Otonari no Tenshi-sama Vol.4 Chapter 14 Bahasa Indonesia

Chapter 14 — Berpisah pada Diri Yang Lemah

 

Awal Juni secara bertahap mendekat, dan sekolah Amane mengadakan festival olahraga pada bulan tersebut.

Dibandingkan dengan lomba olahraga pada masa sekolah SD dan SMP, suasana festival olahraga sekolah SMA jauh lebih kompetitif, dan hampir tidak ada orang tua yang datang untuk menonton.

Festival olahraga merupakan salah satu dari sedikit kegiatan yang masih diminati murid-murid, terutama murid yang masuk ke dalam klub olahraga. Mungkin mereka menganggap kalau acara ini memungkinkan mereka untuk pamer kepada orang lain.

Sebaliknya, murid yang masuk ke dalam klub literasi memiliki minat yang sangat kecil.

Mereka yang tidak masuk dalam klub mana pun sebagian besar termasuk dalam kelompok yang terakhir.

Hadeuhh, capek banget.”

Murid yang mengatakan ini berada di tenda yang sama dengan Amane. Mendengar hal tersebut, Amane diam-diam tersenyum kecut pada dirinya sendiri.

Karena Ia akan diasingkan oleh klub olahraga jika menunjukkan ketidaksukaannya terhadap acara tersebut, Amane tidak menunjukkan ketidakpuasannya dan pura-pura tidak mendengarnya.

Untungnya, Amane mendapatkan semua acara yang diinginkannya, jadi Ia tidak perlu berpartisipasi dalam aktivitas fisik apa pun. Namun, semua murid laki-laki diwajibkan untuk berpartisipasi dalam pertempuran kavaleri.

“Fujimiya, sepertinya kamu tidak terlalu membencinya, kupikir kamu akan lebih tidak menyukainya.”

Yuuta yang juga berada di tenda tim merah, menatap wajah Amane dengan heran.

“Lagi pula aku ingin berolahraga, dan acara yang aku ikuti tidak banyak juga, jadi tidak terlalu merepotkan. Meski begitu, aku masih berpikir kalau belajar jauh lebih mudah ketimbang ini.”

“Sungguh langka...”

“Fujimiya pandai belajar, tapi Ia tidak begitu hebat dalam hal kemampuan fisik.”

Amane tidak bisa menyangkal kata-kata Hiiragi yang mendengarkan percakapan mereka dari sampingnya, dan hanya menunjukkan senyuman.

Lagipula memang begitulah faktanya dan Amane tidak ingin berbohong. Namun, ketika kekurangannya diumbar begini membuatnya merasa rumit.

Tentu saja, Amane sangat berterima kasih atas evaluasi yang sangat baik atas kemampuannya untuk belajar, tapi mau tak mau Ia juga menginginkan evaluasi fisik yang hebat.

“Aku sekarang mulai rajin berolahraga sesuai dengan ajaran Kadowaki. Haruskah aku melakukan lebih dari itu?”

“Yah, kami menggunakan sistem yang lebih untuk atlet. Jika cuma sebatas olahraga ringan seperti yang dilakukan Fujimiya, kupikir itu cukup baik. Jika rumahku lebih dekat, aku akan jogging bersamamu, Fujimiya.”

“Bagaimana mungkin aku bisa mengikuti kecepatan dan kekuatan fisikmu, Kadowaki.”

“Yuuta... memangnya kamu lupa kalau aku pernah jogging bersamamu terakhir kali dan dibuat hampir mati. Kamu itu tidak joging, tapi melainkan lari sprint.”

Kuju sepertinya pernah jogging dengan Yuuta sebelumnya, dan menunjukkan ekspresi kelelahan.

Kuju bukanlah anggota klub olahraga, melainkan klub literasi, lebih tepatnya klub astronomi. Ia memiliki tubuh yang ramping dan tidak hanya kecil, tetapi kulitnya juga putih bersih, jadi Ia tidak terlihat seperti tipe orang yang banyak berolahraga.

Meski begitu, walau dengan tubuh langsing, Mahiru bisa melakukan semua jenis olahraga, jadi semua orang tidak boleh disamaratakan.

“Tidak, kupikir Fujimiya bisa mengimbangiku. Ketika kita melakukan lari maraton, kamu tampak tidak terlalu kelelahan saat sudah selesai.”

“Waktu itu melakukan beberapa pelatihan kebugaran. Aku mencoba yang terbaik untuk mencegah tubuhku menjadi sangat lemah seiring bertambahnya usia, tapi itu tidak sebanding dengan orang yang aktif berolahraga?”

“Cuma kamu saja orang yang akan memikirkan masa depan secepat ini ...”

“Fujimiya benar-benar aneh. Ah tidak, mungkin lebih tepat dibilang kalau kamu tipe orang yang berpikir matang-matang mengenai masa depan?”

“Apa kalian sedang memujiku?”

Hiiragi adalah orang yang jujur dan berbicara dengan lugas. Sifat blak-blakannya inilah yang diperhatikan Amane saat pertama kali bertemu dengannya.

“Kazuya... kurasa dia memujimu, mungkin.”

“Terima kasih kalau begitu?”

“Sama-sama?”

“Apa-apaan dengan obrolan ini ...”

Kuju menanggapi dengan tatapan tercengang, tapi pandangannya tidak mengandung ejekan sedikitpun, hanya kebingungan sederhana.

Ada juga sedikit kenyamanan dalam ekspresinya, sepertinya Amane perlahan diterima.

“Lupakan saja, Kazuya selalu begitu.”

“Kurasa aku tidak senatural itu...”

“Haha. Tidak apa-apa, kamu tidak perlu khawatir tentang itu, tetaplah menjadi dirimu sendiri.”

“Yah, baiklah kalau begitu?”

Kazuya menerimanya dengan mudah, dan tidak mengajukan pertanyaan lagi. Amane berbisik, “Apakah ini benar-benar baik-baik saja...?” Pada saat yang sama, Ia melihat ke area lapangan.

Di lintasan, para pemain berlari.

Dilihat dari panjang lintasan, sepertinya itu adalah lomba lari 100 meter. Peserta giliran pertama sudah bertanding, dan kelompok giliran kedua sudah mulai berbaris.

Peserta lomba giliran kedua tampaknya adalah tim perempuan.

Di antara mereka ada seorang gadis yang akrab dengan rambut merah kecoklatan.

“Kalau tidak salah dia tidak masuk klub atletik,  ‘kan ? Tapi Chitose ada di lintasan. Apa dia bisa berlari cepat?”

“Yah, lihat saja sendiri. Shirakawa-san di masa SMP merupakan anggota andalan dari klub atletik.”

“Wow, benarkah?”

“Ya. Tapi dia tidak bergabung dengan klub saat masuk SMA, dia bilang kalau itu rasanya merepotkan untuk bersitegang dengan senior di klub.”

“Apa dia sering menimbulkan masalah bagi orang lain?”

“Tidak, itu... ada alasannya... Singkatnya, dia telah belajar, atau lebih tepatnya, dia lelah.”

“...Lelah?”

“Ada banyak lika-liku dalam hubungan antara Shirakawa-san dan Itsuki. Bagaimana bilangnya ya, um, ada senior di klub lari yang menyukai Itsuki, dan kemampuan berlari Shirakawa-san dalam lebih baik daripada senior ini. Sederhananya, mereka memiliki hubungan yang buruk.”

“Ah, aku jadi mengerti.”

Sekarang, mereka berdua sudah dikenal di seluruh sekolah, tetapi Amane mendengar dari Chitose bahwa sebelum mereka mulai berpacaran, Itsuki selalu melakukan PDKT dengan agresif.

Katanya, kepribadian Chitose sedikit lebih dingin daripada sekarang, dan butuh waktu lama bagi Itsuki sebelum akhirnya bisa dekat dengannya.

Jika ada senior klub yang menyukai Itsuki, tidak sulit untuk membayangkan kalau ada perselisihan.

“Oleh karena itu, dia tidak bergabung dengan klub. Namun, dia masih suka berlari. Aku sering melihatnya berlari pada akhir pekan dan hari libur.”

Yuuta tersenyum dan menambahkan, “Lagipula, rumah kami lumayan dekat”, lalu menatap Chitose yang sedang dalam posisi awal jongkok.

Bahkan jika Amane adalah seorang amatir, dia bisa melihat bahwa postur Chitose sangat bagus.

Bahkan dari jarak jauh, Amane bisa melihat bahwa ekspresinya tidak seperti sedang senyum cengengesan seperti biasanya, tapi melainkan memasang ekspresi serius dan tegas.

Pistol penanda dimulainya lomba pun berbunyi.

Pada saat ini, Chitose langsung bereaksi dengan cepat.

Dia melesat dengan postur yang akan dianggap profesional oleh siapa pun, berlari seperti angin, dan bahkan meninggalkan jauh para peserta yang dari klub olahraga.

Rambutnya yang lembut tergerai ke belakang; tubuhnya terdorong ke depan. Dia mencapai garis finis jauh sebelum kontestan lainnya.

Wajah Chitose tersenyum ceria setelah dia melewati garis finis, melempar jauh kedok seriusnya.

Setelah menyelesaikan lomba, Chitose mengambil bendera peringkat pertama dan melihat ke arah tenda tim merah... yaitu, melihat ke samping Amane dan tersenyum ceria.

Penampilannya mengibarkan bendera dengan kepuasan sangat menginspirasi.

Setelah kembali dari lomba lari 100 meter, Chitose dengan bangga berdiri.

“Aku kembali~ Apa kamu melihatku?”

“Aku melihatnya. Larimu begitu cepat.”

“Wow~ Terima kasih~!”

 “Ya. Shirakawa-san terlihat sangat nyaman dalam berlari.”

Chitose dalam suasana hati yang luar biasa setelah dipuji oleh dua anggota klub atletik. Amane juga memujinya, “Bagus, kamu berlari sangat cepat.”

Faktanya, dia berlari lebih cepat dari yang bisa Amane dauga dan hal itu membuatnya terkejut. Tapi Chitose tidak memiliki aura yang mengesankan dan hanya tersenyum dan berkata, “Ah~ terima kasih.”

Perasaan hampir tidak ada ketegangan ini benar-benar berbeda dari saat dia berlari. Amane juga merasa lega, dan menunjukkan senyum santai.

“Omong-omong, Shirakawa-san masih berlari secepat seperti biasanya.”

 “Hehe~ Lagi pula, aku berlatih sedikit, meski aku jauh lebih cepat saat masih ikut dalam klub.”

Tampaknya selama waktu SMP, Chitose bahkan lebih cepat dari sekarang, yang mana hal itu benar-benar menakjubkan. Dia memiliki kemampuan atletik yang luar biasa. Sebagai orang biasa, Amane merasa sangat iri.

Meski Kazuya tampaknya berasal dari sekolah SMP yang sama dengan Yuuta, Ia masih terkejut bahwa Chitose tidak bergabung dengan klub atletik.

“Aku sedari tadi berpikir, bagaimana kamu bisa begitu cepat, apa karena luas permukaan yang kamu miliki kecil, jadi itu mengurangi hambatan udara?”

“Hah ....apa maksudmua dengan permukaan kecil ...?”

“Hah? Maksudku tinggi badan?”

Kazuya menatap Chitose dengan tatapan polos seakan menyiratkan, “Memangnya apa lagi?”

Chitose mengerutkan kening. Ekspresinya tidak begitu marah karena dia merasa malu pada dirinya sendiri. Dia pasti mengira Hiiragi sedang membicarakan payudaranya.

Ngomong-ngomong, meskipun Chitose tidak sependek Mahiru, dia juga tidak bisa dianggap tinggi.

Berdasarkan tinggi rata-rata perempuan, dia dianggap cukup tinggi, tetapi dibandingkan dengan atlet lain, tinggi badannya dianggap lebih pendek.

Selain itu, dia juga langsing dan ramping. Mungkin karena perihal tersebut, Kazuya terkejut dengan kecepatannya.

Dilihat dari sikapnya, Kazuya tidak bermaksud hal lain di balik kata-katanya. Jadi, bisa dibilang kalau semuanya itu hanyalah kesalahpahaman Chitose.

“Kamu benar-benar mempermalukan dirimu sendiri ya.”

“Diam Kuju, kamu berisik sekali”

Chitose tersipu dan menunduk ke bawah. Amane menunjukkan senyum lembut dan memalingkan muka supaya Chitose tidak memergokinya karena menertawakannya.

 

◇◆◇◆

 

Acara yang akan diikuti Amane adalah lomba melempar dan meminjam barang, ditambah pertempuran kavaleri yang harus diikuti oleh semua anak laki-laki.

Beberapa siswa sangat antusias dan mendaftar untuk lebih dari dua acara, tetapi Amane tidak begitu tertarik pada festival olahraga, jadi Ia hanya mendaftar untuk dua acara lomba.

Ia sudah menyelesaikan lomba melempar bola.

Perlombaan tersebut tidak terlalu meriah dan kompetitif. Terus terang saja, itu hanya melempar bola ke dalam keranjang yang digantung tinggi.

Walaupun poin yang didapat berdasarkan pada berapa banyak tembakan yang masuk, karena ada banyak bola, jadi tidak perlu bersaing, dan seluruh perlombaan berlangsung damai dari awal hingga akhir.

Sebelum berlomba, Chitose meminta Amane untuk menunjukkan kepada mereka penampilan yang bagus.

Masalahnya, tidak ada yang bisa ditunjukkan dalam lomba melempar.

Perlombaan melempar bola cuma sekedar mengambil beberapa bola, membiarkannya berguling ke satu tempat, mengumpulkannya, dan kemudian melemparkannya. Pengulangan tugas yang membosankan seperti itu tidak menarik banyak perhatian.

Satu-satunya hal yang layak ditonjolkan ialah adalah bahwa mereka mencetak lebih banyak poin daripada tim Putih. Ini mungkin karena akurasi tembakan mereka, ditambah fakta bahwa bola mereka dikumpulkan di satu tempat.

“Ayolah Amane, kamu benar-benar cuma memilih acara lomba yang tidak mencolok, ya?”

“Cerewet. Sudah waktunya untuk giliran kerjamu, bukannya kamu harus pergi sekarang?”

 “Ah, ya ya.”

Chitose melihat jadwalnya dan menggumamkan “Jadi panitia acara emang sangat sibuk~” lalu berjalan menuju tenda utama.

Amane pun berpikir, “Lantas kenapa kamu mendaftar jadi panitia acara,” tapi Ia tetap tutup mulut karena takut ditepak oleh Chitose.

Sambil melihat bagian belakang Chitose yang berlari menjauh, Amane melihat-lihat jadwal yang dipasang di dinding tenda.

Hanya ada beberapa acara lomba tersisa sebelum istirahat makan siang, salah satuya termasuk lomba pinjam meminjam barang.

Setelah acara ini selesai, dan setelah istirahat makan siang, mereka akan mengadakan acara sore.

Setelah lomba meminjam barang selesai, Amane cuma tinggal ikut pertempuran kavaleri di sore hari.

“...Ngomong-ngomong, kenapa Chitose yang jadi bertanggung jawab atas lomba meminjam barang?”

Jadwal yang pajang menunjukkan kalau Chitose bertanggung jawab untuk acara berikutnya, dan menjad wasit untuk lomba meminjam barang ... Amane merasakan firasat tidak enak menyapu dirinya.

Ia tidak tahu siapa yang berpikir untuk menempatkan Chitose di posisi ini, tapi itu membuatnya takut karena suatu alasan.

Suasana hati Amane menjadi sedikit berat, tapi Ia tetap berjalan mengikuti acara lomba selanjutnya, lomba meminjam barang. Mahiru tampaknya telah bergabung dengan acara lomba ini juga, dan berdiri di garis start dengan tenang.

Ia tidak punya apa-apa untuk dikatakan padanya, jadi Amane tidak berbicara. Ketika tatapan matanya bertemu Mahiru, dia tersenyum tipis dan mengangguk ke arah Amane.

Meski keduanya menjaga jarak sebagai orang biasa di luar, Amane masih merasa jantungnya sedikit melonjak saat melihat senyum Mahiru.

Amane menyapa Mahiru dengan wajah datar, tapi Ia merasakan sedikit ketidaknyamanan di dalam hatinya.

Chitose yang bertanggung jawab atas berjalannya acara ini, memandang keduanya dan kemudian memanggil peserta lainnya.

 

◇◇◆◆

 

Ketika tiba waktunya untuk lomba peminjaman, para peserta mengikuti instruksi dari penanggung jawab dan memasuki lapangan.

Sejumlah besar kertas yang terlipat berserakan. Pada dasarnya, para peserta akan mengambil secarik kertas dan membawa barang-barang sesuai dengan yang tertulis di dalam kertas tersebut.

Lomba meminjam jauh berbeda dari acara lomba lainnya. Acara ini lebih condong ke acara santai dengan tujuan menikmati proses peminjaman.

Namun, tergantung pada topik yang peserta dapatkan, mereka juga bisa diekspos dan dipilih. Amane harus berhati-hati.

“Untuk semua peserta lomba, tolong berdiri di garis start.”

Chitose menggunakan mikrofon untuk memberikan instruksi yang jelas. Selama dia tidak menyebabkan masalah dengan sengaja, dia sangat cocok sebagai pembawa acara: Selain punya karakter yang ceria, dia pandai memahami suasana dan situasi. Ditambah lagi, suaranya sangat jernih, tidak terlalu tajam, mudah didengar, dan cukup menarik perhatian.

Karena semua siswa dan staf sekolah sedang menonton, Chitose tidak melakukan candaan papun, dan memberi isyarat untuk “Semua peserta bersiap-siap.”

Namun, pistol penanda lomba dipegang oleh anak laki-laki lain yang bertanggung jawab, dan Chitose hanya bertanggung jawab atas hitungan mundur.

Setelah  Chitose meneriakkan perintah “Bersiaps-siap”, terdengar suara ledakan dari pistol starter.

Meskipun suara tembakan itu tidak baik buat jantungnya, Amane dengan tenang berlari menuju tempat kertas itu diletakkan.

Pelari cepat sudah membuka lipatan kertas mereka, menelusuri topik di dalamnya. Amane mengikuti mereka dan mengambil selembar kertas terlipat untuk memastikan isinya.

Beberapa kata tertulis rapi di kertas itu.

[Seseorang yang menurutmu cantik.]

Subjek yang harus dipinjamnya bukanlah barang, melainkan seseorang.

Amane ingin memprotes kepada seseorang yang membuat tema semacam ini.

Untungnya, tema yang didapat bukanlah tipe yang paling sulit, setidaknya bukan tertulis “Seseorang yang kamu suka”, jadi Amane hanya perlu membawa orang yang cantik secara objektif.

Dengan kata lain, Amane hanya perlu membawa gadis yang terkenal dengan kecantikannya, Mahiru. Setelah Mahiru meminjam sesuatu, Ia bisa melewati garis finis bersamanya.

Meski mungkin terlihat mencolok untuk berjalan dengan Mahiru, Amane punya alasan yang sah. Setelah semua orang mengetahui subjek pinjamnya, mereka pasti bisa memahami bahwa dia adalah pilihan yang tepat.

Saat Amane sedang memikirkan hal ini, dan hendak mencari keberadaan Mahiru yang mungkin juga sedang memungut kertas. Tapi sebelum menoleh ke area sekelilingnya, tiba-tiba ada seseorang yang meraih kaos olahraganya dari samping.

Lebih tepatnya, orang tersebut bukan menggenggam kaosnya, tapi mencubit. Ujung kaos olahraga Amane sedikit ditarik beberapa kali, dan Ia menoleh ke arahnya.

Di depan mata Amane, orang yang hendak Ia cari sedang tersenyum sopan padanya.

“Fujimiya-san, bolehkah aku meminjammu? Setelah kamu meminjam barang-barang yang perlu kamu pinjam, apa kamu bisa mengikutiku?”

“Hah, aku?”

“Ya.”`  

Rupa-rupanya mereka berdua saling meminjam, yang mana hal itu sangat mengejutkan Amane.

Meski ada kemungkinan semacam itu dalam arti tertentu, tapi Amane pikir kalau itu akan sangat mencolok.

Namun, tidak ada artinya membicarakan apa yang akan mencolok atau tidak karena Mahiru sudah datang untuk berbicara dengannya terlebih dahulu.

Di seberang garis finis, Chitose yang bertugas sebagai wasit, menatapnya dengan seringai lebar.

Awas saja kamu, aku akan mengingat ini.

Tema di atas kertas ditulis oleh Chitose, dan tema dalam lomba meminjam ini pasti idenya semua. Meski Amane tidak tahu topik apa yang Mahiru dapatkan tapi menilai dari fakta bahwa Mahiru memilih dirinya sendiri, itu pasti sesuatu yang istimewa.

“Ah ... apa yang ingin kamu pinjam?”

“Rahasia.”

Chitose akan mengumumkannya setelah melewati garis finis, tapi Mahiru menolak memberitahunya.

Jadi Amane tidak punya pilihan selain menghela nafas, dan kemudian Ia berlari menuju garis finis.

“Hal yang ingin aku pinjam kebetulan juga kamu, jadi ayo pergi ke garis finish bersama-sama.”

“...Tema apa yang kamu pinjam, Fujimiya-san?”

“Itu juga rahasia.”

Mahiru tersenyum kecil pada jawaban Amane.

“Yah, kita akan melihat apa yang kita dapat nanti setelah sampai di garis finish nanti.”

Mahiru selesai berbicara dengan lembut dan meraih tangan Amane.

Dia mengabaikan kebisingan di sekitarnya dan menyentuh ujung jari Amane.

Meski Amane merasakan sakit kepala karena keributan yang terjadi di sekitarnya, tapi begitu melihat hati Mahiru dipenuhi kegembiraan, Amane merasa kalau tidak ada yang bisa Ia lakukan, dan cuma bisa menahannnya.

Amane merasa gelisah saat berjalan dengan Mahiru, mereka berdua akhirnya mencapai garis finish. Dan di sana, Chitose sudah menunggu untuk menyambut mereka.

Amane memelototinya, tapi Chitose bersikap acuh tak acuh dan mengabaikannya.

“Oh, ap kalian berdua melewati garis bersama~? Jika aku ingat dengan benar, kalian berdua adalah kontestan.”

“Berhenti cengengesan terus. Kami berdua cuma saling meminjam.”

“Oh ho~ kalau begitu mari kita konfirmasi topikmu, siapa di antara kalian yang mau dibacakan duluan?”

“Tolong biarkan punya Fujimiya-san yang dibaca lebih dulu.”

Balasan Mahiru mengejutkan Amane, tetapi Chitose mengulurkan tangan ke kertas yang dipegang Amane, seolah-olah ingin mengatakan “Baiklah, aku mengerti.”

Ia tidak bisa menyembunyikannya, jadi Ia menoleh ke Chitose yang anehnya tampak gembira dan menunjukkan isi kertasnya.

Setelah membaca isi temanya, Chitose menunjukkan ekspresi sedikit kecewa.

Amane tidak tahu apa yang diharapkan Chitose. Sepertinya ini bukan hasil yang diinginkannya.

Meski begitu, Chitose terlihat ceria kembali dan mendekatkan mikrofon ke mulutnya dengan senyum di wajahnya.

“Sekarang mari kita periksa isinya. Tema pertama untuk tim merah adalah: [Seseorang yang menurutmu cantik]”

Mendengar pertanyaan itu, semua orang memancarkan suasana lega.

Pilihan Amane bisa dibilang pilihan yang sangat aman. Sejauh yang Ia tahu, tidak ada seorang pun di sekolah yang lebih cantik dari Mahiru, dan Amane juga berpikir kalau Mahiru merupakan gadis yang paling imut.

Jika mengesampingkan pendapat pribadi Amane, membawa Mahiru ke sini adalah pilihan yang sangat normal.

Walaupun mencapai gadis finish bersama Mahiru pasti akan menarik permusuhan dari orang lain, isi subjeknya sudah tertulis begitu, jadi permusuhan agak mereda.

Masalahnya terletak pada topik yang didapat Mahiru.

Meski Amane tidak tahu apa isinya, Ia mempunyai firasat kalau topik yang didapat Mahiru akan membuat kehidupan sekolahnya sangat berbeda ketika berpikir kalau Mahiru secara khusus memintanya.

Chitose mengambil kertas itu dari tangan Mahiru, berkedip kaget, dan melirik Mahiru.

Meskipun Amane tidak bisa melihat apa yang tertulis di kertas dari sudut pandangnya, ekspresi Chitose sepertinya mengatakan “Apa aku beneran boleh mengatakan ini?”.

Topik macam apa yang sampai membutuhkanku untuk berada di sini?

Reaksi Chitose membuat Amane semakin bingung. Namun wajah Mahiru masih memasang senyum damai. Dengan kata lain Mahiru tidak keberatan kalau isi topiknya dibacakan dengan keras.

Chitose mengkonfirmasi niat Mahiru dan kembali ke senyumnya yang biasa.

“Baiklah~ Mari kita lihat isi tema untuk tim putih yang melewati garis finish pada saat yang sama. Isi topik tim putih ialah: [Seseoang yang penting].”

Sementara suara Chitose bergema ke seluruh lapangan, keheningan tiba-tiba menyapu area istirahat siswa.

Amane menatap Mahiru dan dia balas menatapnya, bibir merah pucatnya membentuk senyuman.

Apa yang sudah kamu perbuat...

Ekspresinya mirip seperti anak kecil yang berhasil melakukan kejahilan, tapi juga menunjukkan sedikit rasa malu.

Yang pasti, Mahiru ingin melihat bagaimana reaksi Amane ketika Ia mengetahui isi topiknya.

Mudah untuk memprediksi pikiran Mahiru. Jika topik itu dipublikasikan, dia pasti tahu bagaimana reaksi siswa lain.

Meski begitu, Mahiru memutuskan untuk memilih Amane sebagai objek yang dia pinjam untuk secara terbuka membawa perubahan pada hubungan di antara mereka berdua.

Mulai sekarang, mereka berdua tidak bisa lagi berpura-pura jadi orang asing di depan umum.

Mahiru tersenyum ke arahnya. Itu bukanlah senyum indah yang biasa dia tunjukkan di sekolah, akan tetapi senyum tulus yang dia tunjukkan secara pribadi. Amane menghela nafas dengan suara rendah, “Aku pasti akan dicecar habis-habisan nanti,” dan menggaruk kepalanya.

 

◆◇◆◆

 

“Fujimiya, apa maksudnya ini!”

Setelah kembali ke kelas masing-masing untuk istirahat makan siang, Amane langsung dibombardir beberapa pertanyaan oleh teman sekelasnya.

Mahiru bukan hanya sosok yang sulit dijangkau, tapi juga objek kasih sayang semua orang. Di depan umum, dia meminjam Amane sebagai “orang yang penting” -nya. Amane memahami kalau sebagian anak cowok akan merasa tidak nyaman tentang ini, tapi tetap saja, kerumunan orang yang membombardirnya  pertanyaan mereka masih membuat Amane kewalahan.

“Kenapa kamu bisa menjadi orang penting Shiina-san!”

“Sejak kapan hubungan kalian jadi dekat!”

“Bagaimana bisa!? Pasti saat kalian mulai makan siang bersama, ‘kan!?”

“Bagaimana itu bisa terjadi! Apa yang Shiina-san pikirkan tentangmu!”

“Mustahil!”

Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan teman sekelasnya. Amane melihat ke kejauhan sembari berharap adanya bantuan.

Sejujurnya, meski Ia sudah menduganya, paksaan anak-anak cowok melebihi antisipasi Amane. Ia bahkan tidak punya waktu untuk makan siang.

Tentu saja, bukan hanya anak-anak cowok saja yang menanggapi kejadian ini. Meskipun gadis-gadis itu tidak ikut menanyainya, mereka juga memperhatikan Amane. Beberapa tampak sangat bahagia, dan beberapa menunjukkan rasa lega.

Alasan kelegaan mungkin karena Mahiru, pesaing terbesar gadis-gadis, menyukai Amane dan memberi mereka kesempatan untuk mendekati cowok lain.

Dan beberapa tatapan lain juga bertanya, “Orang seperti apa yang disukai Mahiru? Apa yang istimewa dari cowok ini?”

Menjadi fokus perhatian kelas membuatnya berkeringat dingin.

Mahiru sendiri sedang tidak ada di kelas. Dia pergi ke mesin penjual otomatis untuk membeli minuman olahraga. Sementara Itsuki dan Yuuta sama-sama tersenyum kecut dari sisinya, Chitose menatapnya dengan ekspresi kegembiraan yang halus di wajahnya.

Amane menahan dorongan untuk memarahi orang-orang ini dan berusaha bersikap setenang mungkin, Ia lalu mengangkat kepalanya ke arah teman sekelas di sekitarnya.

Karena Amane tidak bisa melarikan diri, drinya harus menghadapi mereka secara langsung.

Terlebih lagi, Amane tidak bisa menutup mata terhadap tindakan Mahiru. Jika Mahiru berani berbicara di depan umum seperti ini, maka keberanian yang dia kumpulkan tidak bisa disia-siakan. Ia tidak bisa mengabaikan pendekatannya, dia juga tidak bisa mengabaikan tangannya yang terulur. Mahiru sudah melakukan sesuatu dan dirinya harus merespons dengan baik.

Oleh karena itu, Amane membalas secara perlahan.

“Kalau kalian semua berteriak bersamaan, aku akan kesusahan untuk menjawabnya, jadi tolong bertanyalah satu per satu.”

Daripada membiarkan desas-desus menyebar di luar kendali, lebih baik mengatakan yang sebenarnya kepada mereka. Amane membulatkan tekadnya, tapi tubuh anak-anak cowok malah tersentak.

Mereka tampaknya tidak mentangka kalau Amane akan menanggapi pertanyaan mereka. Lebih tepatnya, mereka berharap kalau semuanya itu hanyalah kesalahpahaman dan Ia tidak tahu apa-apa.

“...Sejak kapan kamu mengenal dekat Shiina-san?”

“Sekitar tahun lalu.”

“Hah? Apa itu berarti, cowok yang berjalan bersama Shiina-san selama kunjungan Tahun Baru dan Golden Week itu kamu?”

Demi bisa mengimbangi penampilan cantik Mahiru, Amane harus berdandan ketika akan pergi dengannya, jadi dia akan selalu muncul dengan penampilan itu. Sekarang, tidak ada gunanya menyembunyikannya, jadi Amane mengatakan yang sebenarnya secara alami sebisa mungkin.

“...Mungkin.”

Di benak teman-teman sekelasnya, gampang sekali mengaitkan “orang penting” yang disebutkan oleh Mahiru selama Golden Week dengan “orang penting” yang baru saja disebutkan.

Kebetulan gadis di kelas yang telah memergoki mereka jalan berdua selama Golden Week  tidak memandangnya dan Amane membuang muka agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Cowok misterius yang membangkitkan minat semua orang sebenarnya adalah dirinya sendiri. Amane merasa menyesal, tapi karena Mahiru menyukainya, tidak ada yang salah dengan itu.

Amane benar-benar merasakan tatapan cowok-cowok di sekitarnya semakin kuat. Pada saat yang sama Ia mencoba yang terbaik untuk mempertahankan tatapan tenang dan memperhatikan teman-teman sekelasnya.

“... bagaimana kamu bisa mengenalnya dengan baik?”

“Bukannya kalian tidak ada hubungannya satu sama lain? Dan mengapa kamu sampai mengubah penampilanmu segala saat berkencan dengannya!?”

“Kami tinggal berdekatan satu sama lain dan itu secara alami berkembang dari sana. Dan alasan kenapa aku berpakaian seperti itu di luar karena kami tahu pasti akan keributan seperti sekarang, dan jika kalian tahu identitas asli cowok itu, inilah yang akan terjadi.”

“Aku takut kalian bertingkah seperti ini, jadi aku menyembunyikannya.”  Setelah Amane mengatakan ini, orang-orang di sekitarnya bergumam datar, seolah-olah pendapatnya ada benarnya, tetapi mereka tampaknya masih tidak puas dengan hubungan ini. Ia mendengar mereka berbisik, “Tidak bisa diterima...” Amane tidak meminta mereka untuk menerimanya sejak awal, jadi Ia mengabaikan mereka.

“...Fujimiya,  um, apa kamu berpacaran dengan Shiina-san...”

Selanjutnya, ada seseorang mengajukan pertanyaan yang paling Ia khawatirkan.

Amane lalu membalasnya dengan tersenyum.

“Kami memiliki hubungan yang murni dan sangat menghargai satu sama lain, tetapi kami tidak pacaran. Kami cuma memiliki hubungan yang baik.”

Amane menyembunyikan fakta kalau dirinya menyukai Mahriu. Bahkan, kasih sayang yang dalam di hatinya bisa digambarkan dengan satu kata, cinta. Tetapi tidak tepat untuk mengatakannya pada saat itu, jadi Ia merahasiakannya.

Di lingkungan semi publik ini, Amane merasa dirinya tenang karena Ia mampu mengatakan yang sebenarnya dengan jujur dan tidak perlu lagi menyembunyikannya.

“Tapi, bukannya kamu pernah bilang kalau kamu tidak tertarik pada Tenshi.”

“Aku tidak membohongimu, aku benar-benar tidak tertarik dengan “Tenshi”. Yang kupedulikan adalah gadis bernama Shiina Mahiru.”

Orang yang paling dicintai Amane bukanlah gadis berbakat yang mahir dalam segala hal, dan bukan tenshi yang anggun dan bermartabat, melainkan seorang gadis pekerja keras yang menolak orang lain tapi takut kesepian. Gadis yang takut membuka hatinya kepada orang lain, tapi begitu dia menerima seseorang, dia hanyalah seorang gadis manis biasa.

Yang disukai Amane bukanlah gadis yang disebut “Tenshi”, tetapi sifat aslinya. Ia tidak tertarik dengan kedok palsu yang dipasang Mahiru.

Setelah Amane selesai berbicara, anak laki-laki yang begitu agresif itu terkejut, lalu Ia mengangkat alisnya dan membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu yang lain.

“Tolong jangan terlalu mengganggunya.”

Namun, sebelum cowok itu bisa berbicara dengan Amane, ada seseorang menyelanya.

Orang yang membantunya merupakan  orang yang sama yang menyebabkan seluruh kejadian ini, Mahiru.

Mahiru pergi membeli minuman olahraga, jadi dia kembali ke kelas lebih lambat dari yang lain. Dia memegang botol di tangannya. Itu agak panas, dan botolnya lembab karena kondensasi.

Setelah bertemu dengan tatapan Amane, Mahiru menunjukkan senyum lembut.

“Sekarang sudah siang, tapi Amane-kun tidak bisa makan siang karena kalian. Ia jadi kerepotan.”

Cuma orang-orang yang memiliki hubungan dekat saja yang akan memanggil nama depan satu sama lain. Sepertinya Mahiru tidak ingin menyembunyikan rasa sayangnya pada Amane lagi.

Walaupun dia menerima perhatian anak laki-laki dan perempuan, Mahiru tidak keberatan. Seorang cowok berjalan di depan Mahiru, cowok yang sama yang terus memaksakan pertanyaannya pada Amane.

Orang-orang di sekitar menyadari bahwa Ia ingin menjadi perwakilan untuk menanyakan kekhawatiran semua orang, dan mengambil inisiatif untuk memberinya kesempatan. Pertanyaan terhadap Amane juga berhenti.

“Shiina-san! Kamu bilang Fujimiya adalah orang yang penting, apa maksudmu...”

“Ya, Amane-kun adalah seseorang yang sangat aku hargai.”

Setelah Mahiru dengan tegas menhonfirmasi hal itu, senyum yang sama muncul di wajahnya.

Anak cowok itu meringis sejenak ketika melihat senyum mulus si Tenshi; mungkin karena dukungan dari mata sekitarnya, cowok tersebut terus bertanya meski kehilangan sedikit momentum.

“La-Lalu, apa itu berarti...  dalam artian, seseorang yang kamu suka ...?”

“Jika memang begitu, apa masalahnya?”

“Tidak, maksudku... ji-jika kamu menyukainya ... kenapa seseorang seperti Fujimiya?"

“Seseorang seperti Fujimiya?”

“Ah tidak, Fujimiya dan Shiina-san terasa sedikit tidak cocok. Padahal ada kandidat yang lebih baik darinya.”

“Begitu ya...”

Amane menunjukkan ketakutan di matanya. Ia tahu kalau cowok itu baru saja menginjak ranjau darat.

Mahiru membenci Amane yang memandang rendah dirinya sendiri. Ia tidak ingin Amane dievaluasi secara tidak benar.

Dengan cara yang sama, dia bahkan lebih membenci jika ada orang lain yang meremehkan Amane.

Dari sudut pandang Amane, tidak peduli bagaimana Mahiru memandangnya, Ia tidak menunjukkan sifat aslinya di sekolah, jadi Ia tidak menyangkal evaluasi ini.

Terlepas Mahiru akan menerimanya atau tidak, itu masalah lain.

Senyum Mahiru masih sama seperti sebelumnya, tapi tatapan matanya sama sekali tidak tersenyum.

Suasana di sekitarnya menjadi sedikit lebih dingin. Hanya mereka yang mengenalnya dengan baik yang bisa melihatnya, dan ada cahaya berbahaya di pupil matanya

“Ah engggak, itu....”

“Sebelah mana darinya yang terlihat inferior?”

“Uhmm...”

“Apa kamu memberitahuku dengan tepat bagian mana dari dirinya yang inferior?”

“... Misalnya temperamen, penampilan, dll.”

“Apa kamu memilih orang yang kamu suka berdasarkan penampilan saja?”

“Ti-Tidak, itu….”

“Apa kamu akan memilih orang yang akan tinggal bersamamu untuk waktu yang lama di masa depan murni berdasarkan penampilan mereka?”

Wajah Mahiru masih tersenyum, tapi dia memancarkan tekanan yang tidak bisa dijelaskan. Adapun alasannya, Amane menebak  kalau Mahiru marah pada anak cowok tersebut karena menghina Amane.

Bahkan Amane, yang cukup jauh dari mereka, bisa merasakan tekanan kuat darinya, dan orang yang menghadapinya pasti lebih stres.

Pada titik ini, anak cowok itu juga menyadari kemarahan dalam senyum Mahiru.

Bila dilihat dari punggungnya, Amane bisa menebak kalau cowok itu merasa ketakutan.

“It-Itu...”

“Tidak peduli mengapa aku menyukai seseorang, kamu tidak memiliki hak untuk menghakimi mereka.”

Bibirnya membentuk senyum lembut, dan di bawah suara dan nada yang lembut, dia mengucapkan kata-kata kasar.

Kemarahan yang dibalut senyuman tersebut begitu jelas hingga Amane pun merasa merinding.

“Maaf, aku seharusnya tidak boleh berbicara seperti itu.”

Melihat cowok di depannya dibuat terbungkam, Mahiru merubah ekspresinya yang kaku dan tersenyum lembut.

Fakta bahwa Mahiru yang selalu bersikap lembut mendadak marah membuat anak cowok yang berhadapan dengannya sedikit tidak stabil dan tidak nyaman.

“Izinkan aku mengoreksi kata-katamu. Amane-kun tampan dan berhati lembut. Aku juga mengagumi temperamennya yang tenang dan hangat. Apalagi, Ia juga sangat sopan dan mau menghormatiku. Ketika aku sakit, Ia akan menghiburku. Setidaknya, Ia bukan orang yang akan menjelek-jelekkan orang lain dan menghalangi hubungan orang lain.”

Mahiru menambahkan pernyataan fatal di akhir penjelasannya. Arti dari pernyataannya adalah “Aku tidak akan pernah menyukaimu, yang mengatakan hal-hal buruk tentang orang-orang aku sayangi.”

“Apa kamu punya hal lain untuk dikatakan?”

Dengan senyum manis di wajahnya, Mahiru memiringkan kepalanya sedikit dan mendesak cowok itu untuk melanjutkan, tapi sepertinya cowok itu sudah kehilangan nyalinya dan cuma membalas “Tidak, tidak ada sama sekali,” dengan suara yang sangat kecil sehingga hampir tidak terdengar, Ia menggelengkan kepalanya dan berjalan pergi dengan lemah.

Mahiru lalu menatap Amane dan tatapan matanya dipenuhi kasih sayang.

Di hadapan semua orang, Amane menerima perkataan yang hampir setara dengan pernyataan cinta. Wajah Amane menjadi kaku, karena tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya kepada Mahiru, dan Mahiru menunjukkan kepadanya senyum paling indah di depan wajah Amane yang berkedut.

Senyumnya benar-benar berbeda dari senyum ala tenshi-nya. Itu adalah senyum manis penuh kegembiraan yang dia tunjukkan ketika berada di rumah bersamanya.

“Amane-kun, ayo makan siang bersama.”

“...Iya, baiklah.”

Pada saat ini, tidak ada yang berani menanyai Amane lagi.

 

◆◆◇◆

 

“Pada akhirnya, dia duluan yang menyatakannya.”

“... Kalau itu sih, aku benar-benar dibuat tercengang.”

Pada siang hari setelah beberapa peristiwa berlalu, akhirnya tiba saatnya untuk pertempuran kavaleri. Amane dan timnya berkumpul karena alasan ini. Setelah mendengar bisikan Yuuta, Amane menurunkan alisnya.

Mereka ditempatkan jauh dari tenda. Alasannya karena tatapan bermusuhan yang mengawasinya itu menjengkelkan.

Meski masih ada orang yang menonton, jumlah mereka tidak sebanding dengan ketika Ia berada di tenda utama.

Arti kata-kata Kadowaki ialah “Bukankah seharusnya Amane yang mengaku duluan, kan?" Amane tidak bisa berkata apa-apa selain meminta maaf.

“Aku bisa melihatnya sedikit. Apa hubungan antara Shiina-san dan Fujimiya benar-benar baik?”

Ekspresi Kuju sedikit bingung, Ia sepertinya samar-samar merasakan perubahan dalam hubungan Amane dan Mahiru.

“Yah, aku sedang memikirkan mengapa mereka belum jadian. Sebaliknya, tidak mudah bagi Shiina-san untuk menanggung bebannya sampai sekarang.”

“Mereka sudah menyembunyikannya, tetapi melihat keributan pada siang hari ini, dapat dipahami kenapa kalian menyembunyikannya.”

Dia bersimpati dengan Amane yang kelelahan. Meskipun Kuju dan Kazuya berada di kelas yang sama, mereka tidak bisa mendekat karena pertanyaan bombardier yang menimpa Amane.

Mereka berdua tidak memiliki persahabatan yang mendalam dengan Amane, tetapi penilaian mereka benar.

“Luar biasa. Shiina-san menghancurkan semua hati mereka sekaligus, rasanya benar-benar menyegarkan.”

“Kupikir insiden ini berdampak terlalu besar pada mereka ...”

“Yah, sebagai cowok, kamu harus menembak gadis yang kamu sukai secara terbuka. Selain bertingkah seperti tadi, mereka selalu mengganggunya, dan bahkan menghina Fujimiya. Jika kamu berani mengambil risiko untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan, maka aku bisa menghormati itu. Tapi hal yang sama tidak bisa dikatakan untuk tindakan mereka, itu cuma kekanak-kanakan.”

“Uggh...”

“Kazuya, sebagian kata-katamu itu menyakiti Fujimiya, tau.”

“Jika kamu cowok, akui secara terbuka.” Kalimat ini terdengar nyelekit untuk Amane.

“Kurasa berarti Shiina-san mengungkapkan keinginan dan perasaannya, kan?”

Tentu saja Amane tahu ini.

Sekarang setelah Mahiru berbuat sampau sejauh ini, dan Amane tidak bisa lagi menipu dirinya sendiri atau orang lain. Ia tidak bisa lagi mengatakan kalau Mahiru hanya bersikap baik padanya.

Amane mengerti bahwa selain kasar, tapi juga rasanya terlalu memilukan untuk tidak menjawab perasaannya.

Amane juga mengerti bahwa Mahiru telah mengungkapkan perasaannya dengan lugas, jadi Ia juga harus menjawab dengan tulus. Isi yang harus dijawab sudah lama ditentukan, tetapi ada masalah lain, bagaimana cara mengomunikasikan perasaannya pada Mahiru?

“Aku akan menjawabnya setelah aku pulang. Mari kita lupakan saja untuk saat ini.”

Perasaan hatinya harus disampaikan padanya, tapi tidak di sekolah. Hal semacam itu harus dilakukan ketika cuma ada mereka berdua, dan Amane juga berharap untuk memonopoli ekspresi Mahiru.

Meski situasi sekarang termasuk dalam pengakuan publik, tapi lebih baik kalau menemukan tempat di mana tidak ada orang lain saat mengomunikasikan perasaan seseorang.

Tekad Amane disambut dengan seringai.

“Yah, mari kita coba untuk tidak mati selama pertempuran kavaleri nanti, kita bisa mengobrol lebih banyak di lain waktu.”

Kazuya sangat senang untuk beberapa alasan, Ia tersenyum dan berkata, “100 persen kalau kita akan menjadi sasaran." Amane hanya bisa tersenyum pahit.

Kuju yang merupakan pengendara mereka, mengeluh dengan ekspresi putus asa, “Bukannya bebanku terlalu besar?” Tapi nadanya terdengar kesal bukannya tulus, seolah tak berdaya, yang membuat Amane tersenyum.

“Fujimiya, ayo mengamuk sepuasnya.”

“Aku akan mencoba yang terbaik.”

Amane merasa bahwa Ia harus menunjukkan kejantanannya, memblokir semua tangan yang menjangkau Mahiru, dan membiarkannya bebas.

Aku akan menembaknya lagi saat pulang di rumah nanti, tapi pertama-tama...

Mereka berempat saling tersenyum, bersiap untuk gelombang penyerang yang datang meyerbu.

 

◆◇◆◇

 

“Haaahh capek banget...”

Amane mandi untuk membersihkan pasir dan debu dari tubuhnya, Ia lalu bersandar di sofa karena rasa capek setelah mengikuti festival olahraga.

Seperti yang sudah Ia duga, serangan musuh sangat sengit terhadap mereka dalam pertempuran.

Meski sudah mengiranya, lawan-lawan mereka datang menyerang dengan agresif, dan menyebabkan tim mereka kesulitan.

Kazuya berteriak gembira, “Ini baru namanya masa muda!” dengan senyum kegirangan di wajahnya. Ia mungkin menyukai jenis kompetisi ini.

Alhasil, di bawah serangan bertubi-tubi dari lawan, tim Amane tidak bisa bertahan lama, tetapi berkat kerja keras pengendara, mereka menangkap lebih banyak ikat kepala dari yang diharapkan.

Meskipun Kuju adalah yang paling aktif, Mahiru yang menonton dari tim musuh, memperhatikan Amane dan tersenyum.

Kemudian, acara di sore hari akhirnya selesai, dilanjutkan dengan acara penutupan dan bersih-bersih seperti biasa setelah acara selesai, Amane pun akhirnya bisa pulang.

Ada banyak hal yang terjadi dan Ia kelelahan secara fisik dan mental, tetapi Amane masih memiliki banyak hal yang harus dilakukan.

...Aku harus memberitahunya.

Mahiru sudah mengumpulkan begitu banyak keberanian untuk mengumumkan  hubungan di antara mereka berdua.

Jika dirinya tidak membalas dengan cepat dan serius, dI akan kehilangan muka.

Tapi bagaimana caranya?

Tekadnya sudah membara, tapi Amane merasa bimbang sekaligus ragu saat memikirkan kembali untuk menembaknya. Mungkin ini sebabnya Ia dimarahi dan diledek pengecut.

Bagi Amane, ini adalah pertama kali dalam kehidupannya bahwa Ia benar-benar menyukai seseorang. Jika orang semacam itu ingin mengungkapkan perasaannya kepada orang lain, wajar saja Ia akan merasa bermasalah.

“Gadis pasti ingin ditembak dalam suasana yang sangat romantis.” “Bagaimana aku bisa mengungkapkan perasaanku dan membuat pihak lain bahagia?" Tidak ada jawaban pasti untuk pertanyaan ini. Pikiran Amane berantakan.

Saat Amane memikirkan apa yang harus dilakukan, suara kunci terbuka datang dari pintu de[an.

Seluruh tubuhnya gemetar, gadis yang sudah membuat Amane salah tingkah dan pusing, sudah datang ke rumah dengan kunci cadangan.

Ini adalah pertama kalinya Amane merasa begitu tegang. Suara pintu ditutup dan dikunci kembali terdengar.

Segera setelah itu, sandal terdengar di lantai... Di koridor yang menghubungkan pintu, seorang gadis yang dikenal dengan rambut rami muncul dalam bidang pandangnya.

“Amane-kun...”

Bibir ceri Mahiru melengkung membentuk ssenyuman lembut.

Seolah keributan di sekolah tidak pernah terjadi, Mahiru masih bertingkah sama seperti biasanya. Tidak, senyum yang lebih manis dari biasanya, membuat jantung Amane berdetak lebih cepat dan tidak karuan.

Dia tidak tahu apakah dia tahu dia gemetar, tapi Mahiru duduk di samping Amane seperti biasa, jarak antara satu sama lain lebih kecil dari kepalan tangan.

Ia melirik Mahiru, rambut lembutnya tergerai dan aroma wangi sabun mengalir ke arah Amane.

Mahiru sepertinya melakukan hal yang sama seperti Amane, mandi untuk menghilangkan keringatnya. Setelah dilihat-lihat lagi lebih dekat, Ia bisa melihat bahwa kulitnya yang halus seperti susu tampak lebih kemerahan dari biasanya.

Menyadari kalau Mahiru baru saja keluar dari kamar mandi, seluruh tubuh Amane menjadi semakin panas dan gugup. Mahiru lalu tersenyum indah padanya.

“Amane-kun, kupikir kamu punya banyak hal yang ingin kamu katakan padaku, atau sesuatu yang ingin kamu tanyakan tapi...bisakah kamu mendengarkanku dulu sebelum itu?”

“Hah, baiklah?”

Amane kemudian menegakkan punggungnya, tidak tahu apa yang ingin dikatakan Mahiru. Mahiru lalu tiba-tiba menundukkan kepalanya ke arahnya.

“Maaf, aku menutup jalan pelarianmu. Kamu mungkin merasa tidak nyaman karena tatapan bermusuhan mereka. Aku benar-benar minta maaf.”

“Ehh?”

“Uhmm ...  itu karena aku tahu kalau akan seperti ini jadinya.”

Melihat Mahiru berbicara dengan canggung, Amane mengerti apa kesalahannya.

Mahiru sangat menyadari reputasinya. Dia selalu berhati-hati dengan ucapan dan perbuatannya serta sangat dicintai oleh semua orang. Sekarang, Mahiru telah menunjukkan posisi Amane kepada semua orang di sekolah, yang mana hal itu jelas akan menyebabkan kebingungan dan kegemparan. Dia dengan sadar melakukan perbuatan ini meski mengetahui fakta tersebut.

“Y-Yah, aku mengerti. Mahiru tahu bahwa aku mungkin akan melarikan diri.”

“Apa kamu tidak marah?”

“Hm? Tentu saja tidak.”

“Begitu ya, syukurlah kalau begitu.”

Itu karena Mahiru tahu konsekuensinya dan masih melakukannya, keberaniannya membuat Amane mengambil keputusan. Melalui kejadian ini, Amane menyadari betapa seriusnya Mahiru, jadi mana mungkin Ia merasa jijik maupun marah.

Selain itu, Amane juga siap membalas perasaan Mahiru.

Ia mengambil napas dalam-dalam dan menatap mata Mahiru. Tatapan matanya lebih jernih dan lebih tenang dari biasanya, pandangannya begitu damai sehingga orang bisa menahan napas dan jatuh ke dalamnya.

“Apa aku boleh meminta maaf juga?”

“Meminta maaf untuk apa?”

“...Maafkan aku karena sudah menjadi orang yang sangat pengecut.”

Sebelum mengungkapkan hatinya, ada beberapa hal yang perlu Ia katakan dengan jelas.

“Aku tidak takut untuk mengambil langkah lebih jauh. Aku selalu menghindar dan menutup mata terhadap perasaanmu. Aku benar-benar minta maaf.”

Amane samar-samar merasakan perasaan Mahiru, tapi Ia menutup mata mengenai hal itu dan berupaya mengabaikannya.

'Aku terlalu malu', 'Aku seharusnya tidak disukai', dan 'Bagaimana aku bisa membuat seseorang menyukaiku'. Satu demi satu, Amane membuat alasan atas tindakan pengecutnya.

Tapi sekarang, Amane tidak berencana untuk melarikan diri lagi. Ia menguatkan tekadnya,dan  berencana untuk menceritakan segalanya padanya.

Kali ini, Amane menatap lurus ke arahnya, dan Mahiru menanggapinya dengan tersenyum lembut.

“Bukannya kita berdua sama saja? Aku pun begitu... jika aku tidak yakin dengan perasaan Amane-kun, aku tidak akan bisa mengambil langkah ini.”

Mahiru dengan lembut mengulurkan tangannya ke Amane dan menyentuhnya sembari tersenyum tipis.

“Makanya aku pernah bilang ‘kan? Aku ini jauh lebih licik.”

“... Entahlah, aku mungkin yang lebih licik.”

“Mahiru yang bersikap licik masih terlihat imut” Amane tersenyum, lalu dengan lembut memeluk tubuh Mahiru, dan mendekatkan ke arahnya.

Tiba-tiba, tubuh ramping di lengannya tertegun dan kemudian, mungkin setelah memahami bahwa Amane memeluk dirinya sendiri dengan hati-hati, tubuh Mahiru tiba-tiba kehilangan tenaganya.

Saat dia menariknya secara tak terduga, Mahiru yang duduk di pangkuan Amane, bersandar di dada Amane dan mendongak untuk menatapnya.

Mata karamelnya terkejut dan bingung, tapi juga mengandung beberapa harapan.

“... Apa kamu bersedia mendengarkan ceritaku sebentar?”

Setelah Amane berbisik pelan padanya, Mahiru kemudian mengangguk dan bersandar di dada Amane seolah-olah ingin memanjakannya sedikit.

“Begini, sebenarnya, ini baru pertama kalinya aku benar-benar menyukai seseorang. Dulu aku sempat berpikir kalau itu takkan mungkin ... atau lebih tepatnya, mustahil.”

“Apa karena kejadian di masa lalu?”

“...Ya.”

Amane mengangguk ringan sembari memeluk Mahiru dengan erat, seakan-akan tidak mau membiarkannya pergi.

Alasan mengapa Amane ragu-ragu untuk mengatakan kalau Ia menyukainya dan menolak untuk mengenali perasaan Mahiru adalah karena di suatu tempat di lubuk hatinya, trauma dari masa SMP masih mengintainya.

Ia tidak berani menjangkau orang lain ketika tidak yakin dengan perasaan mereka. Begitu dia memikirkan apa yang akan terjadi jika dirinya ditolak, Amane merasa lebih baik tetap begini apa adanya.

Namun, hal tersebut mulai berubah setelah bertemu Mahiru.

“Jadi, kupikir aku takkan pernah menyukai orang lain sebesar ini ... Aku tidak pernah menyangka akan salah.”

Amane menatap Mahiru dalam pelukannya lagi.

Selama dia berada di sampingnya, hati Amane terasa damai. Meski malu mengakuinya, Mahiru merupakan orang pertama yang berhasil membuat hati Amane dipenuhi kasih sayang, cuma dia satu-satunya gadis yang membuatnya begitu dan Amane berniat akan menghargainya selamanya.

Pada awalnya, kasih sayang Amane pada Mahiru tidak terlalu besar.

Tapi seiring berjalannya waktu, dia mengubah Amane.

Berkat Mahiru, Amane mengambil langkah keluar dari bayangan di hatinya, dan bisa mengubah dirinya sedikit demi sedikit.

Amane mengembangkan perasaan mencintai seseorang, dan memperoleh keinginan untuk merindukan kasih sayang. Dirinya belajar bagaimana rasanya menggenggam orang lain di tangannya dan mencintainya dengan sepenuh jiwanya.

“... Pada awalnya, aku berpikir kalau kamu tidak imut sama sekali.”

“Aku tahu, kamu langsung memberitahuku di depan muka.”

“Aku benar-benar minta maaf atas hal tersebut.”

Pada waktu itu, kedua belah pihak memiliki kesan buruk satu sama lain, sehingga Amane akan mengatakan kata-kata kasar, dan merasa kalau dia itu orang yang judes. Kemungkinan besar, Mahiru juga menganggap kalau Amane adalah orang yang acuh, minderan, dan tidak berguna.

“...Saat pertama kali kita bertemu, aku berpikir kalau kamu itu jutek, tidak imut, tidak jujur dan merasa kalau kita berdua takkan pernah berhubungan lagi satu sama lain ... tapi entah sejak kapan, aku mulai merasa kalau semuanya masih belum cukup.”

Awalnya, Amane tidak mau terlibat dengannya.

Sejak kapan hubungan kami jadi berubah?

“Aku mulai ingin mengenalmu lebih jauh, aku mulai ingin menyentuhmu, dan aku mulai ingin menghargaimu dengan hatiku. Aku ingin memilikimu...  Baru pertama kalinya aku memiliki pemikiran semacam itu.”

“...ya.”

“Selama ini aku sudah memendamnya, merasa bahwa aku tidak pantas menjadi pasanganmu. Tapi kamu tidak menyerah padaku... kamu bilang kalau aku baik-baik saja seperti ini, tapi aku tidak bisa menyerah begitu saja, jadi aku mulai memikirkan apa yang harus kulakukan.  Untuk menjadi sosok yang layak bersanding denganmu. Meski pada akhirnya, aku tidak bisa melakukan apa-apa, dan membuatmu mengambil langkah ini duluan.”

“Fufu ...Aku juga sudah lama memendamnya. Amane-kun itu sangat tampan, aku jadi takut kalau Amane-kun akan dicuri gadis lain, dan aku juga merasa bimbang apa kamu menyukaiku atau tidak.”

“Cuma kamu satu-satunya yang menginginkan seseorang sepertiku.”

“Humph, lagi-lagi kamu bilang begitu….”

Kamu terlalu meremehkan dirimu sendiri” Mahiru menunjukkan ekspresi tidak puas, tetapi setelah melihat wajah Amane, dia berkedip lagi dan menunjukkan ekspresi terkejut.

Apa yang ada di wajah Amane bukanlah ekspresi mencela diri yang sering dikritik Mahiru akhir-akhir ini, tapi ekspresi serius dan penuh tekad.

“…Oleh karena itu, mulai sekarang .... supaya orang lain tidak mengejek kalau kamu punya selera yang buruk, aku akan bekerja keras.”

“Eh?”

“Aku akan berusaha sebaik mungkin supaya orang lain tidak bisa mengkritik pilihanmu. Aku mungkin tidak bisa menandingimu... tapi setidaknya aku bisa berdiri dengan bangga.”

Amane ingin menjadi cowok yang mampu berdiri di samping Mahiru, sehingga tidak ada yang bisa mengeluh.

Ini bukan hanya untuk Mahiru, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Demi bisa memiliki kepercayaan diri untuk mencintainya sepenuh hati.

Dan langkah pertama tersebut harus dimulai dengan kalimat ini

“Aku mencintaimu lebih dari siapapun ... apa kamu mau berpacaran denganku?”

Amane menatap mata berwarna  karamelnya yang jernih dan berbisik perlahan, lalu pupil matanya yang jernih menjadi lembab. Namun, tidak ada butiran air mata yang jatuh dari matanya, dan hanya mencerminkan sosok Amane.

Seolah olah demi menyembunyikan matanya yang basah, Mahiru memejamkan matanya dan tersenyum pada Amane.

“...Ya.”

Balasannya ini terdengar sangat pelan sehingga bahkan jika ada orang lain di sekitar,  cumaAmane yang bisa mendengarnya. Setelah Mahiru  menyampaikan  perasaannya dengan suara bergetar, dia membenamkan wajahnya di dada Amane lagi.

Dia meletakkan tangannya di punggung Amane, memeluknya erat-erat, dan menunjukkan tanda-tanda tidak ingin melepaskannya.

Seolah menyiratkan “Aku tidak akan membiarkanmu lari,” Amane merasa sedikit malu, Ia kemudian meletakkan tangannya di belakang punggung Mahiru dan balas memeluknya.



Aku takkan pernah melepaskannya...

Aku ingin menghargainya. Aku ingin membuatnya bahagia, aku ingin mencintainya sepenuh hati.

Amane merasakan perasaan itu untuk pertama kalinya saat memeluk Mahiru.

“Aku ingin membuat Mahiru bahagia.”

“Kalau begitu, apa kamu bisa menjaminnya?”

Mahiru mendongakkan kepalanya perlahan dan bertanya dengan nakal. Jadi Amane tersenyum dan mendekatkan bibirnya ke telinga Mahiru.

“Ini adalah harapan dan keinginanku. Aku berharap bisa membuat Mahiru bahagia dengan tanganku sendiri... Aku pasti akan menghargaimu dan membuatmu bahagia.”

“…Ya.”

Mendengar ikrar Amane yang dipenuhi tekad, Mahiru mengangguk dengan senyum manis dan menatapnya dengan pandangan yang penuh kasih sayang.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama