Chapter 5 — Itu Sih Bukan Sumo
“Uwaahhh menakjubkan ...”
Masachika berteriak takjub saat
melihat pantai berpasir putih dan laut yang membentang di depannya.
Usai membutuhkan sekitar tiga
jam dengan kereta api dari stasiun dekat sekolah. Setelah makan siang dan
berbelanja di stasiun, mereka menaiki bus selama 30 menit. Setelah sepuluh
menit berjalan kaki dari halte bus, mereka akhirnya tiba di vila Keluarga
Kenzaki, sebuah bangunan dua lantai dengan dinding yang menyilaukan. Mereka
dibuat kagum pada vila bergaya dan luas, yang bisa menampung 10 atau 20 orang,
apalagi 7 orang, tapi hal yang lebih mengejutkan ialah keberadaan pantai
pribadi.
Jendela ruang tamu di lantai
pertama ... atau lebih tepatnya, saat membuka pintu kaca geser, Ia bisa pergi
langsung ke pantai melalui teras, yang tampak lebih pribadi daripada yang Ia
duga. Jika ditanya kenapa Ia merasa begitu, pertama-tama, sekeliling vila
ditutupi dengan pepohonan, kecuali untuk sisi yang menghadap ke pantai berpasir,
jadi sulit dilihat dari luar. Dan di kedua sisi pantai berpasir yang lebarnya
sekitar 80 meter itu, terdapat bebatuan… atau lebih tepatnya, ada tebing yang
juga tidak dapat di akses orang luar. Dengan kata lain, pantai berpasir dengan
lebar 80 meter dan kedalaman 15 meter ini terisolasi dari dunia luar oleh
pepohonan dan tebing. Sejujurnya, Masachika mengira kalau pantai pribadinya
akan terhubung dengan pantai yang biasa digunakan oleh wisatawan, tapi Ia
dibuat terkejut ketika melihat pantai yang belum dijelajahi terbentang di
hadapannya.
“Ini seriusan benar-benar
tertutup ... Tidak, cara bilang begitu rasanya aneh, ya.”
“Hahaa, yah aku mengerti
perasaanmu.”
Berdiri di sebelah Masachika,
Touya juga melihat ke sekitar pantai dan mengangguk. Saat ini, kelompok cowok sudah
berganti pakaian renang, pergi ke pantai duluan dan menunggu gadis-gadis.
Ngomong-ngomong, vila tersebut memiliki dua kamar dengan dua kasur dan satu
kamar dengan tiga kasur, tapi dari hasil diskusi, mereka memutuskan untuk
membagi kelompok mereka menjadi dua cowok, dua gadis dari kelas 2, dan tiga
gadis dari kelas 1. Masachika sedikit khawatir bahwa Alisa akan berbagi kamar
dengan lawannya, tetapi karena Alisa sendiri yang ingin berbagi kamar dengan
pasangan Yuki & Ayano (atau lebih
tepatnya, dia menolak untuk berbagi kamar dengan Maria), jadi mereka
memutuskan untuk membagi kamar seperti ini.
“Meski begitu ... saat aku
lihat-lihat lagi, Ketua, badanmu terlihat cukup berotot, ya.”
Masachika mengatakan itu dengan
nada kagum saat mengalihkan perhatiannya pada Touya yang mengenakan celana
renang. Dari dulu Masachika mengira kalau Touya memiliki tubuh yang cukup
berotot, tetapi ketika melepas pakaiannya, Touya bahkan lebih kekar daripada
yang Ia bayangkan. Bagian dadanya tampak keras, dengan lengan dan kaki yang
berisi. Dengan tinggi lebih dari 180 cm, Ia menggunakan lensa kontak sekali
pakai dan bukannya kacamata yang biasa Ia kenakan. Sekilas, Ia tampak seperti
pegulat profesional.
Touya tertawa malu-malu pada
tatapan kagum kouhai-nya.
“Yah, aku tidak sekekar dan
macho seperti yang kamu lihat. Dari dulu aku memang punya badan besar.
Orang-orang biasa memanggilku gendut atau badan gempal.”
“Gempal ... ya?”
Masachika diyakinkan dengan
cara ala otaku kalau Ia mirip seperti kurcaci dengan gaya. Interpretasinya tidak
sedikit kasar, tetapi Touya tampaknya tidak menyadari hal itu dan memandang Masachika
dengan tatapan takjub.
“Kamu sendiri kelihatannya
sudah berlatih dengan cukup baik. Kamu punya otot perut yang cukup bagus.”
“Ahaha makasih ... yah, aku
hanya melakukan latihan otot selama sekitar 20 menit setiap hari. Otot perut
bisa dibentuk dengan mudah jika kamu ingin membentuknya.”
Masachika memberikan jawaban
yang kurang antusias terhadap pujian senpai-nya. Faktanya, Ia menyadari
penurunan kekuatan otot dan staminanya ketika bergabung dengan OSIS saat
melakukan tugas fisik, jadi Ia melanjutkan pelatihan otot lebih dari sebulan
yang lalu setelah melewatkannya untuk waktu yang lama. Masachika sadar bahwa
otot-ototnya sendiri tidak berkembang dengan baik, jadi Ia bingung untuk
menanggapi pujian dari Touya.
“...Ah, benar juga. Aku harus
memasang payung pantai dan ranjang pantai terlebih dahulu.”
“Eh, apa Ketua punya ranjang
pantai? Maksudku, karena terasnya sudah teduh, jadi apa perlu pakai payung pantai
segala?”
“Yah, ini cuma masalah suasana
hati saja. Tunggu sebentar. Aku akan mencarinya dulu.”
“Ah iya.”
Segera setelah mengatakan itu,
Touya naik ke teras dan kembali menuju ke dalam villa. Masachika ingin ikut membantunya,
tapi Ia merasa sungkan untuk mencari sesuatu di rumah orang lain, jadi Ia
memutuskan untuk menunggu Touya, sembari merasa bingung. Namun semenit
kemudian, jendela ruang tamu kembali terbuka.
Orang yang muncul adalah Yuki
yang mengenakan bikini kotak-kotak merah muda. Begitu dia melihat Masachika menunggu
di pantai berpasir dan memastikan bahwa tidak ada orang lain di sekitarnya, dia
bergegas menuju Masachika sambil mengibaskan sandal jepitnya.
“Oniitan-tama, Oniitan-tama, Oniitan-tama.”
“Ohh ada apa, suaramu sedikit
nge-bug dari biasanya.”
Masachika tersenyum masam pada
adik perempuannya yang bergegas mendekatinya, sembari bisik-bisik memanggilnya
dengan serangkaian nama aneh. Kemudian, Yuki berhenti di hadapan Masachika dan
gemetaran, seolah-olah dia baru saja melihat sesuatu yang mengerikan.
“Ada monster ... ada monster
muncul ...”
“Hah? Monster?”
“Dia terlalu menakjubkan~ orang
Jepang asli takkan bisa bersaing dengan itu~”
Saat Masachika hendak menelaah
maksud dari perkataan Yuki, monster yang dimaksud muncul melalui jendela ruang
tamu.
Kulit putihnya yang mempesona
di bawah pancaran sinar matahari musim panas. Rambut perak yang berkibar
tertiup angin. Payudara montok yang dibalut dalam bikini biru muda berenda dan
pinggangnya yang begitu ramping tampak sangat menawan. Dia mengenakan pareo
yang dililitkan di pinggangnya, tapi kain tipis semacam itu hampir tidak bisa
menyembunyikan lekukan pinggulnya yang indah. Dan kemudian, paha montok dan
kaki panjang yang mengintip melalui celah pareonya.
“Bonkyubo~n.”
“Ungkapanmu jadul banget!”
“Ja-Jadi itu yang namanya badan
bahenol mirip seperti jam pasir...!!”
“Kali ini agak terlalu baru
untuk kuikuti. Yah, aku memahami apa yang ingin kamu katakan, tapi…”
“Bukannya lekuk tubuhnya itu
terlalu berbahaya ... apalagi, lekukan pinggang hingga pantatnya itu. Apa saja
yang sudah dia makan dan lakukan sampai bisa punya badan bahenol seperti itu?”
“... sampai-sampai membuatku
tak kepikiran kalau dia itu seumuran denganmu.”
“Yang di sebelah sana sih
berasal dari dimensi yang berbeda kali. Memangnya ada berapa banyak gadis
berusia 15 tahun, dengan tubuh montok semacam itu yang bisa membuat idola papan
atas berlinang air mata?”
“Tidak, tidak, kamu juga tidak
kalah, kok? kamu ‘kan punya tulak rusuk yang bagus.”
Masachika meledeknya sambil
menatap Yuki yang bergidik gemetaran di sebelahnya. Kemudian, Yuki memasang
senyum yang mengejek dirinya sendiri.
“Menurutmu begitu? Tapi tahu
enggak, Alya-san juga punya tonjolan kecil tulang rusuk meski berpenampilan
begitu, tau? Sungguh menakjubkan sekali, iya ‘kan? Padahal dia memiliki
payudara yang begitu besar. Rasanya dia hanya memiliki lemak di tempat yang
seharusnya.”
“... Tidak, jangan dijawab
serius juga kali. Lagian, aku tidak menganggap kalau tulang rusuk itu menarik.”
Saat kakak beradik sedang membicarakan
hal semacam itu, Alisa yang mengalihkan pandangannya ke arah mereka, mencoba untuk
keluar dari teras ... tapi, dia tiba-tiba menoleh ke belakang seolah-olah ada
yang menghentikannya. Kemudian dari arah belakangnya, Maria dan Chisaki muncul
dari jendela yang mengarah ke teras.
“Gede banget!?”
“Oi hentikan.”
Reaksi Yuki yang begitu kurang
ajar saat menatap Maria membuat Masachika menatapnya dengan tatapan mencela. Kemudian,
sembari mengalihkan pandangannya ke arah kedua Senpai-nya itu, Masachika
menambahkan dalam hati, “Yah, aku
memahami bagaimana perasaanmu.”
Faktanya, Maria dalam balutan
bikini putih, terlihat lebih menakjubkan dari adiknya dalam artian berbeda. Berlawanan
dengan wajah kekanak-kanakannya yang polos serta senyum lembut, dia memiliki
sosok yang mirip idola gravure yang ganas. Dia memiliki tubuh
yang sangat glamor dan akan terlihat sempurna bila ditampilkan di sampul
majalah manga seinen.
“Boing-boing.”
“Tidak, enggak ada efek suaranya
juga kali!?”
“G-cup... Tidak, apa
jangan-jangan H-cup...?”
“Oi, hentikan, hentikan.”
“Tidak, aku tidak boleh terburu-buru
mengambil kesimpulan. Aku harus membuat penilaian yang mutlak, tapi juga
relatif. Benar sekali ... Sekilas, Masha-senpai terlihat lebih besar dari dua
lainnya dalam hal keseimbangan, tapi karena ada perbedaan ketinggian, Alya-san
juga cukup besar dalam hal bentuk dan kekenyalan——”
“Sudah cukup, hentikan itu,
dasar bodoh!?”
“Aduh.”
Masachika menepak bagian
belakang kepala Yuki yang membuat analisis konyol dengan wajah serius. Namun,
Yuki tampaknya masih tidak kapok dan segera mengalihkan pandangannya yang tak
senonoh pada dua saudari Kujou lagi.
“Hmmm, tapi saat melihat kakak
beradik itu berdiri berdampingan, tampaknya Masha-senpai memiliki lebih banyak
daging di sekitar perutnya ...”
“Dia itu sudah cukup langsing,
tau. Alya saja yang punya badan montok dan ramping.”
“Hehe~, tapi fakta bahwa dia
memiliki sedikit gap pada badan yang seperti itu juga terlihat sangat erotis.”
“Kesanmu itu terdengar seperti
bukan kesan dari seorang gadis SMA.”
Setelah mengeluarkan kesan
layaknya om-om cabul dengan tatapan mata vulgar, Yuki mengalihkan perhatiannya
ke Chisaki.
“Sedangkan di sisi lain …. bakki-mekki-bokkii*.” (TN: onomatopoeia
untuk menggambarkan otot kekar, CMIIW)
“Bukankah yang terakhir itu
suara patah? Lagian, kamu sudah melihatnya sendiri otot lengan atas, perut, dan
pahanya itu.”
Sambil melontarkan tsukkomi, wajah Masachika berkedut saat
menatap Chisaki dalam pakaian renang berleher tinggi yang berdiri di samping
Maria.
Faktanya, itu adalah tubuh luar
biasa yang berkembang ke arah berbeda dari Maria. Dilihat dari kejauhan saja
pasti sudah membuat siapapun langsung merasa paham. Badannya itu sudah bukan
lagi dalam tingkatan atlet. Perut six pack-nya
bahkan lebih mengesankan daripada Masachika. Secara keseluruhan,
tubuhnya lebih mirip seperti binatang buas, dengan penuh kemaskulinan daripada
kelembutan feminin.
“... prajurit wanita dan
biarawati?”
“... Yah, aku paham apa yang
ingin kamu katakan.”
Kedua kakak beradik itu
mengangguk satu sama lain ketika memikirkan template fantasi party pahlawan Dan
kemudian, dari sudut mata mereka, mereka melihat Touya yang datang sambil memegang
payung dan ranjang pantai.
“Oh, yang jadi Tanker sudah datang.”
“... Apa jangan-jangan, kamu
memperlakukan Alya sebagai peran pahlawan?”
“Emang. Lagian mau dilihat dari
mana pun, Ketua sama sekali tidak cocok dijadikan karakter utama dalam party
pahlawan tipe harem.”
“Cepetan minta maaf. Cepat
minta maaf pada Ketua !?”
Empat orang tampak saling
bercakap-cakap dari sudut mata mereka saat mereka melanjutkan pembicaraan ala
otaku. Tapi …
“Luar biasa sekali. Meski ada
mereka berdua di sisinya, tapi tatapan Ketua hanya tertuju pada
Sarashina-senpai.”
Terlepas dari kehadiran dua
kakak beradik yang cantik dan sangat seksi di kedua sisinya, tapi tatapan Touya
hanya tertuju pada Chisaki saja. Masachika meningkatkan rasa hormatnya kepada
Touya yang benar-benar dalam keadaan “Hanya
dirimu yang bisa kulihat”, dan Yuki mendengus dengan kagum.
“Cinta itu buta ... Tidak,
sederhananya Ia cuma dari fraksi penyuka dada kecil, huh?”
“Jangan bilang kasar begitu.”
Setelah menjitak ringan kepala
Yuki, Masachika tiba-tiba melihat sekeliling untuk mencari orang yang tersisa
... dan Ia tersentak kaget saat melihat Ayano
yang berdiri tanpa suara di sampingnya.
“... ternyata kamu ada di situ ya, Ayano?”
“Ya.”
Sejak
kapan dia ada di sana? Masachika berkata dengan sedikit canggung
saat Ayano menatapnya dengan rambut hitam panjangnya yang disanggul di kedua
sisi layaknya dango dan ekspresi datarnya yang biasa.
“Ahh umm ... kamu keliahatan cocok
dengan baju renang itu.”
“Terima kasih banyak.”
Tidak seperti gadis-gadis lain,
Ayano mengenakan baju renang tipe one-piece.
Masachika dengan jujur memuji baju renangnya, yang memiliki embel-embel di
beberapa tempat dan terlihat lebih imut
daripada seksi. Kemudian, dari sisi lain, Yuki bergerak sedikit ke sisi Ayano
dan tersenyum nakal.
“Oi, oi, brother~. Nilai sebenarnya dari baju renang ini bukan sekedar itu
saja, lo~...? Ayano, cobalah berbalik.”
“Ya.”
“Lihat nih~, sangat wuaa~aaw
banget, ‘kan!”
Ketika Ayano berputar dan
memperlihatkan punggungnya, Yuki meninggikan suaranya untuk meningkatkan
keseksiannya. Tapi memang, baju renang yang dipakainya lumayan seksi.
Baju renang Ayano benar-benar
terbuka di bagian belakangnya, dan meskip agak tertutup oleh tali yang
melintang di atasnya, bagian tengkuk hingga bagian atas pantatnya hampir
sepenuhnya terbuka. Sementara bagian lain dari tubuhnya kurang terekspos,
bagian belakang yang terbuka lebar itu memberikan suasana memikat yang aneh.
Yuki tersenyum menyeringai sambil menunjuk punggung Ayano yang cantik.
“Menurutmu gimana?”
Di depan wajah bangga Yuki yang
seolah-olah mengatakan, “Seksi, iya ‘kan?
Hmm~?”, Masachika menatap tali yang melintang di punggung Ayano, yang mirip
seperti tali sepatu .....
“Entah kenapa, rasanya mirip seperti char siu—”
“Akan kubunuh lu, brengsek.”
“Ah bukan gitu maksudnya, itu
seperti gaun yang dikenakan aktris Hollywood, ya.”
Masachika segera memperbaiki
ucapannya saat tatapan adik perempuannya dipenuhi dengan niat membunuh. Selama
beberapa detik, Yuki masih menatap Masachika dengan tatapan membunuh, tapi
ketika melihat mereka berempat yang tampaknya telah menyelesaikan percakapan
mereka, mulai mendekat, ekspresinya kembali ke mode wanita anggun.
“Oleh karena itu, mulai
sekarang, aku akan fokus pada bagian perut. Sedangkan Ayano fokus pada bagian
punggungnya.”
“Aku tidak tahu apa yang sedang
kamu bicarakan, tapi lakukan saja sesukamu?”
Usai mengatakan itu, Masachika
bergegas ke sisi Touya, dan kedua pria itu bekerja sama untuk memasang payung
di pantai. Sementara itu, kelompok gadis mengatur tempat tidur pantai dan membentangkan
lembaran vinil.
“Yosh, kurasa begini saja sudah
cukup.”
“Fiuh, itu cukup sulit.”
Mereka berdua berhasil
menancapkan payung di atas pasir, dan Masachika mengangkat wajahnya sambil
bercucuran keringat. Lalu, tatapan matanya bertemu dengan mata Alisa, yang
menatapnya seolah ingin mengatakan sesuatu. Seketika, dia langsung membuang muka
dan memain-mainkan ujung rambutnya. Wajah Alisa yang seakan-akan ingin
mengatakan “Aku cuma melihatmu
menancapkan payung ke dalam pasir saja, kok?” Tapi tidak mengubah arah
tubuhnya.
Masachika tersenyum kecut pada
sikapnya yang gampang sekali dimengerti ini dan berkata.
“Baju renangmu kelihatan imut
ya, Alya.”
“! Begitu ya? Makasih.”
Alisa menjawab singkat tanpa melihat
Masachika. Lalu, lengan Maria menggandeng tangannya.
“Fufufu, syukurlah, ya ~ Alya-chan.”
“Ap—, panas ih!”
“Aaunn~”
Alisa melepaskan lengan Maria
yang meringkuk padanya dengan ekspresi jengkel, dan dengan cepat menjauh dari
kakaknya. Tatapan Masachika tanpa sadar tertuju pada bagian tertentu dari Maria
yang memantul saat berayun lebar. Mau
bagaimana lagi, iya ‘kan. Berkat tali di tengah baju renangnya, aku bisa
melihat jelas lembah curam yang menggairahkan itu... atau begitulah Ia membuat
alasan di otaknya, tapi segera setelah itu, Alisa memberinya tatapan tajam, dan Masachika
dengan cepat mengalihkan pandangannya.
“Masha-san juga, baju renang
itu terlihat cocok untukmu.”
“Fufu, makasih~”
Entah dia menyadari tatapan
Masachika atau tidak, Maria tersenyum dengan polosnya. Senyum polosnya itu
membuat Masachika merasa bersalah.
“Masachika-kun, Masachika-kun.”
Tiba-tiba, ada jari yang
menyolek-nyolek pahanya. Ketika Masachika menoleh ke bawah, ada Yuki yang duduk
di atas lembaran vinil dengan punggung membelakanginya. Dia lalu berkata dengan
tatapan mengundang saat meletakkan tangannya di belakang lehernya dan
mengangkat rambutnya, lalu memperlihatkan punggungnya.
“Apa kamu bisa mengoleskan
tabir surya padaku?”
“Mendingan kamu dibiarin
terpanggang kayak gitu!?”
“Ara, kejam sekali.”
Yuki dengan cepat berdiri
sembari mengangkat bahunya pada reaksi Masachika yang begitu tidak asyik.
“Cuma bercanda kok, aku sudah
mengoleskan tabir surya tadi.”
“Kalau begitu, ngapain minta
diolesin segala!?”
“Aku pikir itu sudah jadi
aturannya.”
“Lagipula, aku takkan gugup
meski mengoleskan itu padamu.”
“Ara~, apa itu berarti kamu
akan gugup jika mengoleskannya pada Alya-san?”
“Eh?”
Karena namanya tiba-tiba
diungkit, Alisa membuat suara terkejut. Tanpa sadar, Masachika juga berbalik ke
arahnya secara refleks, dan tatapan mata mereka bertemu dengan sekejap.
Kemudian, merasa penasaran dengan apa yang dia pikirkan, Alisa menajamkan
pandangannya, dan setengah sadar langsung menyembunyikan tubuhnya dengan
lengannya.
“Tidak, tidak, aku tidak ingin
mengoleskannya. Lagian ... memangnya kulit Alya bisa berubah kecoklatan ? Entah
kenapa, aku memiliki gambaran kalau kulit orang Rusia akan berubah jadi
kemerahan dan tidak berubah gelap saat terbakar sinar matahari.”
“Kulitku akan menggelap juga,
tau. Meski ada beberapa orang yang tidak begitu, tapi ... kulit yang kemerahan
pastinya termasuk terbakar sinar matahari.”
“Yah, memang benar, sih ...”
Terlepas dari usahanya untuk
mengalihkan percakapan, Ia masih dihadapkan dengan tatapan waspada. Masachika
lalu dengan canggung menoleh ke arah Touya.
“Etto, kalau begitu bagaimana
kalau kita pergi sekarang?”
“Ah, benar juga ... tapi
sebelum itu ...”
Ketika Masachika bertanya
padanya, Touya tampak malu-malu sembari tatapannya mengembara kemana-mana, dan kemudian
Ia dengan ragu-ragu membuka mulutnya.
“Mumpung ada di sini. Bagimana
kalau kita mencoba menghadap ke laut dan berteriak 『 Yahoo ada
lautttt———!! 』?”
“… Eh?”
Masachika mengerutkan alisnya
pada usulan tak terduga dari Touya. Segera, Touya terlihat agak kecewa dan
Chisaki buru-buru membantunya.
“Ya-Yah, karena itu sudah janji,
iya ‘kan! Kemah pelatihan ini juga merupakan kesempatan bagi anggota OSIS untuk
saling mengenal, jadi mari kita lakukan! Ayo lakukan bersama-sama, oke?!”
“Haa ...”
Dilihat dari perilaku Touya, mereka
semua menduga kalau itu adalah sesuatu yang ingin Ia lakukan, jadi mereka semua
memutuskan untuk menyetujui usulannya dengan perasaan lembut, sambil bertukar
pandang satu sama lain.
“Ah, kalau begitu, bagaimana
kalau kita sekalian berfoto saja? Pakai timer.
Umm, apa ada tempat di mana aku bisa meletakkan kameranya... Oh, ayo gunakan
meja di teras itu.”
“Eh ... ka-kamu mau mengambil
foto juga?”
Saat Yuki mengeluarkan kamera
digital, Alisa terlihat sedikit malu dan menyembunyikan tubuhnya dengan kedua
tangannya. Melihat tingkah lakunya itu, Yuki tersenyum lembut untuk
meyakinkannya.
“Karena ini buat
kenang-kenangan. Jangan khawatir, kok? Jika kamu mau, aku takkan memberikan
fotomu dalam balutan baju renang ke orang lain selain buat kamu sendiri.”
“Be-Begitu ... kalau gitu sih
tidak apa-apa ...”
Alisa mengangguk setuju pada
penjelasan Yuki. Masachika merasa sedikit terganggu dengan cara dia
mengatakannya, tetapi tidak berani bertanya lebih jauh mengenai masalah itu. Setelah
kamera selesai dipasang, semua orang melepas sandal jepit mereka dan berbaris
berdampingan di pantai tanpa alas kaki. Dan kemudian, sekaligus mengikuti irama
Touya….
“ “ “ “ “ Laut!” ” ” ” ” (TN : Umi daa~!!!)
“La-Laut—!”
“Laut…”
Lima orang berteriak dengan
gembira. Satu orang yang tidak bisa berteriak mengikuti suasana. Serta satu
orang yang berteriak dengan suara datar. Suasana yang tak terlukiskan mengalir
di pantai pertengahan musim panas, dan suara ‘cekrek’ dari kamera digital terdengar hampa di udara. Segera
setelah itu, Alisa mengangkat bahunya dengan tidak nyaman, dan Ayano
memiringkan kepalanya tanpa ekspresi.
“... Hmm, oke. Kalau begitu ayo
pergi!”
“Tidak, mau diapakan dengan
suasana canggung ini——?”
“Wokeee~, Touya ayo bertanding!
Sampai di bebatuan lepas pantai itu!”
“Bagaimana kalau kita pergi
juga, Ayano?”
“Dipahami, Yuki-sama.”
Mengabaikan tsukkomi Masachika, mereka berempat
langsung berlari ke arah pantai seolah berkata, “Mana bisa aku tahan di tempat ini lebih lama lagi! Aku akan pergi ke
laut!”. Yang tersisa hanyalah suasana canggung di antara Masachika dan
Kujou bersaudari.
“Etto ... gimana kalau kita
pergi juga?”
“.....”
Ia memanggil Alisa dengan
sungkan, tapi Alisa dengan canggung memalingkan wajahnya dari Masachika. Dengan
enggan, Ia lalu menoleh ke arah Maria ... tapi untuk beberapa alasan, Maria
kembali ke bawah payung.
“Masha-san? Apa kamu tidak mau
pergi?”
Ketika Masachika berbalik dan
memanggilnya, Maria duduk di lembaran vinil dan tersenyum dengan santainya.
“Jangan khawatir tentang itu,
kamu boleh duluan kok~? Aku akan pergi setelah meniup ini ~”
Usai mengatakan itu, dia
mengambil balon pelampung kecil yang terlipat dari dalam tasnya. Sambil
menyebarkannya, Maria membuat pengakuan mengejutkan dengan senyum cerah.
“Aku tuh tidak bisa berenang, tau~”
“… Eh?”
Masachika menoleh ke arah Alisa
dengan ekspresi kaget di wajahnya pada pengakuan yang mengejutkan itu.
“Etto...? Oh, apa jangan-jangan
berenang tidak begitu umum di Rusia? Karena lautnya membeku?”
“Bukan begitu masalahnya.
Pelajaran berenang biasanya diajarkan di sekolah, dan di Vladivostok, tempat
aku dulu tinggal, aku biasa berenang saat musim panas.”
“... Meski begitu, dia tidak
bisa berenang?”
Tanpa sadar, Ia hampir
keceplosan, “Walaupun itu terlihat bisa
mengapung?”, dan dengan cepat menelan kata-kata tersebut. Namun, Alisa
sepertinya entah bagaimana bisa menebak apa yang akan Ia katakan, dan
menyipitkan matanya ke arah Masachika dengan tatapan jijik.
“... Itu karena, kami berdua
tidak terlalu sering berenang.”
“Be-Begitu ya. Ah enggak,
bahkan ada beberapa orang Jepang yang
tidak berenang, bukan? Bahkan beberapa orang Jepang tidak bisa berenang, kan?
Ternyata ada juga beberapa hal yang tidak bisa Masha-san lakukan! Kupikir itu tidak
apa-apa, ini semua tentang individualitas!”
Ketika Ia meneriaki itu untuk
memperbaiki situasi, Ia lalu bergumam, “Kalau
begitu, tanpa perlu berlama-lama lagi ...”, dan Masachika mencoba menuju ke
laut ... tapi tiba-tiba, pergelangan tangannya ditangkap dari belakang.
“Umm, Alya-san...?”
Karena merasakan firasat buruk,
Masachika menoleh ke belakang dengan ketakutan. Smabil menatap lurus ke arah
Masachika ... Alisa pun berkata.
“Pertama-tama, harus pemanasan
dulu.”
“Ah, iya, benar juga.”
◇◇◇◇
Masachika berenang bebas di dalam
lautan yang relatif tenang.
Air lautnya terlihat lebih jernih dari yang dibayangkan Masachika,
dan melalui kacamata renangnya, Ia bisa melihat dengan jelas dasar laut tiga
meter di bawah.
(Oh, lumayan ada banyak ikan. Luar biasa
sekali, aku tidak pernah merasa bosan melihat ini)
Seraya menyesali karena tidak
membawa peralatan snorkel, Masachika menikmati pemandangan bawah laut dengan
berenang perlahan.
“Buhaa.”
Karena nafasnya sudah semakin
tidak kuat, jadi Ia memutuskan untuk kembali ke area dangkal dulu. Ia lalu berenang
menuju pantai dengan gaya dada, dan setelah berenang sebentar ... Masachika
terkejut dengan apa yang dilihatnya.
Karena Ia melihat ... Ayano, yang
tampak benar-benar tenggelam, terombang-ambing terhempas ombak dengan bagian
belakang kepala dan punggungnya terbuka ke permukaan laut.
“Tungg—, Ayano!?”
“? Iya?”
Ketika Ia buru-buru
memanggilnya saat merangkak mendekat, Ayano mengangkat kepalanya seolah-olah
tidak terjadi apa-apa. Dia menyingkirkan beberapa helai rambut dari wajahnya,
melepaskan snorkel dari mulutnya, dan balas menatap Masachika dengan tatapan
penasaran.
“Ah ... Eh. Apa kamu tidak
apa-apa?”
“? Apanya?”
“Tidak, bukan apa-apa......”
Dilihat dari reaksinya kalau
dia tidak tenggelam, Masachika lalu bertanya sambil tersenyum kaku.
“... Apa kamu menikmatinya?”
“Ya, saya sangat menikmatinya.”
“... Begitu ya. Kalau begitu
syukurlah. Maaf sudah mengganggumu.”
“Tidak, Anda itu tidak
mengganggu sama sekali.”
“Kalau begitu, aku mau kembali
ke pantai dulu ...”
“Ya.”
Setelah membungkuk ringan dan memasukkan
kembali snorkel ke mulutnya, Ayano mulai mengapung lagi. Bukan berenang dengan
tenaganya sendiri, dia justru membiarkan tubuhnya terombang-ambing oleh ombak.
Sembari sedikit penasaran pada
cara unik Ayano dalam menikmati laut, Masachika kembali ke perairan dangkal.
Kemudian, Ia berbaring di tepi pantai dan menikmati sensasi ombak serta pasir
yang datang silih berganti.
“Ah ~ Nikmatnya ~”
Di atas langit, matahari masih
bersinar merah di kelopak matanya bahkan dengan mata tertutup. Sinar matahari
yang terik membakar kulit telanjangnya, tetapi di sisi lain, air laut yang
menyentuh kaki dan panggulnya terasa dingin dan nyaman. Saat ombak datang
menerjang, Ia bisa merasakan tubuhnya didorong ke atas arah kepalanya dan
memercik ke pipinya. Dan ketika ombak kembali surut, Masachika merasa bahwa
tubuhnya ditarik kembali ke laut, dan Ia juga merasakan pasir di bawah tubuhnya
ikut tersapu dan punggungnya sedikit terkubur pasir.
Saat Ia terlena dalam sensasi
menyenangkan yang tak terlukiskan ini, Ia tiba-tiba mendengar suara gemericik
air di dekatnya. Segera setelah itu, guyuran air laut mengalir ke wajah
Masachika yang sedang berbaring.
“Buhaa! Apu, Ap—?”
Terengah-engah, Ia mengangkat
bagian atas tubuhnya dan menyeka wajahnya dengan tangan sambil menghembuskan
napas melalui hidungnya sebisa mungkin. Ketika Ia berhasil mencegah air laut
masuk ke hidungnya, Masachika menoleh ke arah suara gedebuk.
“Uee~ii, apa kamu menikmatinya? My brother~”
“Kamprett……”
Tanpa perlu dikatakan lagi, di
sana ada adik perempuannya dengan senyum menyeringai.
“Astaga ... apa itu tidak
apa-apa? Menunjukkan sifat aslimu seperti itu.”
“Enggak masalah~. Lagian, yang
lain sedang pergi jauh semua.”
Yuki memandang ke laut saat
mengatakan itu dan memiringkan kepalanya dengan penasaran.
“Kira-kira ... kapan gurita raksasa akan muncul, ya?
Padahal aku sudah menunggu dari tadi.”
“Mau ditunggu seberapa lama pun,
makhluk semacam itu takkan pernah keluar, oke?”
“Mustahil !! Kalau berbicara
tentang laut, pasti ada makhluk gurita raksasa, ubur-ubur raksasa, atau anemon
raksasa akan muncul, lalu teriakan ‘A~re~’
atau ‘I~yan~’ merupakan tanda
dimulainya adegan klise dalam permainan tentakel yang erotis!?”
“Itu cuma terjadi dalam fantasi
saja, oke! Kalau makhluk semacam itu muncul di dunia nyata, yang ada justru
semuanya akan panik!”
“Mu-Mustahil ... lantas, untuk
apa aku pergi ke laut...”
“Bukannya untuk berenang?”
Masachika dengan tenang
menimpali ucapan adiknya yang terjatuh dengan posisi merangkak, dan memasang
wajah kecewa. Kemudian, Yuki kembali berdiri dan berkata sambil menghela nafas.
“Apa boleh buat, deh ... Jika
peristiwa erotis yang klise tidak terjadi, kurasa aku tidak punya pilihan lain selain
mewujudkan acara lain semampuku ... Ayo lakukan itu, yuk …. yang itu tuh.”
“Yang itu? Itu apanya?”
“ Dasar bodoh!! Jika aku bilang
melakukan itu di laut, tentu saja
kita akan melakukan permainan saling menyipratkan air!”
“Mana kutahu !! Tidak,yah, aku
tahu kalau itu sudah biasa terjadi, sih!”
Ketika membayangkan memikirkan adegan
yang sering dilihat di manga dan anime, seperti 「Soryaa~!」「Kyaa~, dingin banget~! Kamu yang mulai ya~
Ei~! 」 .
Masachika juga berpikir ‘Yah itu memang
adegan klise’.
Yuki lalu segera membungkuk dan
mencelupkan kedua tangannya ke dalam air laut, dan mencipratkan air dengan kuat
ke arah Masachika.
“Rasakan ini!”
...... Tapi teriakannya sedikit
berbeda dari adegan klise.
“Ui... tsu”
Masachika memalingkan kepalanya
dari cipratan yang tepat mengenai wajahnya, …. pipinya sedikit berkedut karena
air yang memercik ke arahnya, Ia lalu berbalik dan memercikkan air ke arah Yuki
sekuat mungkin dengan tangan kanannya.
“Wuoo—ii!”
Yuki berteriak aneh dan
melindungi wajahnya dengan tangan ketika cipratan air menyerang. Dia kemudian
segera mengayunkan lengannya dan mulai melawan.
Pertarungan berlanjut beberapa
kali, dan akhirnya berkembang menjadi pertarungan air tanpa ampun yang
mengabaikan sistem giliram. Kedua kakak beradik itu terus bertarung cipratan
air dari jarak dekat.
“Jangan harap kamu bisa
mengalahkanku dengan tangan sekecil itu!”
“Abhua, doryaaa!”
“Tungg—, kamu tadi menggunakan
kaki, ‘kan.”
“Ahahaha”
“Fyu, hahaha”
“Aha, ahahaha ……………… hah.”
“Jangan mendadak berhenti gitu,
dong ...”
Masachika menghentikan
tangannya seraya mengalihkan pandangannya ke arah Yuki yang tiba-tiba berhenti
tersenyum ceria dan menghela nafas. Pada saat cipratan air berhenti, tetesan
air yang menetes dari rambut dan dagunya, entah kenapa mulai terlihat
melankolis.
“Tidak ... ternyata ini lebih
membosankan daripada yang kukira.”
“Kamu sendiri yang memulainya,
tapi kamu juga orang pertama yang tersadar. Aku jadi mulai jengkel, tau.”
“Kurasa cuma pasangan bucin
saja yang bisa menikmati ini tanpa henti.”
“Cara bicaramu, jaga cara
bicaramu, oi.”
“Kepalaku, terasa mendidih.”
“Siapa tadi yang bilang kalau
mandi bikin mendidih. Ini cuma masalah ekspresi—”
“Cerewet!”
“Hei, apa yang—?”
Tiba-tiba, Yuki menutup jarak
dan melompat ke arahnya dengan sekuat tenaga, kaki Masachika yang terperangkap
di pasir dan ombak, membuatnya jatuh telentang. Punggungnya terbanting
keras ke dalam air, dan menyebabkan cipratan air yang keras.
“Uhuk, bohee!”
Kedalaman air di sekitar sini
paling tinggi hanya selutut, tapi jika kamu terbaring dengan paksa, kamu bisa
tenggelam secara normal. Dengan tergesa-gesa mengangkat bagian atas tubuhnya
dengan tangan di dasar air, Masachika menghembuskan napas kuat-kuat melalui
hidungnya dan melirik ke arah Yuki yang menempel di lehernya.
“Tiba-tiba apa yang—?”
“Rasakan ini! Tenggelamlah! Tenggelam!”
“—kamu, guhe!”
Namun, Yuki yang mendekap dan
terus berusaha mendorongnya dengan susah payah, lalu Masachika yang kehilangan
penopang badannya, kembali didorong ke dalam air. Ia
mendarat di punggungnya lagi, dan kepalanya tenggelam ke laut.
“—lakukan , dasar tengil!”
Kali ini, hidung Masachika benar-benar
kemasukan air, Ia lalu bangkit dan mendorong mundur Yuki dengan sekuat tenaga
sembari menahan air matanya saat rasa sakit mulai menusuk di bagian belakang
hidungnya.
“Unu...fufufu, naïf sekali. Dalam
pertempuran apapun, pihak yang mengambil keuntungan dari lawan adalah pihak
yang lebih kuat...!”
“Tapi, sepertinya kamu sudah
terlihat ngos-ngosan begitu? Kuh, akan aku tunjukkan kalau yang namanya adik
perempuan takkan bisa mengalahkan kakaknya...!”
Masachika mencoba melawan adik
perempuannya dengan cara yang kekanak-kanakan, memanfaatkan perbedaan ukuran
dan kekuatan otot. Ia dengan sekuat tenaga mengangkat bagian atas tubuhnya dan
mencoba menekan Yuki ke arah yang berlawanan. Yuki juga mencoba bertahan dengan
meregangkan kakinya, tetapi sulit untuk melakukan serangan balik setelah didorong
mundur sejauh ini.
Merasa yakin dengan kemenangannya,
Masachika tersenyum menyeringai ... tapi pada saat itu, Yuki berteriak di sebelah
telinganya.
“Ayano! Lakukan sekarang!”
“Tangan itu takkan kubiarkan—”
“Permisi, Masachika-sama!”
“Kenapa kamu bisa ada di
sini!?”
Begitu mendengar suara Ayano
yang seharusnya sudah tenggelam beberapa saat yang lalu ... Seketika kemudian,
Masachika dengan cepat didekap dari belakang.
Di luar fakta tersebut, Masachika
sangat terguncang oleh sensasi lembut dan kenyal dari selembar kain tipis yang
menempel di punggungnya. Tiba-tiba dihimpit dua gadis cantik. Yah, Ia tidak terlalu
peduli dengan adik perempuan yang ada di depannya, tapi Masachika tidak bisa
tetap tenang dengan teman masa kecil yang ada di belakangnya. Yuki memanfaatkan
kesempatan itu dan mendorong tubuh Masachika ke samping. Masachika mendarat tak
tertahankan di bahunya, dan wajahnya berkedut saat merasakan air memasuki telinganya.
“Guhh!”
“Ayano! Lengan kanan!”
“Maafkan kelancangan saya!”
“Jika kamu mau meminta maaf—”
Masachika berulang kali ditenggelamkan
oleh dua gadis yang memegang lengan dan kakinya, mengunci badannya dan
menariknya ke bawah.
Ini adalah situasi yang sangat
diidam-idamkan bagi setiap cowok untuk dipeluk oleh dua gadis cantik dalam
balutan pakaian renang, tapi Ia tidak dapat menikmatinya karena apa yang mereka
lakukan padanya tidak ada bedanya dengan kelakuan bocah nakal. Dengan serius,
Ia berusaha keluar dari air laut.
Beberapa menit kemudian,
Masachika berhasil meloloskan diri dari pengekangan mereka berdua dan melarikan
diri ke pantai, Ia merangkak dengan nafas terengah-engah.
“Kenapa ….sampai di laut…. kita
harus bergulat …. segala...”
“Apa Anda baik-baik saja? Maafkan
saya karena sudah berlebihan melakukannya.”
“Tidak, Ayano tidak salah sama
sekali ….... semua ini salah Yuki. Oi, jangan cengengesan begitu.”
Setelah mengalihkan
perhatiannya pada Ayano yang berjongkok di sampingnya dan membelai punggungnya,
Masachika memelototi adiknya yang berjongkok di sisi lain sambil menyeringai
dan pipi yang tersipu merah.
“Ini bukan gulat, tau~, tapi
itu adalah sumo baju renang dengan sekumpulan gadis-gadis cantik.”
“Astaga, apa yang sudah kamu
lakukan di tengah-tengah laut begitu?”
Merasa puas dengan kakaknya,
yang meneteskan air dari rambutnya dan menatapnya dengan tatapan tajam, Yuki
mengangkat satu alis dan bahunya tanpa ada sedikitpun rasa bersalah.
“Meski kamu bilang begitu, kamu
pasti menikmati nuansa kulit lembut kami sepuasnya, ‘kan? Lihat tuh, wajahmu
sampai merah padam begitu~.”
“Tidak, ini sih cuma karena
kekurangan oksigen saja.”
Yuki dengan lihainya
mengabaikan tsukkomi tenang Masachika dan berdiri.
“Baiklah, karena aku sudah puas
bermain dengan Onii-chan, aku mau pergi ke laut lagi, ah~. Oh iya, kalau tidak
salah ada pelampung besar berbentuk papan, ‘kan? Ayo tiup itu, yuk.”
“Umm ...”
“Ah Ayano, kamu boleh pergi
menemani Yuki. Aku mau istirahat sebentar.”
“... Benarkah? Kalau begitu
saya permisi dulu.”
Setelah melihat Yuki dengan
gembira berlari menuju vila dan Ayano yang mengikuti di belakangnya, Masachika
duduk di pantai dan mengalihkan pandangannya ke laut.
“Hah? Ketua dan Sarashina-senpai
enggak ada...?”
Hanya ada dua Kujou bersaudari
yang terlihat di matanya, dan Masachika sedikit memiringkan kepalanya. Ia
menyipitkan mata ke area berbatu, tempat yang seharusnya mereka berdua tuju, tapi
di sana tidak ada tanda-tanda mereka juga.
“... Yah, sejauh menyangkut
mereka berdua, kurasa tidak perlu mengkhawatirkan mereka.”
Hanya dua orang itu saja yang
mungkin takkan tenggelam. Mungkin saja mereka berdua sedang menikmati
kesempatan untuk berduaan di sisi lain bebatuan itu. Jadi, tidak ada gunanya untuk
mencampuri urusan mereka.
Dengan mengingat hal itu,
Masachika dengan santai mengalihkan perhatiannya ke Alisa yang berenang di sisi
kiri pandangannya, dan Ia lanjut melihat ke arah sisi sebaliknya. Kemudian,
sedikit di area lepas pantai, Maria yang menggunakan cincin pelampung, terlihat
mengambang ... mengambang ... Hmm? Bukannya dia terhanyut?
“Eh, apa dia baik-baik saja?”
Mengingat perkataan Maria kalau
dia tidak bisa berenang, Masachika segera berenang menuju ke arahnya dengan
sedikit tidak sabaran.
“Masha-san!”
“Oh, Kuze-kun~. Berenangmu
ternyata cepat, ya. Aku sampai dibuat terkejut~.”
“Ah ini tidak seberapa, tapi
kesampingkan itu ... Apa kamu baik-baik saja, Masha-san? Bukankah kamu
terhanyut ombak?”
Seperti biasa, Maria
menyambutnya dengan senyum lembut, dan Masachika bertanya begitu sambil berdiri
untuk berenang. Kemudian, Maria meletakkan tangan kanannya di pipinya dan
memiringkan kepalanya seolah-olah dia sedikit bermasalah.
“Sudah kuduga, pasti menurutmu
begitu, iya ‘kan.”
“Jadi beneran hanyut, ya!”
“Dari tadi aku sudah mencoba
yang terbaik untuk kembali ke pantai, tapi ... entah kenapa, lama-kelamaan aku
jadi semakin menjauh … hahaha aneh sekali, iya ‘kan~?”
“Tidak, tidak, ini bukan
sesuatu yang pantas untuk ditertawakan.”
“Hmm, tapi menangis juga tidak
ada gunanya ‘kan~? Nanti air lautnya bisa jadi manis~.”
“Hah?”
“Ah, tapi jika aku melakukan
itu dan menjadi seperti anjing laut, aku mungkin bisa tertolong?”
“Masha-san?”
“Aku yakin kalau Alya-chan
pasti akan terkejut~”
“Kenapa perkataanmu tiba-tiba
jadi tidak nyambung, Masha-san!”
“Eh, apanya?”
Ketika Maria memiringkan kepalanya
dengan ekspresi keheranan, Masachika menepak jidatnya sendiri. Ia kemudian
menyerah untuk mencoba memahami omongan aneh Maria dan kembali ke topik
pembicaraan.
“... Pokoknya, karena Masha-san
tidak bisa berenang, jika kamu terbalik di tengah pantai dan melepaskan
pelampungmu, bisa-bisa kamu akan mati, lo?”
“Hmm~, selama waktu itu, aku
penasaran apa ada seseorang yang akan menyadarinya dan membantuku.”
Masachika berpikir, “Apa orang ini benar-benar baik-baik saja?”
dengan sedikit khawatir pada Maria yang terlihat tidak gugup sama sekali dan
hanya menunnjukkan senyum bermasalah
“Tolong minta bantuan lebih
cepat ...”
“Maafkan aku~... tapi dengan
begini, Kuze-kun datang untuk menyelamatkanku, kan?”
“... Itu cuma kebetulan saja
aku melihat Masha-san terbawa ke lepas pantai.”
“Fufufu, walau begitu, terima
kasih banyak. Karena sudah menyelamatkanku.”
Masachika merasa malu ketika
Maria mengucapkan terima kasih dengan senyum yang sepertinya menunjukkan kalau
dia mempercayainya sepenuhnya.
“Haa ... yah, tidak apa, sih.”
Senyum Maria semakin melebar
saat Masachika dengan cepat mengalihkan pandangannya dan menjawab dengan
singkat. Senyumnya itu seolah-olah sedang melihat sesuatu yang menawan, dan hal
itu membuat Masachika merasa tidak nyaman, seolah-olah dia bisa melihat tembus
pikiran batinnya.
“Kalau begitu, kita akan
kembali ke pantai, oke?”
“Um, tolong ya~”
“Etto ...”
Ketika tiba saatnya untuk
membawa Maria ke pantai ... Masachika tidak yakin harus bagaimana membawanya.
Jika pihak lainnya laki-laki, Ia akan memasukkan satu tangan ke dalam cincin pelampung
dan menariknya, tetapi Ia merasa ragu-ragu untuk melakukannya dengan seorang
wanita. Akan lebih mudah jika pelampung tersebut memiliki tali yang terikat,
tapi sayangnya, Ia juga tidak dapat menemukan benda yang seperti itu.
“Kalau begitu, tolong antar aku,
ya ~?”
“Ah, iya……”
Maria mengulurkan tangan
kanannya di hadapan Masachika yang kebingungan. Ia lalu dengan enggan memegang
tangan itu. Tangan yang lebih kecil dan lebih lembut dari tangannya sendiri.
Tangan yang begitu halus, dan jika Ia menggenggamnya terlalu erat, ada
kemungkinan besar kalau tangan tersebut bisa patah ... namun, rasanya entah bagaimana
lumayan menenangkan.
“Fufu~”
“Ad-Ada apa?”
“Bukan apa-apa, kok~?”
Memalingkan pandangannya dari
wajah Maria yang menunjukkan senyum penuh arti, Masachika mulai berenang menuju
pantai. Demi menghindari menendang kaki Maria, Ia berusaha menjaga kakinya
tetap rendah dan menarik Maria bersamanya dengan gaya dada serta hanya
menggunakan satu tangan saja.
“Hebatt~, cepat sekali. Kuze-kun,
kamu ternyata sangat kuat, ya~.”
Suara Maria yang dipenuhi
dengan setengah mengagumi dan setengah bersorak, terdengar di belakang punggungnya,
dan Ia bisa merasakan punggungnya memanas. Masachika juga seorang laki-laki.
Jika ada seorang gadis manis memberi sorakan polos seperti ini, siapa pun pasti
akan merasa seperti “Oke! Kurasa aku
harus melakukan yang terbaik!”.
Namun, Maria tiba-tiba mengangkat
suara yang terdengar sedikit khawatir.
“Ara ...? Kuze-kun, ada memar
di bahumu...”
“Eh...? Ohh.”
Menanggapi ucapan Maria,
Masachika meliriknya sembari berpikir, “Ada
juga kejadian semacam itu, ya.”
“Ini memar lama, kok. Lagipula,
ini tidak terasa sakit lagi.”
“Benarkah …?”
Maria masih terlihat khawatir,
tapi bekas memar itu memang tidak terlalu menyakitkan, dan karena letaknya ada
di sisi belakang bahunya, Masachika bahkan sering melupakan kalau ada bekas
memar di sana.
“Apa kamu pernah mengalami
kecelakaan?”
“Tidak, tidak, ini bukan
sesuatu yang berlebihan begitu. Aku hanya digigit anjing saat masih kecil dulu
...”
Masachika sedikit gugup ketika
Ia berbalik dan mengatakan ini, Ia merasakan kalau tangannya yang memegang
tangan Maria digenggam dengan erat.
“Sungguh, itu bukan perkara
besar, kok. Ini semua karena aku tidak menyembuhkannya dengan benar sebab aku
berusaha terlihat keren, jadi itu meninggalkan bekas luka ...”
Peristiwa itu terjadi saat
Masachika menghabiskan waktu bersama gadis
itu. Seperti biasa, ketika mereka berdua sedang bermain bersama di taman, tiba-tiba
ada seekor anjing besar yang tampak mengamuk dan menyerang gadis itu.
Masachika segera melindunginya
dan menangani anjing itu, tetapi ketika Ia berjuang untuk menahannya, bahu kanannya
digigit anjing itu. Untungnya, majikan anjing itu segera bergegas ke tempat
kejadian dan menarik anjing itu dengan sekuat tenaga, sehingga bekas lukanya
tidak terlalu dalam... Pada waktu itu, Masachika hanya berusaha terlihat keren
dan tidak mau membuat gadis itu
khawatir, Ia juga takut kalau kakek dan nenek dari pihak ayahnya akan disalahkan
oleh Gensei, jadi Ia hanya memberikan perawatan minimum.
Pada saat itu, dokter
memberitahunya kalau bekas lukanya secara bertahap akan menjadi kurang terlihat
saat Ia tumbuh dewasa, tetapi ia berakhir dengan memar kecil keabu-abuan di
sisi belakang bahunya. Masachika sendiri sudah tidak terlalu peduli lagi.
“Tidak seperti gadis-gadis,
memiliki beberapa memar tidak terlalu bermasalah bagi cowok. Sebaliknya,
kakekku bahkan tertawa gembira dan berkata,
'Ini baru namanya medali pria!.' Oh, kalau Masha-san penasaran, ini adalah
bekas luka dari melindungi teman.”
“… Begitu ya.”
Merasakan kecanggungan dalam nada
rendah suara Mariya yang belum pernah terjadi sebelumnya, Masachika terus
menghadap ke depan dan terus berenang tanpa menunjukkan kelelahan sedikit pun.
Kemudian, ketika jarak ke pantai berkurang lebih dari setengahnya dalam suasana
yang canggung, Ia berpikir bahwa kakinya sebentar lagi bisa mencapai dasar.
Namun tiba-tiba, tangan Maria tersentak dan menegang saat di dalam genggaman
tangan Masachika.
“? Masha-san? Apa ada sesuatu
yang salah?”
Sambil beralih ke gaya punggung,
Masachika melihat ke arah Maria yang ada di belakangnya. Namun, Maria tidak
menjawab pertanyaannya, tapi justru menatap ke dalam air dari balik pundaknya.
“Masha-sa…”
“Kyaaa..”
Jeritan kecil, seperti sentakan.
Segera setelah itu, Maria melepaskan tangan Masachika, meletakkan tangannya di
pelampung, dan mulai mencoba menarik tubuhnya keluar dari pelampung, lalu
mendepakkan kakinya dan meregangkan tubuh.
“Tungg—, Apa yang sedang kamu
lakukan! Bahaya—”
Masachika yang terkejut
memperingatkannya, tapi itu sudah terlambat. Karena berat di sisi depan pelampung,
sisi belakang pelampung tiba-tiba terangkat, dan Maria terbalik ke sisi
depannya.
Cipratan besar pun terjadi, dan
kaki Maria menendang udara dengan keras di dalam pelampung yang terbalik.
Kemudian, dia tenggelam ke dalam laut sebagaimana adanya.
“Eh, tunggu, apa kamu baik—”
Lengan Maria yang terentang
dari laut, segera melingkari leher Masachika yang kebingungan. Sebelum bisa
berpikir, ‘Eh?’, Maria dengan rambut yang
menempel di dahi dan pipinya, melompat keluar dari dalam air dan memeluknya ….. tidak, dia
menempel pada Masachika dengan sekuat tenaga.
“Ap-Apa——!?”
Pipi Maria dengan rambut
lengket menyentuh pipinya. Lengan lembut Maria menyentuh leher dan bahunya. Dan
di atas segalanya ... ada sensasi lembut dan kenyal yang menempel di dada dan perutnya.
“~~~~~~!?”
Perasaan yang terlalu
merangsang membuat Masachika merasakan panas naik di kedalaman tubuhnya. Namun,
segera setelah itu, permukaan laut mendekati mulutnya dan Ia buru-buru
melanjutkan berenang apungnya.
“Awas──”
“Ub-Ubur-ubur, ada ubur-ubur!”
“Eh, ub-ubur-ubur!?”
Masachika segera mengalihkan
pandangannya ke laut ketika mendengar teriakan di telinganya. Lalu, memang
benar ada benda putih seukuran setengah bola mengapung di dalam air, dan
Masachika menegangkan tubuhnya ... tetapi jika dilihat baik-baik, benda itu
tampaknya tidak berenang sendiri. Sebaliknya, benda itu hanya terombang-ambing
mengikuti aliran ombak ...
“... Hmm? Masha-san, itu
sepertinya bukan ubur-ubur, tapi kantong plastik...”
“Eh? Pla-Plastik?”
“Umm, mungkin ...”
“Jangan tidak pasti begituu!!”
Begitu Masachika mengatakan itu dengan nada kurang percaya diri, Maria yang sudah melonggarkan lengannya sejenak, mulai memeluknya lagi dengan erat.
“Wuooohhh!? Kalau begitu,
pasti! Itu pasti kantong plastik!?”
“Ааа! Помогиии! Она меня ужалила!”
“Oh! Saat kamu panik, kamu
keceplosan berbicara bahasa Rusia, ya!”
Masachika sangat terkesan oleh
teriakan Maria yang benar-benar panik. Masachika sendiri berada dalam keadaan
panik yang berbeda. Tapi, wajar saja Ia bereaksi begitu.
Kulit telanjang Maria terasa
sangat panas di air laut yang dingin. Rasanya begitu lembut. Pokoknya sangat
lembut. Terutama ea ra keibuan yang menghancurkan dada Masachika. Selain itu,
aroma badan Maria sendiri memenuhi lubang hidungnya, bercampur dengan aroma
tabir surya.
(Ga-Gawat, seriusan, aku bisa tenggelam
kalau dibiarkan terus ……!)
Bukan oleh ea ra keibuan Maria …
tapi ke dalam laut, tentu saja. Merasakan rasa krisis ketika tubuhnya
perlahan-lahan tenggelam, Masachika dengan cepat mencari cincin pelampung dan
segera menembukan kalau benda itu mengapung beberapa meter jauhnya. Mungkin
benda itu terdorong kesana karena amukan ea r Maria.
“To-Tolong tenanglah dulu,
oke?”
“Я оюсь едуз! Сaкун, омогиии!”
Masachika meletakkan tangannya
di punggung Maria untuk menenangkannya, yang masih mengoceh tentang sesuatu,
dan berusaha mengambil cincin pelampung. Kemudian, saat Masachika berhasil
meraih pelampung dan menghela napas lega, …. Ia mendengar suara tertegun dari
arah dekat.
“Apa yang sedang kalian berdua lakukan?”
Ketika Masachika memalingkan
wajahnya ea rah sumber suara, Ia melihat Chisaki tampak tercengang sambil
mengangkat kacamata renang di dahinya. Ekspresi wajahnya membuat Masachika
tidak sabar ketika Ia merenungkan keadaan dirinya sendiri yang sedang dipeluk
oleh Maria.
“Ah, tidak, ummm itu … ada
ubur-ubur muncul.”
“Ubur-ubur…? Ohh.”
Dengan ekspresi curiga, Chisaki
melihat sekeliling dan tiba-tiba mengulurkan tangan untuk meraih sesuatu.
“… Maksudmu yang ini?”
Usai mengatakan itu, Chisaki mengangkat
benda yang ada di tangannya … memang, itu adalah ubur-ubur. Bukan kantong
plastik. Tak diragukan lagi, ubur-ubur tulen.
Tanpa sadar, Masachika langsung
merasa was-was, dan lengan Maria yang ada di lehernya juga mendekap dengan
erat. Namun, ekspresi Chisaki semakin tercengang saat melihat reaksi mereka
berdua.
“Tidak, kalian tidak perlu sewaspada
begitu kali. Lagian, ini sudah mati.”
“Eh, su-sudah mati?”
Setelah diberitahu, ubur-ubur
itu memang tidak bergerak … dan tergeletak begitu saja. Rasanya seperti Cuma
segumpal gelatin.
“Aku melihat beberapa dari
mereka saat sedang berenang tadi, dan aku menghabisi mereka dengan cepat …
kelihatannya ubur-ubur yang sudah mati kebetulan hanyut ke sini.”
Setelah mengatakan itu, Chisaki
membuang ubur-ubur yang mati seolah-olah itu adalah seonggok sampah. Sungguh
kekuatan yang luar biasa sekali.
“Jadi? Mau sampai kapan kamu memeluknya,
Masha?”
“Eh, i-itu sih…”
Maria mengalihkan pandangannya
terhadap tatapan dingin Chisaki dan tertawa canggung.
“Pinggangku keluar dari cincin
pelampung …”
“Bukan karena kakimu kram?”
“Bu-Bukan.”
Saat pandangan matanya menjadi
hangat bersama Chisaki, Masachika menyerahkan cincin pelampung ke Maria dan
bekerja sama dengan Chisaki untuk membawa Maria ke tempat yang dangkal. Ketika
dia akhirnya mencapai titik di mana kakinya bisa menyentuh dasar, Maria sedikit
sempoyongan dan mulai berjalan ke pantai sendiri.
“Maaf ya Kuze-kun, terima kasih
banyak.”
“Tidak, aku senang bahwa
Masha-san baik-baik saja. Kalau begitu, aku mau pergi berenang lagi.”
Setelah melambaikan tangannya ke arah Maria yang menurunkan alisnya dengan ekspresi minta maaf, Masachika lalu
menuju ke pantai lagi. … Sekarang, Ia tidak bisa keluar dari dalam air. Jangan
ditanya apa alasannya. Apa boleh buat, karena Masachika juga merupakan seorang
remaja yang sehat.