Chapter 11 — Dampak yang Ditinggalkan Tenshi-sama
Setelah lembar ujian
dikembalikan dan hasilnya diumumkan, aktivitas klub kembali dilanjutkan dengan
normal. Untuk murid kelas 2 seperti Amane, satu- satunya acara yang mereka
nantikan selama sisa semester ini ialah festival olahraga yang akan
dilaksanakan sekitar tiga minggu lagi. Mereka bisa bernapas lega setelah
menyelesaikan ujian mereka.
Meski masih ada sisa ujian remedial
bagi murid yang harus mengulang, tapi Amane mendapat peringkat yang cemerlang
dan bisa bersantai.
“Aku tidak punya banyak waktu
untuk bersantai. Selain ada kegiatan klub, aku juga harus berlatih untuk
turnamen nasional nanti.”
Yuuta mengungkapkan pikirannya
kepada Amane ketika sepulang sekolah, dan Amane hanya bisa menanggapinya dengan
tersenyum kecut.
Yuuta dikenal sebagai anggota
andalan klub lari. Ia digadang-gadang menjadi orang yang memimpin klub lari
menuju kemenangan oleh pelatih dan konsultannya. Demi memenuhi harapan mereka,
Yuuta selalu berusaha keras dalam latihannya.
Ia pernah bilang kalau Amane
adalah orang yang terlalu menyangkal diri, tapi dari sudut pandang Amane, Yuuta
lah yang lebih menyangkal diri.
“Kamu sudah mempersiapkan
kompetisi ini untuk sebagian besar hidupmu, meski kompetisinya masih cukup jauh,
‘kan.”
“Yah. Aku masih harus
mempersingkat waktuku dengan mantap. Tapi aku suka berlari, walaupun aku tidak
menang, itu tidak masalah karena aku akan bersenang-senang.”
“Apa itu baik-baik saja?
Kupikir kegiatan klub lari lumayan melelahkan.”
“Untungnya, aktivitas klub kami
tidak begitu keras. Pelatih kami bukan tipe orang yang berpikir bahwa hanya
berlari terus-menerus akan menunjukkan hasil yang baik. Kami menjadwalkan kapan
waktunya berlatih dan kapan waktunya untuk beristirahat. Tapi saat melakukan
latihan, kami mengerahkan seluruh tenaga kami untuk aktivitas klub ini.”
“Uwaahh ...Kupikir klubmu sudah
cukup ekstrim.”
“Tentu saja, ketekunan dan
motivasi sangat diperlukan, tapi jika kami berlari tanpa henti, aku pasti sudah
keluar dari klub sejak dulu. Jika aku ingin berlari ke mana saja, aku ingin
melakukannya di waktu luangku sendiri. Shirakawa-san juga pensiun dengan ide
ini.”
“Ngomong-ngomong, kamu dan
mereka berdua bersekolah di SMP yang sama, kan?”
“Ya. Itsuki dan Shirakawa-san
pada waktu itu jauh lebih gaduh ketimbang sekarang.”
Amane pernah mendengar kalau
kepribadian Chitose sudah banyak berubah dibandingkan saat dia masih di SMP.
Seperti yang Yuuta katakan, tampaknya kelakuakn mereka berdua jauh lebih parah
ketika mereka masih di SMP, tetapi Amane merasa sulit untuk mempercayainya dan
tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan mereka saat itu.
Amane hanya mengenal mereka
sebagai dua orang yang terlalu ceria dan pandai membaca dan mengubah suasana.
Ia tidak mengorek topik yang
tidak ingin mereka sebutkan. Tapi sekarang setelah Yuuta mengatakannya, mereka
berdua mungkin banyak berubah dari diri mereka di masa lalu.
“Aku ingin tahu, tetapi aku takut mengganggu mereka”, pemikiran itu
sepertinya tertulis di wajah Amane, dan Yuuta berkata datar, “Aku tidak bisa
memberitahumu, mereka berdua pasti akan memberitahumu suatu hari nanti.”
Amane tidak bermaksud memaksa
mereka untuk menceritakan masa lalu mereka, jadi Ia mengangguk patuh. Karena
Itsuki tidak bertanya tentang masa lalu Amane, Amane pun berencana untuk tidak
mengulik masa lali mereka sampai keduanya bersedia untuk memberitahunya tentang
hal itu.
“Ngomong-ngomong, berlari secara
membabi buta cuma membuatmu nyeri otot dan bahkan mungkin terkena sengatan
panas. Apalagi, ada banyak tipe orang yang bergabung dengan klub atletik, jadi
aku merasa nyaman tinggal di klub sekarang.”
Yuuta tersenyum hangat ketika
mengatakan itu dan Amane mau tak mau merasa kagum padanya.
Melihat reaksi Amane, Yuuta
tampak merasa sedikit malu, dan senyumnya menjadi sedikit tersipu.
“Oke, kenapa malah
membicarakanku? Lupakan kegiatan klub. Lagi pula, hari ini hari bebas.”
“Kamu sendiri yang mulai
membicarakannya dulu, Kadowaki.”
“Yah, aku hanya menanggapimu. Sekarang,
ayo pergi.”
Melihat Yuuta yang jelas-jelas
menghindari topik pembicaraan, Amane diam-diam tersenyum, dan mereka berdua
berjalan keluar kelas bersama-sama.
Itsuki dan Chitose sepertinya
sedang berkencan untuk merayakan akhir ujian, jadi mereka pergi duluan. Kebetulan
klub Yuuta sedang libur hari itu, dan keduanya memutuskan untuk mengambil kesempatan ini untuk berbelanja, itulah
sebabnya mereka berkumpul untuk mengobrol sepulang sekolah.
Mereka berjalan di sepanjang koridor,
Amane melihat warna rambut yang familiar di depannya. Jarang sekali Mahiru meninggalkan sekolah selambat ini, pikir Amane.
Setelah dilihat lagi lebih dekat, ternyata dia memegang banyak dokumen di kedua
tangannya.
“...Shiina, apa yang kamu
lakukan?”
“Ah, Fujimiya-san dan
Kadowaki-san. Jarang sekali kalian berdua belum pulang, terutama Fujimiya-san.”
“Bukannya kamu jugsa sama … ...
apa-apaan dengan dokumen itu?”
Amane menunjuk ke bahan yang
Mahiru pegang dengan kedua tangannya, dan senyum masam muncul di sudut
mulutnya.
“Sensei memintaku untuk
membantu mengikat informasi tentang festival olahraga bulan depan dengan
stapler. Aku merasa ungkan untuk menolak permintaannya ...”
“...Shiina, apa kamu diutus
jadi penanggung jawab tugas itu?”
Mahiru sangat dipercaya oleh
siswa dan bahkan guru. Terlepas itu baik atau buruk, mereka selalu bergantung
padanya. Amane selalu menyaksikan banyak orang lain meminta bantuan Mahiru, dan
sepertinya kali ini pun sama.
Karena dia adalah gadis
berbakat tetapi tidak masuk dalam kegiatan klub mana pun, para guru mengira dia
punya banyak waktu dan sering meminta bantuannya.
Namun, Mahiru ingin
mempertahankan sikap murid teladannya, jadi dia takkan menolak, dan para guru
harus menyadari hal ini secara samar.
“Aku punya banyak waktu luang,
dan ini bisa dilakukan dengan cukup cepat. Yang ini paket terakhir yang perlu
dipindahkan ke ruang kelas yang kosong, aku akan selesai ketika memindahkan dan
mengikatnya.”
“Memangnya tidak ada staff
sekolah yang mengerjakannya?”
“Tidak, aku tidak keberatan.
Tugas ini bisa dilakukan hanya dalam waktu satu jam.”
“Itu berarti mereka cuma malas
dan memanfaatkanmu selama lebih dari satu jam.”
Amane berpikir bahwa membuat
orang lain melakukan pekerjaanmu adalah perbuatan yang tidak bertanggung jawab.
Namun, Mahiru tampaknya tidak terlalu peduli dan hanya mengerutkan kening
sambil tersenyum masam.
“Aku akan pulang sedikit lama
hari ini. Belakangan ini, waktu tenggelam matahari agak lama dari biasanya,
jadi seharusnya aku baik-baik saja.”
Melihat Mahiru yang tidak
terlalu keberatan, Amane menghela nafas dengan lembut.
“...Maaf Kadowaki, bisa kita mengubah
janji kita ke waktu berikutnya?”
“...Ya, kupikir itu pilihan
yang bagus.”
Sepertinya mereka memikirkan
hal yang sama.
Mereka berdua saling bertukar
pandang, dan Amane dengan santai mengambil dokumen dari tangan Mahiru.
Mahiru berkedip beberapa kali.
Ada sedikit jeda sebelum dia bisa memahami apa yang mereka lakukan, dia dengan
cepat meraih pakaian Amane.
“Fu-Fujimiya-san, tolong
kembalikan padaku”
“Dokumen ini mau di taruh di
mana?”
“Eh, ruang kelas kosong di
pojok lantai dua... Ja-Jangan! Sensei memintaku untuk melakukannya!”
“Itu akan diberikan kepada kita
nanti. Jadi seharusnya tidak ada hal-hal rahasia yang tertulis di dalamnya, dan
tidak ada larangan kalau orang lain tidak boleh membantu, kan? Ya, benar...
Kadowaki, tolong beri alasan padanya.”
“Haha. Fujimiya, memangnya kamu
yakin bisa membawanya? Aku akan membantumu untuk memindahkan setengahnya.”
“Oke, baiklah.”
Mahiru menunjukkan
ketidakpuasannya, Amane tersenyum dan memberinya setengah. Mahiru sepertinya
tahu bahwa mengeluh tidak ada gunanya.
Mahiru menatap Amane dengan
tatapan kesal, tapi Amane menanggapinya dengan acuh tak acuh.
“...Aku tidak ingin menyita
waktu kalian berdua.”
“Waktuku cukup luang. Lagian,
aku bisa menggunakan waktuku secara sukarela.”
Amane sendiri yang mengusulkan
untuk membantu. Secara blak-blakan , Amane memaksa Mahiru untuk menerima
kebaikannya. Daripada membiarkannya bekerja sendiri, Amane lebih suka
membantunya.
Yuuta sepertinya setuju dengan
ide Amane dan tersenyum dengan tenang. Mahiru tidak bisa membantahnya. Dia menatap
Amane dengan sedikit jengkel, tapi Amane berpura-pura tidak menyadarinya.
Tapi Mahiru juga tidak
menunjukkan perlawanan, dia hanya mengeluh karena merasa kalau dia merepotkan
mereka.
“...Baka.”
Amane dan Yuuta tidak bisa
menahan tawa saat mendengar ledekan imutnya, yang berasal dari sifat “aslinya”
yang jarang diperlihatkan di sekolah.
Tepat saat kedok Tenshi-sama
akan terlepas, tiba-tiba mereka bertiga mendengar suara.
“Uwahhh, selain menjilat guru,
dia juga memanfaatkan anak cowok buat melakukan tugasnya.”
“Licik sekali, rencananya
sangat licik seperti rubah.”
Amane tidak tahu
dari mana percakapan
ini berasal. Langkah kakinya
berhenti berjalan dan tubuhnya menegang.
Amane tidak menoleh dan hanya
menggunakan tatapannya untuk melihat sekeliling, tapi Ia tidak melihat ada gadis-gadis
yang membuat komentar itu. Mereka mungkin bersembunyi di belakang kelas atau
semacamnya.
Yuuta berdiri di sana, dan
masih tersenyum, tapi Mahiru tidak tersenyum. Yuuta pernah memberitahu Amane
kalau Ia tidak suka orang yang mengatakan hal buruk tentang orang lain.
Yuuta pasti tidak akan
memaafkan siapa pun yang mengucapkan kata-kata seperti itu.
Amane ingin memarahi mereka
untuk membelanya, tapi Ia tahu kalau perbuatannya itu Cuma akan memperburuk
keadaan, jadi Ia mengabaikan suara-suara itu dan melirik Mahiru.
Ekspresi Mahiru masih sama
seperti biasanya, seolah-olah dia tidak
menganggapnya serius. Ekspresinya yang tidak berubah sama sekali
sepertinya mengatakan “Aku sudah terbiasa dengan ini”, membuat Amane merasa marah.
Amane hanya bisa menatapnya.
Mahiru sepertinya memperhatikan tatapannya dan tersenyum lembut.
“Terima kasih atas bantuanmu.
Ayo selesaikan ini dengan cepat.”
Mendengar nada lembut dan
khawatir Mahiru, Amane dan Yuuta mengangguk dan mulai berjalan.
◆◇◆◇
Selama membantu Mahiru
mengerjakan tugasnya, Amane tidak bisa berkata apa-apa. Suasana yang sedikit
canggung tersbeut berlangsung hingga akhir. Ketika dia kembali ke rumah, Amane
mengamati wajah Mahiru,dan mengkhawatirkannya.
Ekspresi Mahiru masih sama
seperti biasanya, kecantikannya tidak terpengaruh oleh emosi negatifnya.
Sebaliknya, Amane merasa marah dan hanya melotot tajam ke arah ruang kosong
Mahiru memperhatikan tatapan
muram Amane, dan tersenyum masam.
“Apa kamu masih marah tentang
kejadian tadi di sekolah?”
“Tentu saja, aku masih merasa
jengkel saat mendengarnya.”
Amane tidak bisa menahan amarah
di hatinya kepada mereka yang tidak hanya menghina orang lain, tapi juga cuma
berani ngomong dari belakang dan dengan sengaja membuat orang lain mendengarnya.
Amane duduk di sebelah Mahiru,
mengintip ekspresi Mahiru. Sikap murung Amane membuat Mahiru mengerutkan kening.
“Aku sendiri tidak terlalu
peduli. Wajar saja ada orang yang menjelek-jelekanku seperti itu.”
Melihat Mahiru menerima begitu
saja bahwa dia tidak disukai oleh beberapa orang membuat Amane sedikit
terguncang.
Justru karena tahu kalau Mahiru
memainkan peran sebagai tenshi, Amane merasa terkejut bahwa dia tidak keberatan
dengan orang-orang seperti mereka, dan ekspresinya menjadi kaku.
“...Apa kamu benar-benar tidak
peduli?”
“Tentu saja. Aku tidak bisa
disukai oleh semua orang.”
Mahiru memain-mainkan rambutnya
dengan tangan dan melingkarkan ujungnya di jari-jarinya sambil mengatakan itu
dengan tenang.
“Aku tahu kalau aku ramah
dengan semua orang, tapi kurasa tidak semua orang di sekolah akan menyukaiku.
Hanya saja ada lebih banyak orang yang baik padaku ketimbang orang yang
membenciku. Bukannya Amane-kun juga dulu sering menjaga jarak dariku?”
“Kamu... ya, kurasa begitu.”
Amane pun sama, sebelum bertemu
Mahiru, cuma mengenalnya dari rumor. Ia memang berpikir bahwa kemampuan dan
penampilannya sangat bagus, tapi juga berpikir itu dilebih-lebihkan.
Ia tidak pandai berurusan
dengan Tenshi-sama. Setiap aspek yang Mahiru tunjukkan terlalu bagus, dan Amane
tidak tahu apa yang dia pikirkan; Amane merasa kalau mereka tinggal di dunia
yang berbeda.
“Terutama di antara gadis-gadis,
ada beberapa yang berpura-pura ramah di depan tapi dian-diam menatapku dengan
iri dan menggunjingku. Alasan mengapa mereka tidak menonjol adalah karena kebanyakan
orang terlalu tinggi menilaiku. Itu akan menyebabkan reputasi mereka turun.”
Mahiru berkomentar tentang
dirinya dengan acuh tak acuh dan objektif saat membicarakan orang-orang yang
membencinya. Amane tidak tahu bagaimana harus bereaksi.
Dunia para gadis berbeda dari
dunianya, mereka memiliki nilai yang berbeda, tapi juga memiliki hubungan
interpersonal antara satu sama lain. Karena Mahiru mengatakan itu, maka pasti
ada orang yang merasa tidak puas dengan Mahiru, dan suara yang Amane dengar
siang tadi mengkonfirmasi hal ini.
Amane tidak tahu harus berkata
apa. Ia hanya bisa mengkhawatirkannya. Menyadari emosinya, Mahiru menurunkan
alisnya dan tersenyum.
“Sekarang sudah jauh berkurang.
Kalau dulu, ada lumayan banyak orang yang membenciku, dan aku sudah terbiasa.
Bahkan jika aku mencoba untuk menguranginya, itu takkan pernah menjadi nol.”
“...Memangnya kamu baik-baik
saja dengan itu?”
“Jika pihak lain mengatakannya
langsung kepadaku, mungkin aku akan merasa tidak nyaman. Untungnya, belum ada
yang pernah melakukannya. Aku juga merasa bahwa orang-orang yang mengatakan
mereka membenciku hari ini tidak membenciku secara internal, tetapi secara
eksternal, karena kedudukanku. Aku tidak bisa menyelesaikan masalah seperti ini,
dan aku tidak bisa berbuat apa-apa mengenai orang-orang model mereka.”
“Sangat tangguh ...”
“Jika kamu tidak bisa terlihat
sedikit tak terkalahkan, kamu tidak bisa bertingkah seperti ini di sekolah.”
Mahiru yang selalu lebih
disiplin dalam hal semacam ini, diam-diam memejamkan matanya, dan menghela
nafas.
“Aku memahami kalau secara
objektif, penampilanku lebih menarik daripada yang lain. Tentu saja ada
beberapa elemen bawaan yang berperan, tetapi upaya yang aku lakukan untuk
mempertahankan penampilan ini cukup besar. Aku menghabiskan banyak waktu dan
upaya untuk menciptakan penampilanku saat ini. Tapi tetap saja, masih ada beberapa
orang yang merasa tidak senang tentang hal itu.”
Tidak ada rasa ego maupun
kenarsisan dalam kata- katanya, cuma ada rasa kepercayaan diri murni.
Memang benar kalau Mahiru
berparas cantik.
Namun, kecantikan Mahiru tidak
hanya bawaan sejak lahir.
Postur, sikap, temperamen, pandangan
mata dan ekspresi, segala sesuatu yang membuat seseorang terlihat anggun dan
cantik, bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan dengan bakat bawaan saja.
Amane percaya bahwa Mahiru
tidak hanya memiliki penampilan luar yang bagus, tetapi juga mempunyai sifat
yang luar biasa. Kecerdasan dan karakternya ikut berkontribusi untuk membuatnya
terlihat lebih cantik.
Dia sangat cerah, seolah-olah
dia bisa membakar orang lain, dan bahkan dia sendiri sepertinya hangus oleh
cahaya ini.
“Tidak semua orang tahu
seberapa besar upaya yang aku lakukan untuk hal semacam itni. Mereka yang hanya
melihat hasilnya mungkin merasa itu tidak adil. Tapi kecemburuan sudah menjadi
sifat alami manusia. Rumor akan menyebar secara alami. Aku biasanya tidak
terlalu memedulikan gosip semacam itu, tapi ada satu hal yang perlu aku aku
bantah. Aku menanggap Kadowaki-san sebagai temean sekelas biasa, dan aku sama
sekali tidak menyukainya sebagai lawan jenis. Kecemburuan yang disebabkan oleh
kesalahpahaman ini masih membuatku pusing.”
“Be-Begitu ya...”
“Selain itu, memangnya ada
alasan yang membuat mereka percaya kalau aku menyukai Kadowaki-san? Ia memang
cowok yang menakjubkan, dan aku sangat menghargai kepribadiannya, tapi apa yang
kupikirkan tentang dirinya sama sekali bukan tentang cinta. Bahkan, cuma
mengobrol sebentar dengannya saja akan menyebabkan lebih banyak gosip, itu
benar-benar merepotkan.”
Mahiru tampak sedikit malu,
mungkin karena berbicara tentang cinta.
Mahiru dan Yuuta, mereka berdua
yang dianggap menjadi semacam idola di sekolah, sering disebut bersama karena
perbedaan jenis kelamin dan tingkat keunggulan yang sama.
Bahkan, hubungan di antara
keduanya sebenarnya cukup lemah. Ketika Mahiru dan Amane pertama kali bertemu,
mereka cuma mengetahui kalau Yuuta merupakan orang yang sangat populer dan
tidak tahu apa-apa mengenai kepribadiannya atau semacamnya. Mereka baru mulai berbicara
dengan Yuuta ketika Ia mendekati Amane.
Amane juga tidak berpikir bahwa
Mahiru, yang memperlakukan Yuuta sama seperti orang lain, akan mencintai Yuuta.
“Di mata orang-orang yang
menyukai Mahiru, mereka akan berpikir bahwa kamu mengkhianati mereka. Lagi
pula, jika kamu berinisiatif untuk memperlakukan satu orang dengan spesial,
sebagian besar anak cowok pasti akan menangis.”
“Pokoknya, Kadowaki-san bukan
tipe yang aku suka. Dari segi penilaian objektif, aku tahu kalau Ia merupakan
cowok yang tampan dan baik, tapi bagaimana bilangnya ya … karena Ia berada di
posisi yang sama denganku, aku cuma menganggapnya sebagai kenalan atau teman
biasa. Kami mungkin menjadi lebih dekat, tetapi itu pasti takkan berkembang
menjadi cinta.”
“...Memang, dari sudut pandang
orang luar, Mahiru dan Kadowaki sangat mirip. Meski kontras antara kedok luar
dan kepribadiannya yang sebenarnya tidak sehebat milikmu.”
Saat pertemanannya dengan Yuuta
semakin dalam, Amane mengetahui bahwa Yuuta akan berusaha memenuhi harapan
orang lain, tapi tidak seekstrim Mahiru.
Mahiru harus melakukan ini
karena lingkungan keluarganya. Alasan mereka berdua sangat berbeda dan tidak
bisa disama-ratakan.
“Kedengarannya seakan-akan aku
memiliki kepribadian ganda... memangnya seburuk itu?”
“Bukannya buruk sih, tapi...dibandingkan
dengan mode Tenshi-sama, penampilan aslimu lebih imut. Pada awalnya, kamu
terlihat judes dan kaku. Namun sekarang, kamu lebih terus terang dan
kadang-kadang pemalu?”
“Kamu...”, Mahiru memelototinya
dengan manis, “Menurutmu salah siapa yang membuatku malu.”
“...yah, um. Aku tidak sengaja
melakukannya.”
Amane tidak melakukannya dengan
sengaja. Mahiru gampang sekali merasa malu setiap kali Amane memuji wajahnya.
Mahiru biasanya bekerja sangat
keras dan disiplin diri yang ketat. Amane mengetahui hal ini dengan sangat
baik, jadi dia akan memujinya dengan sepenuh hati. Jika pujian tulus Amane
membuatnya merasa malu, maka Ia tidak bisa berbuat apa-apa.
“Aku merasa kalau itu lebih
efektif karena tidak disengaja ...”
“Aku ingin melempar balik
ucapan itu padanya.”
“Apa maksudmu?”
“Dalam kasus Mahiru, kamu
kadang-kadang menyentuhku tanpa sadar; kegiatan skinship-mu membuatku
kerepotan...”
Perbuatan Mahiru bahkan lebih
mengejutkan Amane. Ketika harus membuat orang lain malu, Mahiru memiliki
kekuatan penghancur yang lebih besar dan melakukannya lebih banyak. Dia sering
melakukan skinship tanpa
menyadarinya. Karena alasan itulah, hati dan akal sehat Amane menderita setiap
hari.
Ketika mendengar kata “skinship”, pandangan mata Mahiru semakin
melebar. Dia berkedip dan mengambil napas dalam-dalam, bibirnya bergetar.
“Ak-Aku tidak bermaksud sengaja
melakukannya.”
Kemerahan di pipinya
berangsur-angsur menyebar di wajahnya saat Amane terus menatapnya.
“Meski kadang-kadang memang
disengaja, tapi biasanya itu tidak disengaja.”
“Aku tahu, tapi kamu harus
lebih hati-hati lagi. Jika ada seorang gadis terus melakukan hal tersebut, itu pasti
akan menyebabkan kesalahpahaman.”
“...Aku hanya melakukan ini
pada Amane-kun.”
“Aku juga tahu itu. Itu
sebabnya aku mengatakan itu.”
Mesk sulit untuk mengatakan
apakah Mahiru memiliki perasaan khusus terhadap dirinya, Amane juga tahu bahwa
Mahiru hanya menginginkan yang terbaik untuknya.
Tapi tetap saja, kegiatan skinship tanpa sadar Mahiru begitu
merusak kewarasan dirinya sehingga mengganggu kehidupan sehari-harinya.
Amane berharap Mahiru bisa
lebih sadar diri, karena jika tidak, Amane merasa kalau dirinya takkan bisa
mempertahankan rasionalitasnya. Dia mengalihkan pandangannya ke arah Mahiru
lagi, melihatnya wajahnya yang memerah dan memukul ringan lengan atas Amane
dengan kepalanya.
“Lihat, inilah yang aku
maksud.”
“Kali ini disengaja.”
“Ehh…”
Mahiru memelototinya dengan
tatapan berkaca-kaca karena malu. Satu-satunya hal yang dia rasakan dari itu
adalah kekaguman atas keimutan dan kepolosannya.
Amane tidak mengungkapkan
perasaan yang muncul dari hatinya. Jika Ia mengungkapkannya, itu mungkin kan
membuatnya semakin tidak senang. Kemudian, Mahiru berdeham dan memperbaiki
posturnya.
“Kembali pada topik yang kita
bicarakan tadi.Bahkan jika sebagian dari gadis-gadis membenciku, aku tidak
peduli. Mencoba untuk disukai oleh semua orang merupakan tindakan yang tidak
realistis. Mencoba memalsukan persahabatan dengan orang yang tidak kamu sukai
akan menyebabkan beberapa masalah dan konflik, jadi aku cuma perlu menerima
bahwa beberapa orang tidak akan menyukaiku.”
Amane sekali lagi, menyadari
bahwa menjadi populer mempunyai masalah tersendiri.
“Meski kedengarannya
bertentangan dengan apa yang baru saja aku katakan, aku masih bertindak sebagai
siswa yang baik untuk semua orang, mencoba membangun diriku sebagai “Tenshi”
seperti julukan orang-orang. Tetapi belakangan ini, aku berpikir kalau itu
sudah cukup.”
“Cukup?”
Mendengar Mahiru yang telah
berusaha keras untuk mengenakan kepribadian tenshi, mengatakan bahwa itu sudah
cukup, Amane tidak dapat menahan diri untuk menanyainya. Lalu Mahiru
menunjukkan senyum tipis.
“Aku merasa, tidak masalah jika
aku bukan siswa yang sempurna lagi ... sedari dulu, aku tahu bahwa aku tidak
dapat disukai oleh semua orang, tetapi aku ingin memenangkan kasih sayang semua
orang dengan kata-kata dan perbuatan. Sekarang aku sudah menemukan orang-orang
yang mau melihat diriku yang sebenarnya, orang yang membuatku nyaman dan merasa
bahwa menjadi diriku sendiri tidaklah buruk.”
Mahiru mengenang masa lalunya,
matanya bergoyang perlahan, cahaya murni bersinar di pupil karamelnya.
“Amane-kun pasti akan selalu
menatapku, kan?”
Cahaya di matanya memandangan
Amane dengan tenang dan menutupinya dengan kehangatan dan cinta.
Amane langsung terdiam saat
ditatapn oleh mata penuh emosi ini, membuatnya menelan ludah.
“Yah, ya. Karena aku sudah
berjanji begitu.”
“Kalau begitu, itu janji.”
Dengan penegasan Amane, wajah
Mahiru berkembang menjadi senyuman yang
seakan-akan melelehkan dirinya. Matanya
yang tenang dan hangat sepertinya bisa melumpuhkannya.
Amane tidak bisa mengalihkan
pandangannya dan merasa malu saat melihat senyum Mahiru yang sumringah.
Amane merasakan keresahan dari
lubuk hatinya yang terdalam saat menatap wajah Mahiru yang tersenyum.
“Jadi, kurasa aku tidak perlu
bersikap kaku. Meski aku tidak berencana untuk membuat perubahan yang mencolok
di sekolah saat ini, aku tidak boleh menganggap masalah ini terlalu serius.
Tidak masalah jika citra mengenai diriku hancur, karena sudah ada seseorang yang
bersedia melihatku dan menerimaku.”
“...Apa begitu”
Karena Amane memahami sifat
aslinya, Mahiru merasa lega dan sudah merasa puas dengan hal itu.
Memandangi ekspresinya,
gelombang kegembiraan serta kasih sayang tiba-tiba menusuk hati Amane, dan hal
itu membuat dadanya terasa sakit.
Namun, Amane berusaha
menahannya dan mencoba yang terbaik untuk tidak mengungkapkannya.
“Apa kamu merasa sedikit tidak
puas?”
Mahiru tampaknya menyadari
penderitaan Amane, jadi dia menatap Amane dengan tatapan khawatir dan gelisah.
“Tidak, aku justru merasa
sangat senang kalau Mahiru berpikir seperti itu. Hanya saja ada perihal lain
yang sedang kupikirkan saat ini.”
“Perihal apa? Apa kamu bisa
memberitahuku?”
“It-Itu sih..”
“Aku takkan marah, kok? Aku
tahu kalau Amane-kun bukanlah orang yang akan mengatakan hal-hal yang
menyakitkan.”
Pandangan Mahiru menatap ke
arahnya, seolah-olah memberitahu Amane kalau Ia tidak punya hak untuk menolak.
Amane berusaha meraba-raba kata
yang pas untuk menjelaskan padanya.
Jika Ia berbicara sembarangan,
perasaan konyol dan kekanak-kanakannya akan terungkap.
“Kalau aku mengatakannya, apa
kamu bisa berjanji untuk tidak menertawakanku?”
Karena tidak ada jalan keluar,
Amane jadi mengonfirmasi sesuatu terlebih dahulu. Setelah Mahiru mengangguk,
Amane sedikit membuang muka dan berbicara dengan malu.
“Tentang apa yang kamu katakan
saat itu, kamu tidak akan terlalu tegang ketika di depan umum, kan?”
“Ya...”
“Dengan kata lain, kamu mungkin
secara tidak sengaja mengungkapkan kepribadianmu yang sebenarnya, kan?”
Setelah mengatakannya sejauh
ini, Amane ragu-ragu untuk melanjutkan, tapi semuanya sudah terlambat. Setelah
mengambil napas dalam-dalam, Ia lalu berkata dengan suara gemetar.
“Ketika aku berpikir bahwa
kepribadian asli Mahiru yang cuma aku saja yang tahu mulai terungkap ke orang
lain...bagaimana bilangnya ya, entah kenapa itu membuatku merasa sedikit
rumit.”
Alasan mengapa Amane merasa ragu
sejenak untuk melanjutkan ialah karena Ia menganggap kalau itu alasan yang
kekanak- kanakan.
Terlepas apakah Mahiru bersedia
menerima dirinya yang sebenarnya, atau memecahkan cangkang yang telah ditekan selama
bertahun-tahun, atau karena Mahiru bersedia mempercayainya dengan sepenuh hati;
semua hal tersebut membuat Amane bahagia.
Dalam keadaan normal, Amane
takkan merasa senang kalau Mahiru berniat untuk memamerkan sifat dirinya yang
sebenarnya kepada orang lain. Dia selalu bekerja terlalu keras dan takut
kesepian. Mengekspos dirinya sebagai gadis biasa dan diperlakukan seperti itu seharusnya membuat Amane ikut senang. Tapi memikirkan aktingnya yang manja terhadap
orang lain meninggalkan perasaan getir di mulutnya.
Dia bahkan bukan miliknya,
Amane tidak berhak untuk memiliki perasaan posesif semacam itu, tetapi Ia tidak
bisa menyingkirkan pemikiran itu dari benaknya.
“Aku tahu, maaf, kamu pasti
akan berpikir kalau aku ini orang yang egois atau sedang ngomong ngaco.”
Mahiru mengerjap dengan mata
terbelalak, menatap Amane yang mengatupkan mulutnya karena merasa tersipu.
Segera setelah itu, bibirnya sedikit melengkung.
Ketika Amane menatapnya, Mahiru
mulai tertawa sedikit dan tatapan matanya dipenuhi kebahagiaan.
“Hei, bukannya kamu janji kalau
kamu takkan tertawa.”
“Fufu, maaf.”
Melihat Mahiru meminta maaf
dengan senyum lembut dan polos, Amane
hanya bisa terdiam dan meanahan malu.
Ekspresi dan mata Mahiru
berbeda dari senyum yang biasanya, ekspresinya penuh dengan kegembiraan dan
kasih sayang. Melihat Amane sedang berjuang untuk berbicara, senyumnya semakin
melebar.
“... Kamu tidak perlu khawatir,
orang lain tidak bisa melihat ekspresi yang sama saat aku di depan Amane-kun.
Aku takkan sembarangan bersikap ceroboh di hadapan orang yang tidak dekat
denganku.”
“Be-Begitu ya….”
Amane menghela nafas lega,
memaksa dadanya untuk tenang.
Biasanya Amane bisa
menyembunyikan ekspresi dan perasaannya dengan lebih baik, tapi begitu
ketahuan, segala sesuatu yang Ia coba sembunyikan dengan susah payah muncul
tanpa terkendali.
“...Amane-kun benar-benar
imut.”
Amane dengan paksa
menggertakkan giginya sehingga otot-otot di wajahnya tidak menunjukkan apa-apa.
Pada saat ini, Mahiru tiba-tiba sepertinya memikirkan sesuatu, dan berkata
dengan tawa ringan.
“Hentikan, kamu pasti
meledekku, iya ‘kan?.”
“Tapi itulah kenyataannya.”
“Itu bahkan lebih buruk.”
“Amane-kun sendiri yang harus
berhati-hati untuk tidak membiarkan orang lain melihat sisi imut seperti itu.”
“Apa tidak ada kata lain selain
imut ...bagaimana bisa cowok dibilang imut?”
Amane merasa yakina kalau
dirinya berhenti dipanggil imut saat menginjak
masa remajanya. Dari sudut pandang ini, Amane sulit menerima bagian mana yang
menurut Mahiru imut. Selain itu, dari sudut pandang cowok, rasanya terlalu
memalukan dan tidak dapat diterima.
Cuma anak-anak dan gadis saja
yang bisa menganggap dipanggil imut sebagai pujian. Bagi Amane, dipanggil imut
begitu berarti pihak lain sedang meledeknya.
Amane mengerutkan kening dan
memprotes dengan matanya. Mahiru tidak repot-repot mengoreksi penilaiannya dan
hanya tertawa pelan.
“Semua orang bisa menjadi
imut.”
“Kelucuan seorang gadis menggambarkan
penampilan”
“Aku tidak menyangkal bahwa
definisi keimutan dari seorang gadis adalah untuk menggambarkan penampilan
seseorang, tapi itulah sebabnya aku menyebut Amane-kun sangat imut.”
“Cowok tidak akan senang jika
dipuji dengan panggilan imut.”
Gadis yang disukainya memujinya
dengan kata imut, yang tidak membuatnya bahagia. Tidak, dipuji adalah hal yang
baik, tapi Amane merasa kalau cowok tidak baik kalau dipuji dengan kata imut.
Memangnya
kamu pikir aku akan merasa senang ketika dipuji imut? Amane
ingin bertanya, tetapi merasa tidak ada gunanya bertanya, karena memanggilnya
imut bukanlah pujian, tetapi evaluasi sederhana.
Amane mengerucutkan bibirnya
dan menatap Mahiru dengan tidak puas. Dia masih tersenyum bahagia. Jika bukan
karena cinta dan kasih sayang di matanya, Amane mungkin sudah mencubit pipinya.
“Kenapa tidak memuji dengan
kata tampan?”
Amane berseru pelan, dan
langsung menyesali apa yang baru saja Ia katakan karena itu membuat Mahiru
menatap kosong padanya.
“Emangnya kamu tidak bisa
melihat betapa tampannya aku?” perkataan seperti itu membuatnya tampak sombong.
“Maaf, aku salah meminta
kata-kata seperti itu.” Amane menyimpulkan rencananya untuk membuang muka, tapi
Mahiru menatap lurus ke arahnya.
“Kamu tampan, kok.”
Pernyataan yang jelas membuat
Amane mempertanyakan pikiran dan telinganya sendiri.
“Amane-kun sangat imut, tapi
kamu juga sangat tampan. Menurutku, kamu lebih tampan dari siapapun.”
“Kamu tidak perlu berbohong
segala untuk membuatku merasa lebih baik.”
“Enak saja. Tidak ada gunanya
aku berbohong padamu. Semua yang baru saja kukatakan tadi benar-benar dari
lubuk hatiku.”
“Itu cuma berarti kamu belum
pernah melihat orang yang lebih baik.”
Amane memiliki ambisi untuk
menjadi lebih tampan, tetapi saat ini Ia tidak merasa tampan sama sekali.
Bahkan jika Mahiru sangat memujinya, Ia akan merasa curiga padanya terutama
ketika Mahiru memujinya imut berkali-kali sebelumnya. Amane benar-benar tidak
bisa mempercayai kata-katanya.
“Menurut Amane-kun sendiri,
definisi tampan itu seperti apa?”
Dengan tatapan lembut, Mahiru terus
melanjutkan sembari menatap Amane yang mengerutkan kening.
“Tapi menurut pendapatku,
ketampanan seorang pria ditentukan oleh kepribadiannya, termasuk temperamen,
kata-kata dan perbuatan, ekspresi dan kepribadian, dll ... benar?”
“Ya...”
“Tentu saja, dari sudut pandang
objektif, Amane-kun mungkin bukanlah cowok yang
akan membuat semua orang terpesona hanya dengan penampilannya. Tapi
paras wajahmu terlihat bagus. Amane-kun mungkin tidak bisa berkomunikasi dengan
baik, tapi kamu mempunyai sifat yang lembut dan baik. Meski berpura-pura cuek,
tapi sebenarnya Amane-kun berhati hangat dan akan membantu siapapun saat
melihat orang lain kesusahan; meski kamu sedikit waspada terhadap orang lain,
kamu adalah orang yang dapat diandalkan di saat waktu mendesak. Secara umum,
Amane-kun merupakan orang yang tampan, jadi tolong tunjukkan kepercayaan
dirimu.”
“Paham, aku paham, aku sudah
mengerti, jadi tolong, berhentilah berbicara.”
“Amane-kun, itu karena kamu
tidak memahaminya sampai membuatku harus menceritakan kelebeihanmu secara
terbuka.”
“Tolong hentikan!?”
Saat Mahiru berbicara dengan
pasti, Amane merasa malu setengah mati dan terus mengeluh pada dirinya sendiri.
Jika dia terus-menerus memujinya, Amane merasa sangat tersipu sampai-samapi
mungkin akan membuatnya mengurung diri di kamarnya, tetapi Ia tidak punya cara
untuk menghentikan serangan bertubi-tubi Mahiru.
Amane berusaha menghentikan
Mahiru yang memujinya dengan serius sambil menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan ekspresinya. Wajahnya mungkin semerah apel matang, bahkan
lebih merah padam dari hari sebelumnya.
Secara pribadi, Amane memahami
bahwa Mahiru memiliki pendapat yang tinggi mengenai dirinya, tetapi tidak perlu
untuk menyuarakannya secara rinci. Itu buruk untuk hatinya.
Apalagi rasa malu dan senang
dari pujiannya membuat Amane ingin segera lari dari pandangannya.
Tatapannya terus meraba
kemana-mana di sekitar langit-langit, dia mati-matian mencoba melepaskan panas
dan rasa malu yang mendominasi tubuhnya. Mata Mahiru melebar, dia kemudian
tersenyum bahagia.
“Tuh, ‘kan? Ekspresi seperti
inilah yang membuatmu imut.”
Amane samar-samar mengerti apa
yang dimaksud Mahiru kali ini, dan menatap Mahiru dengan pipi memerah.
“Jika kamu memanggilu imut lagi,
aku akan menyumbat mulutmu.”
“...Dengan cara apa?”
“Dengan cara apa, itu sih tentu
saja, dengan tanganku.”
“Kalau begitu sih, tidak
menakutkan sama sekali.”
Mahiru tidak goyah sama sekali,
dengan senyum di wajahnya, dan dengan lembut mengulurkan tangannya ke Amane.
Jari-jemarinya yang dingin
menutupi wajah Amane dan mendinginkan pipinya yang panas.
Mahiru dengan lembut
membalikkan wajah Amane ke arahnya sendiri dan memaksa Amane untuk menatap
padanya.
“Bahkan jika kamu tidak
berpikir begitu, Amane-kun terlihat sangat tampan bagiku. Jangan khawatir, aku
selalu melihat sisi baik Amane-kun, kok.”
Dia dengan lembut memuji Amane
di wajahnya. Bagaikan sinar mentari musim semi, suara hangat Mahiru membelai
hati Amane dengan lembut.
Amane menarik napas dalam-dalam,
mungkin karena tatapannya yang berwarna karamel membawa kehangatan dan
kebaikan..
...percuma
saja.
Merasa terpesona oleh
kehangatan ini, Amane bahkan tidak bisa mengerang dan tidak bisa berpaling.
Saat merasakan emosi Mahiru dan
memohon padanya untuk berhenti dengan matanya, senyum Mahiru tiba-tiba melunak.
“Imutnya...”
Mendengar bisikan manisnya, sengatan listrik yang manis mengalir ke bagian belakang tulang punggung Amane.
Setelah kembali tersadar, Amane
telah melepaskan jari-jari ramping Mahiru dari pipinya, menekannya ke bagian
belakang sofa, dan mendorong wajahnya ke atas dengan tangannya.
Jarak di antara mereka cuma
beberapa inci.
Amane meletakkan jarinya di
bibir Mahiru, dan kemudian menatap matanya yang bimbang.
Iris matanya yang berwarna
karamel melebar karena terkejut. Amane merasa gelisah, hatinya mengancam akan
mengkhianatinya.
Dilihat dan dihasut oleh mata
itu, Amane hampir kehilangan kewarasannya. Untungnya, Ia memegang seutas
alasan, Ia kemudian menjatuhkan tangan yang telah memegang wajahnya.
Seandainya
saja aku bisa menuruti nafsuku, Terlepas dari pemikiran
seperti itu, akal sehat membunyikan alarm yang terlambat di benaknya dan
mengembalikannya ke alam realitas. Amane berterima kasih atas rasionalitasnya
sendiri karena membuat pilihan itu.
Mahiru yang tertegun,
menatapnya dengan penuh harap dan pipi kemerahan.
Pada akhirnya, Mahiru masih seperti
ini, dia tidak bisa memahami situasi yang tidak terduga dengan baik. Amane
tersenyum tipis.
“...Lain kali kalau kamu bilang
begitu lagi, aku mungkin akan menyumbatnya dengan tanganku.”
Amane mundur sedikit, lalu
perlahan mendekatkan bibirnya ke telinga Mahiru dan berbisik padanya. Tubuh
Mahiru bergetar karena malu, bahkan Amane yang tidak bisa melihat ekspresinya
pun bisa merasakannya.
Tapi Mahiru tidak mendorong
atau menolaknya. Amane menghela nafas lega, dan kali ini benar-benar menjauhkan
diri dari Mahiru.
Amane ingin melihat ekspresi
Mahiru, tapi karena Ia juga merasa malu, dirinya langsung menjauh saat tatapan
matanya bertemu dengan mata Mahiru.
Karena perilakunya tadi, Amane
merasa malu dan hendak bangkit dari sofa.
Amane tahu bahwa wajahnya
mengungkapkan semua pikiran batinnya, saat dirinya akan bangkit berdiri,
tangannya tiba-tiba ada yang menarik.
Amane menoleh kembali ke arah
Mahiru, dan pada saat berikutnya ada aroma wangi melewati ujung hidungnya.
Dalam sekejap mata, rambut
berwarna rami melayang melewati bidang penglihatannya, lalu sesuatu yang lembut
dan hangat menempel di pipinya.
Langkah kakinya tidaklah cepat,
tapi kedengarannya agak berat, seolah-olah sedang terburu-buru. Sensasi lembut
di pipi Amane tadi layaknya hantu yang menghilang begitu saja dari depan
matanya.
Suara pintu menutup di kejauhan
membawanya kembali ke kenyataan.
Amane meletakkan tangannya di
pipi yang baru saja dikecup.
“…Apa yang baru saja…”
Tentu saja tidak ada yang
menanggapi gumamannya.
Merasa linglung, Amane duduk di
sofa dan menatap kosong ke koridor tempat Mahiru baru saja menghilang.
Setelah itu, Mahiru tidak
pernah kembali ke rumah Amane.