidak ada seorang pun yang berani melakukan
tindakan kriminal dalam situasi semacam
itu.
Di sisi lain, penampilan Maria
tidak semencolok Alisa dalam hal warna dan cenderung menarik orang-orang yang
kurang ajar atau sejenisnya.
(Dan sebagai hasil karena tertarik
padanya ... pergelangan tangan orang-orang semacam itu menjadi kacau, ya.)
Setelah menebak situasi secara
umum, Ia mengalihkan pandangannya dengan bergidik ke arah Chisaki yang ada di
sisi lain lorong dan terus bertanya.
“Bagaimana reaksi Sarashina-senpai
pada waktu itu?”
“Eh? Ah ... kalau itu sih ~ Chisaki-chan
sangat luar biasa, loh? Dia selalu berinisiatif untuk menemani pria yang
terluka itu dan membawanya ke kantor kepala stasiun. Aku juga ingin mencoba
membantu, tapi karena aku amatiran dalam hal merawat luka, jadi mau tak mau aku
harus menyerahkan semuanya pada Chisaki-chan~”
“.... Jadi begitu ya.”
“? Nee, kira-kira apa maksudnya
itu? Kuze-kun, apa kamu memahami sesuatu?”
“Ah tidak, hanya saja ... ya. Benar
juga. Mulai sekarang, aku pikir lebih baik kalau Masha-san harus ditemani
Sarashina-senpai ketika ingin menaiki kereta yang penuh sesak.”
“Oh, Chisaki-chan juga
mengatakan hal yang sama padaku. Yah, tanpa diberitahu pun, aku jarang naik kereta
sendirian ...”
Kemudian, tiba-tiba merasa
penasaran tentang sesuatu, Masachika bertanya pada Maria sembari ingin
mengalihkan pembicaraan juga.
“Oh iya, ngomong-ngomong,
bagaimana dengan pacar Masha-san? Misalnya saat kalian berdua pergi bersama
...”
“Eh? Oh ... Sekarang, aku
sedang menjalani hubungan jarak jauh. Jadi, kami tidak punya kesempatan untuk
pergi bersama~”
“Ah~ Apa pacar Masha-san orang
Rusia? Meskipun aku cuma mendengarnya melalui gosip yang beredar, sih.”
“Hmm~?”
“Ehh? Bukan, ya?”
“(... Ah, namanya ... begitu
ya)”
“Eh, ada apa?”
“Tidak, bukan apa-apa. Lebih
penting lagi, kalian berdua sendiri bagaimana?”
“Eh?”
“Apa ... ada seseorang yang
kalian sukai?”
Maria menjalin jari-jari
tangannya di depan dadanya, lalu sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan dan
bertanya dengan gembira. Mereka berdua menghadap ke arah gadis yang menyukai
kisah percintaan, tapi pada saat yang sama, memiringkan kepala mereka.
“Tidak, aku ini ... seorang
cowok yang hanya hidup dalam dunia 2D. Jadi, aku tidak terlalu tertarik dengan
dunia 3D ...”
Ketika Masachika mengatakan itu
dengan bercanda, Ayano yang menerimanya begitu saja, mengedipkan matanya dengan
rasa penasaran.
“Benarkah? Kalau tidak salah,
saya pernah mendengar kalau anda menjalin hubungan pacaran dengan seseorang
saat masih SD dulu…”
“Tidak! Itu sih ... cerita saat
aku masih kecil dulu. Lagipula, waktu itu aku masih bukan otaku.”
Masachika sedikit mengernyit
saat Ia mengingat masa lalu yang tidak ingin Ia ingat. Kemudian, sambil berpura-pura
tidak menyadari tatapan penasaran Maria, Ia menoleh ke arah Ayano.
“Ayano sendiri bagaimana? Apa
ada seseorang yang kamu sukai?”
“Kalau saya ... seperti yang
sudah anda ketahui, Yuki-sama adalah prioritas tertinggi saya. Jadi saya
menolak ajakan hal semacam itu.”
“...Eh, tunggu sebentar. Kamu
tadi bilang menolak ... Memangnya kamu pernah ditembak seseorang?”
“Ya, sekitar dua kali di masa
lalu.”
“... Seriusan?”
Masachika dibuat terkejut
dengan informasi mengejutkan yang muncul secara tak terduga. Informasi bahwa
ada cowok yang mengakui perasaannya pada teman masa kecilnya ini membuat
jantung Masachika berdebar tanpa sebab.
“Apa anda merasa penasaran?”
“Eh, yah, mungkin sedikit?”
“Jika Masachika-sama merasa
penasaran dengan hal itu, saya bisa memberitahu anda nama kedua orang itu ...”
“Lebih baik jangan. Simpan
kedua nama orang itu dalam-dalam hingga akhir hayatmu.”
Setelah berusaha menghentikan Ayano
yang mencoba melakukan sesuatu yang mengerikan, Masachika menggaruk kepalanya.
“Yah, aku memang merasa penasaran
... karena aku mengenalmu sejak lama, aku tidak menyangkan kalau kamu pernah
terlibat dalam cinta penuh warna ... rasanya jadi sedikit emosional.”
“Saya tidak ada niatan untuk
terlibat dalam hal itu...”
“Ahh, ya ... tolong hati-hati
dengan itu, karena salah sedikit saja, ucapanmu tadi kedengarannya seperti kamu
sedang membual tentang kepopuleranmu, oke?”
Setelah mengatakan itu dan
menghela nafas ringan, Masachika menghadap kembali ke arah Maria dan mengangkat
bahunya.
“Jadi yah begitulah, kami
berdua tidak mempunyai cerita yang romantis.”
“... Hmm~, jadi kalian berdua
tidak ada niatan ingin jatuh cinta~?”
“Kalau aku sih tidak terlalu
...”
“Saya juga sama.”
“Begitu ya ... sayang sekali~”
Usai mengatakan demikian, Maria
menenggelamkan tubuhnya yang sedikit bersandar ke kursi, dan Masachika merasa
lega dalam hati .... tapi sepertinya masih terlalu dini untuk merasa lega.
“Kalau begitu, apa kamu bisa memberitahuku
lebih banyak tentang pacar lamamu, Kuze-kun?”
“Eh, tidak, tunggu, yang benar
saja ...”
Sambil menggelengkan kepala,
Masachika menatap Ayano seolah meminta bantuan. Membalas dengan tegas ke arah
tatapan matanya, Ayano lalu mengangguk dan berkata.
“Sejujurnya, saya juga merasa
penasaran.”
“Kenapa!?”
Masachika berteriak dengan liar
pada pengkhianatan tak terduga dari teman masa kecilnya.
Pada akhirnya, selama sepuluh
menit berikutnya, Masachika menjadi sasaran pengejaran oleh dua gadis yang
tertarik pada kisah percintaan.
Sebelumnya |
Daftar isi | Selanjutnya