Chapter 14 — Berpisah pada Diri Yang Lemah
Awal Juni secara bertahap
mendekat, dan sekolah Amane mengadakan festival olahraga pada bulan tersebut.
Dibandingkan dengan lomba
olahraga pada masa sekolah SD dan SMP, suasana festival olahraga sekolah SMA
jauh lebih kompetitif, dan hampir tidak ada orang tua yang datang untuk
menonton.
Festival olahraga merupakan salah
satu dari sedikit kegiatan yang masih diminati murid-murid, terutama murid yang
masuk ke dalam klub olahraga. Mungkin mereka menganggap kalau acara ini
memungkinkan mereka untuk pamer kepada orang lain.
Sebaliknya, murid yang masuk ke
dalam klub literasi memiliki minat
yang sangat kecil.
Mereka yang tidak masuk dalam
klub mana pun sebagian besar termasuk dalam kelompok yang terakhir.
“Hadeuhh, capek banget.”
Murid yang mengatakan ini
berada di tenda yang sama dengan Amane. Mendengar hal tersebut, Amane diam-diam
tersenyum kecut pada dirinya sendiri.
Karena Ia akan diasingkan oleh
klub olahraga jika menunjukkan ketidaksukaannya terhadap acara tersebut, Amane
tidak menunjukkan ketidakpuasannya dan pura-pura tidak mendengarnya.
Untungnya, Amane mendapatkan
semua acara yang diinginkannya, jadi Ia tidak perlu berpartisipasi dalam
aktivitas fisik apa pun. Namun, semua murid laki-laki diwajibkan untuk berpartisipasi
dalam pertempuran kavaleri.
“Fujimiya, sepertinya kamu tidak
terlalu membencinya, kupikir kamu akan lebih tidak menyukainya.”
Yuuta yang juga berada di tenda
tim merah, menatap wajah Amane dengan heran.
“Lagi pula aku ingin
berolahraga, dan acara yang aku ikuti tidak banyak juga, jadi tidak terlalu
merepotkan. Meski begitu, aku masih berpikir kalau belajar jauh lebih mudah
ketimbang ini.”
“Sungguh langka...”
“Fujimiya pandai belajar, tapi
Ia tidak begitu hebat dalam hal kemampuan fisik.”
Amane tidak bisa menyangkal
kata-kata Hiiragi yang mendengarkan percakapan mereka dari sampingnya, dan
hanya menunjukkan senyuman.
Lagipula memang begitulah
faktanya dan Amane tidak ingin berbohong. Namun, ketika kekurangannya diumbar
begini membuatnya merasa rumit.
Tentu saja, Amane sangat
berterima kasih atas evaluasi yang sangat baik atas kemampuannya untuk belajar,
tapi mau tak mau Ia juga menginginkan evaluasi fisik yang hebat.
“Aku sekarang mulai rajin berolahraga
sesuai dengan ajaran Kadowaki. Haruskah aku melakukan lebih dari itu?”
“Yah, kami menggunakan sistem
yang lebih untuk atlet. Jika cuma sebatas olahraga ringan seperti yang
dilakukan Fujimiya, kupikir itu cukup baik. Jika rumahku lebih dekat, aku akan
jogging bersamamu, Fujimiya.”
“Bagaimana mungkin aku bisa
mengikuti kecepatan dan kekuatan fisikmu, Kadowaki.”
“Yuuta... memangnya kamu lupa
kalau aku pernah jogging bersamamu terakhir kali dan dibuat hampir mati. Kamu itu
tidak joging, tapi melainkan lari sprint.”
Kuju sepertinya pernah jogging
dengan Yuuta sebelumnya, dan menunjukkan ekspresi kelelahan.
Kuju bukanlah anggota klub
olahraga, melainkan klub literasi, lebih tepatnya klub astronomi. Ia memiliki
tubuh yang ramping dan tidak hanya kecil, tetapi kulitnya juga putih bersih,
jadi Ia tidak terlihat seperti tipe orang yang banyak berolahraga.
Meski begitu, walau dengan
tubuh langsing, Mahiru bisa melakukan semua jenis olahraga, jadi semua orang
tidak boleh disamaratakan.
“Tidak, kupikir Fujimiya bisa
mengimbangiku. Ketika kita melakukan lari maraton, kamu tampak tidak terlalu
kelelahan saat sudah selesai.”
“Waktu itu melakukan beberapa
pelatihan kebugaran. Aku mencoba yang terbaik untuk mencegah tubuhku menjadi
sangat lemah seiring bertambahnya usia, tapi itu tidak sebanding dengan orang
yang aktif berolahraga?”
“Cuma kamu saja orang yang akan
memikirkan masa depan secepat ini ...”
“Fujimiya benar-benar aneh. Ah tidak,
mungkin lebih tepat dibilang kalau kamu tipe orang yang berpikir matang-matang
mengenai masa depan?”
“Apa kalian sedang memujiku?”
Hiiragi adalah orang yang jujur
dan berbicara dengan lugas. Sifat blak-blakannya inilah yang diperhatikan Amane
saat pertama kali bertemu dengannya.
“Kazuya... kurasa dia memujimu,
mungkin.”
“Terima kasih kalau begitu?”
“Sama-sama?”
“Apa-apaan dengan obrolan ini
...”
Kuju menanggapi dengan tatapan
tercengang, tapi pandangannya tidak mengandung ejekan sedikitpun, hanya
kebingungan sederhana.
Ada juga sedikit kenyamanan
dalam ekspresinya, sepertinya Amane perlahan diterima.
“Lupakan saja, Kazuya selalu
begitu.”
“Kurasa aku tidak senatural
itu...”
“Haha. Tidak apa-apa, kamu
tidak perlu khawatir tentang itu, tetaplah menjadi dirimu sendiri.”
“Yah, baiklah kalau begitu?”
Kazuya menerimanya dengan
mudah, dan tidak mengajukan pertanyaan lagi. Amane berbisik, “Apakah ini benar-benar baik-baik saja...?”
Pada saat yang sama, Ia melihat ke area lapangan.
Di lintasan, para pemain
berlari.
Dilihat dari panjang lintasan,
sepertinya itu adalah lomba lari 100 meter. Peserta giliran pertama sudah
bertanding, dan kelompok giliran kedua sudah mulai berbaris.
Peserta lomba giliran kedua
tampaknya adalah tim perempuan.
Di antara mereka ada seorang
gadis yang akrab dengan rambut merah kecoklatan.
“Kalau tidak salah dia tidak
masuk klub atletik, ‘kan ? Tapi Chitose ada
di lintasan. Apa dia bisa berlari cepat?”
“Yah, lihat saja sendiri.
Shirakawa-san di masa SMP merupakan anggota andalan dari klub atletik.”
“Wow, benarkah?”
“Ya. Tapi dia tidak bergabung
dengan klub saat masuk SMA, dia bilang kalau itu rasanya merepotkan untuk
bersitegang dengan senior di klub.”
“Apa dia sering menimbulkan
masalah bagi orang lain?”
“Tidak, itu... ada alasannya...
Singkatnya, dia telah belajar, atau lebih tepatnya, dia lelah.”
“...Lelah?”
“Ada banyak lika-liku dalam
hubungan antara Shirakawa-san dan Itsuki. Bagaimana bilangnya ya, um, ada
senior di klub lari yang menyukai Itsuki, dan kemampuan berlari Shirakawa-san
dalam lebih baik daripada senior ini. Sederhananya, mereka memiliki hubungan
yang buruk.”
“Ah, aku jadi mengerti.”
Sekarang, mereka berdua sudah
dikenal di seluruh sekolah, tetapi Amane mendengar dari Chitose bahwa sebelum
mereka mulai berpacaran, Itsuki selalu melakukan PDKT dengan agresif.
Katanya, kepribadian Chitose
sedikit lebih dingin daripada sekarang, dan butuh waktu lama bagi Itsuki sebelum
akhirnya bisa dekat dengannya.
Jika ada senior klub yang menyukai
Itsuki, tidak sulit untuk membayangkan kalau ada perselisihan.
“Oleh karena itu, dia tidak
bergabung dengan klub. Namun, dia masih suka berlari. Aku sering melihatnya berlari
pada akhir pekan dan hari libur.”
Yuuta tersenyum dan
menambahkan, “Lagipula, rumah kami
lumayan dekat”, lalu menatap Chitose yang sedang dalam posisi awal jongkok.
Bahkan jika Amane adalah
seorang amatir, dia bisa melihat bahwa postur Chitose sangat bagus.
Bahkan dari jarak jauh, Amane
bisa melihat bahwa ekspresinya tidak seperti sedang senyum cengengesan seperti
biasanya, tapi melainkan memasang ekspresi serius dan tegas.
Pistol penanda dimulainya lomba
pun berbunyi.
Pada saat ini, Chitose langsung
bereaksi dengan cepat.
Dia melesat dengan postur yang
akan dianggap profesional oleh siapa pun, berlari seperti angin, dan bahkan
meninggalkan jauh para peserta yang dari klub olahraga.
Rambutnya yang lembut tergerai
ke belakang; tubuhnya terdorong ke depan. Dia mencapai garis finis jauh sebelum
kontestan lainnya.
Wajah Chitose tersenyum ceria setelah
dia melewati garis finis, melempar jauh kedok seriusnya.
Setelah menyelesaikan lomba,
Chitose mengambil bendera peringkat pertama dan melihat ke arah tenda tim
merah... yaitu, melihat ke samping Amane dan tersenyum ceria.
Penampilannya mengibarkan
bendera dengan kepuasan sangat menginspirasi.
Setelah kembali dari lomba lari
100 meter, Chitose dengan bangga berdiri.
“Aku kembali~ Apa kamu
melihatku?”
“Aku melihatnya. Larimu begitu
cepat.”
“Wow~ Terima kasih~!”
“Ya. Shirakawa-san terlihat sangat nyaman
dalam berlari.”
Chitose dalam suasana hati yang
luar biasa setelah dipuji oleh dua anggota klub atletik. Amane juga memujinya,
“Bagus, kamu berlari sangat cepat.”
Faktanya, dia berlari lebih cepat
dari yang bisa Amane dauga dan hal itu membuatnya terkejut. Tapi Chitose tidak
memiliki aura yang mengesankan dan hanya tersenyum dan berkata, “Ah~ terima
kasih.”
Perasaan hampir tidak ada
ketegangan ini benar-benar berbeda dari saat dia berlari. Amane juga merasa
lega, dan menunjukkan senyum santai.
“Omong-omong, Shirakawa-san masih
berlari secepat seperti biasanya.”
“Hehe~ Lagi pula, aku berlatih sedikit, meski
aku jauh lebih cepat saat masih ikut dalam klub.”
Tampaknya selama waktu SMP,
Chitose bahkan lebih cepat dari sekarang, yang mana hal itu benar-benar
menakjubkan. Dia memiliki kemampuan atletik yang luar biasa. Sebagai orang biasa,
Amane merasa sangat iri.
Meski Kazuya tampaknya berasal
dari sekolah SMP yang sama dengan Yuuta, Ia masih terkejut bahwa Chitose tidak
bergabung dengan klub atletik.
“Aku sedari tadi berpikir,
bagaimana kamu bisa begitu cepat, apa karena luas permukaan yang kamu miliki
kecil, jadi itu mengurangi hambatan udara?”
“Hah ....apa maksudmua dengan
permukaan kecil ...?”
“Hah? Maksudku tinggi badan?”
Kazuya menatap Chitose dengan
tatapan polos seakan menyiratkan, “Memangnya
apa lagi?”
Chitose mengerutkan kening.
Ekspresinya tidak begitu marah karena dia merasa malu pada dirinya sendiri. Dia
pasti mengira Hiiragi sedang membicarakan payudaranya.
Ngomong-ngomong, meskipun
Chitose tidak sependek Mahiru, dia juga tidak bisa dianggap tinggi.
Berdasarkan tinggi rata-rata
perempuan, dia dianggap cukup tinggi, tetapi dibandingkan dengan atlet lain, tinggi
badannya dianggap lebih pendek.
Selain itu, dia juga langsing dan
ramping. Mungkin karena perihal tersebut, Kazuya terkejut dengan kecepatannya.
Dilihat dari sikapnya, Kazuya
tidak bermaksud hal lain di balik kata-katanya. Jadi, bisa dibilang kalau semuanya
itu hanyalah kesalahpahaman Chitose.
“Kamu benar-benar mempermalukan
dirimu sendiri ya.”
“Diam Kuju, kamu berisik
sekali”
Chitose tersipu dan menunduk ke
bawah. Amane menunjukkan senyum lembut dan memalingkan muka supaya Chitose tidak
memergokinya karena menertawakannya.
◇◆◇◆
Acara yang akan diikuti Amane
adalah lomba melempar dan meminjam barang, ditambah pertempuran kavaleri yang
harus diikuti oleh semua anak laki-laki.
Beberapa siswa sangat antusias
dan mendaftar untuk lebih dari dua acara, tetapi Amane tidak begitu tertarik
pada festival olahraga, jadi Ia hanya mendaftar untuk dua acara lomba.
Ia sudah menyelesaikan lomba
melempar bola.
Perlombaan tersebut tidak
terlalu meriah dan kompetitif. Terus terang saja, itu hanya melempar bola ke dalam
keranjang yang digantung tinggi.
Walaupun poin yang didapat berdasarkan
pada berapa banyak tembakan yang masuk, karena ada banyak bola, jadi tidak
perlu bersaing, dan seluruh perlombaan berlangsung damai dari awal hingga
akhir.
Sebelum berlomba, Chitose meminta
Amane untuk menunjukkan kepada mereka penampilan yang bagus.
Masalahnya, tidak ada yang bisa
ditunjukkan dalam lomba melempar.
Perlombaan melempar bola cuma
sekedar mengambil beberapa bola, membiarkannya berguling ke satu tempat,
mengumpulkannya, dan kemudian melemparkannya. Pengulangan tugas yang
membosankan seperti itu tidak menarik banyak perhatian.
Satu-satunya hal yang layak
ditonjolkan ialah adalah bahwa mereka mencetak lebih banyak poin daripada tim
Putih. Ini mungkin karena akurasi tembakan mereka, ditambah fakta bahwa bola
mereka dikumpulkan di satu tempat.
“Ayolah Amane, kamu benar-benar
cuma memilih acara lomba yang tidak mencolok, ya?”
“Cerewet. Sudah waktunya untuk
giliran kerjamu, bukannya kamu harus pergi sekarang?”
“Ah, ya ya.”
Chitose melihat jadwalnya dan
menggumamkan “Jadi panitia acara emang
sangat sibuk~” lalu berjalan menuju tenda utama.
Amane pun berpikir, “Lantas kenapa kamu mendaftar jadi panitia
acara,” tapi Ia tetap tutup mulut karena takut ditepak oleh Chitose.
Sambil melihat bagian belakang
Chitose yang berlari menjauh, Amane melihat-lihat jadwal yang dipasang di
dinding tenda.
Hanya ada beberapa acara lomba tersisa
sebelum istirahat makan siang, salah satuya termasuk lomba pinjam meminjam
barang.
Setelah acara ini selesai, dan
setelah istirahat makan siang, mereka akan mengadakan acara sore.
Setelah lomba meminjam barang
selesai, Amane cuma tinggal ikut pertempuran kavaleri di sore hari.
“...Ngomong-ngomong, kenapa
Chitose yang jadi bertanggung jawab atas lomba meminjam barang?”
Jadwal yang pajang menunjukkan
kalau Chitose bertanggung jawab untuk acara berikutnya, dan menjad wasit untuk lomba
meminjam barang ... Amane merasakan firasat tidak enak menyapu dirinya.
Ia tidak tahu siapa yang
berpikir untuk menempatkan Chitose di posisi ini, tapi itu membuatnya takut
karena suatu alasan.
Suasana hati Amane menjadi
sedikit berat, tapi Ia tetap berjalan mengikuti acara lomba selanjutnya, lomba meminjam
barang. Mahiru tampaknya telah bergabung dengan acara lomba ini juga, dan berdiri
di garis start dengan tenang.
Ia tidak punya apa-apa untuk
dikatakan padanya, jadi Amane tidak berbicara. Ketika tatapan matanya bertemu
Mahiru, dia tersenyum tipis dan mengangguk ke arah Amane.
Meski keduanya menjaga jarak
sebagai orang biasa di luar, Amane masih merasa jantungnya sedikit melonjak
saat melihat senyum Mahiru.
Amane menyapa Mahiru dengan
wajah datar, tapi Ia merasakan sedikit ketidaknyamanan di dalam hatinya.
Chitose yang bertanggung jawab
atas berjalannya acara ini, memandang keduanya dan kemudian memanggil peserta
lainnya.
◇◇◆◆
Ketika tiba waktunya untuk
lomba peminjaman, para peserta mengikuti instruksi dari penanggung jawab dan
memasuki lapangan.
Sejumlah besar kertas yang terlipat
berserakan. Pada dasarnya, para peserta akan mengambil secarik kertas dan
membawa barang-barang sesuai dengan yang tertulis di dalam kertas tersebut.
Lomba meminjam jauh berbeda
dari acara lomba lainnya. Acara ini lebih condong ke acara santai dengan tujuan
menikmati proses peminjaman.
Namun, tergantung pada topik
yang peserta dapatkan, mereka juga bisa diekspos dan dipilih. Amane harus
berhati-hati.
“Untuk semua peserta lomba,
tolong berdiri di garis start.”
Chitose menggunakan mikrofon
untuk memberikan instruksi yang jelas. Selama dia tidak menyebabkan masalah
dengan sengaja, dia sangat cocok sebagai pembawa acara: Selain punya karakter
yang ceria, dia pandai memahami suasana dan situasi. Ditambah lagi, suaranya
sangat jernih, tidak terlalu tajam, mudah didengar, dan cukup menarik perhatian.
Karena semua siswa dan staf
sekolah sedang menonton, Chitose tidak melakukan candaan papun, dan memberi
isyarat untuk “Semua peserta bersiap-siap.”
Namun, pistol penanda lomba
dipegang oleh anak laki-laki lain yang bertanggung jawab, dan Chitose hanya
bertanggung jawab atas hitungan mundur.
Setelah Chitose meneriakkan perintah “Bersiaps-siap”,
terdengar suara ledakan dari pistol starter.
Meskipun suara tembakan itu
tidak baik buat jantungnya, Amane dengan tenang berlari menuju tempat kertas
itu diletakkan.
Pelari cepat sudah membuka
lipatan kertas mereka, menelusuri topik di dalamnya. Amane mengikuti mereka dan
mengambil selembar kertas terlipat untuk memastikan isinya.
Beberapa kata tertulis rapi di
kertas itu.
[Seseorang yang menurutmu cantik.]
Subjek yang harus dipinjamnya
bukanlah barang, melainkan seseorang.
Amane ingin memprotes kepada
seseorang yang membuat tema semacam ini.
Untungnya, tema yang didapat bukanlah
tipe yang paling sulit, setidaknya bukan tertulis “Seseorang yang kamu suka”, jadi Amane hanya perlu membawa orang
yang cantik secara objektif.
Dengan kata lain, Amane hanya perlu
membawa gadis yang terkenal dengan kecantikannya, Mahiru. Setelah Mahiru
meminjam sesuatu, Ia bisa melewati garis finis bersamanya.
Meski mungkin terlihat mencolok
untuk berjalan dengan Mahiru, Amane punya alasan yang sah. Setelah semua orang
mengetahui subjek pinjamnya, mereka pasti bisa memahami bahwa dia adalah
pilihan yang tepat.
Saat Amane sedang memikirkan
hal ini, dan hendak mencari keberadaan Mahiru yang mungkin juga sedang memungut
kertas. Tapi sebelum menoleh ke area sekelilingnya, tiba-tiba ada seseorang
yang meraih kaos olahraganya dari samping.
Lebih tepatnya, orang tersebut
bukan menggenggam kaosnya, tapi mencubit. Ujung kaos olahraga Amane sedikit
ditarik beberapa kali, dan Ia menoleh ke arahnya.
Di depan mata Amane, orang yang
hendak Ia cari sedang tersenyum sopan padanya.
“Fujimiya-san, bolehkah aku
meminjammu? Setelah kamu meminjam barang-barang yang perlu kamu pinjam, apa kamu
bisa mengikutiku?”
“Hah, aku?”
“Ya.”`
Rupa-rupanya mereka berdua
saling meminjam, yang mana hal itu sangat mengejutkan Amane.
Meski ada kemungkinan semacam
itu dalam arti tertentu, tapi Amane pikir kalau itu akan sangat mencolok.
Namun, tidak ada artinya
membicarakan apa yang akan mencolok atau tidak karena Mahiru sudah datang untuk
berbicara dengannya terlebih dahulu.
Di seberang garis finis,
Chitose yang bertugas sebagai wasit, menatapnya dengan seringai lebar.
Awas
saja kamu, aku akan mengingat ini.
Tema di atas kertas ditulis
oleh Chitose, dan tema dalam lomba meminjam ini pasti idenya semua. Meski Amane
tidak tahu topik apa yang Mahiru dapatkan tapi menilai dari fakta bahwa Mahiru
memilih dirinya sendiri, itu pasti sesuatu yang istimewa.
“Ah ... apa yang ingin kamu
pinjam?”
“Rahasia.”
Chitose akan mengumumkannya
setelah melewati garis finis, tapi Mahiru menolak memberitahunya.
Jadi Amane tidak punya pilihan
selain menghela nafas, dan kemudian Ia berlari menuju garis finis.
“Hal yang ingin aku pinjam kebetulan
juga kamu, jadi ayo pergi ke garis finish bersama-sama.”
“...Tema apa yang kamu pinjam,
Fujimiya-san?”
“Itu juga rahasia.”
Mahiru tersenyum kecil pada
jawaban Amane.
“Yah, kita akan melihat apa
yang kita dapat nanti setelah sampai di garis finish nanti.”
Mahiru selesai berbicara dengan
lembut dan meraih tangan Amane.
Dia mengabaikan kebisingan di
sekitarnya dan menyentuh ujung jari Amane.
Meski Amane merasakan sakit
kepala karena keributan yang terjadi di sekitarnya, tapi begitu melihat hati
Mahiru dipenuhi kegembiraan, Amane merasa kalau tidak ada yang bisa Ia lakukan,
dan cuma bisa menahannnya.
Amane merasa gelisah saat berjalan
dengan Mahiru, mereka berdua akhirnya mencapai garis finish. Dan di sana,
Chitose sudah menunggu untuk menyambut mereka.
Amane memelototinya, tapi
Chitose bersikap acuh tak acuh dan mengabaikannya.
“Oh, ap kalian berdua melewati
garis bersama~? Jika aku ingat dengan benar, kalian berdua adalah kontestan.”
“Berhenti cengengesan terus.
Kami berdua cuma saling meminjam.”
“Oh ho~ kalau begitu mari kita
konfirmasi topikmu, siapa di antara kalian yang mau dibacakan duluan?”
“Tolong biarkan punya Fujimiya-san
yang dibaca lebih dulu.”
Balasan Mahiru mengejutkan
Amane, tetapi Chitose mengulurkan tangan ke kertas yang dipegang Amane,
seolah-olah ingin mengatakan “Baiklah,
aku mengerti.”
Ia tidak bisa
menyembunyikannya, jadi Ia menoleh ke Chitose yang anehnya tampak gembira dan
menunjukkan isi kertasnya.
Setelah membaca isi temanya,
Chitose menunjukkan ekspresi sedikit kecewa.
Amane tidak tahu apa yang
diharapkan Chitose. Sepertinya ini bukan hasil yang diinginkannya.
Meski begitu, Chitose terlihat
ceria kembali dan mendekatkan mikrofon ke mulutnya dengan senyum di wajahnya.
“Sekarang mari kita periksa
isinya. Tema pertama untuk tim merah adalah: [Seseorang yang menurutmu cantik]”
Mendengar pertanyaan itu, semua
orang memancarkan suasana lega.
Pilihan Amane bisa dibilang
pilihan yang sangat aman. Sejauh yang Ia tahu, tidak ada seorang pun di sekolah
yang lebih cantik dari Mahiru, dan Amane juga berpikir kalau Mahiru merupakan
gadis yang paling imut.
Jika mengesampingkan pendapat
pribadi Amane, membawa Mahiru ke sini adalah pilihan yang sangat normal.
Walaupun mencapai gadis finish
bersama Mahiru pasti akan menarik permusuhan dari orang lain, isi subjeknya
sudah tertulis begitu, jadi permusuhan agak mereda.
Masalahnya terletak pada topik
yang didapat Mahiru.
Meski Amane tidak tahu apa
isinya, Ia mempunyai firasat kalau topik yang didapat Mahiru akan membuat kehidupan
sekolahnya sangat berbeda ketika berpikir kalau Mahiru secara khusus
memintanya.
Chitose mengambil kertas itu
dari tangan Mahiru, berkedip kaget, dan melirik Mahiru.
Meskipun Amane tidak bisa
melihat apa yang tertulis di kertas dari sudut pandangnya, ekspresi Chitose
sepertinya mengatakan “Apa aku beneran
boleh mengatakan ini?”.
Topik
macam apa yang sampai membutuhkanku untuk berada di sini?
Reaksi Chitose membuat Amane
semakin bingung. Namun wajah Mahiru masih memasang senyum damai. Dengan kata
lain Mahiru tidak keberatan kalau isi topiknya dibacakan dengan keras.
Chitose mengkonfirmasi niat
Mahiru dan kembali ke senyumnya yang biasa.
“Baiklah~ Mari kita lihat isi
tema untuk tim putih yang melewati garis finish pada saat yang sama. Isi topik
tim putih ialah: [Seseoang yang penting].”
Sementara suara Chitose bergema
ke seluruh lapangan, keheningan tiba-tiba menyapu area istirahat siswa.
Amane menatap Mahiru dan dia balas
menatapnya, bibir merah pucatnya membentuk senyuman.
Apa
yang sudah kamu perbuat...
Ekspresinya mirip seperti anak
kecil yang berhasil melakukan kejahilan, tapi juga menunjukkan sedikit rasa
malu.
Yang pasti, Mahiru ingin melihat bagaimana reaksi Amane ketika Ia mengetahui isi topiknya.
Mudah untuk memprediksi pikiran
Mahiru. Jika topik itu dipublikasikan, dia pasti tahu bagaimana reaksi siswa
lain.
Meski begitu, Mahiru memutuskan
untuk memilih Amane sebagai objek yang dia pinjam untuk secara terbuka membawa
perubahan pada hubungan di antara mereka berdua.
Mulai sekarang, mereka berdua tidak
bisa lagi berpura-pura jadi orang asing di depan umum.
Mahiru tersenyum ke arahnya.
Itu bukanlah senyum indah yang biasa dia tunjukkan di sekolah, akan tetapi senyum
tulus yang dia tunjukkan secara pribadi. Amane menghela nafas dengan suara
rendah, “Aku pasti akan dicecar
habis-habisan nanti,” dan menggaruk kepalanya.
◆◇◆◆
“Fujimiya, apa maksudnya ini!”
Setelah kembali ke kelas
masing-masing untuk istirahat makan siang, Amane langsung dibombardir beberapa
pertanyaan oleh teman sekelasnya.
Mahiru bukan hanya sosok yang
sulit dijangkau, tapi juga objek kasih sayang semua orang. Di depan umum, dia
meminjam Amane sebagai “orang yang
penting” -nya. Amane memahami kalau sebagian anak cowok akan merasa tidak nyaman
tentang ini, tapi tetap saja, kerumunan orang yang membombardirnya pertanyaan mereka masih membuat Amane
kewalahan.
“Kenapa kamu bisa menjadi orang
penting Shiina-san!”
“Sejak kapan hubungan kalian
jadi dekat!”
“Bagaimana bisa!? Pasti saat
kalian mulai makan siang bersama, ‘kan!?”
“Bagaimana itu bisa terjadi!
Apa yang Shiina-san pikirkan tentangmu!”
“Mustahil!”
Pertanyaan demi pertanyaan
dilontarkan teman sekelasnya. Amane melihat ke kejauhan sembari berharap adanya
bantuan.
Sejujurnya, meski Ia sudah
menduganya, paksaan anak-anak cowok melebihi antisipasi Amane. Ia bahkan tidak
punya waktu untuk makan siang.
Tentu saja, bukan hanya
anak-anak cowok saja yang menanggapi kejadian ini. Meskipun gadis-gadis itu
tidak ikut menanyainya, mereka juga memperhatikan Amane. Beberapa tampak sangat
bahagia, dan beberapa menunjukkan rasa lega.
Alasan kelegaan mungkin karena
Mahiru, pesaing terbesar gadis-gadis, menyukai Amane dan memberi mereka kesempatan
untuk mendekati cowok lain.
Dan beberapa tatapan lain juga
bertanya, “Orang seperti apa yang disukai
Mahiru? Apa yang istimewa dari cowok ini?”
Menjadi fokus perhatian kelas
membuatnya berkeringat dingin.
Mahiru sendiri sedang tidak ada
di kelas. Dia pergi ke mesin penjual otomatis untuk membeli minuman olahraga.
Sementara Itsuki dan Yuuta sama-sama tersenyum kecut dari sisinya, Chitose
menatapnya dengan ekspresi kegembiraan yang halus di wajahnya.
Amane menahan dorongan untuk
memarahi orang-orang ini dan berusaha bersikap setenang mungkin, Ia lalu
mengangkat kepalanya ke arah teman sekelas di sekitarnya.
Karena Amane tidak bisa
melarikan diri, drinya harus menghadapi mereka secara langsung.
Terlebih lagi, Amane tidak bisa
menutup mata terhadap tindakan Mahiru. Jika Mahiru berani berbicara di depan
umum seperti ini, maka keberanian yang dia kumpulkan tidak bisa disia-siakan.
Ia tidak bisa mengabaikan pendekatannya, dia juga tidak bisa mengabaikan tangannya
yang terulur. Mahiru sudah melakukan sesuatu dan dirinya harus merespons dengan
baik.
Oleh karena itu, Amane membalas
secara perlahan.
“Kalau kalian semua berteriak bersamaan,
aku akan kesusahan untuk menjawabnya, jadi tolong bertanyalah satu per satu.”
Daripada membiarkan desas-desus
menyebar di luar kendali, lebih baik mengatakan yang sebenarnya kepada mereka.
Amane membulatkan tekadnya, tapi tubuh anak-anak cowok malah tersentak.
Mereka tampaknya tidak
mentangka kalau Amane akan menanggapi pertanyaan mereka. Lebih tepatnya, mereka
berharap kalau semuanya itu hanyalah kesalahpahaman dan Ia tidak tahu apa-apa.
“...Sejak kapan kamu mengenal
dekat Shiina-san?”
“Sekitar tahun lalu.”
“Hah? Apa itu berarti, cowok yang
berjalan bersama Shiina-san selama kunjungan Tahun Baru dan Golden Week itu kamu?”
Demi bisa mengimbangi
penampilan cantik Mahiru, Amane harus berdandan ketika akan pergi dengannya,
jadi dia akan selalu muncul dengan penampilan itu. Sekarang, tidak ada gunanya
menyembunyikannya, jadi Amane mengatakan yang sebenarnya secara alami sebisa
mungkin.
“...Mungkin.”
Di benak teman-teman
sekelasnya, gampang sekali mengaitkan “orang
penting” yang disebutkan oleh Mahiru selama Golden Week dengan “orang penting” yang baru saja disebutkan.
Kebetulan gadis di kelas yang
telah memergoki mereka jalan berdua selama Golden
Week tidak memandangnya dan Amane
membuang muka agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Cowok misterius yang
membangkitkan minat semua orang sebenarnya adalah dirinya sendiri. Amane merasa
menyesal, tapi karena Mahiru menyukainya, tidak ada yang salah dengan itu.
Amane benar-benar merasakan
tatapan cowok-cowok di sekitarnya semakin kuat. Pada saat yang sama Ia mencoba
yang terbaik untuk mempertahankan tatapan tenang dan memperhatikan teman-teman
sekelasnya.
“... bagaimana kamu bisa
mengenalnya dengan baik?”
“Bukannya kalian tidak ada
hubungannya satu sama lain? Dan mengapa kamu sampai mengubah penampilanmu segala
saat berkencan dengannya!?”
“Kami tinggal berdekatan satu
sama lain dan itu secara alami berkembang dari sana. Dan alasan kenapa aku
berpakaian seperti itu di luar karena kami tahu pasti akan keributan seperti
sekarang, dan jika kalian tahu identitas asli cowok itu, inilah yang akan
terjadi.”
“Aku
takut kalian bertingkah seperti ini, jadi aku menyembunyikannya.” Setelah Amane mengatakan ini,
orang-orang di sekitarnya bergumam datar, seolah-olah pendapatnya ada benarnya,
tetapi mereka tampaknya masih tidak puas dengan hubungan ini. Ia mendengar
mereka berbisik, “Tidak bisa diterima...”
Amane tidak meminta mereka untuk menerimanya sejak awal, jadi Ia mengabaikan
mereka.
“...Fujimiya, um, apa kamu berpacaran dengan Shiina-san...”
Selanjutnya, ada seseorang mengajukan
pertanyaan yang paling Ia khawatirkan.
Amane lalu membalasnya dengan tersenyum.
“Kami memiliki hubungan yang
murni dan sangat menghargai satu sama lain, tetapi kami tidak pacaran. Kami
cuma memiliki hubungan yang baik.”
Amane menyembunyikan fakta
kalau dirinya menyukai Mahriu. Bahkan, kasih sayang yang dalam di hatinya bisa
digambarkan dengan satu kata, cinta. Tetapi tidak tepat untuk mengatakannya
pada saat itu, jadi Ia merahasiakannya.
Di lingkungan semi publik ini,
Amane merasa dirinya tenang karena Ia mampu mengatakan yang sebenarnya dengan
jujur dan tidak perlu lagi menyembunyikannya.
“Tapi, bukannya kamu pernah
bilang kalau kamu tidak tertarik pada Tenshi.”
“Aku tidak membohongimu, aku
benar-benar tidak tertarik dengan “Tenshi”.
Yang kupedulikan adalah gadis bernama Shiina Mahiru.”
Orang yang paling dicintai
Amane bukanlah gadis berbakat yang mahir dalam segala hal, dan bukan tenshi
yang anggun dan bermartabat, melainkan seorang gadis pekerja keras yang menolak
orang lain tapi takut kesepian. Gadis yang takut membuka hatinya kepada orang
lain, tapi begitu dia menerima seseorang, dia hanyalah seorang gadis manis
biasa.
Yang disukai Amane bukanlah gadis
yang disebut “Tenshi”, tetapi sifat
aslinya. Ia tidak tertarik dengan kedok palsu yang dipasang Mahiru.
Setelah Amane selesai
berbicara, anak laki-laki yang begitu agresif itu terkejut, lalu Ia mengangkat
alisnya dan membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu yang lain.
“Tolong jangan terlalu
mengganggunya.”
Namun, sebelum cowok itu bisa
berbicara dengan Amane, ada seseorang menyelanya.
Orang yang membantunya
merupakan orang yang sama yang
menyebabkan seluruh kejadian ini, Mahiru.
Mahiru pergi membeli minuman
olahraga, jadi dia kembali ke kelas lebih lambat dari yang lain. Dia memegang botol
di tangannya. Itu agak panas, dan botolnya lembab karena kondensasi.
Setelah bertemu dengan tatapan
Amane, Mahiru menunjukkan senyum lembut.
“Sekarang sudah siang, tapi Amane-kun
tidak bisa makan siang karena kalian. Ia jadi kerepotan.”
Cuma orang-orang yang memiliki
hubungan dekat saja yang akan memanggil nama depan satu sama lain. Sepertinya
Mahiru tidak ingin menyembunyikan rasa sayangnya pada Amane lagi.
Walaupun dia menerima perhatian
anak laki-laki dan perempuan, Mahiru tidak keberatan. Seorang cowok berjalan di
depan Mahiru, cowok yang sama yang terus memaksakan pertanyaannya pada Amane.
Orang-orang di sekitar
menyadari bahwa Ia ingin menjadi perwakilan untuk menanyakan kekhawatiran semua
orang, dan mengambil inisiatif untuk memberinya kesempatan. Pertanyaan terhadap
Amane juga berhenti.
“Shiina-san! Kamu bilang
Fujimiya adalah orang yang penting, apa maksudmu...”
“Ya, Amane-kun adalah seseorang
yang sangat aku hargai.”
Setelah Mahiru dengan tegas
menhonfirmasi hal itu, senyum yang sama muncul di wajahnya.
Anak cowok itu meringis sejenak
ketika melihat senyum mulus si Tenshi; mungkin karena dukungan dari mata
sekitarnya, cowok tersebut terus bertanya meski kehilangan sedikit momentum.
“La-Lalu, apa itu berarti... dalam artian, seseorang yang kamu suka ...?”
“Jika memang begitu, apa
masalahnya?”
“Tidak, maksudku... ji-jika kamu
menyukainya ... kenapa seseorang seperti Fujimiya?"
“Seseorang seperti Fujimiya?”
“Ah tidak, Fujimiya dan
Shiina-san terasa sedikit tidak cocok. Padahal ada kandidat yang lebih baik darinya.”
“Begitu ya...”
Amane menunjukkan ketakutan di
matanya. Ia tahu kalau cowok itu baru saja menginjak ranjau darat.
Mahiru membenci Amane yang memandang
rendah dirinya sendiri. Ia tidak ingin Amane dievaluasi secara tidak benar.
Dengan cara yang sama, dia
bahkan lebih membenci jika ada orang lain yang meremehkan Amane.
Dari sudut pandang Amane, tidak
peduli bagaimana Mahiru memandangnya, Ia tidak menunjukkan sifat aslinya di
sekolah, jadi Ia tidak menyangkal evaluasi ini.
Terlepas Mahiru akan
menerimanya atau tidak, itu masalah lain.
Senyum Mahiru masih sama
seperti sebelumnya, tapi tatapan matanya sama sekali tidak tersenyum.
Suasana di sekitarnya menjadi
sedikit lebih dingin. Hanya mereka yang mengenalnya dengan baik yang bisa
melihatnya, dan ada cahaya berbahaya di pupil matanya
“Ah engggak, itu....”
“Sebelah mana darinya yang
terlihat inferior?”
“Uhmm...”
“Apa kamu memberitahuku dengan
tepat bagian mana dari dirinya yang inferior?”
“... Misalnya temperamen,
penampilan, dll.”
“Apa kamu memilih orang yang
kamu suka berdasarkan penampilan saja?”
“Ti-Tidak, itu….”
“Apa kamu akan memilih orang
yang akan tinggal bersamamu untuk waktu yang lama di masa depan murni
berdasarkan penampilan mereka?”
Wajah Mahiru masih tersenyum,
tapi dia memancarkan tekanan yang tidak bisa dijelaskan. Adapun alasannya,
Amane menebak kalau Mahiru marah pada
anak cowok tersebut karena menghina Amane.
Bahkan Amane, yang cukup jauh
dari mereka, bisa merasakan tekanan kuat darinya, dan orang yang menghadapinya
pasti lebih stres.
Pada titik ini, anak cowok itu
juga menyadari kemarahan dalam senyum Mahiru.
Bila dilihat dari punggungnya,
Amane bisa menebak kalau cowok itu merasa ketakutan.
“It-Itu...”
“Tidak peduli mengapa aku
menyukai seseorang, kamu tidak memiliki hak untuk menghakimi mereka.”
Bibirnya membentuk senyum
lembut, dan di bawah suara dan nada yang lembut, dia mengucapkan kata-kata
kasar.
Kemarahan yang dibalut senyuman
tersebut begitu jelas hingga Amane pun merasa merinding.
“Maaf, aku seharusnya tidak
boleh berbicara seperti itu.”
Melihat cowok di depannya
dibuat terbungkam, Mahiru merubah ekspresinya yang kaku dan tersenyum lembut.
Fakta bahwa Mahiru yang selalu bersikap
lembut mendadak marah membuat anak cowok yang berhadapan dengannya sedikit
tidak stabil dan tidak nyaman.
“Izinkan aku mengoreksi
kata-katamu. Amane-kun tampan dan berhati lembut. Aku juga mengagumi
temperamennya yang tenang dan hangat. Apalagi, Ia juga sangat sopan dan mau menghormatiku.
Ketika aku sakit, Ia akan menghiburku. Setidaknya, Ia bukan orang yang akan
menjelek-jelekkan orang lain dan menghalangi hubungan orang lain.”
Mahiru menambahkan pernyataan
fatal di akhir penjelasannya. Arti dari pernyataannya adalah “Aku tidak akan pernah menyukaimu, yang
mengatakan hal-hal buruk tentang orang-orang aku sayangi.”
“Apa kamu punya hal lain untuk
dikatakan?”
Dengan senyum manis di
wajahnya, Mahiru memiringkan kepalanya sedikit dan mendesak cowok itu untuk
melanjutkan, tapi sepertinya cowok itu sudah kehilangan nyalinya dan cuma
membalas “Tidak, tidak ada sama sekali,” dengan
suara yang sangat kecil sehingga hampir tidak terdengar, Ia menggelengkan
kepalanya dan berjalan pergi dengan lemah.
Mahiru lalu menatap Amane dan tatapan
matanya dipenuhi kasih sayang.
Di hadapan semua orang, Amane
menerima perkataan yang hampir setara dengan pernyataan cinta. Wajah Amane
menjadi kaku, karena tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya kepada
Mahiru, dan Mahiru menunjukkan kepadanya senyum paling indah di depan wajah
Amane yang berkedut.
Senyumnya benar-benar berbeda dari
senyum ala tenshi-nya. Itu adalah senyum manis penuh kegembiraan yang dia
tunjukkan ketika berada di rumah bersamanya.
“Amane-kun, ayo makan siang
bersama.”
“...Iya, baiklah.”
Pada saat ini, tidak ada yang
berani menanyai Amane lagi.
◆◆◇◆
“Pada akhirnya, dia duluan yang
menyatakannya.”
“... Kalau itu sih, aku
benar-benar dibuat tercengang.”
Pada siang hari setelah
beberapa peristiwa berlalu, akhirnya tiba saatnya untuk pertempuran kavaleri.
Amane dan timnya berkumpul karena alasan ini. Setelah mendengar bisikan Yuuta,
Amane menurunkan alisnya.
Mereka ditempatkan jauh dari
tenda. Alasannya karena tatapan bermusuhan yang mengawasinya itu menjengkelkan.
Meski masih ada orang yang
menonton, jumlah mereka tidak sebanding dengan ketika Ia berada di tenda utama.
Arti kata-kata Kadowaki ialah “Bukankah seharusnya Amane yang mengaku
duluan, kan?" Amane tidak bisa berkata apa-apa selain meminta maaf.
“Aku bisa melihatnya sedikit.
Apa hubungan antara Shiina-san dan Fujimiya benar-benar baik?”
Ekspresi Kuju sedikit bingung,
Ia sepertinya samar-samar merasakan perubahan dalam hubungan Amane dan Mahiru.
“Yah, aku sedang memikirkan
mengapa mereka belum jadian. Sebaliknya, tidak mudah bagi Shiina-san untuk
menanggung bebannya sampai sekarang.”
“Mereka sudah menyembunyikannya,
tetapi melihat keributan pada siang hari ini, dapat dipahami kenapa kalian
menyembunyikannya.”
Dia bersimpati dengan Amane
yang kelelahan. Meskipun Kuju dan Kazuya berada di kelas yang sama, mereka
tidak bisa mendekat karena pertanyaan bombardier yang menimpa Amane.
Mereka berdua tidak memiliki
persahabatan yang mendalam dengan Amane, tetapi penilaian mereka benar.
“Luar biasa. Shiina-san
menghancurkan semua hati mereka sekaligus, rasanya benar-benar menyegarkan.”
“Kupikir insiden ini berdampak terlalu
besar pada mereka ...”
“Yah, sebagai cowok, kamu harus
menembak gadis yang kamu sukai secara terbuka. Selain bertingkah seperti tadi,
mereka selalu mengganggunya, dan bahkan menghina Fujimiya. Jika kamu berani
mengambil risiko untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan, maka aku bisa
menghormati itu. Tapi hal yang sama tidak bisa dikatakan untuk tindakan mereka,
itu cuma kekanak-kanakan.”
“Uggh...”
“Kazuya, sebagian kata-katamu
itu menyakiti Fujimiya, tau.”
“Jika
kamu cowok, akui secara terbuka.” Kalimat ini terdengar nyelekit
untuk Amane.
“Kurasa berarti Shiina-san
mengungkapkan keinginan dan perasaannya, kan?”
Tentu saja Amane tahu ini.
Sekarang setelah Mahiru berbuat
sampau sejauh ini, dan Amane tidak bisa lagi menipu dirinya sendiri atau orang
lain. Ia tidak bisa lagi mengatakan kalau Mahiru hanya bersikap baik padanya.
Amane mengerti bahwa selain
kasar, tapi juga rasanya terlalu memilukan untuk tidak menjawab perasaannya.
Amane juga mengerti bahwa
Mahiru telah mengungkapkan perasaannya dengan lugas, jadi Ia juga harus
menjawab dengan tulus. Isi yang harus dijawab sudah lama ditentukan, tetapi ada
masalah lain, bagaimana cara mengomunikasikan perasaannya pada Mahiru?
“Aku akan menjawabnya setelah
aku pulang. Mari kita lupakan saja untuk saat ini.”
Perasaan hatinya harus
disampaikan padanya, tapi tidak di sekolah. Hal semacam itu harus dilakukan
ketika cuma ada mereka berdua, dan Amane juga berharap untuk memonopoli
ekspresi Mahiru.
Meski situasi sekarang termasuk
dalam pengakuan publik, tapi lebih baik kalau menemukan tempat di mana tidak
ada orang lain saat mengomunikasikan perasaan seseorang.
Tekad Amane disambut dengan
seringai.
“Yah, mari kita coba untuk
tidak mati selama pertempuran kavaleri nanti, kita bisa mengobrol lebih banyak
di lain waktu.”
Kazuya sangat senang untuk
beberapa alasan, Ia tersenyum dan berkata, “100
persen kalau kita akan menjadi sasaran." Amane hanya bisa tersenyum
pahit.
Kuju yang merupakan pengendara
mereka, mengeluh dengan ekspresi putus asa, “Bukannya bebanku terlalu besar?”
Tapi nadanya terdengar kesal bukannya tulus, seolah tak berdaya, yang membuat
Amane tersenyum.
“Fujimiya, ayo mengamuk
sepuasnya.”
“Aku akan mencoba yang
terbaik.”
Amane merasa bahwa Ia harus
menunjukkan kejantanannya, memblokir semua tangan yang menjangkau Mahiru, dan
membiarkannya bebas.
Aku
akan menembaknya lagi saat pulang di rumah nanti, tapi pertama-tama...
Mereka berempat saling
tersenyum, bersiap untuk gelombang penyerang yang datang meyerbu.
◆◇◆◇
“Haaahh capek banget...”
Amane mandi untuk membersihkan
pasir dan debu dari tubuhnya, Ia lalu bersandar di sofa karena rasa capek
setelah mengikuti festival olahraga.
Seperti yang sudah Ia duga,
serangan musuh sangat sengit terhadap mereka dalam pertempuran.
Meski sudah mengiranya, lawan-lawan
mereka datang menyerang dengan agresif, dan menyebabkan tim mereka kesulitan.
Kazuya berteriak gembira, “Ini baru namanya masa muda!” dengan
senyum kegirangan di wajahnya. Ia mungkin menyukai jenis kompetisi ini.
Alhasil, di bawah serangan
bertubi-tubi dari lawan, tim Amane tidak bisa bertahan lama, tetapi berkat
kerja keras pengendara, mereka menangkap lebih banyak ikat kepala dari yang
diharapkan.
Meskipun Kuju adalah yang
paling aktif, Mahiru yang menonton dari tim musuh, memperhatikan Amane dan
tersenyum.
Kemudian, acara di sore hari
akhirnya selesai, dilanjutkan dengan acara penutupan dan bersih-bersih seperti
biasa setelah acara selesai, Amane pun akhirnya bisa pulang.
Ada banyak hal yang terjadi dan
Ia kelelahan secara fisik dan mental, tetapi Amane masih memiliki banyak hal
yang harus dilakukan.
...Aku
harus memberitahunya.
Mahiru sudah mengumpulkan
begitu banyak keberanian untuk mengumumkan
hubungan di antara mereka berdua.
Jika dirinya tidak membalas
dengan cepat dan serius, dI akan kehilangan muka.
Tapi
bagaimana caranya?
Tekadnya sudah membara, tapi Amane
merasa bimbang sekaligus ragu saat memikirkan kembali untuk menembaknya.
Mungkin ini sebabnya Ia dimarahi dan diledek pengecut.
Bagi Amane, ini adalah pertama
kali dalam kehidupannya bahwa Ia benar-benar menyukai seseorang. Jika orang
semacam itu ingin mengungkapkan perasaannya kepada orang lain, wajar saja Ia
akan merasa bermasalah.
“Gadis
pasti ingin ditembak dalam suasana yang sangat romantis.” “Bagaimana aku bisa
mengungkapkan perasaanku dan membuat pihak lain bahagia?" Tidak
ada jawaban pasti untuk pertanyaan ini. Pikiran Amane berantakan.
Saat Amane memikirkan apa yang
harus dilakukan, suara kunci terbuka datang dari pintu de[an.
Seluruh tubuhnya gemetar, gadis
yang sudah membuat Amane salah tingkah dan pusing, sudah datang ke rumah dengan
kunci cadangan.
Ini adalah pertama kalinya
Amane merasa begitu tegang. Suara pintu ditutup dan dikunci kembali terdengar.
Segera setelah itu, sandal
terdengar di lantai... Di koridor yang menghubungkan pintu, seorang gadis yang
dikenal dengan rambut rami muncul dalam bidang pandangnya.
“Amane-kun...”
Bibir ceri Mahiru melengkung
membentuk ssenyuman lembut.
Seolah keributan di sekolah
tidak pernah terjadi, Mahiru masih bertingkah sama seperti biasanya. Tidak,
senyum yang lebih manis dari biasanya, membuat jantung Amane berdetak lebih
cepat dan tidak karuan.
Dia tidak tahu apakah dia tahu
dia gemetar, tapi Mahiru duduk di samping Amane seperti biasa, jarak antara
satu sama lain lebih kecil dari kepalan tangan.
Ia melirik Mahiru, rambut
lembutnya tergerai dan aroma wangi sabun mengalir ke arah Amane.
Mahiru sepertinya melakukan hal
yang sama seperti Amane, mandi untuk menghilangkan keringatnya. Setelah
dilihat-lihat lagi lebih dekat, Ia bisa melihat bahwa kulitnya yang halus
seperti susu tampak lebih kemerahan dari biasanya.
Menyadari kalau Mahiru baru
saja keluar dari kamar mandi, seluruh tubuh Amane menjadi semakin panas dan gugup.
Mahiru lalu tersenyum indah padanya.
“Amane-kun, kupikir kamu punya
banyak hal yang ingin kamu katakan padaku, atau sesuatu yang ingin kamu
tanyakan tapi...bisakah kamu mendengarkanku dulu sebelum itu?”
“Hah, baiklah?”
Amane kemudian menegakkan
punggungnya, tidak tahu apa yang ingin dikatakan Mahiru. Mahiru lalu tiba-tiba
menundukkan kepalanya ke arahnya.
“Maaf, aku menutup jalan
pelarianmu. Kamu mungkin merasa tidak nyaman karena tatapan bermusuhan mereka.
Aku benar-benar minta maaf.”
“Ehh?”
“Uhmm ... itu karena aku tahu kalau akan seperti ini
jadinya.”
Melihat Mahiru berbicara dengan
canggung, Amane mengerti apa kesalahannya.
Mahiru sangat menyadari
reputasinya. Dia selalu berhati-hati dengan ucapan dan perbuatannya serta
sangat dicintai oleh semua orang. Sekarang, Mahiru telah menunjukkan posisi
Amane kepada semua orang di sekolah, yang mana hal itu jelas akan menyebabkan
kebingungan dan kegemparan. Dia dengan sadar melakukan perbuatan ini meski
mengetahui fakta tersebut.
“Y-Yah, aku mengerti. Mahiru
tahu bahwa aku mungkin akan melarikan diri.”
“Apa kamu tidak marah?”
“Hm? Tentu saja tidak.”
“Begitu ya, syukurlah kalau
begitu.”
Itu karena Mahiru tahu
konsekuensinya dan masih melakukannya, keberaniannya membuat Amane mengambil
keputusan. Melalui kejadian ini, Amane menyadari betapa seriusnya Mahiru, jadi
mana mungkin Ia merasa jijik maupun marah.
Selain itu, Amane juga siap
membalas perasaan Mahiru.
Ia mengambil napas dalam-dalam
dan menatap mata Mahiru. Tatapan matanya lebih jernih dan lebih tenang dari
biasanya, pandangannya begitu damai sehingga orang bisa menahan napas dan jatuh
ke dalamnya.
“Apa aku boleh meminta maaf
juga?”
“Meminta maaf untuk apa?”
“...Maafkan aku karena sudah
menjadi orang yang sangat pengecut.”
Sebelum mengungkapkan hatinya,
ada beberapa hal yang perlu Ia katakan dengan jelas.
“Aku tidak takut untuk
mengambil langkah lebih jauh. Aku selalu menghindar dan menutup mata terhadap
perasaanmu. Aku benar-benar minta maaf.”
Amane samar-samar merasakan perasaan
Mahiru, tapi Ia menutup mata mengenai hal itu dan berupaya mengabaikannya.
'Aku terlalu malu', 'Aku seharusnya tidak disukai', dan 'Bagaimana aku bisa membuat seseorang
menyukaiku'. Satu demi satu, Amane membuat alasan atas tindakan
pengecutnya.
Tapi sekarang, Amane tidak berencana
untuk melarikan diri lagi. Ia menguatkan tekadnya,dan berencana untuk menceritakan segalanya
padanya.
Kali ini, Amane menatap lurus
ke arahnya, dan Mahiru menanggapinya dengan tersenyum lembut.
“Bukannya kita berdua sama
saja? Aku pun begitu... jika aku tidak yakin dengan perasaan Amane-kun, aku
tidak akan bisa mengambil langkah ini.”
Mahiru dengan lembut
mengulurkan tangannya ke Amane dan menyentuhnya sembari tersenyum tipis.
“Makanya aku pernah bilang
‘kan? Aku ini jauh lebih licik.”
“... Entahlah, aku mungkin yang
lebih licik.”
“Mahiru
yang bersikap licik masih terlihat imut” Amane tersenyum, lalu dengan
lembut memeluk tubuh Mahiru, dan mendekatkan ke arahnya.
Tiba-tiba, tubuh ramping di
lengannya tertegun dan kemudian, mungkin setelah memahami bahwa Amane memeluk
dirinya sendiri dengan hati-hati, tubuh Mahiru tiba-tiba kehilangan tenaganya.
Saat dia menariknya secara tak
terduga, Mahiru yang duduk di pangkuan Amane, bersandar di dada Amane dan
mendongak untuk menatapnya.
Mata karamelnya terkejut dan bingung,
tapi juga mengandung beberapa harapan.
“... Apa kamu bersedia
mendengarkan ceritaku sebentar?”
Setelah Amane berbisik pelan
padanya, Mahiru kemudian mengangguk dan bersandar di dada Amane seolah-olah
ingin memanjakannya sedikit.
“Begini, sebenarnya, ini baru pertama
kalinya aku benar-benar menyukai seseorang. Dulu aku sempat berpikir kalau itu
takkan mungkin ... atau lebih tepatnya, mustahil.”
“Apa karena kejadian di masa
lalu?”
“...Ya.”
Amane mengangguk ringan sembari
memeluk Mahiru dengan erat, seakan-akan tidak mau membiarkannya pergi.
Alasan mengapa Amane ragu-ragu
untuk mengatakan kalau Ia menyukainya dan menolak untuk mengenali perasaan
Mahiru adalah karena di suatu tempat di lubuk hatinya, trauma dari masa SMP
masih mengintainya.
Ia tidak berani menjangkau
orang lain ketika tidak yakin dengan perasaan mereka. Begitu dia memikirkan apa
yang akan terjadi jika dirinya ditolak, Amane merasa lebih baik tetap begini
apa adanya.
Namun, hal tersebut mulai
berubah setelah bertemu Mahiru.
“Jadi, kupikir aku takkan
pernah menyukai orang lain sebesar ini ... Aku tidak pernah menyangka akan salah.”
Amane menatap Mahiru dalam
pelukannya lagi.
Selama dia berada di
sampingnya, hati Amane terasa damai. Meski malu mengakuinya, Mahiru merupakan orang
pertama yang berhasil membuat hati Amane dipenuhi kasih sayang, cuma dia
satu-satunya gadis yang membuatnya begitu dan Amane berniat akan menghargainya
selamanya.
Pada awalnya, kasih sayang
Amane pada Mahiru tidak terlalu besar.
Tapi seiring berjalannya waktu,
dia mengubah Amane.
Berkat Mahiru, Amane mengambil
langkah keluar dari bayangan di hatinya, dan bisa mengubah dirinya sedikit demi
sedikit.
Amane mengembangkan perasaan
mencintai seseorang, dan memperoleh keinginan untuk merindukan kasih sayang.
Dirinya belajar bagaimana rasanya menggenggam orang lain di tangannya dan
mencintainya dengan sepenuh jiwanya.
“... Pada awalnya, aku berpikir
kalau kamu tidak imut sama sekali.”
“Aku tahu, kamu langsung
memberitahuku di depan muka.”
“Aku benar-benar minta maaf
atas hal tersebut.”
Pada waktu itu, kedua belah
pihak memiliki kesan buruk satu sama lain, sehingga Amane akan mengatakan
kata-kata kasar, dan merasa kalau dia itu orang yang judes. Kemungkinan besar,
Mahiru juga menganggap kalau Amane adalah orang yang acuh, minderan, dan tidak
berguna.
“...Saat pertama kali kita
bertemu, aku berpikir kalau kamu itu jutek, tidak imut, tidak jujur dan merasa
kalau kita berdua takkan pernah berhubungan lagi satu sama lain ... tapi entah
sejak kapan, aku mulai merasa kalau semuanya masih belum cukup.”
Awalnya, Amane tidak mau
terlibat dengannya.
Sejak
kapan hubungan kami jadi berubah?
“Aku mulai ingin mengenalmu
lebih jauh, aku mulai ingin menyentuhmu, dan aku mulai ingin menghargaimu
dengan hatiku. Aku ingin memilikimu... Baru pertama kalinya aku memiliki pemikiran
semacam itu.”
“...ya.”
“Selama ini aku sudah
memendamnya, merasa bahwa aku tidak pantas menjadi pasanganmu. Tapi kamu tidak
menyerah padaku... kamu bilang kalau aku baik-baik saja seperti ini, tapi aku
tidak bisa menyerah begitu saja, jadi aku mulai memikirkan apa yang harus
kulakukan. Untuk menjadi sosok yang
layak bersanding denganmu. Meski pada akhirnya, aku tidak bisa melakukan
apa-apa, dan membuatmu mengambil langkah ini duluan.”
“Fufu ...Aku juga sudah lama
memendamnya. Amane-kun itu sangat tampan, aku jadi takut kalau Amane-kun akan
dicuri gadis lain, dan aku juga merasa bimbang apa kamu menyukaiku atau tidak.”
“Cuma kamu satu-satunya yang menginginkan
seseorang sepertiku.”
“Humph, lagi-lagi kamu bilang
begitu….”
“Kamu terlalu meremehkan dirimu sendiri” Mahiru menunjukkan ekspresi
tidak puas, tetapi setelah melihat wajah Amane, dia berkedip lagi dan
menunjukkan ekspresi terkejut.
Apa yang ada di wajah Amane
bukanlah ekspresi mencela diri yang sering dikritik Mahiru akhir-akhir ini, tapi
ekspresi serius dan penuh tekad.
“…Oleh karena itu, mulai
sekarang .... supaya orang lain tidak mengejek kalau kamu punya selera yang
buruk, aku akan bekerja keras.”
“Eh?”
“Aku akan berusaha sebaik
mungkin supaya orang lain tidak bisa mengkritik pilihanmu. Aku mungkin tidak
bisa menandingimu... tapi setidaknya aku bisa berdiri dengan bangga.”
Amane ingin menjadi cowok yang
mampu berdiri di samping Mahiru, sehingga tidak ada yang bisa mengeluh.
Ini bukan hanya untuk Mahiru,
tetapi juga untuk dirinya sendiri. Demi bisa memiliki kepercayaan diri untuk
mencintainya sepenuh hati.
Dan langkah pertama tersebut
harus dimulai dengan kalimat ini
“Aku mencintaimu lebih dari
siapapun ... apa kamu mau berpacaran denganku?”
Amane menatap mata berwarna karamelnya yang jernih dan berbisik perlahan,
lalu pupil matanya yang jernih menjadi lembab. Namun, tidak ada butiran air mata
yang jatuh dari matanya, dan hanya mencerminkan sosok Amane.
Seolah olah demi menyembunyikan
matanya yang basah, Mahiru memejamkan matanya dan tersenyum pada Amane.
“...Ya.”
Balasannya ini terdengar sangat
pelan sehingga bahkan jika ada orang lain di sekitar, cumaAmane yang bisa mendengarnya. Setelah
Mahiru menyampaikan perasaannya dengan suara bergetar, dia
membenamkan wajahnya di dada Amane lagi.
Dia meletakkan tangannya di
punggung Amane, memeluknya erat-erat, dan menunjukkan tanda-tanda tidak ingin
melepaskannya.
Seolah menyiratkan “Aku tidak akan membiarkanmu lari,” Amane
merasa sedikit malu, Ia kemudian meletakkan tangannya di belakang punggung Mahiru
dan balas memeluknya.
Aku
takkan pernah melepaskannya...
Aku
ingin menghargainya. Aku ingin membuatnya bahagia, aku ingin mencintainya sepenuh hati.
Amane merasakan perasaan itu
untuk pertama kalinya saat memeluk Mahiru.
“Aku ingin membuat Mahiru bahagia.”
“Kalau begitu, apa kamu bisa
menjaminnya?”
Mahiru mendongakkan kepalanya
perlahan dan bertanya dengan nakal. Jadi Amane tersenyum dan mendekatkan
bibirnya ke telinga Mahiru.
“Ini adalah harapan dan
keinginanku. Aku berharap bisa membuat Mahiru bahagia dengan tanganku
sendiri... Aku pasti akan menghargaimu dan membuatmu bahagia.”
“…Ya.”
Mendengar ikrar Amane yang
dipenuhi tekad, Mahiru mengangguk dengan senyum manis dan menatapnya dengan
pandangan yang penuh kasih sayang.