Chapter 7 — Sepertinya Itu Mengambang
“Ah~ segernya!”
Chisaki terdengar gembira saat membilas
air laut dan tabir surya yang menempel di tubuhnya dengan sampo dan sabun mandi.
Kemudian, setelah bergegas menuju bak mandi, dia merendam kakinya di air panas
dan menyipitkan matanya dengan senang.
“Hangatnya~ ... habis puas
bermain-main di laut dan langsung mandi itu memang mantap banget, ya~”
“Benar sekali~ rasanya seperti
berada di hotel resor mewah ‘kan ya~”
Chisaki memasang ekspresi
bahagia ketika dia berendam di bak mandi besar yang dapat menampung sekitar
enam orang sekaligus. Maria menanggapi perkataannya sambil membasuh tubuhnya. Ini
adalah kamar mandi di villa keluarga Kenzaki, tapi tidak seperti kamar mandi
biasa, ada pintu yang menghubungkan ke luar selain pintu yang menghubungkan ke
dalam, jadi mereka bisa masuk ke kamar mandi langsung dari pantai. Berkat itu,
mereka bisa langsung membasuh tubuh mereka setelah keluar dari laut dan tidak
menderita gatal dan ketidaknyamanan karena air laut di tubuh mereka.
“Mandi setelah pertempuran
adalah hadiah terbaik, iya kan~…. Haa~ rasanya rasa capekku jadi lenyap semua~”
“Ara pertempuran~? Dengan
ubur-ubur?"
“Tidak, dengan dua hiu.”
“Walah liarnya~!”
Karena cuma ada tiga shower di
kamar mandi, jadi lima orang tidak bisa menggunakan shower secara bersamaan, oleh
karena itu mereka harus menunggu giliran untuk menggunakannya. Sebenarnya,
kedua Senpai itu mencoba untuk memberi giliran kouhai-nya terlebih dulu, tapi
karena Yuki menahan diri dengan mengatakan, “Karena kami memiliki rambut panjang, itu membutuhkan waktu lebih lama
untuk membasuhnya”, Chisaki dan Maria juga sempat berpikir, “Memangnya kita bisa dengan tenang membasuh
diri jika berpikir kalau ada senpai yang sedang menunggu kita?”, jadi
mereka memutuskan untuk masuk terlebih dahulu. Ngomong-ngomong, kedua pria itu mandi
duluan sebelum mereka dan mengosongkan tempat itu. Sebagai cowok terhormat, Ini
adalah bentuk kepedulian terhadap gadis-gadis.
“Senpai, boleh aku masuk?”
“Oh, silahkan masuk saja~”
Kemudian suara Yuki datang dari
balik pintu menuju ke luar, dan Maria, yang baru saja selesai membasuh
tubuhnya, mengosongkan tempat itu sambil menjawab.
“““Permisi.”””
Begitu Maria memasuki bak
mandi, tiga siswa kelas satu memasuki kamar mandi. Kemudian, setiap orang
melepas pakaian renangnya di tempat dan meletakkan pakaian renang yang telah
dilepas di rak tempat sabun dan barang-barang lainnya disimpan.
“...”
Baju renang warna-warni yang
sudah dilepas berjejer di samping botol sampo dan sabun mandi. Yuki menatap itu
dengan serius dan berpikir.
(Entah kenapa ... kelihatannya
erotis banget)
Di balik topeng wanita
anggunnya, isinya cuma om-om cabul saja. Si om cabul itu diam-diam memilih bagian
tengah dari tiga shower, dan saat membasuh dirinya, dia mengintip tubuh
telanjang Alisa dengan pandangan ke samping.
(Wooww)
Dia melihat pemandangan yang menakjubkan.
Tanpa dilepas pun sudah menakjubkan, tapi saat dilepas ternyata itu jauh lebih
menakjubkan. Kedok wanita anggun Yuki hampir saja copot saat disuguhkan tubuh
telanjang yang begitu artistik sampai-sampai bisa membuat orang dari jenis
kelamin yang sama menelan ludahnya.
(Ups, tak boleh, tak
boleh. Jika aku terlalu lama melihatnya, Masha-senpai dan Sarashina-senpai yang
ada di belakangku mungkin akan menyadarinya.)
Dengan pemikiran begitu, Yuki
berbalik menghadap ke depan. Kemudian, melirik melalui cermin, dia memastikan
dua senpai yang ada di belakangnya ...
(Tidak, yang di
sebelah sana juga sama hebatnya)
Tatapan matanya terpaku pada
tubuh telanjang dua senpainya yang terpantul di cermin. Maksudnya ... mereka
berdua tampak cocok jika kamu menggambarkan massa otot dan massa lemak. Mereka
berdua memiliki badan luar biasa dalam arah yang berbeda.
(Mereka berdua adalah
penduduk dunia komedi romantis dan penduduk dunia fantasi ...)
Yuki memberikan evaluasi ala
otaku sambil melihat melalui cermin pada tubuh montok Maria dan tubuh rupawan
Chisaki. Saat dia sedang mengumpulkan rambutnya yang sudah dicuci dengan
handuk, Ayano yang telah menguncir rambutnya dengan penjepit, mendekatinya.
“Yuki-sama, apa saya perlu membasuh
punggung anda?”
“Hmm? Tidak usah, Ayano...”
“? Yuki-sama?”
Begitu dia dengan santai
berbalik dan melihat tubuh Ayano ...
(Ah, entah bagaimana
rasanya agak menenangkan)
Yuki berpikiran seperti itu di
dalam hatinya.
◇◇◇◇
“Ahhh.”
“Hmm?”
Ketika Masachika keluar dari
ruang tamu menuju koridor untuk pergi ke toilet, Ia berpapasan dengan Yuki
& Ayano yang baru saja keluar dari ruang ganti. Kemudian, Yuki dengan cepat
melihat sekelilingnya, menyerahkan kantong plastik yang ada di tangannya ke
Ayano, dan membisikkan beberapa instruksi padanya. Menuruti perintah Yuki, Ayano
bergerak tanpa suara ke sisi pintu ruang tamu dan mengintip ke dalam, lalu
pindah ke atas dan mengintip ke sana juga, dan kemudian mengirim tanda bulat
dengan jarinya dari atas. Setelah mengkonfirmasi itu, Yuki pun menyeringai
dengan polos.
“Anii-ja, Anii-ja, Anii-ja.”
“Apa? Ada apa?”
Yuki bergegas lari ke arahnya
sambil berbisik, dan meski punya firasat buruk tentang ini, Masachika tetap mendengarkan
dengan senyum masam. Kemudian, Yuki sedikit berjinjit dan membisikkan sesuatu
pada Masachika.
“(Ada oppai menakjubkan yang
mengambang, lo~)”
“Sudah kuduga kalau kamu pasti
akan bilang begitu!!”
Seperti yang sudah Ia duga, isi
laporannya hanya sesuatu yang tidak becus, dan Masachika memegangi kepala Yuki
dengan kedua tangannya. Saat Ia berpikir akan melanjutkan dengan mennggosok
pelipis Yuki ….. Ia menatap wajah Yuki dengan ekspresi serius.
“Ngomong-ngomong, punya siapa?”
“Alya-san dan Masha-senpai.
Apalagi, mereka punya bentuk yang begitu aduhai dan indah. Itu sih sudah berada
di level yang berbeda dengan bentuk yang bulat, kencang dan—!?”
“Aku tidak bertanya sampai
sejauh itu.”
“Adududuh!? Kamu sendiri yang nanya,
tidak adil !!”
Yuki berteriak ketika pangkal
telapak tangan Masachika menekan di pelipisnya dari kedua sisi seperti catok.
“Ya ampun, dasar kamu ini….”
Setelah menekan kepala adiknya
sekitar lima detik, Masachika melepaskan tangannya dengan ekspresi tercengang. Yuki
lalu menggosok pelipisnya yang masih terasa sakit dan berkata dengan nada pahit.
“Aduduh ... habisnya, itu
adalah pemandangan yang terlalu memukau, jadi aku ingin berbagi kegembiraan
ini.”
“Memukau apanya ... meski aku tidak boleh mengatakannya seperti
ini, tapi bukannya kamu memiliki kesempatan untuk melihat pemandangan serupa
selama perjalanan sekolah?”
“Tidak, yah memang sih ... tapi
tetap saja, gimana bilangnya ya ... dagingnya itu berbeda. Sangat berbeda dari
orang Jepang asli. Meski sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata, tapi ya,
pokoknya itu berbeda.”
“Bukannya kaliannya saja yang
terlalu kurus? Meski aku tidak tahu, sih.”
“Kalau ngomongin masalah kurus,
mereka berdua juga sama saja... Mereka berdua itu, walaupun punya pinggang yang
ramping, tapi pinggul mereka terlihat bahenol. Meski besar, tapi mereka tidak
menggantung sama sekali... Kurasa panggul mereka berbeda dari orang Jepang.”
“Ya mana kutahu.”
Ketika Masachika menatapnya
dengan tatapan merendah, Yuki memalingkan kepalanya ke arah lain dengan
pandangan yang jauh di matanya.
“Ojii-chan pernah bilang ...
Oppai yang mengambang di atas air adalah oppai besar yang sesungguhnya.”
“Dasar kakek cabul, apa yang
sudah Ia ajarkan pada cucu perempuannya sendiri!!”
“Dan juga, Ia pernah bilang
kalau ubun-ubun rambut yang tidak bisa dilihat dan oppai yang tidak kehilangan
bentuknya bahkan saat tidur adalah palsu, lo.”
“Apaa-apaan dengan pengetahuan
yang seharusnya tidak perlu aku ketahui itu...”
“Gehehe, jangan khawatir bos. Keduanya
benar-benar produk alami yang berharga, lo? Aku bisa jamin itu.”
“Tidak, aku tidak terlalu
peduli tentang bagian itu, oke?”
“Yang benar~? Jangan bohong~? Yah,
karena bentuknya sangat indah sampai-sampai membuatku berpikir kalau itu cuma dibuat-buat
…... tapi dilihat dari cara memantul dan teksturnya, itu jelas-jelas asli.
Ditambah lagi, oppai mereka terlihat sangat empuk~.”
“Apa kamu sebenarnya punya kehidupan
sebelumnya sebagai om-om paruh baya?”
Yuki mengacungkan jempol dengan
ekspresi serius yang tak berguna, dan Masachika memberinya tatapan tajam seraya
merasa setuju dalam hati, “Yah, memang
sih ...”. Faktanya, Ia baru saja mengalami kelembutan dari oppai yang
dimaksud.
(Upss, gawat, tak boleh, tak boleh)
Hampir tanpa sengaja mengingat
apa yang terjadi saat itu, Masachika dengan cepat mengalihkan pikirannya.
Namun, semuanya sudah terlambat, dan adik perempuannya, yang terlalu peka
terhadap pemikiran kakaknya, “Hmm~?”
menatap Masachika dengan tatapan curiga.
“... Omong-omong, Anii-ja. Apa terjadi
sesuatu dengan Alya-san?”
“… Apanya?”
Masachika memiringkan
kepalanya, berusaha mati-matian untuk tetap tenang pada pertanyaan yang
menjebak. Kemudian Yuki menyilangkan tangannya dan menganggukkan kepalanya
dengan wajah sok tau.
“Pria dan wanita dalam balutan
baju renang. Di balik batu di tepi pantai. Mana mungkin tidak terjadi apa-apa,
iya ‘kan?” (TN :
If you know what she mean, you know :v )
“Tidak terjadi apa-apa seperti
yang dapat kamu bayangkan, oke? Itu mungkin tempat berbatu, tapi tidak di balik
batu, tau.”
“Hou? Dengan kata lain, sesuatu
yang lain seperti—”
“Mana ada, mana ada, tidak
terjadi apa-apa, oke.”
Ketika kakaknya terus
menyangkalnya, Yuki masih menatapnya dengan tatapan penasaran, tapi tak
disangka, dia tidak bertanya lebih jauh setelah berkata, “Begitu ya”.
“Ngomong-ngomong, aku punya kabar
baik untuk Anii-ja.”
“Hah?”
“Saat ini, cuma ada Alya-san
saja yang masih berada di kamar mandi.”
“Aku takkan mengintipnya, oke?”
“Aku tidak merekomendasikannya,
kok?”
Yuki meletakkan tangannya di
pinggul dengan ekspresi kecewa pada kakaknya yang lebih dulu menolak untuk
mengintip.
“Astaga, memangnya kamu pikir
aku ini gadis apaan coba?”
“Aku menganggapmu adikku yang
tersayang.”
“Kyaa~, akyu juga mencintaimyu,
Onii-chan ♡.”
“Sikapmu langsung berubah ya.”
Usai menarik diri dari adik
perempuannya, yang memeluknya dengan suara manja, Masachika dengan lelah
mendesaknya untuk melanjutkan.
“Jadi?”
“Mmm ... yah, ini perkara
mudah, kok.”
Kemudian, Yuki menekan volume
suaranya yang sedari tadi sudah kecil, dan berbisik kepada Masachika dengan
tangan kanan di mulutnya.
“(Apa kamu tidak ingin melihat
penampilan Alya-san yang baru saja selesai mandi?)”
“!”
“(Kulit yang terlihat segar,
rambut yang lembab dan mengkilat. Apa kamu tidak ingin melihatnya?)”
Sembari membisikan hal itu
layaknya bisikan dari setan, Yuki menjauhkan dirinya tanpa menunggu jawaban dan
menepuk bahu Masachika saat dia berjalan melewatinya.
“Yah, lakukan saja sesukamu.
Aku akan menangani Ketua, dan Ayano akan berurusan dengan Masha-senpai dan
Sarashina-senpai. Tidak ada yang akan datang ke sini untuk sementara waktu.
Jadi, apa yang akan kamu lakukan nanti ... semuanya terserah pada keputusan
Aniue-dono ”
Setelah mengatakan itu, Yuki
dengan cepat pergi ke ruang tamu. Melihat ke atas, Ayano juga sedang dalam
perjalanan menuju ke kamar tempat Maria dan Chisaki berada.
“...”
Masachika berdiri di sana
selama beberapa detik Setelah melihat mereka pergi, dan kemudian Ia menuju ke kamar mandi seperti
yang direncanakan.
(Ya ampun, otak wibu Yuki benar-benar
merepotkan sekali...)
Saat melakukan urusannya di
toilet, Masachika mendesah dalam hati pada pemikiran wibu adik perempuannya
yang mencoba mereka ulang event
bahkan dalam waktu seperti ini.
(Mana mungkin aku bisa menerima
pengaturan semacam itu dan berkata『Kalau
begitu, tanpa perlu menahan diri lagi~』, iya,
‘kan? Cowok pubertas itu pemalu, tau? Jika ada yang berpura-pura dengan
terang-terangan begitu, 『A-Aku
tidak terlalu tertarik, kok! 』, maka
yang ada justru jadinya semakin menolak)
Setelah mencuci tangannya,
Masachika naik ke lantai dua dan menggelengkan kepalanya.
(Tapi yah...)
Lalu, ketika mencapai puncak
tangga, Ia berhenti dan berbalik dengan ekspresi serius di wajahnya.
(Sebagai wibu sejati, aku harus
melaksanakan event yang sudah dipicu!)
Masachika bersembunyi di puncak
tangga dan mengincar kesempatan waktu ‘Oh,
kebetulan sekali’ ketika Alisa naik ke atas. Apa boleh buat. Masachika
adalah cowok otaku sebelum jadi cowok pubertas, oleh karena itu Ia tidak punya
pilihan lain!
◇◇◇◇
“Kenapa... eh, kok bisa?”
Sementara itu di sisi lain,
Alisa yang baru saja keluar dari bak mandi, sedang kebingungan dan panik.
Karena ruang gantinya tidak
begitu besar dan hanya ada satu pengering rambut, jadi para gadis harus
bergantian dua orang ketika mereka keluar dari kamar mandi. Jadi, Alisa yang
biasanya mandi lama, memutuskan untuk membiarkan Yuki dan Ayano pergi duluan
dan tinggal sendiri sampai akhir ... tapi begitu dia keluar dari kamar mandi, menyeka
tubuhnya, dan hendak mengenakan pakaian, dia kaget.
Sebelum pergi ke laut, dia sudah
memasukkan baju ganti ke dalam kantong plastik dan membawanya ke ruang ganti. Tapi
di dalam plastiknya tidak ada bra dan celana dalamnya. Padahal baju dan celana
pendeknya ada di sana.
“Eh? Aku membawanya, ‘kan? Aku
seharusnya sudah membawanya, ‘kan?”
Tidak peduli berapa kali dia
mengingatnya, Alisa yakin kalau dia sudah memasukkan celana dalamnya ke dalam
kantong plastik. Namun, kenyataannya, sekarang tidak ada celana dalam di
kantong plastiknya. Dalam menghadapi situasi yang sulit dipercaya
ini, Alisa mencari-cari di seluruh ruang ganti dengan harapan bahwa dia mungkin
menjatuhkannya di suatu tempat, tapi tak peduli di mana pun dia mencari, dia
tidak dapat menemukan celana dalamnya.
“Yang benar saja ... Apa aku
lupa membawanya? Atau mungkin ... Aku menjatuhkannya saat datang ke sini?
Mustahil ...”
Menilai bahwa dia melakukan
kesalahan, Alisa memegangi kepalanya dengan handuk mandi. ...... Kebaikan hati Alisa
kembali terbukti dalam kenyataan karena gagasan ada seseorang di suatu tempat yang
mengambilnya dengan jahil tidak terpikir olehnya. Namun, jika dia tidak
mengetahui sifat asli seseorang, dia pasti akan membantah pemikiran semacam
itu, meski ide itu muncul di benaknya.
“… Apa yang harus kulakukan?”
Untuk bagian bawahnya sih,
masih oke. Yang perlu dia lakukan hanyalah menahan sedikit ketidaknyamanan.
Tapi ... bagian atasnya pasti menggelayut. Jika tanpa bra, itu pasti akan
terkatung-katung. Butuh waktu sepuluh detik baginya untuk sampai
ke kamarnya, tapi jika ada seseorang yang memperhatikannya selama waktu itu ...
terutama jika dua cowok itu melihatnya, dia tidak punya pilihan lain selain
harus mati.
(... Meski beberapa waktu lalu, Masachika-kun sudah melihatnya...!
ugh !!)
Pipi Alisa memanas saat dia
mengingat rentetan peristiwa yang belum lama terjadi.
“Uuuhh~~~~”
Dia menutupi wajahnya dengan
kedua tangannya dan meremas poninya di antara jari-jarinya. Meskipun dia
memberitahu Masachika untuk tidak mengkhawatirkannya, dan Alisa sendiri berusaha
untuk tidak terlalu memikirkannya, .... tapi begitu dia mengingatnya, ternyata
percuma saja.
Penjagaan Alisa terlalu ketat.
Menurut standar masyarakat umum, penjagaannya terlalu ketat sampai-sampai bisa
disebut rewel. Bagi Alisa yang selama ini bangga berdiri di atas kakinya
sendiri dan tidak bergantung pada orang lain, menyerahkan dirinya kepada orang lain
sama saja dengan kekalahan. Jangankan menjadi kekasih. Hanya
membayangkan dirinya bersikap manja pada seseorang, menggoda mereka, dan
memohon cinta mereka saja sudah membuat bulu kuduknya merinding.
Walau sudah sedikit mendingan
baru-baru ini, tapi dia benar-benar berpikir begitu sampai sekitar setahun yang
lalu. Itu sebabnya dia tidak pernah menunjukkan celah kepada siapa pun, dan dengan
keras kepala menolak setiap cowok yang mendekatinya dengan modal gombal. ......
Yah, karena dia berpegang teguh pada pendirian semacam itu sehingga dia
merasakan sensasi yang belum pernah terjadi padanya untuk berani menunjukkan
celah dalam bahasa Rusia kepada Masachika, dan ada bagian kalau itu sudah
berubah menjadi kebiasaan, tapi masalah itu tidak terlalu penting sekarang.
Pokoknya, dia tidak ingin
orang-orang sembrono semacam itu menyentuh sehelai pun rambut di kepalanya, bahkan
jika ada seseorang yang mencoba menyentuhnya dengan cara yang sok akrab, dia
takkan ragu-ragu untuk menepisnya, dan bila mereka masih tetap ngotot, dia
bahkan tidak segan-segan menamparnya. Itu sebabnya dia memasang penjagaan yang
begitu tegas layaknya putri asli. Meski begitu ……
“Uhhiii ~~~ Nughniiii~~~~”
Dia disentuh. Atau lebih tepatnya,
dipegang erat-erat. Dadanya. Apalagi, diremas secara langsung. Hingga akhirnya,
Ia bisa melihat semuanya. Kalau dipikir-pikir lagi dengan tenang sekarang, dia
dipeluk dengan perut telanjang dan diletakkan di atas kakinya. Kalau sudah
begini, satu-satunya solusi untuk masalah ini adalah dengan menikah. Tidak ada
pilihan selain menikah. Dia harus menuntut pihak lain untuk bertanggung jawab
selama sisa hidupnya.
“Huu…huu…, ya, yang itu cuma
kecelakaan. Itu cuma kecelakaan ...”
Dia terus bersikeras pada masalah
pernikahan demi menjaga kesuciannya sendiri, dan mengatakan pada dirinya
sendiri berkali-kali seperti mantra, tapi walaupun itu kecelakaan, perilaku
Masachika adalah tindakan yang tak bisa dimaafkan. Jika ini dilakukan oleh
cowok asing yang tidak dikenalnya, Alisa akan terus memukulnya sampai
ingatannya hilang dan kemudian dia akan membenturkan kepalanya sendiri ke tanah
sampai ingatannya terhapus.
Tak bisa dimaafkan. Sungguh tak
bisa dimaafkan. Meski itu harusnya tak bisa dimaafkan ... tapi pada waktu itu,
Alisa mempercayakan dirinya ke dalam pelukan Masachika. Lengan yang kuat di
sekitar perutnya, tubuh besar dan kekar yang dia rasakan di punggungnya,
membuat detak jantungnya berdetak tidak karuan ... dia bahkan tidak bisa
bernapas dengan baik. Itu sebabnya Alisa tidak bisa bergerak beberapa saat
setelah terjatuh. Saat dipeluk dari belakang, dia merasakan perasaan
aman——
“── Salahhhh!”
Alisa membantah dengan lantang
pemikirannya sendiri. Mana mungkin dia hampir menyerahkan tubuhnya kepada seseorang
yang telah melakukan hal tidak senonoh padanya. Mana mungkin jantungnya
berdebar kencang hanya karena diselamatkan sebentar. Dia bukanlah karakter
utama dari manga shoujo yang disukai Maria. Dia sangat berbeda dengan karakter
gadis lemah yang gampang sekali jatuh cinta pada cowok yang menyelamatkannya.
Dia hanya kebingungan karena
mengalami kejadian tak terduga. Karena kebingungan, tubuhnya jadi membeku, dan
pikirannya tidak berfungsi. Sudah pasti begitu.
“... Kira-kira, apa sebaiknya
aku tidak perlu memaafkannya kali ya.”
Saat dia memikirkannya, dia
merasa bahwa martabat dan harga dirinya sebagai seorang wanita entah bagaimana
telah terluka parah, Alisa pun mulai mempertimbangkan dengan serius untuk
menarik kembali pernyataan sebelumnya dan menerapkan pemrosesan penghapusan
memori (secara fisik) pada Masachika.
Namun, hal itu baru bisa
dilakukan setelah keluar dari kesulitan ini. Ya, situasinya masih belum
berubah. Situasi krisis di mana dia tidak mempunyai pakaian dalam.
“...”
Dengan rasa krisis yang semakin
melanda, Alisa mengatur ulang kembali proses berpikirnya dan mulai memikirkan
apa yang harus dilakukan sekali lagi.
Hal yang paling aman untuk
dilakukan adalah memanggil seseorang di kelompok gadis saat mereka lewat dan
meminta mereka untuk membawakan pakaian dalam untuknya. Hal tersebut akan
menghilangkan risiko sesoerang melihatnya tanpa bra, tapi ini cukup memalukan.
Tindakan yang sangat bodoh, jelas-jelas akan mengukirkan sejarah kelam. Selain
itu, bahkan mereka yang diminta untuk melakukan itu akan merasa direpotkan.
Lalu pilihan lainnya, ... apa aku harus mengambil risikonya dan berlari
ke kamar?
(Pada jam-jam sekarang, apa Yuki-san dan Kimishima-san ada di kamar?
Jika tidak ada, aku bisa langsung berganti pakaian, tapi kalau ada ….apa aku
harus membawa pakaian dalamku dan berganti di kamar kecil? Walaupun agak sulit
….tapi aku tidak punya pilihan lain selain harus melakukannya)
Bagaimanapun juga, Alisa tidak
punya banyak waktu lagi. Jika dia tinggal di sini terlalu lama, seseorang yang merasa
curiga mungkin akan datang untuk memeriksanya. Oleh karena itu ……
“... Baiklah!”
Ketika Alisa memutuskan begitu,
dia mengenakan kaos dan celana pendek langsung di kulit telanjangnya,
mengeringkan rambutnya dengan cepat, dan memasukkan handuk mandi serta baju
renangnya ke dalam kantong plastik.
“... Bagaimana kalau aku menggunakan
ini untuk menutupi dadaku?”
Ketika mendadak berpikir
begitu, Alisa memegang kantong plastik dengan kedua tangan. Tapi, mau dilihat
bagaimana pun, itu terlihat tidak wajar. Kemudian, saat dia berpikir untuk
mengeluarkan hanya handuk mandinya ...... Alisa merasa tersipu karena baju
renangnya bisa terlihat jelas di dalam kantong plastik. Pertama-tama, dia
biasanya tidak suka memegang handuk basah di dadanya. Ya, cuma itu saja. Yang
pasti, dia tidak membangkitkan kebiasaan mengekspos badannya. Sama sekali tidak.
“... Tidak perlu khawatir. Aku
hanya perlu kembali ke kamar sebelum ada orang lain yang bisa melihatku.”
Alisa bergumam pada dirinya
sendiri, dan kemudian, sambil memegang kantong plastik di tangan kanannya, dia
diam-diam membuka pintu geser dan mengintip ke luar. Dia lalu menoleh ke kiri
dan kanan koridor untuk memastikan tidak ada orang di sana. Lalu, Alisa merasa
terkejut dalam hati saat mendengar suara percakapan Touya dan Yuki yang
terdengar dari ruang tamu.
(Bagus! Jika Yuki-san ada di ruang tamu, itu berarti Kimishima-san juga
ada di sana bersamanya! Dan jika Ketua ada di sana, artinya Masachika-kun juga
ada di sana …... yosh, aku pasti bisa!)
Alisa dengan cepat berlari
keluar dari ruang ganti, bersukacita karena kecemasan terbesarnya telah hilang.
Sambil berharap supaya tidak ada orang yang keluar dari ruang tamu, dia lalu
menginjakkan kakinya di tangga yang menuju lantai atas dan ….
“Ah, Alya. Bisa kita bicara
sebentar?”
Pikiran Alisa menjadi kosong
ketika mendengar suara dari atas.
◇◇◇◇
“? Alya? Apa ada yang salah?”
“Ti-Tidak ada apa-apa, kok.”
Sembari dengan santainya
menciptakan situasi “Aku cuma kebetulan
lewat”, Masachika menginjakkan kakinya di anak tangga... tapi Ia mendapat
firasat buruk saat melihat Alisa yang terlihat agak selisah. Dia gelisah
bermain-main dengan kantong plastik yang berisi dengan handuk mandi, sementara
pandangan matanya mengembara secara diagonal ke bawah.
Alisa mengenakan kaos polos dan
celana pendek sederhana, baju yang tampaknya terlihat sembrono bagi beberapa
orang, tetapi ketika Alisa yang memakainya, penampilannya itu justru terlihat
sangat modis. Apa ini yang dinamakan gaya rumahan tanpa riasan?
(Punya wajah cantik tuh, memang enggak
adil banget ya ...)
Sambil merasakan hal seperti
itu, Masachika menuruni tangga sambil berpikir curiga terhadap perilaku Alisa
yang sepertinya mengkhawatirkan sesuatu…
(Hmm?)
Ia lalu mendongak dari kantong
plastik yang dimainkan Alisa dan langsung berhenti mendadak di tengah jalan.
Masachika lalu mengerutkan alisnya, Ia melihat lagi untuk kedua kalinya, ketiga
kalinya ... dan membiarkan tatapan matanya menoleh ke arah lain. Kemudian, Ia
berteriak sekencang-kencangnya di dalam hati.
(Orang ini, kenapa dia tidak memakai
pakaian dalammmmm~~~~!!?)
Sekilas, Ia bisa melihat
bayangan wajah adiknya yang menjulurkan lidah dengan jahil. Meski tidak punya
bukti, tapi Masachika yakin kalau semuanya ini ulah Yuki.
(Imouto yooooooooo !!)
Kemudian, perkataan Yuki yang
mengucapkan, “itu adalah pemandangan yang
terlalu memukau, jadi aku ingin berbagi kegembiraan ini,” kembali muncul di
dalam kepala Masachika.
(Cara berbaginya terlalu frontal, tauuu!!)
Masachika menggertakkan giginya
dan berteriak marah di otaknya sambil tetap menghadap ke atas. Melihat keadaan Masachika
yang begitu, Alisa juga sepertinya menyadari bahwa dia telah diperhatikan.
“Coba ke sini sebentar.”
“Eh? Wah!?”
Tangannya tiba-tiba ditangkap
dan ditarik ke atas dengan paksa, Masachika lalu mengikuti Alisa sambil
menginjak anak tangga. Kemudian, Ia dibawa ke kamar tempat para gadis kelas
satu menginap.
“Berbaringlah disana.”
“Hah?”
“Tinggal lakukan saja!”
“Y-Ya!”
Masachika merasa tidak nyaman
dengan suasana yang terlarang untuk anak laki-laki ini, tapi saat Alisa
menunjuk ke tempat tidur dengan suara tajam, bahunya tersendak kaget dan segera
naik ke atas kasur. Kemudian, tepat saat Masachika dengan enggan berbaring terlentang,
Ia mendengar suara pintu kamar dikunci dengan bunyi ‘ceklek.’
“A-Alya-san?”
“...”
Ia mengangkat kepalanya dan
memanggil Alisa yang berdiri di depan pintu, tapi Alisa berbalik tanpa menjawab
dan perlahan mendekatinya, menutupi dadanya dengan tangan kanannya. Dia lalu
naik ke tempat tidur dengan mulut tertutup, dan tak disangka, dia menunggangi
perut Masachika.
“O-Ohhh?”
“....”
Di dalam ruangan yang terkunci.
Sepasang laki-laki dan perempuan di tempat tidur. Meski ini kedengarannya
seperti situasi yang erotis, tapi hati Masachika sama sekali tidak berdebar
kencang, yang ada justru meringkuk
karena aura mengerikan yang dipancarkan Alisa saat sedang menunduk ke
bawah.
“Masachika-kun...”
“I-Iya.”
Pada titik ini, Alisa akhirnya
membuka mulutnya dan perlahan-lahan mengangkat wajahnya yang tadinya menunduk ke
bawah ... Dia menunjukkan senyuman tipis dengan atmosfir yang berbahaya. Seluruh wajahnya merah padam, dan dia menatap
Masachika dengan senyum kaku di ujung mulutnya.
(Ah, rasanya seperti déjà vu)
Alisa berkata sambil
mengeluarkan napas yang tidak karuan, kepada Masachika yang berpikir, “Baru beberapa saat yang lalu pernah ada
kejadian yang sama ya~” seolah –olah sedang melarikan diri dari kenyataan.
“Aku mau minta maaf padamu dulu,
maafkan aku.”
“Mi-Minta maaf untuk apa?”
“Aku paham. Aku sangat paham,
kok? Itu bukan salahmu ... Ya, aku tahu itu. Tapi tolong ... apa kamu bersedia
jadi pelampiasan atas emosiku yang tak terkendali ini?”
Saat dia mengatakan itu, suara
Alisa bergetar karena dia sepertinya memang tidak bisa mengendalikan emosinya
yang meluap, Masachika lalu menatap ke langit-langit kamar sejenak ... dan
memutuskan untuk mempersiapkan diri.
“Wokee, serahkan saja padaku...
karena kita berdua adalah pasangan.” (Di tambah lagi, semua ini ulah
kejahilan adikku yang bodoh)
Ketika Masachika mengacungkan
jempol sambil diam-diam menambahkan hal itu di dalam pikirannya, Alisa
mengucapkan kata “terima kasih”
dengan suara kecil dan kemudian ...
“Hmppgh!”
“Ughmkwm!”
Tiba-tiba, penglihatannya
ditutupi dengan bantal ... dan saat berikutnya Ia berpikir begitu, Masachika
dikejutkan oleh gebukan dari atas bantal dibarengi dengan suara amarah yang
tertahan.
“Fuu, hmmphgh!”
Setelah itu, dampak gebukan
terus berlanjut dengan dua atau tiga pukulan. Rupanya, dia menampar dari atas
bantal. Tapi……
(... Rasanya tidak terlalu sakit)
Dampak yang dirasakan tidak
sekuat seperti suara yang didengarnya. Mungkin Alisa mencoba untuk tidak
berlebihan karena menggunakan bantal di rumah orang lain. Selain itu, posisi
memukulnya dengan sengaja menghindari wajah Masachika. Karena tujuannya digeser
dengan indah ke kiri dan kanan, meskipun ada dampaknya, tapi hampir tidak ada
rasa sakit.
“Hmmph!”
“...”
Dan saat mulai terbiasa ...
perhatian Masachika justru tertuju pada sensasi pantat Alisa yang menunggangi
perutnya.
(In-Ini ... foreplay macam apa ini?)
Setiap kali Alisa mengayunkan
tangannya ke bawah, sesuatu yang lembut di perutnya bergoyang maju mundur, dan
Masachika mulai merasakan sensasi yang aneh. Banyak yang bilang bahwa ketika penglihatanmu
ditutup, indramu yang lain akan menjadi lebih tajam, dan ternyata itu benar
adanya. Masachika menggertakkan giginya di bawah bantal saat merasakan pantat
Alisa menari di perutnya dan suara derit ranjang yang entah bagaimana mempunyai
makna yang mendalam.
(Nuuoooo~~!! Tolong cepat selesaikan
iniiiiiiii!!)
Masachika berharap untuk segera
dibebaskan dari siksaan ini untuk alasan yang sama sekali berbeda dari rasa
sakit. Entah karena keinginannya dikabulkan atau tidak. Beberapa detik kemudian,
gebukan yang mengenai bantal akhirnya mereda, dan satu-satunya suara di ruangan
itu hanyalah napas kasar Alisa.
Keheningan terus belanjut
beberapa saat. Sementara Masachika dalam keadaan kehampaan, Alisa yang
tampaknya berhasil mengendalikan emosinya, mulai berdiri sambil membuat suara
berderit di ranjang, dan sepertinya turun dari ranjang. Mungkin khawatir dengan
tubuh Masachika yang masih tidak bergerak, suara dengan nada sungkan memanggilnya
dari sisi tempat tidur.
“Umm ... Masachika-kun? Apa
kamu baik-baik saja?”
“... Aku baik-baik saja, kok?”
Masachika yang tidak baik-baik
saja dalam artian yang berbeda dari asumsi Alisa, menanggapi dengan suara yang
menahan banyak hal. Lalu, mungkin berpikir kalau dirinya sudah bertindak
terlalu berlebihan, Alisa merasa dirinya gemetar canggung. Dan kemudian …
(Hmm?)
Hidung Masachika ditekan ringan
ke bantal, dan Ia memiringkan kepalanya ke dalam sensasi yang belum pernah Ia rasakan
sebelumnya.
【Maaf, ya】
Namun, tangannya (?) segera
menjauh, dan bantal itu dibawa pergi bersamaan dengan bisikan bahasa Rusia.
Sambil berpaling dari cahaya yang menyengat matanya, Masachika perlahan bangkit.
Kemudian, sembari mengedipkan matanya, Ia menoleh ke Alisa, yang mencengkeram
bantal di depan dadanya dengan ekspresi canggung.
“Umm, maafkan aku ... sekarang,
aku sudah baik-baik saja.”
“Oh, ya ... yah, syukurlah kamu
sudah bisa sedikit tenang. Tidak, yah, ummm. Karena rasanya tidak sakit sama
sekali, jadi jangan terlalu dipikirkan, oke?”
“Be-Begitu ya ...”
“Ah... ya. Aku mau pergi
sekarang ... karena aku tidak memedulikannya, jadi Alya juga jangan terlalu
khawatir, oke?”
“…Ya”
Khawatir tentang keadaan Alisa,
yang mengguncang tubuhnya dengan tidak nyaman, Masachika memutuskan untuk segera
meninggalkan ruangan. Usai membuka kunci pintu, Ia lalu melangkah keluar ke lorong
tanpa melihat ke belakang.
“Fiuh...”
Masachika menutup pintu di
belakangnya dan berpikir, “Entah kenapa
rasanya sangat melelahkan sekali ...”, sembari menghela napas ... tapi Ia
merasakan pandangan seseorang dari arah samping dan secara refleks berbalik.
“Ahh…”
“? Sarashina-senpai? Apa ada
perlu sesuatu?”
Di sana, Masachika memiringkan
kepalanya saat tatapan matanya bertemu Chisaki, yang mengintip dari kamar
sebelah. Lalu, Chisaki berkata dengan setengah tersenyum bermasalah saat
tatapannya melayang ke atas.
“Tidak, yah ... itu sih ... suaranya
terdengar jelas, tau?”
“Suara …?”
Masachika mengangkat alisnya
begitu mendengar ucapan Chisaki,.... dan kemudian mulai menyadarinya.
Suara ranjang yang berderit.
Suara Alisa yang seolah-olah ditahan supaya tidak terdengar. Dan... setelah
suara-suara itu berhenti, Masachika keluar dari kamar yang terkunci.
“Jangan salah paham dulu!?”
Masachika yang merasakan kalau
dirinya disalahpahami akan sesuatu, berteriak menyangkal. Namun, dirinya juga
tidak bisa menjelaskan kebenaran yang agak tidak masuk akal kalau Ia menjadi
samsak tinju di atas bantal oleh Alisa, yang menunggangi perutnya di atas
tempat tidur.... Mau tak mau Masachika harus menggunakan otaknya yang kelelahan
dengan kekuatan penuh untuk meluruskan kesalahpahaman Chisaki.
◇◇◇◇
“Alya-chan~? Aku masuk ya~?”
Sementara Masachika mati-matian
membuat alasan pada Chisaki, Maria diam-diam menyelinap keluar dari kamar dan
mengunjungi kamar gadis kelas satu yang berada di sebelah.
Tanpa menunggu jawaban, dia segera
membuka pintu dan menemukan Alisa berada di dalam, berbaring di tempat tidur
dalam posisi meringkuk kecil sembari memeluk bantal.
“Ara ara, ada apa~? ... Apa
terjadi sesuatu?”
Di kemudian duduk di tempat
tidur sambil menanyakan itu, tetapi Alisa tetap diam dengan wajah terkubur di
bantal dan tidak mau menjawab. Sembari berguman ‘Hmm~', Maria bertanya sekali lagi.
“Apa Kuze-kun melakukan sesuatu
padamu?”
“…...”
Sekali lagi, masih tidak ada jawaban
Namun,
Alisa memalingkan wajahnya sedikit, seolah-olah “Aku tidak ingin bilang apa-apa.”
Melihat ini, Maria membuat
wajah sedikit tegas dan mengatupkan kedua tangannya dengan gerakan mengepalkan
tinju.
“Jika dia melakukan sesuatu yang
aneh padamu, bilang ya? Aku akan menceramahi Kuze-kun!”
“……Salah.”
Alisa akhirnya membalas
pertanyaan Maria, mungkin karena dia berpikir bahwa Masachika akan menjadi
sasaran kesalahan yang tidak masuk akal jika dibiarkan terus.
“Masachika-kun sama sekali
tidak salah ... hanya saja ...”
“Hanya, apa?”
“...”
“Hmm?”
Melirik wajah kakaknya yang dengan
lembut mendesaknya, Alisa membuang muka dan menjawab dengan berbisik.
“Hanya ...... karena sedikit
kecelakaan, Ia melihat bagian yang memalukan dariku.”
Jawabannya terlalu abstrak,
tapi Maria entah bagaimana menyadari bahwa “bagian
yang memalukan” itu bukan berarti
memalukan atas kesalahannya sendiri, melainkan bagian memalukan seorang
wanita. Meski memahami itu, Maria masih berani membuat suara yang ceria.
“Begitu ya, karena kecelakaan
... bukannya itu bagus! Karena Kuze-kun yang jadi pihak lainnya!”
“Eh...?”
“Habisnya, kalau itu kecelakan,
ada kemungkinan kalau orang lain bisa terlibat, iya ‘kan? Bukannya ada
kemungkinan juga kalau Ketua yang jadi pihak lainnya?”
Begitu Maria mengatakan itu,
ekspresi Alisa langsung berubah menjadi jijik. Sambil tertawa kecil dalam hati
dengan reaksi adiknya yang gampang sekali dipahami, Maria terus melanjutkan.
“Atau bisa saja dengan
seseorang yang tidak kamu kenal sama sekali. ...... Di sisi lain, jika itu
dengan laki-laki yang paling dekat denganmu, itu akan menjadi berkah
tersembunyi.”
“Paling dekat apanya ... tidak
terlalu, kok.”
“Eh? Hubungan kalian berdua
sangat dekat, iya ‘kan?”
“Itu sih …. Kebetulan saja tidak
ada laki-laki lain yang dekat denganku ...”
Maria dengan lembut berbicara
kepada Alisa, yang bergumam dengan mulut terkubur di bantal.
“Tapi tak bisa dipungkiri kalau
dia adalah laki-laki yang paling kamu percayai, ‘kan?”
“...”
“Kalau begitu, tidak ada
masalah ‘kan~. Lagi pula menurut Onee-chan, Kuze-kun adalah tipe laki-laki yang
akan mempertimbangkan perasaan Alya-chan jika kamu benar-benar tidak
menyukainya.”
“... Kalau sebatas itu saja,
aku juga sudah tahu.”
Alisa akhirnya bangun, karena
dia tampak sedikit kesal dengan cara bicara Maria yang sok tahu. Dia lalu
melirik ke arah Maria.
“Biar kuberitahu, jangan
memikirkan hal yang aneh-aneh, oke? Aku mempercayai Masachika-kun dan
menganggapnya sebagai teman, hubungan kami hanya sebatas itu saja, tidak
lebih.”
“Araa, benarkah ~?”
“Beneran. Jadi jangan
sembarangan membayangkan yang aneh-aneh. Meladeni Ibu yang jadi sangat
bersemangat saja sudah merepotkan ...”
“Oh, dia bertemu Kuze-kun saat
pertemuan orang tua-guru, iya ‘kan~. Dia terlihat sangat gembira karena Alya-chan
punya teman laki-laki~.”
“Seriusan, setiap kali aku
pergi ke rumah Masachika-kun selama liburan musim panas, dia selalu
senyum-senyum tidak jelas ... padahal aku cuma mengerjakan tugas bersama saja.”
“Hmm~... tapi cuma ada kalian
berdua saja yang belajar di rumahnya, ‘kan? Kurasa aku takkan berani
melakukannya kecuali hubungan kami sangat dekat ...”
“Itu sih…!… karena aku belum
pernah berteman dengan laki-laki lain, jadi aku tidak tahu bagaimana menjaga
jarak di antara kami…”
Alisa memalingkan muka sambil
menurunkan suaranya menjadi bisikan, dan Maria tersenyum lebar padanya.
“Alya-chan, imut sekali.”
“Ap-Apaan sih.”
“Tolong jadilah Alya-chan yang
seperti biasanya ya~? Mouu~ aku bahkan takkan mau memberikannya pada Kuze-kun!”
“Tunggu—, risih tau!”
Ketika Maria mencoba memeluknya
dengan tangan terentang, Alisa mendorongnya pergi menggunakan bantal sebagai
perisai. Akibatnya, Maria tergelincir dari tempat tidur, dan setelah mengambil
beberapa langkah mundur ke belakang, dia menggembungkan pipinya.
“Nmou~, Alya-chan harusnya
melakukan lebih banyak skinship
dengan Onee-chan, tau.”
“Enggak mau. Lagipula, aku
sudah bukan anak kecil lagi.”
“Meski sudah bukan anak kecil,
tapi yang namanya skinship itu penting, lo?”
“Kita saling berciuman pipi
saat bertukar sapa, ‘kan? Bukannya itu sudah cukup.”
“Muu~~~~!”
Maria memelototi Alisa dalam
ketidakpuasan, tapi Alisa tetap memalingkan muka dengan ekspresi masa bodo. Setelah
beberapa detik, Maria berbalik dan berjalan menuju pintu kamar.
“Hmmph! Ya udah. Aku nanti akan
meminta Kuze-kun buat menghiburku.”
“… ya terserah, lakukan saja sesukamu
sana?”
“Baiklah~, aku akan melakukan
sesukaku~”
Alisa hanya menggerakkan
alisnya sedikit dan mendorongnya menjauh ketika Maria mengatakan hal itu
padanya. Maria pun membalas dengan nada kekanak-kanakan dan meninggalkan
ruangan.
Kemudian, di koridor yang
kosong, dia berbisik pelan melalui pintu.
“... Aku benar-benar akan
memintanya untuk menghiburku, lo?”
Usai mengatakan itu, ekspresi
Maria terlihat dewasa dan sedikit melankolis, sangat berbanding terbalik dari
ekspresi yang baru saja dia tunjukkan beberapa saat sebelumnya. Namun, setelah
menghela napas ringan, dia dengan cepat tersenyum cerah dan membuka pintu
kamarnya ….
“Ja-Jangan khawatir. Kamu tidak
perlu memaksakan diri untuk menutupinya segala ...”
“Tidak, sudah kubilang kalau
aku tidak bermaksud—”
“Chisaki-chan~? Mau sampai
kapan kamu membuat kesalahpahaman yang aneh itu~? Alya-chan sendiri bilang
kalau tidak terjadi apa-apa, lo? Mou~ dasar Chisaki-chan mesum.”
“Ap-Ap-Apa!? Kenapa malah aku yang
disalahkan!!?”
Dengan senyumannya yang biasa,
Maria menawarkan bantuan kepada kouhai-nya.