Chapter 6 — Aku Ingin Jadi Kura-Kura Saja
“Eh? Alya pergi ke mana, ya?”
Ketika Masachika selesai mendinginkan
kepalanya di laut dan kembali ke area pantai, Ia hanya menemukan kelompok kelas
dua. Berbalik ke belakang, Ia melihat Yuki dengan pelampung besar dan baru saja
muncul dari laut bersama Ayano, tapi Ia tidak melihat ada tanda-tanda
keberadaan Alisa.
“Jika kamu mencari si Adik
Kujou, dia baru saja meminjam alat pancing dan pergi ke daerah berbatu yang ada
di sana.”
“Alat pancing? Hee~...
Ngomong-ngomong, apa aku perlu mengomentari gambar ini?”
Masachika melihat ke area bawahnya.
Touya yang menjawab pertanyaan Masachika, saat ini sedang terkubur di dalam
pasir oleh Chisaki. Makin lama makin banyak pasir menumpuk di atas Touya yang berbaring
telentang di pantai, dan untuk beberapa alasan, Maria menggambar pola aneh
dengan tongkat kayu di sekitarnya. ... Apa itu semacam ritual?
“... Kalau bisa, tolong abaikan
saja.”
“……Woke, baiklah.”
Masachika yang entah bagaimana merasa
kalau itu akan merepotkan jika Ia mengungkitnya, mengangguk kecil atas permintaan Touya. Kemudian, Yuki datang
menghampirinya. Dia lalu berhenti sejenak saat melihat pemandangan yang ada di
depannya dan berpikir selama beberapa detik. Ekspresi wajahnya tiba-tiba terkejut,
dan dia bergumam dengan suara kecil yang hanya bisa didengar oleh Masachika.
“(Jangan bilang, kalau itu
mulai keluar dari sini? Tentakel)”
“(Mana mungkinlah!! Lagian ini
bukan legenda Cthulhu)”
“(Begitu rupanya, ya? 『Jika tidak mau keluar, lebih baik panggil
saja gurita raksasa itu』, jadi begitu cara kerjanya,
ya?)”
“(Jangan dipanggil, jangan
dipanggil !?)”
“Kelihatannya Senpai melakukan
sesuatu yang menarik, ya? Apa aku boleh ikut bergabung?”
“Walah, boleh saja kok ~?”
Yuki dengan senang hati ikut bergabung
dalam kegiatan gambar Maria (?) setelah mengabaikan tsukkomi Masachika dengan
cemerlang.
“Kalau Ayano ... Ayano?”
Ia mencari-cari keberadaan
pelayan dari adik perempuan seperti itu, tapi Ayano tidak ada di sana. Melihat
sekeliling, Ia bisa melihat bagian punggung Ayano membawa balon pelampung yang
baru saja digunakan Yuki saat dia membawanya menuju ke pondok. Sungguh pelayan
yang benar-benar baik sekali.
“...”
Tiba-tiba tidak memiliki kegiatan
apa-apa, Masachika berpikir sejenak dan kemudian memutuskan untuk pergi ke
daerah berbatu yang dituju Alisa. Dalam perjalanan ke sana, Ia mengenakan
sandal jepitnya yang tergeletak di bawah payung dan berjalan di sepanjang pantai
berpasir menuju bebatuan. Begitu Ia meletakkan kakinya di atas batu untuk memanjat,
salah satu kakinya terpeleset dan Masachika tersandung ringan.
“Duh, pijakannya lumayan tidak
stabil.”
Batuannya sendiri agak rapuh
dan mudah hancur, dan permukaannya sangat licin karena adanya ganggang lembab.
Terlebih lagi, Masachika sedang memakai sandal jepit yang bukan anti-slip. Jika
Ia tidak memperhatikan langkahnya dan tidak berjalan dengan hati-hati, Ia
kemungkinan besar akan langsung jatuh ke bawah.
Usai berjalan dengan hati-hati
dan waspada ... Masachika akhirnya tiba di bagian datar bebatuan dan menemukan keberadaan
Alisa di sana.
“Oh, orangnya ada di sana tuh
... Oi~ sudah dapat sesuatu~?”
Masachika berjalan mendekat
sambil menyerukan itu …. tapi semuanya sudah terlihat jelas dari wajah Alisa
yang menatap permukaan laut dengan ekspresi muram kalau dia belum mendapatkan
apapun.
“… Apa?”
“Tidak, aku cuma ingin
memeriksa keadaanmu dan melihat apa yang sedang kamu lakukan ...”
Melihat Alisa begitu fokus
sehingga dia tidak mau repot-repot menoleh ke arahnya, membuat Masachika berhenti
dan menggaruk kepalanya seraya penasaran apa kehadirannya itu cuma mengganggu.
Kalau
begitu, mari mengawasi situasinya dulu untuk saat ini ...
dan Masachika pun melihat pelampung pancing di permukaan laut yang dilihat
Alisa. Namun, minatnya langsung lenyap sekitar satu menit setelah melihat
pelampung pancing itu tidak bergerak sama sekali, Ia pun merasa bosan dan
tatapannya mengembara kemana-mana, Masachika lalu dengan santai mengalihkan
perhatiannya ke Alisa.
(Ah, beneran apa kata Yuki. Tulang
rusuknya samar-samar bisa kelihatan)
Masachika mengingat apa yang
dikatakan adiknya saat menatap tulang rusuk Alisa yang samar-samar terlihat di
bawah bikini. Ketika melihat ke bagian bawah tubuhnya, tidak mengherankan jika
Yuki terkejut karena pinggang Alisa begitu langsing sampai-sampai membuatnya
berpikir kalau Ia bisa meraih setengahnya dengan kedua tangan.
“Kamu lihat-lihat ke mana, hah?!”
Saat Ia mendongakkan wajahnya
ke arah suara dingin itu, Alisa menatapnya dengan tatapan dingin. Ia hanya
melihatnya dengan kekaguman murni, dan bukan karena adanya motif tersembunyi, tapi
hati seorang pria membuatnya merasa bersalah saat dirinya dipandang dengan
tatapan dingin.
“Tidak, aku cuma berpikir kalau
kamu punya pinggang yang begitu langsing.”
“Ah, gitu ya.”
Setidaknya, dengan memujinya
secara jujur, itu bisa membuatnya terlihat seperti, “Aku tidak punya motif tersembunyi, kok~. Aku hanya melihat pinggangmu,
dan bukan bokongmu~.” tapi reaksi Alisa masih tetap dingin.
“Bukannya kamu sudah tahu hal
itu karena kita pernah menari bersama tahun lalu?”
“Tahun lalu...? Oh, waktu
festival sekolah, ya.”
Masachika menjadi malu saat
mengingat kalau Ia meletakkan tangannya di pinggang Alisa selama tarian rakyat
(?) di malam festival. Pada waktu itu, suasananya sudah gelap dan Ia
mati-matian mengikuti tempo tarian Alisa, jadi Ia tidak terlalu menyadarinya,
tapi saat dipikir-pikir lagi bahwa Ia memeluk pinggul yang langsing itu,
Masachika merasa kalau dirinya sudah melakukan sesuatu yang begitu berani.
“Yah, itu sih, tahu sendiri
‘kan ... Saat dilihat-lihat lagi, aku jadi benar-benar merasakannya.”
Alisa juga terlihat sedikit
kesal saat mengatakannya sambil membuang muka.
“Tunggu ... jangan bereaksi
aneh begitu, dong. Itu cuma tarian, ‘kan?”
“Tidak, yah ... hmm, meski
dibilang cuma tarian, tapi rasanya kok cukup inovatif? Berkat seseorang yang
lepas kendali?”
“Itu sih ... karena salahmu
yang sudah memprovokasiku ...”
Setelah terlihat sedikit
canggung, Alisa tiba-tiba menajamkan pandangannya saat kepikiran sesuatu dan
memelototi Masachika dengan sedikit rona merah di pipinya.
“Asal kamu tahu saja, aku hanya
memberimu izin istimewa karena kita sedang menari saat itu, tapi jika kamu
menyentuhku sekarang, aku takkan memaafkanmu, oke?”
“Tentu saja aku takkan
menyentuhmu. Aku takkan berani melakukan tindakan pelecehan seksual semacam
itu.”
Masachika mengangkat kedua tangannya
untuk menunjukkan bahwa Ia tidak memandangnya seperti itu, tapi Alisa mendengus
curiga dan mengalihkan pandangannya ke depan, lalu berkata dengan sikap jutek.
“Hmmph entahlah, rasanya kurang
meyakinkan ... bukannya kamu juga
menatap dada Masha dalam waktu yang lama?”
“Ah, enggak kok ... yah, itu
sih karena naluri cowok, jadinya ...”
“Tapi Ketua tidak melihatnya.”
“Aku juga cukup terkejut dengan
hal itu. Ia benar-benar pria terhormat.”
Setelah mengatakannya dengan
wajah datar, Masachika buru-buru beralasan.
“Tidak, tentu saja Ketua adalah
pria yang terhormat, tapi itu karena Ia memiliki Sarashina-senpai sebagai pacar
di sisinya ... jadi kupikir, itu sebabnya Ia tidak pernah melirik gadis lain,
dan agak sulit untuk dibandingkan dengannya ...”
Ia merasa bahwa semakin banyak
dirinya berbicara, semakin buruk pula posisinya, dan Masachika semakin
meringkuk seraya menunduk ke bawah. Tapi kemudian, gumaman kecil bahasa Rusia
kecil mencapai telinganya.
【Bukannya kita berdua juga, sama-sama pasangan】
Arti dari pasangannya jadi
berbeda. Tolong jangan samakan arti pasangan untuk kekasih dan rekan biasa.
【Tolong, lihat saja aku】
(... Memangnya aku boleh melihatnya?)
Melihat
dada yang montok itu...? Masachika secara naluriah membalas itu di
dalam hatinya, tapi Ia segera menyangkalnya sendiri. Jangan menganggap serius
setiap ucapan bahasa Rusia Alisa. Bukannya baru beberapa saat yang lalu, dia
menatapnya dengan tatapan dingin dan diomeli, “Kamu lihat-lihat ke mana, hah?”. Bahasa Rusia Alisa harus didengar
separuh ... tidak, Ia harus mendengarkannya sekitar sepertiga dari total
ucapannya.
Yang mana artinya ... benar,
itu artinya, Alisa bermaksud kalau Masachika hanya perlu menatapnya daripada
melihat kakaknya dengan tatapan cabul. Ya, itu adalah bentuk kasih sayang
seorang adik yang berusaha melindungi kakak perempuannya yang ceroboh.
(Yah, baru beberapa menit yang lalu, aku
dipeluk erat-erat oleh kakak perempuan yang dimaksud dengan baju renangnya.)
Masachika menggelengkan
kepalanya saat mengingat kejadian sebelumnya atau bisa dibilang peristiwa keberuntungan
mesum dalam reaksi berantai. Kemudian, Ia mengalihkan pandangannya ke permukaan
laut dan tiba-tiba mengubah topik pembicaraan.
“Umm ... apa kamu cukup
bersenang-senang di laut?”
Setelah mengatakan itu, Ia
langsung berpikir “Aku ini ngomong apaan
sih?”. Masachika baru saja melontarkan pertanyaan yang muncul di pikirannya,
tapi Alisa mengangguk tanpa terlalu memedulikannya.
“Hmm... yah. Meski aku baru
pertama kalinya jalan-jalan dengan teman-teman seperti ini, tapi menurutku ini
lumayan menyenangkan.”
“Begitu ya ... apa teman yang
dimaksud itu adalah Yuki dan Ayano?”
“? Iya”
Masachika sedikit tersentuh
oleh Arisa, yang mengangguk dengan sedikit aneh, tapi sekaligus terlihat alami.
Teman sekelasnya ini, yang dikenal sebagai
“Putri penyendiri” di sekolah dan orang yang keras kepala, menyebut kedua
siswa itu sebagai “teman” tanpa
ragu-ragu. Alisa yang dulunya jutek itu sekarang memiliki seseorang yang bisa dia
sebut sebagai teman tanpa ragu-ragu.
(Yah ... Dia bukannya membenci orang-orang.
Dia hanya menjaga jarak dengan orang-orang di sekitarnya supaya dirinya tidak
tersakiti ... Sebenarnya, dia hanyalah gadis yang baik dan penyayang.)
Masachika anehnya merasa senang
bahwa kebaikannya itu ditujukan kepada orang lain selain dirinya sendiri. Ia
menganggukkan kepalanya berulang kali seolah-olah ingin mengunyah fakta itu.
“Begitu ya …. Jadi begitu
rupanya.”
“Apanya?”
“Tidak, bukan apa-apa kok ....”
Melihat tatapan bertanya Alisa,
Masachika mengacaukan kata-katanya ... dan terbatuk ringan sebelum berkata.
“Bisa kita membicarakan hal
serius?”
“… Yah, bisa kok?”
“Ya. Aku cuma ingin
membicarakan masalah pemilihan Ketua OSIS, sih? Sebenarnya, aku berpikir bahwa
aku harus meningkatkan kemampuan sosialmu ...... karena, jika kamu terus
bersikap jutek dan dingin terhadap pendukungmu, kamu bisa-bisa takkan terpilih,
lo.”
“...”
Diberitahu secara tersirat
bahwa, “Kamu itu kurang bersosialisasi”, Alisa
jadi terdiam. Meski dia sudah menyadarinya, tapi saat diberitahu secara terus
terang begitu masih membuat hatinya terasa nyelekit.
“Tapi kupikir kalau itu sudah
tidak perlu lagi.”
Namun, Masachika dengan riang
berkata kepada Alisa, yang masih terdiam. Masachika lalu menatap lurus ke arah
Alisa, yang balik menatapnya dengan tatapan penuh tanya.
“Bahkan tanpa perlu campur
tangan dariku ... kamu bisa memperluas pertemananmu sendiri. Saat berpikiran
begitu, entah kenapa aku merasa sedikit lega ... dan juga senang.”
Alisa dengan cepat mengalihkan
pandangannya dari Masachika yang tertawa malu-malu. Kemudian, dia mengucapkan beberapa
patah kata.
“... itu karena Yuki-san dan
Kimishima-san sangat baik.”
“Iya, kamu juga.”
Alisa kehilangan kata-kata
sejenak ketika Masachika langsung menjawabnya tanpa jeda. Mulutnya berkedut
terbuka dan dia setengah refleks mencoba untuk membantah. Tapi sebelum dia bisa
melakukannya, Masachika menambahkan.
“Semua orang yang ada di OSIS
sudah lama menyadarinya.... dan juga, Taniyama dan Miyamae.”
“...”
“Asal kamu tahu saja, apa yang
kukatakan pada upacara penutupan semester kemarin itu perasaan jujurku, lo? Semakin
banyak orang yang mengenalmu, aku yakin kalau ada banyak orang yang akan
mendukungmu. Oleh karena itu … kupikir kamu harus lebih percaya diri lagi, tau
? Karena kamu itu banyak disukai oleh orang-orang daripada apa yang kamu
pikirkan.”
“… Begitu.”
Alisa mengangguk kecil pada
kata-kata Masachika, dan kemudian ada keheningan untuk beberapa saat. Hanya ada
desiran ombak yang bergema saat mereka berdua melihat ke arah laut.
【Kamu juga】
“Hmm?”
“... Tidak, bukan apa-apa.”
Mendengar gumaman bahasa Rusia
yang keceplosan dari mulutnya, Alisa menggelengkan kepalanya dan menutup
mulutnya lagi. Dengan suasana yang agak muram, Masachika menggaruk kepalanya
dan berkata, “Kurasa itu bukanlah topik
yang perlu dibicarakan dalam perjalanan liburan, ya.” Ia kemudian sedikit
meninggikan suaranya.
“Ahhh~~... tapi kelihatannya
masih tidak dapat apa-apa, huh~? Umm, kamu sedang memancing apa sekarang?”
Alisa berbalik dengan alisnya
yang sedikit mengernyit saat Masachika meregangkan tubuh dengan terlalu
berlebihan dan mengarahkan pandangannya ke pelampung pancing yang mengapung di
permukaan laut.
“... Memancing apa?”
“Hmm? Ah enggak, umpan apa yang
kamu pakai?”
“... Aku tidak menaruh umpan.”
“Eh, jangan bilang kalau kamu melakukan lure fishing[1]!? Bukannya itu terlalu susah buat pemula …eh bentar, kamu pemula, iya ‘kan?”
“… Emang.”
Masachika yang juga masih
seorang pemula, menggunakan pengetahuannya dari manga untuk memberikan saran
kepada Alisa, yang tampaknya agak tidak puas dengan sarannya.
“Umm, kamu takkan bisa
mendapatkan ikan kalau cuma menunggu terus, lo? Kamu harus menggerakkan umpannya
ke atas dan ke bawah supaya terlihat seperti ikan hidup…”
“… Begini?”
“Masih kurang, kamu harus
menggerakkannya sedikit kencang lagi ...”
“Jika kamu bilang begitu,
mending kamu saja yang melakukannya.”
Alisa yang terlihat sedikit kesal,
menyerahkan pancingan kepadanya, dan Masachika yang menerimanya, bergumam, “Aku juga pemula, .....”
Kemudian, sambil mengingat
adegan seorang selebriti yang memancing di TV, Masachika menggoyang-goyangkan pancingnya.
Setelah itu, beberapa detik kemudian….
“Oh, sepertinya ada sesuatu
yang datang.”
“!?”
Masachika dengan ringan menarik
jorannya pada getaran kecil yang ditransmisikan ke tangannya. Kemudian, reaksi
samar berubah menjadi perlawanan kuat, dan Masachika segera memutar gulungan
senar. Segera setelah itu, seekor makarel kuda kecil muncul dengan memecahkan
permukaan laut.
“!”
“Sekali coba langsung dapat~.
Fiuh, aku takut dengan bakatku sendiri ...”
Masachika tersenyum seperti
orang narsis di depan Alisa yang tercengang. Namun, saat ikan makarel kuda itu
ditarik dan diangkat ke atas bebatuan, .... senyumnya tiba-tiba mengeras.
“... Jadi, apa yang harus aku
lakukan dengan ini?”
“Eh, ap-apa yang harus
dilakukan ... kenapa kamu tidak melepaskannya saja?”
“Tidak, bagaimana caranya?”
“Caranya ... bukannya kamu
tinggal melepaskan kailnya?”
“Tidak, makanya aku tanya,
gimana caranya!?”
Masachika membungkuk ringan
dengan wajah kaku di depan makarel kuda, yang menggeliat keras saat melayang di
udara. Awalnya, Ia tidak bisa melakukannya dengan satu tangan, jadi Ia
menjatuhkan ikan itu bersama joran ke atas
tanah … tapi ikan itu masih menggeliat. Mereka berdua mundur sedikit. Tak
disangka-sangka, tak satu pun dari mereka pernah menyentuh ikan hidup.
“Ce-Cepetan dibantu.”
“Eh, ki-kira-kira digigit
enggak, ya?”
“Pasti takkan menggigit!”
“Seriusan? Maksudku, di mana
aku harus memegangnya?”
“Ya mana kutahu.”
Mereka berdua terperanjat di
depan ikan yang mereka dapatkan. Namun, bahkan saat mereka berdua sedang panik
begitu, kematian ikan semakin dekat, jadi Masachika meminta maaf dalam hatinya
dan dengan ringan menginjak badan ikan makarel kuda untuk menahannya, Ia lalu
dengan cepat melepaskan kail dan melemparkannya kembali ke laut.
“... Entah kenapa, maaf.”
“...”
Permintaan maaf spontan keluar
dari mulut Masachika saat melihat ikan makarel jatuh ke laut. Ia
merasa sudah melakukan sesuatu yang bersalah dan meminta maaf. Sepertinya Alisa
juga merasakan hal yang sama ketika dia memandang ke arah laut dengan ekspresi
yang kompleks.
“... Ayo kembali ke tempat yang
lain?”
“... Ya, ayo.”
Alisa sendiri masih belum
menangkap seekor ikan pun, tapi dia tidak berminat untuk melanjutkan memancing
lagi. Setelah memastikan bahwa Masachika mengambil pancing, dia berjalan di
sepanjang pantai berbatu menuju pantai.
Masachika pun mengikuti di
belakangnya, dan saat mereka mendekati turunan terakhir, Ia memberi tahu Alisa
yang berjalan di depannya.
“Di sebelah situ sedikit licin,
jadi berhati-hatilah kalau mau turun——”
Untuk jaga-jaga, Masachika
berusaha memperingatinya. Tapi pada saat itu...
“Ah!”
“Oi——!?”
Sandal Alisa terpeleset saat
dia mencoba turun, dan tubuhnya terhuyung ke depan.
(Gawat, jika dia jatuh ke tempat
bebatuan, semuanya akan jadi bencana—!!)
Jika cuma kena lecet di bagian lutut dan tangan saja masih mending. Paling-paling,
dia takkan bisa berenang lagi di laut. Namun, jika dia jatuh dengan baju renang
tanpa pertahanan seperti itu, dia mungkin akan mendapat luka yang serius dari
batu yang tajam.
“Hugh!!”
Merasakan bahaya, Masachika
dengan cepat mengulurkan tangan kirinya, melingkarkan lengannya di sekitar perut
Arisa, dan mencoba menahannya dari belakang. Meski Ia baru saja diberitahu
untuk tidak menyentuhnya, tapi Masachika tidak punya waktu untuk
mengkhawatirkan hal itu.
Tapi di sini Ia membuat
beberapa kesalahan perhitungan. Yang pertama, karena mereka berdua sama-sama
memakai baju renang, jadi tangan tangan kirinya yang menahan tubuh Alisa tidak
bisa menggenggam apapun. Yang kedua, kulit telanjang dengan garam dan pasir di
atasnya dari air laut kering, terasa lebih licin dari yang Masachika bayangkan.
Dan yang ketiga... batu yang ada di bawah kaki Alisa tiba-tiba runtuh dengan
suara keras saat dia tergelincir. Hanya permukaannya saja yang runtuh, tapi
Alisa yang berdiri di atasnya, kehilangan pijakan kakinya.
“Awas──”
Tubuh Alisa meluncur ke bawah
dengan sudut yang curam. Namun, tidak ada sesuatu yang bisa dipegang untuk
menahannya, dan perut Alisa yang efek gesekannya telah dikurangi oleh garam dan
pasir, tergelincir melalui lengan Masachika.
“── !?”
Didorong oleh situasi yang
sangat mendesak, Masachika membuang pancing yang ada di tangan kanannya dan
melingkarkan lengan kanannya ke perut Alisa. Selanjutnya, Masachika mencari
tempat di mana Ia bisa memegang dengan tangan kiri sambil meletakkan beban di
punggungnya.
(──! Ketiaknya!)
Seketika memutuskan hal itu,
Masachika mengangkat tangan kirinya dan mencoba memasukkan tangannya ke ketiak
kanan Alisa. Pada saat yang sama, Ia berbalik dan memeriksa area di belakang punggungnya.
(Tidak ada batu maupun tonjolan ... Aman!)
... Memang, kalau cuma sekedar ingin
mengangkat tubuh Alisa, meletakkan tangannya di bawah ketiak Alisa mungkin
merupakan solusi terbaik. Namun, Masachika lupa. Sebelum Ia bisa melakukan itu
pada seorang gadis, Ia harus melewati hambatan …. Ya, Ia harus melewati hambatan
besar sebelum tangannya bisa sampai ke sana.
(Hmm?)
Saat Masachika mengangkat tangan
kirinya, ibu jarinya tenggelam ke dalam sesuatu
yang lembut dan Ia bisa merasakan sesuatu terjepit di ujung jarinya. Lalu, sesuatu
itu langsung terbalik mengikuti gerakan tangan Masachika serta tubuh Alisa. Segera
setelah itu, tangan kiri Masachika terkubur dalam daging yang lembut dan sebuah
benda seperti tali terjepit di jari-jarinya.
(Hmmm!?????)
Ngomong-ngomong, pada titik
ini, Masachika masih belum mengetahui situasinya secara akurat. Yang ada di
benak Masachika adalah kebingungan pada sentuhan tak terduga dan ketidaksabaran
karena tidak bisa mencapai ketiak Alisa. Masachika kesal karena tangan kirinya
tersangkut pada sesuatu dan tidak mau bergerak, tapi setelah memeriksa keamanan
di belakangnya, Ia menggenggam sesuatu
itu dengan kuat di tangan kirinya untuk memastikan keselamatan Alisa.
“Aduh!”
Pada saat itu, Alisa
mengeluarkan teriakan kecil, tapi Masachika menggertakkan giginya tanpa
mengkhawatirkannya dan menarik Alisa ke belakang dengan tubuhnya.
“Adududuh!”
Sebagai hasil dari meletakkan
semua beratnya di punggung tanpa berpikir panjang lagi, Masachika jatuh
terduduk dengan keras. Meski dirinya sudah siap untuk itu, karena tidak ada
bantalan di celana renangnya yang tipis, rasa sakit yang dirasakan mencapai
otaknya, dan hal itu menyebabkan penglihatannya
kabur sesaat. Di tambah lagi, beban seseorang yang jatuh di pahanya, membuat
kakinya terasa remuk.
“Fyuh~~! Haaa.. haa… haa... Alya, apa kamu baik-baik saja...?”
Sambil berteriak pada rasa
sakit yang menyiksa kaki dan pantatnya, Masachika menatap Alisa yang ada di
dalam dekapannya ... dan akhirnya Ia baru menyadari situasinya dengan benar.
Lengan kanannya memeluk perut Alisa dengan erat. Ini sih tidak masalah. Pantat
dan paha Alisa berada di atas pahanya. Ini juga tidak masalah. Ada sensasi
lembut dan kenyal yang bersentuhan dekat dengan kulit telanjangnya, tapi ini
masih bisa ditolerir. Masalahnya justru……
“Uoooww!?”
“Ap-Ap———?!?”
… tangan kirinya yang
menggenggam erat payudara kanan Alisa. Kulit mulus telanjangnya menempel di
telapak tangan. Sensasi daging lembut yang berubah bentuk di sepanjang bentuk
jari-jarinya, dan sensasi kenyal serta kencang yang menyentuh pangkal tangan
Masachika.
“Maafkan aku—!!”
“Ah——!”
Begitu menyadari situasinya, Masachika
buru-buru menyingkirkan tangan kirinya. Ia melepaskan baju renang yang
tersangkut di ibu jari serta jari telunjuknya dan melepaskan itu dari tangannya.
Berkat itu ….
“!?”
“~~~~~~~~~!!”
Masachika jadi bisa melihat
semuanya. Yah wajar saja. Seolah-olah menggantikan baju renangnya, dada Alisa
disembunyikan oleh tangan Masachika. Alisa menjerit tanpa suara, mulutnya
menganga dan dia menyembunyikan dadanya dengan lengan, dia lalu berdiri gemetaran
di atas kaki Masachika.
“Mati !! Mati saja sana!! Mati
saja sana!!”
Kemudian, dengan wajah merah padam
karena marah sekaligus malu, dia menendang-nendang kaki Masachika yang sedang
terduduk di tanah.
“Aduh sakit!! Maaf, maafkan
aku!”
Tidak peduli seberapa lembut
sandal jepit yang dia kenakan, biasanya masih akan terasa sakit bila ditendang
sekeras mungkin pada kaki telanjang. Namun, Masachika tidak punya pilihan lain
selain meminta maaf karena situasi saat ini benar-benar salahnya. Meski itu
sudah cukup jika Ia dengan ringan menyentuhnya dari luar bajunya, walau itu
tidak disengaja, Masachika sudah memasukkan tangannya ke dalam baju renang
Alisa dan kemudian meremas dadanya dengan sekuat tenaga. Mau dilihat dari mana
pun, itu sudah cukup untuk membuatnya dilaporkan. Pak polisi, orang ini
pelakunya.
“Baka! Hentai ! Padahal aku
sudah bilang sakit! Ta-Tapi kamu, malah memegangnya dengan begitu erat...!”
“Maaf, aduh!! Tulang keringku
kesakitan, tau!?”
Mungkin kemarahan dan rasa
malunya meningkat, Alisa menendang dan menginjak kaki Masachika sambil
berlinangan air mata.
(Buhiiiii! Di industri kami, ini sama
saja dengan hadiah!!!)
Masachika mencoba menjadi orang
masokis sambil berteriak bodoh di otaknya pada rentetan kekerasan yang terus
menghujaninya, tetapi sayangnya Ia tidak cukup tercerahkan untuk bisa merasakan
kenikmatan dalam situasi ini.
Sebaliknya, Masachika ingin
Alisa melakukan sesuatu tentang pakaian renang yang tidak serasi sebelum
melampiaskan amarahnya dengan menendangnya. Karena pemandangan Alisa yang dalam
keadaan dadanya ditutupi tangan, begitu menggairahkan sampai-sampai Ia sulit
untuk melihat ke arah mana. Kalau dilihat dari bawah, dia tidak dapat
menyembunyikannya lebih dari yang dia bayangkan, tau?
“Huuu, Huuu, ughhh~~~~~~ ...”
“Tidak, itu, aku minta maaf.
Aku benar-benar minta maaf.”
Masachika meminta maaf kepada
Alisa, yang menunduk dengan mata yang berkaca-kaca sambil membuat suara yang
tidak bisa digambarkan sebagai geraman atau isakan melalui giginya yang
terkatup. Kemudian, Alisa tiba-tiba berbalik dan mundur beberapa langkahsebelum
membalikkan punggungnya ke Masachika dan berjongkok.
“Umm, aku beneran tidak sengaja...
Tidak, ya. Maaf. Maafkan aku...”
Ia hampir membuat alasan, tapi
Ia dengan cepat mengingatkan dirinya sendiri bahwa itu sama sekali tidak etis
dan hanya bisa meminta maaf berulang kali. Namun, karena tidak tahu harus
berkata apa lagi, pandangan Masachika mengembara ke mana-mana.
“... Masachika-kun.”
“I-Iya!”
“Aku mau memperbaiki baju
renangku dulu ... jadi, cepatlah berbalik.”
“Ah, iya ...”
Setelah beberapa detik
keheningan yang canggung, Masachika diam-diam memunggungi Alisa dengan rasa
bersalah yang kuat dan duduk bersimpuh di atas tanah berbatu. Apa hal yang sangat
menyakitkan, tentu saja, kenyataan bahwa Ia menyentuh … Alisa, tapi sekarang
setelah menyadari fakta tersebut, Masachika justru merasa terangsang daripada
menyesal, dan itu sangat menyakitkan. Tanpa disadari, Ia mencoba mengingat
sensasi yang baru saja dialaminya, dan ini karena sifat otaknya yang tidak
terkendali.
(Oi seriusan, sudah hentikan. Jika ‘joni
kecil’ ini bereaksi dalam penampilan celana kolor begini, itu sudah tidak lucu
lagi)
Masachika berusaha mati-matian
untuk menghilangkan kecemasannya sambil menepak-nepak dahinya dengan tangan
kirinya, yang (menurutnya) masih
memiliki sensasi itu pada beberapa
saat yang lalu. Rasa sakit yang Masachika rasakan dengan paksa menghentikan
pikiran kurang ajarnya, “Apa
jangan-jangan sensasi kenyal dan kencang itu adalah ...”, dan kemudian di dalam
otaknya, Ia menghancurkan bayangan Yuki dalam wujud iblis kecilnya yang terus
berteriak, “Kamu berhasil meremasnya!
Kamu menggrepe-grepenya! Kamu meremas dada E-cup yang tidak bisa aku
grepe-grepe!”. Lalu pada saat itu…..
【Tanggung jawab……】
Entah kenapa, Masachika mendengar
kata yang menakutkan. Ia mendengar urutan kata nomor satu (dalam artian mendalam) yang membuat seorang pria gugup ketika diberitahu
begitu oleh seorang wanita. Dalam bahasa Rusia. Bisik-bisik pula. Dan, seperti
biasa, Masachika sangat terkejut. Dalam arti yang tidak menyenangkan.
(Tanggung jawab ... Apa aku harus bertanggung
jawab karena sudah menyentuh oppai-nya secara langsung? Apa aku harus
berpacaran dengannya? Haruskah aku menembaknya!?)
Wujud iblis kecil Yuki kembali
muncul dan berteriak, “Tanggung jawab~,
tanggung jawab~” di dalam otaknya saat Masachika berteriak putus asa.
Karena sangat menjengkelkan, jadi Ia menghancurkannya untuk sementara waktu.
(Hmmmm~, jangan panik dulu~? Ya, aku
harus tenang. Jangan khawatir. Alya juga pasti tidak mengatakannya dengan
serius. Setiap kali aku mengatakan kalimat khas otaku, apa aku selalu
mengatakannya dengan serius? Aku cuma bercanda mengenai sesuatu yang muncul di
benakku saja, iya ‘kan? Situasi yang sekarang pun sama ... Alya juga, dia
palingan cuma mengucapkan kata-kata yang muncul di benaknya secara acak dalam
bahasa Rusia—— )
【Ambil tanggung jawab … dengan pernikahan】
(Sudah
kubilang, tenanglah dulu!!?)
Dahi Masachika tersentak begitu
mendengar kata kekuatan penghancur luar biasa yang datang dari arah belakang,
dan Ia beralih memijat pelipisnya.
(Hmm~~~, tenanglah dulu diriku. Tak
disangka, tebakan awalku telah terbukti. Memangnya kamu pikir Alya benar-benar
mengatakan “pernikahan” dengan serius? Ya, justru perkataan tersebut yang
menjadi bukti kalau itu hanyalah candaan bahasa Rusia Alya ...)
【Padahal tidak pernah ada … satu orang pun … yang menyentuhnya!】
[Tidak pernah ada] [satu orang
pun] [menyentuhnya]. Rentetan tiga kombo mematikan menembus jantung Masachika.
Sebagai serangan pamungkas, Masachika dihantam batu besar dengan tulisan “Tanggung jawab!” di atas kepalanya, dan
Ia ditenggelamkan.
Di dalam otak Masachika, wujud
iblis kecil Yuki berjalan menyamping seperti kepiting, dan mengitari kepalanya
dengan nada meledek sembari berkata, “Sentuhan
oppai pertama, sentuhan oppai pertama. Lol~”. Anak ini benar-benar berisik.
Jangan bilang kalau mereka itu aliran yang tak ada batasnya?
【Padahal …! Aku tidak pernah menunjukkannya…. kepada
siapa pun!!】
Serangan penghabisan pun
mengenai Masachika. Teknik melempar yang dituju pada area lemah adalah kombo kematian
instan. Masachika tidak punya pilihan selain memegangi kepalanya dan merunduk
pada bahasa Rusia yang dikatakan dengan suara bergetar. Iblis kecil Yuki
tertawa terbahak-bahak di dalam kepalanya, tapi Masachika sudah tidak peduli
lagi. Aku adalah kura-kura. Hanya
kura-kura laut yang tidak sengaja terdampar. Sekarang sudah waktunya untuk
kembali ke laut.
“Hah... Masachi,
Masachika-kun!?”
Coloring by @hector_mrg97 |
Alisa akhirnya berdiri dan menoleh kembali ke Masachika, yang meringkuk seperti bola kecil, sedang menuju ke tepi batu.
“Hey, apa yang sedang kamu
lakukan?”
“Tidak ... aku hanya ingin
mencoba melakukan sedikit upacara penyucian..”
“Penyucian apanya ... Aaah
mouu, cepetan berdiri, memalukan tau!”
Sembari mendapat serangan telak
kata “memalukan” pada badannya yang
sudah tak bernyawa, Masachika berdiri dengan lesu. Saat melihat sosoknya yang
sangat depresi itu, Alisa mengerutkan alisnya dengan marah sekaligus bingung, dia
lalu membiarkan pandangannya mengembara selama beberapa detik sebelum
mengangkat suaranya untuk menghilangkan keraguannya.
“Aaah mouu! Aku tidak ingin
membuat suasananya canggung, jadi aku akan mengatakan ini ... Pertama-tama, terima kasih karena sudah
menolongku. .... Masachika-kun sendiri, apa ada yang terluka atau tidak?”
“Aaah, ya ... itu sih, aku
baik-baik saja.”
“... Ya, syukurlah kalau
begitu. Lalu, aku minta maaf …. karena sudah menendangmu. Tapi meski itu tidak
disengaja, kamu sudah menyentuh ... da-dadaku, jadi wajar saja kamu kena
hukuman, ‘kan?”
“Ah, ya. Itu sih... aku
benar-benar minta maaf...”
“Hmm... lalu, coba ulurkan
tangan kirimu.”
“? Iya.”
Saat Alisa memberitahunya dan
memelototinya dengan wajah memerah, Masachika dengan patuh mengulurkan tangan
kirinya. Kemudian Alisa menerima tangan itu dengan tangan kirinya dan mencubit
punggung tangan Masachika sekeras yang dia bisa dengan tangan kanannya.
“! Adudududuhhh, sakit!?”
“Ini adalah hukuman! Karena sudah melihat … punyaku...!”
Saat dia mengatakan itu dengan
sekuat tenaga, Alisa memberi hukuman terakhir
dengan memutarkan cubitan dan kemudian melepaskan tangannya.
“Baiklah! Dengan begini sudah selesai!
Setelah
ini, kita tidak boleh lagi mengkhawatirkan mengenai apa yang baru saja terjadi!
Paham!?”
“Haa, iya...”
“Hmm ... lihat, ayo kembali ke
tempat yang lainnya.”
Setelah mengatakan ini dengan suara kecil, Alisa memalingkan wajahnya dan mulai berjalan pergi. Kali ini, Alisa dengan hati-hati menuruni area berbatu dan menuju pantai berpasir. Masachika juga kembali membawa alat pancing dan mengejarnya dengan berat hati.
Kemudian, setelah kembali ke
pantai berpasir dan berjalan sebentar, Alisa melirik Masachika yang berada di
belakangnya secara diagonal. Lalu, bibir Alisa sedikit cemberut seolah-olah
sedang merajuk ketika melihat Masachika, yang masih tertekan dan membawa awan
gelap di belakang punggungnya.
【Kamu tidak perlu … depresi begitu juga kali】
Masachika tiba-tiba mengangkat
wajahnya saat mendengar kalimat bahasa Rusia yang tak terduga. Kemudian, Ia
menyadari kalau Alisa sedang meliriknya dengan semacam ekspresi frustrasi di
wajahnya saat dia meletakkan tangannya di dadanya sendiri.
【Apaan sih … memangnya aneh, ya? Dengan payudaraku
…】
Sama
sekali tidak ada yang aneh tentang itu kok, itu adalah pengalaman yang indah
dan berharga. Oppai Alya-san adalah oppai yang sangat kencang dan bisa digrepe
ya, hebat banget.
(Uwaahhh rasanya aku ingin mati saja)
Masachika sangat ingin mati
karena otaknya sendiri membayangkan pikiran-pikiran jorok. Sisi jantan
Masachika, yang ditanam dalam dirinya oleh keluarga Suou selama masa kecil, melakukan
yang terbaik untuk membunuh pemikiran tak senonoh Masachika.
“Ahhhh mouu~!”
Saat Masachika menjadi semakin
tertekan, Alisa berbalik dengan jengkel dan memelototi Masachika sembari
menyilangkan tangannya.
“Tadi aku bilang kalau kita
berdua jangan mengkhawatirkannya lagi, iya ‘kan!? Kalau kamu masih begitu
terus, itu sama saja dengan tidak sopan padaku!”
“Eh… ah… ya”
Masachika tiba-tiba mengangkat
wajahnya seolah-olah dia baru saja bangun dari tidur siang karena
kata-kata “tidak sopan padaku” yang dikatakan kepadanya oleh Alisa.
“Ayo! Jawab dengan tegas!”
“Ya!”
Suara tajam Alisa membuatnya
tersentak dan menegakkan punggungnya. Mengangguk dengan tatapan tegas, Alisa
berdiri di sebelah Masachika dan menepak punggungnya.
“Kalau begitu … ayo pergi.”
“Aduhh sakit … Aiyo”
Masachika tidak bisa menahan
senyum pada sikapnya yang agak jantan. Ia menatap Alisa dan buru-buru meminta
maaf.
“Ah, enggak … aku hanya
berpikir kalau kamu ternyata berhati besar, gitu…”
“… Hmph.”
Ketika Masachika berkata dengan
senyum masam, Alisa berbalik sambil mendengus. Kemudian, sambil memain-mainkan
ujung rambutnya, dia berkata terus terang.
【Tapi … kamu tetap harus bertanggung jawab】
(Ya … itu sih, apa maksudnya?)
Masachika menatap langit musim
panas dengan pandangan jauh di matanya saat mendengar komentar tsundere Alisa
yang begitu mendadak.
Sebelumnya
|
Daftar isi | Selanjutnya