Chapter 10 — Perasaan Cinta
Sekitar pukul 7 malam, tujuh
anggota OSIS mengunjungi kuil yang berjarak sekitar 20 menit berjalan kaki dari
bangunan vila.
Setelah menaiki tangga batu
yang panjang dan melewati bawah gerbang
torii, terdapat jalanan berbatu serta kuil utama yang berada jauh di
belakang. Sejumlah warung makan berjejer di kedua sisi jalanan berbatu,
menciptakan suasana hiruk pikuk yang luar biasa.
“Ohhh~ ... ternyata ini jauh
lebih meriah dari yang aku duga!?”
Masachika yang mengira kalau
ini hanyalah “Festival lokal kecil”,
dibuat terkejut dengan jumlah warung makanan dan pengunjung yang begitu banyak.
Kemudian, Touya yang mengenakan yukata, berkata dengan tertawa sedikit bangga.
“Tidak sangka-sangka, ‘kan?
Ngomong-ngomong, skala kembang apinya juga cukup besar, lo? Lalu pada saat itu,
mikoshi[1] juga akan muncul. Itu akan berangkat dari depan bangunan kuil utama
dan diarak mengelilingi sekitar kuil.”
“Seriusan……”
Gadis-gadis di kelompok mereka setengah
terkesan dan setengah terkejut dengan apa yang dikatakan Touya. Gadis-gadis itu
semuanya mengenakan yukata yang cantik dan mempesona, Masachika yang melihat
pemandangan itu merasa bersyukur karena membawa yukatanya sendiri.
(Ada untungnya juga meminta Jii-chan
untuk mengirimiku yukata ini ... Aku akan berada dalam situasi yang canggung
kalau cuma aku saja satu-satunya orang yang mengenakan pakaian biasa pada
festival skala ini.)
Masachika merasa lega karena Ia
nyaris jadi orang yang tidak membawa yukata.
Meski begitu, betapa cantik dan
indahnya gadis-gadis di kelompok mereka. Chisaki dan Yuki dengan rambut hitam
serta wajah orang Jepang tulen, lalu ada Ayano yang tak perlu dikatakan lagi
terlihat bagus dalam balutan yukatanya, belum lagi Alisa dan Maria juga sangat
cantik ... dan terlihat seperti turis asing yang sedang mencoba mengalami
pengalaman memakai kimono.
Gaids dengan payudara besar
seperti mereka berdua ini memiliki kelemahan terlihat gemuk saat mengenakan obi
…. tapi itu juga tertutupi oleh kimono. Keterampilan Ayano bersinar saat dia
bertanggung jawab memakaikan pakaian itu. Namun bagi Maria, dia mengeluarkan
kesan kalau “ada batas massa yang dapat
ditutupi oleh teknologi ......".
“Yah, enaknya kita lihat-lihat
dulu sebentar kali, ya.”
“Benar sekali~”
Mereka kemudian memutuskan
untuk melihat warung-warung yang berjajar, dimulai dari yang paling depan, tapi
…… mungkin karena efek samping dari berkumpulnya banyak gadis cantik dan
berkilau, baru saja beberapa menit berjalan, mereka langsung didekati oleh
sekelompok pria yang tidak mereka kenal.
“Hei~hei~ kalian, apa kalian semua turis?”
“Uwaahh menakjubkan, ada gadis
yang imut banget!”
Sekelompok enam pria yang
sekilas terlihat seperti mahasiswa. Mereka semua berpakaian normal dan tidak
membawa apa-apa, jelas-jelas mereka bertujuan untuk sesuatu selain festival.
Pada saat mereka mendekat, Touya
dan Masachika bergerak cepat melangkah maju ke depan, tapi dengan dua orang
melawan enam, mana mungkin untuk melindungi semua gadis di kelompok mereka.
Sekelompok pria, menyebar ke kiri dan kanan dengan tingkah yang tampaknya sudah
terbiasa melakukan itu, memblokir jalan kabur dengan membentuk setengah
lingkaran dan mengalihkan pandangan mereka ke arah gadis-gadis.
“Apa mau kalian? Jika kalian
mau merayu, kami tidak punya waktu buat meladeninya, jadi bisakah kalian merayu
ke orang lain saja?”
“Umu, kami di sini benar-benar
ingin menikmati festival. Jadi bisa tidak, kalian menyingkir dan jangan
menghalangi jalan kami.”
Masachika dengan jelas
mengatakan penolakannya, dan Touya dengan tangan disilangkan, mengintimidasi mereka
dengan tubuh besarnya, tetapi lawannya hanya tersenyum dan tidak mau mundur
sama sekali.
“Ah ayolah, jangan bilang
begitu. Kami ini penduduk setempat~ jadi kami bisa mengajak kalian berkeliling,
tau~?”
“Kamu cantik banget, deh~
kira-kira namamu siapa?”
“Hei, hei, apa itu rambut
aslimu~? Ah, apa kamu ngerti bahasa Jepang?”
Saat berurusan dengan pria di
depannya, pria lain berbicara dengan wanita dengan tingkah sok akrab, dan
Masachika merasakan rasa jijik yang tak terlukiskan. Usai berkomunikasi dengan
Touya melalui tatapan matanya, Masachika lalu dengan cepat bergerak ke samping
dan berdiri di depan Yuki serta Alisa, memelototi para pria tersebut.
“Um, bisakah kamu benar-benar
berhenti? Tolong jangan mengelilingi gadis-gadis dan memaksa mereka karena itu
akan membuat mereka ketakutan. Jika kamu masih terlalu ngotot, aku akan
memanggil polisi, tau?”
“Tidak, tidak, tidak, kamu
terlalu lebay, duh”
“Aku tidak memaksanya kok~.
Hei, coba beritahu namamu. What’s your
name?”
Seorang pria yang tampaknya
tidak menggubris sama sekali dan memanggil Alisa dan Maria di atas Masachika
dengan ekspresi menggoda. Dua kata Rusia terbang dari belakang Masachika yang
sedang menahan kesal.
“Обезья на,воз вращай
сяназадвлес!” [Mending balik saja ke gunungmu, dasar monyet!]
“Фуу,про тивно!” [Ewww~, menjijikan sekali~!]
“!!?”
Bahasa Rusia yang kasar
terdengar di belakangnya hampir membuat Masachika menyembur kaget, tapi Ia mengetahui
bahwa sekarang bukan waktunya untuk itu.
“Uhaa, bahasa macam apa itu?
Konyol banget~.”
Tapi kemudian, seorang pria
tertawa dan hendak meraih Alisa. Pada saat itu juga, Masachika merasakan
kesadarannya berubah dengan sekejap. Pemikiran untuk mencoba tetap tenang
menghilang dari kepalanya, Ia lalu meraih pergelangan tangan pria itu dan
menghentikannya, Masachika terus memelototinya sembari menggenggam tangan pria
itu dengan kuat.
“Jangan coba-coba
menyentuhnya.”
Suaranya terdengar sedingin es
kutub. Pada saat yang sama, seluruh tubuh Masachika memancarkan hawa pembunuhan
luar biasa, menyebabkan anggota OSIS, yang mengenalnya secara normal,
terkesiap. Pria yang dipelototi Masachika berhenti tertawa cengengesan dan melangkah
mundur. Namun, begitu Ia menajamkan pandangannya seolah-olah malu pada dirinya
sendiri, Ia mengancam Masachika dengan suara yang sedikit ketakutan.
“... Haa? Apa-apaan lu. Cepat
lepasin tangan gue.”
Suasana tegang melintas di
antara keduanya, dan dengan cepat menyebar ke area sekitar. Keenam pria itu
merubah sikap ceria mereka dan mulai merasa tidak nyaman. Melihat hal tersebut,
Touya diam-diam memutuskan, Yuki diam-diam mengepalkan tinjunya, dan Ayano
memegang tiga pensil mekanik yang keluar dari lengan bajunya di antara
jari-jarinya…... ketika suasana semakin menegang, tiba-tiba kedua pria di paling
kiri langsung pingsan tanpa suara.
Mereka semua menoleh serempak,
dan pada saat itu, dua pria di depan Masachika menerima pukulan di bagian belakang
leher mereka dan terjatuh. Ternyata itu ulah dari Wakil Ketua, dan dalam
sekejap dia menumbangkan keempat pria tanpa menimbulkan suara.
“Eh, Apa—?”
“Tidak... haa?”
Kedua pria yang tersisa mundur
dengan mata terbuka lebar, wajah mereka tampaknya tidak dapat memahami situasi.
Chisaki lalu mendekati mereka dari depan, dan menyerang mereka tepat di rahang
dengan kecepatan kilat, mengirimkan kesadaran mereka terbang dengan cara yang
sama seperti empat pria lainnya.
Dalam beberapa detik, keenam
pria tersebut jatuh tergeletak tak berdaya di atas tanah, dan terdengar gumaman
dari orang-orang di sekitar mereka, yang tadinya menjauhi diri. Namun, Chisaki
mencengkeram kerah para pria itu tanpa memedulikan keributan atau pandangan
orang-orang di sekitarnya, dia lalu menggantung dua pria di masing-masing
tangannya dan menatap ke arah Touya.
“Ah, maaf Touya. Bisakah aku
menyerahkan kedua orang itu padamu?”
“... Oh baiklah, aku mengerti.”
Mendengar permintaan
kekasihnya, Touya mengangguk dengan ekspresi agak rumit di wajahnya. Setelah
memastikan bahwa Touya telah mencengkeram kerah kedua pria itu, Chisaki
kemudian berkata dengan nada santai.
“Maaf, bagaimana kalau kalian
pergi duluan? Aku akan melipat dan menumpuk orang-orang ini, lalu meletakkannya
di pojokan supaya tidak menghalangi.”
“Kata kerja yang seharusnya
tidak digunakan pada tubuh manusia. Melipat dan menumpuk ... eh?”
“Hmm? Mau melihatnya?”
“Tidak, terima kasih.”
Masachika langsung menimpali
dengan wajah yang benar-benar datar, dan Chisaki hanya mengangkat alisnya seraya
berkata “Begitukah?”,lalu menuju ke
area hutan di luar warung makanan. Sekelompok enam orang yang tidak sadar
menghilang menuju kedalaman hutan area kuil. Untuk beberapa alasan, semak
belukar yang berada dalam kegelapan tampak seperti pintu gerbang ke dalam
jurang, dan Masachika dengan lembut mengalihkan pandangannya.
“Fyuh...”
Kemudian, begitu Ia menghembuskan
napas dan mendinginkan kepalanya, Masachika berbalik ke empat orang yang
tersisa dan membungkuk dalam-dalam.
“Maaf, aku membuat semua orang
dalam bahaya karena bertindak terlalu gegabah.”
Alisa berkedip dalam
kebingungan saat suasana yang begitu mencengkeram beberapa saat sebelumnya
sudah menghilang, dan digantikan oleh permintaan maaf Masachika atas ledakan
emosionalnya. Namun, dia dengan cepat bergegas meletakkan tangannya di bahu
Masachika dan menindaklanjuti dengan respons yang terbata-bata.
“Ehh, kamu tidak perlu meminta
maaf segala ... aku sangat senang kamu mencoba melindungiku seperti itu. Jadi tolong
angkat kepalamu?”
Setelah itu, tiga orang lainnya
juga membuka mulut mereka satu demi satu.
“Jangan terlalu dipikirkan,
oke? Sepertinya mereka juga takkan mundur kalau tidak dihentikan
Sarashina-senpai.”
“Anda terlihat sangat berani
sekali. Saya jadi gemetar karena kagum.”
“Kamu tidak perlu meminta maaf segala
oke~? Tadi itu kamu keren banget! Ayo, mari kita nikmati festival ini?”
Mengikuti Alisa, Maria dengan
lembut menepuk bahunya, dan Masachika mengangkat kepalanya. Di hadapannya,
Alisa terlihat sedikit khawatir dan Maria tersenyum menghibur. Maria kemudian meraih
tangan Masachika dan Alisa.
“Kalian berdua, di sebelah sana
ada yang menjual permen kapas, lo~?”
“Eh, iya.”
“Ah tidak, kalau aku sih tidak terlalu
menyukai permen kapas...”
“Benarkah? Kalau begitu ayo
pergi, Alya-chan~”
Masachika yang secara refleks
langsung menolak, cuma bisa melihat Alisa dan Maria menuju kios permen kapas.
Segera setelah itu, Ia menyesali bahwa Ia mengabaikan kekhawatiran senpai-nya.
Namun, mana mungkin Ia bisa merubah suasana hatinya secepat itu. Bahkan dengan
pengampunan keempat orang tersebut, dirinya yakin bahwa Ia telah memperburuk
situasi dengan kemarahan sesaat dan kemudian membuat para senpai-nya membersihkan
kekacauan. Mau tak mau, Masachika jadi merenungkan kecerobohannya sendiri.
Mungkin merasakan pemikiran
batin kakaknya, Yuki mendekatinya dan berbicara kepadanya dengan berbisik.
“Yah, jangan terlalu murung
begitu, tadi itu terlihat keren, tau?”
“Kalau itu sih, terima kasih
...”
“Oleh karena itu, jangan
terlalu dipikirin, oke? Wajar-wajar saja menjadi marah demi gadis, tau? Aku
yakin kalau Alya-san juga pasti akan klepek-klepek~”
“Tidak, apa sih yang kamu
omongin ...”
Ia menghela napas lelah, tetapi
suasana hatinya sedikit membaik setelah melakukan percakapan ala otaku dengan
adik perempuannya. Kemudian, Masachika mengingat apa yang ingin Ia katakan, dan
berbalik untuk menatap adik perempuannya.
“Oh iya. Apa yang terjadi
dengan perjanjian gencatan senjatamu?”
Ketika Ia bertanya melalui
pandangan matanya, “Apa maksudmu dengan
provokasi setelah Gim Raja?”, Yuki justru balik menatapnya seolah-olah
sedang melihat orang idiot.
“Haa? Perjanjian gencatan
senjata adalah sesuatu yang ditandatangani untuk mengejutkan lawan yang ceroboh,
iya kan?”
“Sial, aku tidak bisa
menyangkalnya.”
“Selain itu, itu hanya bantuan
kecil untuk memberi kalian berdua kesempatan untuk jadi lebih dekat.”
“Kamu terlalu banyak ikut
campur...”
“Kamu ini bilang apaan~
Bukannya hubungan kalian berdua jadi lebih dekat selama liburan musim panas ini? Hmm~?”
“Tidak juga, hal seperti itu
...”
Ketika adik perempuannya
menyikut-nyikut badannya dan meledeknya, Masachika membantah hal itu dan
mengingat-ingat kembali. Kenangannya bersama Alisa selama liburan musim panas
ini …… begitu Ia mengingatnya, yang bisa Masachika ingat hanyalah wajah marah
Alisa dan badannya membeku “Hmm?”.
(Rohku keluar dari raga, ditendang atau
dipukul... Eh? Serius, bukannya poin keintimanku tidak naik sama sekali? Yang
ada, malahan itu semakin turun?)
Tidak peduli seberapa banyak Ia
memikirkannya, yang bisa Masachika pikirkan hanyalah kenangan kejahilan yang
sudah Ia lakukan. Ketimbang semakin dekat, Masachika justru khawatir kalau dia
malah membencinya.
(Eh, yang benar saja … aku selama liburan
musim panas ini …. Terlalu kurang ajar…?)
Merasakan krisis, Masachika
berbisik sambil melihat Kujou bersaudari berjalan kembali ke tempatnya sambil
membawa permen kapas di tangan mereka.
“Aku ... mau pergi dulu buat
mengembalikan suasana hati Alya.”
Mungkin merasakan sesuatu di
wajah Masachika yang dipenuhi krisis, tatapan Yuki berubah lembut karena
kepeduliannya terhadap kakaknya.
“... Oh, silahkan saja~. Kalau
begitu, aku akan menggunakan pisang coklat untuk mengajarkan Ayano bagaimana
cara melayani.”
“Hentikan itu, dasar bodoh.”
“... Aku cuma bercanda, kok~. Hmmm ... Oh, aku akan pergi ke kios katanuki[2] yang ada di sana dan membuat penjaga kiosnya menangis ah~.”
“... Jangan terlalu berlebihan,
oke.”
“Oh, iya. Aku akan menyerahkan
kameranya padamu ya. Baiklah Ayano, ayo kita pergi~”
“Ya, Yuki-sama.”
Setelah menerima kamera digital
dan melihat mereka berdua menuju kios katanuki dengan sangat antusias, Alisa
dan Maria pun kembali. Ketika berbalik ke arah mereka, Masachika tanpa sadar
melebarkan matanya dengan terkesima.
“Ohhh……”
“? Apaan sih?”
“Tidak, aku hanya berpikir
kalau itu adalah pemandangan yang bagus, padahal kalian cuma memegang permen
kapas.”
“Eh, benarkah~?”
“... Apaan sih, maksudnya..”
Maria meletakkan tangannya di
pipinya dengan senyum sumringah, dan Alisa mengangkat alisnya seolah-olah
kebingungan bagaimana harus menanggapinya. Namun, pujian tersebut bukanlah
ucapan manis di bibir belaka, melainkan perasaan jujurnya. Yukata dan permen
kapas. Walaupun hanya dengan dua kombinasi itu, tapi itu bisa menghasilkan
gambar yang indah. Sampai-sampai Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak
mengatur kameranya dan menjepretkan tombol kameranya.
“Ah, tunggu dulu ... kalau kamu
mau ambil foto, beri tahu aku dulu dong.”
“Aku tidak ingin melewatkan kesempatan
berfoto ... Jika kamu tidak menyukainya, aku bisa menghapusnya, sih?”
“Aku tidak bilang... kalau aku
tidak menyukainya, tapi ‘kan ... masalah ekspresi wajah dan sejenisnya ...”
“Tenang saja, ekspresi apa pun
akan menjadi foto yang bagus.”
“Ah, begitu ya……”
Alisa menggigit permen kapas
saat dia memalingkan wajahnya, seolah-olah dia akhirnya kesulitan bagaimana
buat menanggapi pujian Masachika. Maria menyaksikan adegan itu sambil
tersenyum, tapi ketika Alisa memelototinya, dia mengubah topik pembicaraan
sambil menurunkan alisnya.
“Ngomong-ngomong, Yuki-chan dan
Ayano-chan pergi ke mana~?”
“Mereka pergi ke kios katanuki
yang ada di sana.”
“Katanuki?”
“Ummm, bagaimana cara
menjelaskanya, ya? Kamu akan diberi papan permen rapuh yang terbuat dari bubuk
yang dikeraskan, dan kamu harus menggunakan jarum atau tusuk gigi untuk memotong
gambar di papan permen itu .… jika kamu berhasil memotong gambar tanpa retak
atau merusaknya, kamu bisa mendapatkan hadiah.”
“Hee~ kedengarannya menarik
ya~.”
“Permainan itu tidak
direkomendasikan buat pemula, lo...? Jika Senpai terlalu antusias, waktunya akan
berlalu dengan begitu cepat.”
“Masa? Kalau begitu, mungkin
aku harus menundanya setelah selesai berkeliling~?”
“Itu benar. Bagaimana kalau
kita pergi ke tempat yang ingin kita tuju dulu dan kemudian bisa mengunjunginya
lagi jika kita masih punya waktu nanti?”
Setelah memberitahu hal itu kepada
Maria, Masachika tiba-tiba menyadari bahwa Alisa sedang melihat ke sebuah kios yang
menyediakan permainan menangkap ikan mas. Ngomong-ngomong, permen kapas yang
seharusnya ada di tangannya sudah menjadi tusuknya saja. Sungguh aneh bin ajaib.
“Alya, apa kamu ingin mencoba
permainan menangkap ikan mas?”
“Ya, aku sedikit tertarik
dengan itu.”
“Oh, kalau begitu ayo lakukan
itu. Masha-san sendiri bagaimana?”
Sambil dalam hati berpikir, “Ini adalah kesempatan emas untuk menunjukkan
sisi kerenku!”, dan menoleh ke arah Maria, dia lalu menjawab sembari
memegangi permen kapas.
“Karena aku masih punya ini,
jadi aku cuma menonton saja ~”
“Kalau begitu, bisakah kamu
membawa ini?”
“Tidak masalah~. Ah, kameranya dibawa
aku juga ya?”
“Oh ya. terima kasih banyak.”
Alisa menyerahkan tusuk bekas permen kapas dan Masachika menyerahkan kameranya kepada Maria, mereka berdua lalu menuju kios menangkap ikan mas[3]. Kemudian, setelah membayar 200 yen kepada penjaga kios dan menerima tiga tongkat jaring kertas tipis dan mangkuk kecil, mereka berdua kemudian berjongkok di depan kolam vinyl.
Dan pada titik ini ... Masachika
menebak,“Ah, orang ini amatiran.”
Pertama-tama, kalau kamu
memegang mangkuk berisi air di tangan, kamu sudah pasti kalah. Itu hanya akan
meningkatkan jarak menyendok dan mempercepat kerusakan jaring kertas. Selain
itu, melihat ke dalam kolam juga bukanlah ide yang baik. Jika bayangan
terbentuk di permukaan air, ikan mas akan melarikan diri. Jika kamu secara
paksa mencoba menangkap ikan mas yang melarikan diri, secara alami…
“Ah…”
Jaring kertasnya dengan cepat
robek dan Alisa sedikit berteriak. Sementara Alisa menajamkan pandangannya dan
bersiap menangkap lagi dengan jaring kertas kedua, Masachika mengarahkan
mangkuk itu sampai ke tepian kolam dan mengapungkannya di permukaan air.
Kemudian, dengan menggunakan bayangan mangkuk untuk mengarahkan ikan mas ke
arahnya, Masachika memiringkan jaring kertas untuk menyerok permukaan air.
“Ups…”
Tanpa menghilangkan momentum, Ia
melempar ikan mas ke dalam mangkuk dengan gerakan memutar. Maria bersorak saat
Masachika menangkap dua atau tiga ikan mas satu demi satu.
“Uwaahh, Kuze-kun hebat
sekali~”
Masachika sangat senang dengan
pujian murni itu sehingga Ia mendemonstrasikan keterampilan yang telah Ia
peroleh sepenuhnya. Awalnya, Ia bermaksud memberikan saran kepada Alisa setelah
menunjukkan beberapa keterampilannya, tapi ...... tanpa diduga, sorakan Maria
begitu terasa menyenangkan sehingga Masachika akhirnya menangkap tiga ikan
sekaligus. Pada akhirnya, ketika Masachika akhirnya menghabiskan ketiga jaring
kertasnya, mangkuk itu penuh dengan ikan mas. Dalam hal jumlah, kira-kira
kurang lebih ada 30 ikan mas yang berhasil ditangkapnya.
“Wahhh, kamu jago sekali, ya~”
“Fyuhh...”
Masachika tersenyum puas pada
tepuk tangan Maria dan begitu Ia menoleh ke sampingnya ….. ekspresi senyumnya
mengeras saat melihat Alisa yang menatap sedih ke arah mangkuknya yang kosong.
(Lah, buat apa aku merasa puas dengan
kemenangan luar biasa ini! Lagipula, ini bukan pertandingan!)
Masachika menyadari kalau Ia
telah melupakan tujuannya untuk membuat Alisa dalam suasana hati yang baik dan justru
terlalu asyik sendiri menangkap ikan mas. Ke mana perginya rencana untuk
mengajarinya cara menangkap dengan lembut dan memamerkan sisi baiknya?
“Umm~~, Alya ... apa mau aku
ajari cara menangkapnya?”
“... Tidak usah. Terima kasih
banyak.”
Masachika menawarkan sarannya
meskipun terlambat, tetapi Alisa menolak saran itu dan berdiri seraya menyerahkan
jaring kertas yang robek dan mangkuk kepada penjaga kios. Masachika juga menyesali
perbuatannya, menolak untuk menerima ikan mas itu dan segera mengikutinya.
“Oh, di sebelah sana ada kios
memancing yo-yo, lo? Kali ini, bagaimana kalau kita mencoba itu?”
Ia kemudian mengajak Alisa ke
kios pemancingan yo-yo terdekat untuk menebus kesalahannya. Permainan ini
sepertinya berbasis waktu dan dikenakan biaya 100 yen selama 30 detik. Balon
air berwarna-warni mengambang di kolam air oval berongga yang berbentuk seperti
lintasan stadion. Melihat ini, Maria mengangkat tinggi-tinggi tangannya.
“Ah, aku ingin mencobanya~”
“... Lalu, aku juga.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau
kita bertiga melakukannya bersama-sama?”
Mereka bertiga berjongkok
berdampingan dan memegang tali pancing dengan kail kecil bermata empat di
ujungnya. Kemudian, saat penjaga kios menghitung mundur, mereka semua mengincar
karet gelang balon air sekaligus. ....
“Ah—yahh.”
“Ah, duhh~”
Alisa dan Maria berjuang
mati-matian dengan tali pancing yang ringan dan tidak bisa diandalkan. Kail
tidak menangkap seperti yang diharapkan, dan bahkan ketika dikaitkan dengan
karet gelang, kail tersebut langsung lepas dan tidak dapat ditarik keluar. Dua
puluh detik telah berlalu, dan mereka berdua masih belum berhasil mendapatkan
balon yo-yo.
Sementara itu ... Masachika
sedang mencari kesempatan, sambil juga menyadari dua orang yang ada di kedua
sisinya.
(Mereka berdua tampak kesulitan ...
baiklah, sekarang waktunya untuk menunjukkan keahlianku. Di sini, aku akan
dengan lihai menangkap tiga balon air untuk kami bertiga dan menebus kegagalan
menangkap ikan mas sebelumnya!)
Dengan penuh motivasi,
Masachika menatap permukaan air. Dengan empat detik tersisa, kesempatan yang
ditunggu-tunggu akhirnya muncul dengan sendirinya.
(── Sekarang!)
Masachika dengan cepat mengaitkan
karet gelang yang mencuat ke arah berlawanan
dari arus, dan menarik tali pancing secara diagonal ke atas. Kemudian, pada
saat ketika tali dikencangkan dan pengait diikat, dua karet gelang di
sekitarnya ikut dikaitkan bersama.
“Yosh!”
“Eh, tiga!?”
“Wah, luar biasa sekali~!”
Masachika menangkap tiga balon
air sekaligus, seperti yang sudah diincarnya, dan tersenyum puas. Kemudian,
penghitung waktu yang menghitung mundur hingga 30 detik berbunyi ... tapi pada
saat yang sama, kail yang tidak dapat menahan beban terlepas dari tali dan
jatuh ke permukaan air.
“Eh——!?”
Suara benda yang jatuh ke
permukaan air diikuti oleh cipratan air, yang memercik ke kaki Masachika dan
kemudian ke dua orang yang ada di kedua sisinya.
“Ah, ma-maaf!”
Merasa bersalah karena membasahi
yukata mereka yang cantik, Masachika buru-buru mengeluarkan sapu tangan, tapi Ia
ragu-ragu untuk memberikannya karena Ia sudah menggunakannya untuk menyeka
tangannya sendiri. Sementara itu, mereka menyeka cipratan air dengan sapu
tangan mereka sendiri.
“Aku minta maaf……”
“Hanya segini saja tidak
masalah. Lagian, itu tidak disengaja.”
“Aku juga tidak terlalu basah
kok, jangan khawatir tentang itu, oke ~? Sebaliknya, Kuze-kun juga harus
menyekanya secepat mungkin.”
“Ah, iya, ma-maaf.”
Masachika sedikit panik ketika
Maria hendak menyeka bekas cipratan air di yukatanya. Pada akhirnya, mereka
mendapatkan yoyo dari hasil tangkapan Masachika, dan masing-masing dari mereka
mendapatkan yoyo balon air yang sudah seperti Ia rencanakan. ...... Adapun
Masachika sendiri, Ia justru merasa bersalah karena sudah membasahi yukata
mereka berdua.
(Ti-Tidak, masih belum! Masih ada
kesempatan untuk menebus kesalahan dari sini!)
Masachika mempertimbangkan
kembali hal itu dan bertekad untuk menunjukkan sisi baiknya, tapi ….. bahkan
setelah itu, semua upayanya jadi sia-sia.
Dalam kios menembak sasaran,
Masachika berhasil menembak jatuh boneka yang diinginkan Maria, namun dampak
jatuhnya malah merusak wajah boneka itu, dan menciptakan suasana yang canggung.
Ketika Ia mencoba membelikan yakisoba sebagai permintaan maaf karena sudah membuat
yukata mereka basah, penjaga kios yakisoba yang mengira kalau mereka bertiga
dalam hubungan mencurigakan, dan membuat serangkaian pernyataan dengan cara
yang sangat vulgar.
Dalam permainan melempar
cincin, Masachika memenangkan hadiah pertama, tapi seorang anak kecil yang
mengantri di belakangnya mulai menangis karena kehilangan hadiah yang
diinginkan dan hal itu membuatnya tidak nyaman. Bagi Masachika sendiri, Ia tidak
terlalu menginginkan hadiah tersebut, jadi Ia memberikan hadiah berupa
perangkat lunak gim kepada anak itu dan berhasil membuatnya berhenti menangis
... Begitu Ia melakukannya, suasana menyenangkan dari festival yang sudah Ia
hancurkan, tidak bisa pulih kembali.
“... Entah kenapa, aku sungguh
minta maaf.”
Setelah melihat orang tuanya menarik
tangan anak itu dan pergi sambil menundukkan kepalanya, Masachika meminta maaf
kepada mereka berdua.
“Kok kamu meminta maaf?
Bukannya kamu sudah melakukan perbuatan yang baik ~”
“Tidak, entah kenapa … dari
tadi, aku selalu merusak suasana menyenangkan festival ini ...”
Masachika tertawa pada dirinya
sendiri, dan Alisa berkata dengan tawa yang sedikit kebingungan.
“Ini bukan salah Masachika-kun,
kok ... Nih, makanlah sesuatu yang manis
dan kembalilah ceria, oke?”
Kemudian, sambil membuang muka
sedikit, Alisa menyodorkan pisang cokelat yang ada di tangannya ke arah Masachika.
“Eh, te-terima kasih ...?”
Untuk sesaat, pemikiran tentang
“Ci-Ciuman tidak langsung” atau “Maria-sama sedang melihat..” terlintas
di benaknya, tapi Masachika setengah refleks menggigit pisang coklat yang
disodorkan di hadapannya. Tapi ... demi menghindari ciuman tidak langsung, Ia
mencoba menggigit bagian tengahnya, tapi ternyata itu adalah ide yang buruk.
“Ah!”
Pisang cokelat terlepas dari
tempat Masachika menggigitnya, dan bagian atasnya terlepas.
Alisa dengan cepat mengulurkan
tangannya untuk menangkapnya, tetapi bagian pisang yang terpotong memantul di tangan
Alisa dan jatuh ke tanah.
“Ahh......”
“Ahh, maaf!”
“Araa~ jadi gagal, ya~”
Sementara Masachika tertegun
atas kesalahannya sendiri, Maria berjongkok dan mengambil pisang yang jatuh.
“Etto, bagaimana kalau kita
mencuci tangan sambil membuang sampah?”
“... Benar juga. Oh iya,
Masachika-kun, kamu tunggu saja di sini.”
“Ah, aku juga akan ikut…”
“Tunggulah di sini.”
Masachika menawarkan diri untuk
menemani mereka, berpikir bahwa Ia tidak bisa meninggalkan kedua gadis itu
sendirian ......, tetapi Alisa dengan paksa menyuruhnya untuk menunggu di sini.
Jadi, Masachika menebak kalau mereka pergi ke toilet wanita untuk alasan lain.
“Ah, kalau begitu ... hati-hati
di jalan.”
Pada saat yang sama ketika Ia
menebak hal itu, Ia menyesali kalau dirinya telah membuat komentar yang tidak
peka sama sekali. Kemudian, ketika Ia melihat kepergian mereka dengan perasaan
yang tak bisa dilukiskan, Yuki dan Ayano datang dari arah yang berlawanan.
“Maaf sudah membuat anda
menunggu, Masachika-sama.”
“Oh ... apa kalian sudah
selesai main katanuki-nya?”
“Ya. Saat aku berhasil mengukir
Nyarlathotep dan Shub-Nigguras, paman penjaga kiosnya sudah hampir menangis,
jadi aku menyudahi permainannya.”
“Aku bahkan tidak bisa
membayangkan desainnya sama sekali, tetapi aku tahu kalau kesulitannya sangat
tinggi sekali.”
Sembari menanggapi dengan lemas,
Masachika menghela nahas panjang. Yuki menaikan satu alisnya saat melihat
ekspresi kakaknya yang tampak murung.
“Ada apa my Onii-chan-sama. Apa ada sesuatu yang terjadi?”
“Yuki... aku mungkin
melakukannya dengan payah hari ini...”
“O-Oh, lebih tepatnya apa yang
sudah terjadi?”
Pipi Yuki berkedut dan Ayano
berkedip berulang kali saat melihat wajah Masachika yang terlihat lebih
tertekan dari sebelumnya dan langsung merengek padanya.
Namun, sebelum Masachika bisa menjelaskan
situasinya, Touya dan Chisaki datang ke arah mereka, dan Masachika hanya menghela
nafas sekali lagi, lalu mengalihkan perhatiannya.
“Maaf sudah membuat kalian
menunggu~”
“Oh, tidak apa. Umm, aku minta
maaf. Gara-gara aku, semuanya malah jadi begini….”
“Eh? Ohh, jangan terlalu
dipikirkan, oke? Sebaliknya ... aku bisa pergi berduaan dengan Touya?”
“Ara~ara~, hubungan kalian
berdua sangat dekat sekali, ya.”
“Hmm... yah, karena kita adalah
sepasang kekasih, sih.”
“Ara~ ara~ fufufu”
Kedua Senpai itu tersenyum
sedikit malu-malu, namun juga tampak senang. Masachika mengangkat bahunya
dengan senyum masam saat melihat pasangan bahagia itu yang tampak
seolah-olah mereka berdua jauh dari hal
kekerasan.
Kemudian, mereka berlima
berdiri seraya berbincang-bincang sebentar, dan segera setelah itu, Alisa dan
Maria pun kembali dari toilet. Lalu, saat mereka bertujuh sedang membahas ke
mana lagi mereka mau pergi, mereka mendengar dentuman genderang yang datang
dari kuil utama.
“Oh, Mikoshi-nya sudah muncul.
Apa itu berarti sudah waktunya untuk pertunjukkan kembang api?”
Seperti yang Touya katakan,
tiga
mikoshi dengan berbagai ukuran terlihat datang ke arah mereka dari kuil utama di
tengah jalanan batu, dan orang-orang menyingkir di kedua sisi untuk memberi
jalan. Masachika menghela nafas dalam hati saat bergerak ke tepian jalan
berbatu juga.
(Sebetar lagi pertunjukan kembang api,
itu artinya festival akan segera berakhir ... Kali ini, aku benar-benar banyak
mengacau…)
Masachika merasa murung karena
Ia berpikir bisa menebus kesalahannya pada Alisa, tapi Ia malah menambah
kesalahannya sendiri. Lalu, Ia merasa kalau bagian siku yukatanya ada yang
menarik, dan ketika menoleh, Masachika melihat kalau Alisa sedang menatapnya
sambil mengerutkan kening.
“Duh, jangan pasang muka murung
begitu lagi. Bukannya tempo hari aku sudah pernah memberitahumu? Itu loh...”
“….?”
Alisa membuat kata-katanya menjadi
ambigu karena sedikit khawatir mengenai keberadaan lima orang di sisi lain
Masachika. Tapi kata “Itu, loh” terlalu
abstrak bagi Masachika untuk memahami maksudnya.
“Itu loh... saat kita terakhir
kali pergi keluar bersama ... di depan rumah.”
“Di depan rumah ...?”
Alisa yang sudah tidak sabar
memberinya petunjuk, tapi Ia masih tidak bisa mengingat apapun di benaknya.
(Saat kita pergi keluar bersama...? Di
depan rumahku, maksudnya di lorong apartemen?Memangnya ada sesuatu?)
Saat Masachika menelusuri
ingatannya sambil mengarahkan pandangannya kemana-mana, Alisa berkata dengan
kesal, “Duhh, ya ampun!” dan mencolek
pipi Masachika dengan jari telunjuknya.
“Astaga, kamu itu benar-benar
tidak bisa memahami hati seorang gadis ...”
“Eh, hah? Maaf?”
Masachika mengedipkan matanya
berulang kali saat pipinya dicolek. Alisa yang memandangi wajahnya untuk
sementara waktu, tiba-tiba tersenyum kecil dan menatap wajah Masachika dengan senang.
“Meski begitu... Masachika-kun
juga ternyata bisa merasa depresi karena kegagalan seperti itu, ya?”
“Apa-apaan maksudnya itu? Tentu
saja lah bisa.”
Ketika Masachika mengangkat
alisnya dengan ringan seolah menyiratkan, “Wajar
saja, ‘kan?” Alisa mengerutkan bibirnya dengan tidak puas seraya melihat ke
arahnya.
“... Habisnya, kamu selalu
terlihat santai dan dapat menangani semuanya dengan mudah. Kupikir kamu tidak
perlu merasa murung ketika segala sesuatunya tidak berjalan dengan baik.”
“... Jika terlihat seperti
itu….itu karena aku sengaja menunjukkannya seperti itu. Pada kenyataannya, aku
biasanya merasa depresi.”
Usai mengatakan itu, Ia segera
menyesali karena sudah mengatakan sesuatu yang tidak perlu.
(Dasar bego. Apa gunanya memperlihatkan
sisi tidak kerenku?)
Masachika menghina dirinya
sendiri di dalam hati, tapi Alisa hanya menanggapi, “Hmmm~,” dan melangkah lebih dekat ke Masachika dan dengan ringan
menyentuh lengannya seolah-olah hendak bersandar padanya. Dia kemudian dengan
lembut memegang tangan Masachika saat menghadap ke depan.
“A-Alya?”
Masachika tersipu dengan
pegangan tangan yang begitu tiba-tiba, tapi Alisa diam-diam membuka mulutnya
tanpa berbalik.
“... Mulai sekarang, tolong tunjukkan
padaku sosok seperti itu tanpa perlu menyembunyikannya.”
“Eh?”
“Aku juga …. ingin mendukungmu,
tau? karena kita adalah partner.”
Bibir Alisa cemberut dan dia
tampak agak tidak senang. Namun, jelas sekali kalau itu semua hanyalah kedok
demi menyembunyikan rasa malunya. Entah dia menyadarinya atau tidak, Alisa
masih terus melampiaskan keluhannya.
“Bukan sifatku untuk
terus-menerus selalu dibantu olehmu ... jadi sesekali, biarkan aku membantumu juga.”
“Perintah macam apa itu.”
Bertentangan dengan nada
suaranya, Masachika tiba-tiba menertawakan perintah itu karena isinya yang
terlalu lucu. Sesaat kemudian, Alisa menajamkan tatapannya, dan mencakar tangan
Masachika yang dipegang tangannya.
“Cerewet, jangan ketawa.”
“Aduduh, maaf, maaf.”
Meski meminta maaf, tapi
ekspresi wajahnya masih tersenyum. Kata-kata kikuk tapi lugas Alisa
menghangatkan hati Masachika yang tertekan.
“Terima kasih. Hanya perhatianmu
saja sudah cukup membuatku merasa senang.”
Ia menatap lurus ke mata Alisa
dan memberitahunya dengan lembut. Itu adalah niat tulus Masachika. Faktanya,
kata-kata dan perasaan Alisa menyelamatkan hati Masachika dari kubangan
kebencian diri. Namun, sepertinya Alisa tidak menganggapnya begitu.
“Kenapa ... padahal aku sudah mengatakannya sejauh
ini, tapi kamu masih mengatakan itu?”
“E-Eh?”
Masachika bingung dengan Alisa
yang mengerutkan kening padanya dengan suasana yang beneran murung. Kemudian,
merasakan bahwa kata-katanya sebelumnya telah diartikan sebagai menahan diri,
Ia buru-buru meminta maaf.
“Tidak, bukan begitu maksudku—”
“Sudah cukup. Aku merasa muak.”
Ketika dia mengatakan itu
dengan suara kecil, Alisa tiba-tiba melepaskan tangannya dan berbalik.
“O-Oii ...?”
“Jangan ikuti aku.”
Dan setelah mengatakan itu, dia
pergi menjauh dengan berjalan cepat. Tangan Masachika yang terulur kehilangan
tempatnya dan mengembara di udara kosong.
“Umm ...”
Apa
aku perlu mengejarnya atau tidak. Sementara dirinya merasa
kebingungan, kali ini lengan bajunya ditarik dari belakang. Saat berbalik,
Masachika melihat Yuki, dan di belakangnya Ia bisa melihat mikoshi yang diarak
semakin dekat.
“Masachika-kun, kameranya.”
“Eh, ahh, ini..”
Masachika lalu menyerahkan
kamera digitalnya kepada Yuki. Dia kemudian menghadap kuil portable dan
mengambil foto.
“Ketua, Sarashina-senpai, mau
foto bersama?”
“Eh, benarkah?”
“Ohh, terima kasih banyak,
Suou.”
Kemudian dia mulai mengambil
gambar satu demi satu, termasuk anggota kelompok lainnya. Saat Masachika menonton
itu, tak lama kemudian Alisa pun kembali.
“Oh, selamat datang kembali?”
Merasa lega melihatnya sudah
kembali ……. Masachika hanya bisa memiringkan kepalanya sedikit ketika melihat
apa yang ada di tangan Alisa. Wadah lipat berwarna putih. Usai mengintip
sedikit melalui celahnya, ternyata apa yang dibawa Alisa adalah takoyaki.
“... Apa kamu kebelet ingin memakannya?”
“Mana mungkinlah.”
Dia menjawab dengan tatapan
tajam, Alisa lalu melanjutkan dengan senyum yang sedikit sadis.
“Bagaimana kalau kita
bertanding?”
“Hahh? Bertanding?”
“Ya.”
Kemudian, arak-arakan Mikoshi
semakin mendekati mereka, dan perhatian anggota OSIS lainnya tertuju pada pawai
tersebut. Namun, Masachika dan Alisa hanya saling memandang tanpa memedulikan
hiruk pikuk di sekitar mereka.
“Apa kamu tidak merasa kesal
karena melarikan diri tanpa menjalankan perintah yang diberikan Yuki-san?”
“Ehh!? Eh, ah ... tidak, tapi,
‘kan?”
Perkataan tak terduga Alisa
membuat Masachika mengingat perintah Yuki ... yang mana untuk “Saling berciuman satu sama lain" dan
hal itu membuatnya gelisah. Sambil merasa gelisah, Ia mengecilkan suaranya
setelah melirik Yuki yang ada di belakangnya.
“Yang itu sih ... jelas-jelas
tidak boleh, iya ‘kan?”
“Aku sih tidak keberatan. Aku
lebih benci kalau orang lain mengira kalau aku itu pengecut yang melarikan
diri.”
“Ehh~...”
Alisa menatap lurus ke arahnya
dengan tatapan penuh tekad, dan Masachika tanpa sadar membuang muka. Tetap
saja, dalam upaya untuk membujuknya, Ia menunjuk ke sekeliling dengan pandangan
matanya dan menatap kembali ke arah Alisa.
“Tapi …. kamu mau melakukannya
di sini?”
Saat Masachika bertanya seolah
ingin memastikan, Alisa tersenyum menyeringai ke arahnya.
“Itu sebabnya, aku mengusulkan
pertandingan ini ... Jika kamu menang,
aku akan menghiburmu setelah kita kembali ke vila. Benar juga, hmm ... Aku akan
membelai lembut kepalamu di pangkuanku dan mencium keningmu.”
“E-Ehh ... seriusan, nih?”
Tanpa sengaja membayangkan
adegan itu, Masachika bertanya balik dengan nada serius. Alisa yang selalu
memiliki tsundere yang kuat, dengan lembut menghiburnya melalui bantal pangkuan
di pahanya. Di tambah lagi, dia bahkan akan mencium keningnya. Meski Masachika
sudah tidak merasa murung lagi, tawarannya itu masih terlalu menggoda.
Alisa secara provokatif
mengangkat dagunya pada Masachika yang tertarik dengan tawarannya.
“Tapi tentu saja, kamu juga harus
mengambil risikonya, oke? Bantal pangkuanku tidak semurah itu.”
“... Oh, lalu bagaimana kalau
kamu yang menang?”
“Benar juga ... oh, bagaimana
kalau membawaku pergi dari sini?”
“Haa?”
Alisa hanya menyeringai saat
Masachika mengedipkan matanya berulang kali.
“Bagaimana kalau kamu
menggandeng tanganku di tengah kerumunan ini, membawaku ke tempat yang sepi,
dan menciumku di sana? Ya ... dengan penuh semangat dan gairah, hmm?”
Pipi Masachika berkedut ketika
mendengar ucapannya.
“... Sungguh adegan yang sangat
memalukan. Bukannya itu justru mirip seperti adegan klimaks dari drama.”
“Fufufu~, aku yakin semuanya
pasti akan terkejut, ‘kan ~? Tapi aku serius, lo. Karena aku akan melakukan
sesuatu yang memalukan jika aku kalah. Hadi setidaknya, aku harus memintamu
melakukan perbuatan yang setimpal.”
“... Jadi, bagaimana cara kita
bertanding?”
Menanggapi pertanyaan
Masachika, Alisa tertawa dan dengan gembira mengangkat bungkusan takoyaki.
“Aturannya gampang. Orang yang
salah memakan isian takoyaki Russian
roulette ini adalah orang yang kalah.”
“Russian? Cuma untuk Alya? Kenapa hal semacam itu ada di menu
festival? Eh, apa isiannya kalau yang salah?”
“Takoyaki yang berisi banyak wasabi[4].”
“Itu sih isian yang sering
dimakan para pelawak ... Eh, tapi itu, bukannya kamu bisa memakannya dan
berpura-pura bertingkah biasa saja?”
Setelah mengatakan itu, Ia lalu
berpikir lagi, “Tidak, jika cuma ada kami
berdua, apa gunanya menahan diri? Kalau aku tidak memakannya, maka pihak
lainlah yang memakannya.” Tapi Alisa cuma mengangkat bahunya seolah-olah
tahu apa yang dipikirkan Masachika.
“Dalam kasus yang begitu, kita
akan saling menebak takoyaki nomer berapa yang salah setelah selesai memakan
semuanya. Jika tidak bisa menebaknya, kita akan menganggapnya seri dan
melakukan pertandingan yang kedua.”
“Bukannya itu kamu bisa
berbohong dan bilang tebakanmu salah, meskipun sudah ditebak dengan benar ...”
“Kalau itu sih lakukanlah
dengan jantan.”
“Ah, oke, oke, baiklah.”
“Kalau begitu, aku akan membiarkanmu
memilih antara mau duluan atau kedua. Kamu pilih yang mana?”
“... Kalau begitu, yang kedua.”
Setelah berpikir sejenak,
Masachika memilih giliran kedua. Kemudian, Alisa menusuk takoyaki di depannya
dan melemparkannya ke mulutnya tanpa ragu-ragu.
“Baiklah, sekarang giliranmu.”
“… Oke.”
Dan kemudian Alisa menawarinya wadah
takoyaki dengan senyum provokatif. Melihat ekspresinya yang begitu, ….. Masachika
merasa yakin.
(Orang ini pasti sudah melakukan sesuatu
...)
Pertama-tama, aturan ini sangat
menguntungkan bagi Masachika yang menyukai makanan pedas. Namun, sikap Alisa
entah kenapa terlihat sangat percaya diri. Apalagi dia sepertinya tidak takut
kalah ketika memakan takoyaki.
Dari semua petunjuk itu, bisa
disimpulkan ... dengan kata lain, dia bermain curang. Karena dia begitu yakin
akan kemenangannya sendiri, dia jadi bisa bersikap sok seperti itu.
(Oh, begitu ya ... 『Kamu akan membayar perbuatanmu karena
tidak menghargai perhatianku』
begitu maksudnya, ya.)
Rupanya, perkataan Masachika
sebelumnya, “Hanya perhatianmu saja sudah
cukup membuatku merasa senang,” ternyata tanpa disengaja menyinggung
perasaaanya. Merasakan tujuan sebenarnya dari game ini, Masachika menyerah.
(Yah, siapa pun pasti akan merasa jengkel
karena sudah susah payah memberanikan diri untuk membantu, malah ditolak
mentah-mentah ... Tidak, padahal itu salah paham, sih)
Namun, meski itu adalah
kesalahpahaman, tapi memang benar kalau dirinya menolak tawaran baik Alisa.
Bisa dibilang kalau Masachika mempermalukan seorang gadis yang memiliki
keberanian untuk melakukan itu. Jika begitu masalahnya,.... Ia perlu pura-pura
tertipu oleh trik Alisa sebagai penebusan atas perbuatannya. Ia kalah dengan
anggun, bertindak dengan penuh semangat, dan mendapat tawa cemooh Alisa. Jika
itu membuat Alisa merasa lebih baik, dengan senang hari Ia akan melakukannya.
(Hmm~, sebenarnya aku kurang menyukai
rasa pedasnya wasabi... Tapi yah, kurasa aku harus hati-hatu untuk tidak
memuntahkannya...)
Dengan pemikiran begitu,
Masachika memutuskan untuk mengambil satu dan dua takoyaki ke dalam mulutnya
...
(Hah? Meleset ya?)
Saat memasukkan takoyaki yang
ketiga ke dalam mulutnya, Masachika merasa sedikit tidak nyaman sekaligus
terkejut.
“Kalau begitu, ini yang
terakhir bagiku.”
Setelah mengatakan ini, Alisa
masih tidak menunjukkan tanda-tanda keraguan dan membawa takoyaki keempat ke
mulutnya sambil tersenyum provokatif. Wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda
merasa kepedasan sama sekali.
(Kebetulan? Bahkan dari tingkah lakunya selama
ini, Alya yakin kalau dia akan menang… aku kebetulan menjadi pihak yang tidak
mendapat takoyaki wasabi sampai akhir…?)
“Lihat, ini yang terakhir, lo.”
“I-Iya ...”
Sambil berpikir begitu, wadah
takoyaki disodorkan ke arahnya dan Masachika menusukkan tusuk gigi di takoyaki
terakhir. Namun, Ia masih tidak berhenti berpikir selama itu.
(Rasanya ada sesuatu yang tidak beres...
Tapi... pertandingan yang merugikan Alya, kelakuannya yang tanpa ragu-ragu,
kecurangan pasti ... Ah)
Kemudian Masachika menyadari
sesuatu. Hanya ada satu jawaban yang menjelaskan semua ketidaknyamanan ini.
Justru sebaliknya. Tidak ada
yang namanya kecurangan. Malahan ....
(Bagaimana kalau dari awal ... tidak ada
yang namanya takoyaki berisi wasabi?)
Jika itu yang terjadi, semua
prasangkanya tadi meleset. Ya, itu bukan strategi kemenangan. Sebaliknya,
pertandingan ini ...
(...Jika dari awal tidak ada takoyaki
wasabi, maka tentu saja aku takkan memakannya. Lalu menurut aturan, aku harus
menebak takoyaki yang keberapa Alya salah ... Benar atau tidaknya itu semata-mata
penilaian diri Alya. Dengan kata lain ...)
Ya, dengan kata lain... bagi
Alisa, ini adalah pertandingan di mana dirinya harus kalah.
Pada saat menyadarinya,
Masachika merasa tercengang sekaligus tersentuh ... Ia dikejutkan oleh perasaan
yang tak terlukiskan dan tersenyum kecil.
Sungguh cara yang kikuk untuk
menghibur. Dia berniat ingin menghibur Masachika dengan dalih sebagai sanksi
hukuman karena kalah dari pertandingan. Sungguh partner yang baik hati. Tapi……
(Jika tidak melakukan itu, kamu takkan
bisa menghiburku, ya ...... dan semuanya adalah salahku karena membuatmu
berpikir begitu)
Ia memahami semuanya dan
membawa takoyaki terakhir ke mulutnya. Masachika lalu mengunyahnya, tapi ...
seperti yang sudah diduga, Ia masih tidak merasakan pedas sama sekali. Pada
saat itu, Alisa tersenyum spontan dan…
【Akulah yang menang】
Dia menggumamkan sesuatu seperti
itu. Masachika yakin kalau tebakannya benar ketika mendengar kata-kata Rusia
itu....
(Yah, karena aku sudah menyadarinya ...
mana mungkin aku membiarkannya kalah begitu saja, iya ‘kan?)
Dalam hati berbicara pada
dirinya sendiri, Masachika lalu membuka matanya lebar-lebar dan menekan
mulutnya dengan cepat.
“Ogh, pedas sekali!?”
“?! E-Ehhh?”
“~~~~! Oh, uh ... haaa~, sepertinya
aku yang kalah, ya.”
Ia menelan takoyaki yang ada di
mulutnya, lalu mendongak dan tatapannya bertemu dengan pandangan Alisa yang
berkedip kebingungan padanya. Melihat ekspresinya yang terlihat campur aduk
antara kebingungan dan kekacauan, Masachika pun menyeringai ... kemudian
mengambil wadah takoyaki dari tangannya, dan merangkul pinggang Alisa dengan
tangannya yang lain.
“Kalau gitu, bagaimana kalau
kita pergi sekarang? Ojou-san?”
“Eh, I-Iya———?”
Masachika bertanya nakal dari
jarak dekat, dan begitu melihat mata Alisa melebar dan balas mengangguk, Ia
lalu menggenggam tangannya dan lari meninggalkan tempat tersebut.
“Eh, Ma-Masachika-kun….. !?”
Suara terkejut Yuki terdengar
di belakangnya, tapi Ia berlari tanpa menoleh ke belakang. Meninggalkan mereka
berlima, Masachika dan Alisa berlari menuju gerbang torii.
Masachika terus berjalan melewati
kerumunan sambil berhati-hati supaya Alisa tidak tersandung jatuh. Saat
melewati kuil portable (mikoshi) dan
melihat gerbang torii, mereka mendengar bang......
sebuah ledakan keras, dan kembang api besar muncul di tengah gelapnya langit
malam. Menangkapnya dari sudut matanya, Masachika terus berlari. Setelah
melewati gerbang torii dan menuruni tangga batu, mereka akhirnya berhenti ketika
sampai di tempat parkir kecil yang ditutupi kerikil.
Tempat parkirnya sendiri sedikit
lebih tinggi, dan dari belakang tempat parkir tersebut mereka bisa melihat
pemandangan malam kota di tepi laut dan ... pertunjukan kembang api yang bermekaran
di langit malam.
“…...”
Mereka berjalan diam-diam melewati
tempat parkir hingga mencapai pagar kayu, di mana mereka akhirnya melepaskan
pegangan tangan. Setelah sekitar sepuluh detik berdiri berdampingan menatap
kembang api, Alisa tiba-tiba berkata, “Hei,”
dengan suara tajam.
“Hmm?”
Saat berbalik, Ia melihat Alisa
menatapnya dengan ekspresi murung. Namun karena alasannya sudah jelas, jadi
Masachika tidak merasa panik maupun gelisah sama sekali.
“Apa maksudnya hasil pertandingan
tadi?”
“Apa yang sedang kamu bicarakan?”
“ !!Jangan main-main denganku
... aku tahu kalau kamu takkan kalah. Tapi kenapa kamu justru berpura-pura
kalah?”
Alisa sendiri tahu betul bahwa
tidak ada yang namanya takoyaki pedas di dalam takoyaki itu. Dengan kata lain,
semua itu hanyalah akting Masachika belaka... dan kemenangan Alisa cuma
pemberian semata. Saat Alisa mengangkat alisnya untuk menanyakan apa maksudnya
itu, Masachika tampak tidak terganggu dan sedikit memiringkan kepalanya.
“Kalau begitu, izinkan aku
bertanya sebaliknya.”
“……Apa?”
“Mengapa kamu mencoba
berpura-pura kalah?”
Begitu mendengar ucapan
Masachika. Alisa menyadari. Dia menyadari bahwa semua rencana dan niatnya telah
ketahuan. Masachika tersenyum menyeringai pada Alisa yang matanya melebar dan
pipi yang memerah.
“Hahaha, yah, kurasa masih
sepuluh tahun lebih cepat buatmu untuk mengakaliku.”
Setelah tersenyum penuh
kemenangan, Masachika mengubah ekspresinya dan menatap Alisa dengan mata tenang.
“Terima kasih banyak. Karena sudah
mencoba menghiburku. Tapi aku beneran baik-baik saja. Hanya perhatianmu saja
sudah cukup membuatku merasa senang.”
Mendengar perkataan tulus
Masachika, Alisa membuka dan menutup mulutnya seakan ingin mengucapkan sesuatu,......
tapi pada akhirnya, dia hanya cemberut dan memalingkan wajahnya untuk melihat
pertunjukan kembang api. Masachika cuma bisa tersenyum masam dan beralih untuk
menonton pertunjukan kembang api juga.
Mereka berdua menonton kembang
api dalam keheningan untuk beberapa saat. Cahaya warna-warni menghiasi langit
malam dan suara ledakan yang mengguncang udara. Merasakannya dengan seluruh
tubuhnya, Alisa pun berbisik.
“... Cantik sekali, ya.”
“Iya.”
Sambil mengangguk pada ucapan
Alisa, Masachika tiba-tiba berpikir.
(Ah, sialan. Harusnya tadi itu aku
menjawabnya dengan, “Justru kamu yang lebih cantik”, iya ‘kan?)
Seraya berpikir seperti itu,
Masachika melirik wajah Alisa. Sosok Alisa yang diterangi oleh kembang api
berwarna-warni dan muncul dalam kegelapan dengan cahaya merah dan hijau, masih terlihat
cantik sampai-sampai membuat orang lain terkesiap. Tetapi……
(Hmm ..... Tidak, aku tidak bisa melihatnya
dengan baik. Pasti jauh kelihatan lebih cantik di tempat yang terang pada siang
hari.)
Pemikiran yang tidak terlalu
emosi maupun menyebalkan semacam itu muncul di benak Masachika. Namun pada saat
yang sama, dirinya kebingungan apa Ia harus melanjutkan ucapannya tadi ...
Masachika lalu mengalihkan pandangannya ke depan dan mengatur ucapannya ketika
kembang api yang telah naik meledak dengan suara keras.
“Ты красивая.” [Justru kamu yang lebih cantik]
Gumaman itu tenggelam oleh
suara keras yang mengguncang langit malam. Setelah mengintip wajah Alisa dan
memastikan bahwa bahasa Rusianya tidak terdengar, Masachika berbalik menghadap
ke depan seray menahan rasa malu.
(Uwooooohhhhhhhhhhhhhhhhh~~!Malu-maluin
bangettt~~!! Aku tidak mau melakukannya lagi~! )
Masachika mati-matian menahan
kegelian yang menggelitik hatinya dengan mengatupkan gigi belakangnya supaya
ekspresinya tidak runtuh. Tapi tiba-tiba …. ada tangan yang dengan lembut
diletakkan di bahu kanannya.
(Apa …..?)
Masachika mengira bahu kanannya
akan ditepak, tapi sebelum Ia bisa berbalik…..
“Hmm—”
Bibir Alisa menempel di pipinya.
Ia bisa merasakan dengan jelas bibir dan ujung hidung Alisa menyentuh pipinya. Badan
Masachika membeku karena sensasi ciuman yang tidak perlu dipertanyakan lagi.
Otaknya benar-benar kacau dan Ia bahkan tidak bisa mendengar suara dentuman
kembang api.
Suara kecupan samar-samar
mencapai telinga Masachika saat Ia masih tertegun, dan tubuh Alisa diam-diam
menjauhi dirinya. Ketika Ia akhirnya menggerakakan matanya untuk menoleh ke
samping, Masachika melihat wajah Alisa yang masih sedikit malu-malu tapi tetap
memasang senyum provokatif.
“‘Sepuluh tahun lebih cepat untuk mengakaliku’ ... tentang apa ya
maksudnya~?”
Alisa mengatakan itu dengan
bangga sambil memainkan kuncir rambutnya. Mendengar perkataannya, Masachika
mengingat komentarnya dan perintah Yuki, tetapi dampak ciuman Alisa terlalu besar
untuk diabaikan.
“Ka-kamu… apa yang baru saja…”
Ketika Masachika terbata-bata
sembari memegang pipinya dengan tangannya, Alisa memberinya ekspresi puas dan
mengangkat dagunya.
“Jadi? Kira-kira mau di sebelah
mana Masachika-kun akan menciumku?”
Mata Masachika melebar dan
napasnya tersangkut di tenggorokannya ketika mendengar ucapan Alisa.
(Seandainya… )
Seandainya saja Ia memegang
bahu Alisa di sini ... apakah Alisa akan menanggapinya?
Pemikiran konyol seperti itu
melintas di benaknya, dan Masachika dengan cepat menyingkirkannya. Dan ketika
berpikir kalau dirinya harus membalas di pipinya juga ….... Masachika segera
berpikir kalau itu mustahil, karena wajah Alisa yang terlalu cantik muncul
dalam kegelapan.
Mengecupkan bibirnya ke permukaan
kulit putih itu. Mana mungkin tindakan kurang ajar semacam itu bisa dimaafkan.
Ketika Masachika berpikir
begitu, Ia bahkan merasa ragu untuk mencium punggung tangannya. Jika itu
masalahnya, Ia pikir lebih baik memilih dari atas pakaian ...... tapi mencium
barang milik orang lain itu mirip seperti perbuatan orang cabul, di sisi lain
identitasnya sebagai laki-laki perlu dipertanyakan kalau cuma dirinnya saja
yang menolak untuk berciuman di sini ... ...
“~~~~~~~!”
Setelah beberapa detik
merasakan konflik batin, Masachika memutuskan untuk berjalan mendekati Alisa
dan mengulurkan tangan kanannya ke telinga Alisa.
“Hmm……”
Jari-jemari Masachika menyentuh
telinganya, dan Alisa menutup satu matanya karena merasa geli. Namun, dia segera
mengubah ekspresinya dan menatap lurus ke wajah Masachika. Sembari membalas
tatapannya, Masachika dengan lembut menurunkan tangan kanannya untuk meraih ujung
rambut Alisa ... dan membiarkan bibirnya mengecup rambut tersebut. Ia kemudian
segera melepaskan rambut yang ada di genggaman tangannya.
(Hmm~~~~~~ !!)
Segera setelah itu, Ia
memejamkan matanya dan menggeliat tidak karuan di dalam otaknya. Perilakunya
sendiri telah mendorongnya melampaui batas rasa malu.
(Lagian, kenapa di rambut! Kalau
dipikir-pikir lagi dengan tenang, mencium rambut! Bukannya itu tempat pertama
yang cuma boleh dilakukan khusus orang tampannn…….!)
Meski Ia memilih untuk mencium
rambutnya sebagai upaya melarikan diri karena Ia tahu betul kalau mencium
kulitnya langsung itu mustahil ...... tapi setelah dipikir-pikir lagi, Ia menyadari
kalau itu ternyata tindakan yang sangat gila, dan Masachika memukul kepalanya
sendiri keras-keras di dalam batinnya.
“Fu … fufu”
Lalu tiba-tiba, Ia mendengar
tawa kecil, dan Masachika membuka matanya dengan ketakutan. Alisa kemudian
menatapnya dengan ekspresi terkejut sambil meletakkan tangannya di mulutnya.
“Fufu~... untuk sesaat, kupikir kamu akan mencium
bibirku, tapi ternyata ….. kamu justru mencium rambutku?”
“... Berisikkk. Maaf saja ya
kalau aku ini seorang pengecut.”
Masachika memalingkan mukanya
karena rasa malu dan sedikit rasa aib. Senyum Alisa semakin lebar ketika
melihat reaksi Masachika yang seperti itu, dan dia tiba-tiba mengangkat rambut
yang baru saja dicium Masachika, lalu ….. menempelkan ujung rambutnya ke
bibirnya sendiri di hadapan Masachika, yang mengawasinya dengan pandangan ke
samping.
“Hm, ap——”
Alisa menyeringai kepada
Masachika, yang melebarkan matanya karena tak bisa berkata apa-apa.
“Dasar tak punya nyali.”
Dan ketika dia mengatakannya secara
provokatif, Alisa tiba-tiba merangkul lengan Masachika. Dia melingkarkan
lengannya di sekitar lengan Masachika dan memeluknya erat-erat, lalu berbalik
menghadap kembang api dan sedikit meletakkan kepalanya di bahu Masachika.
“Ya ampun, sungguh partner merepotkan yang tidak bisa
memahami hati seorang gadis.”
Dia mengatakan itu dengan nada
lelah, tapi dengan senyum nakal masih menghiasi wajahnya. ...... dan ketika
melihat wajahnya itu…
(Ah, begitu rupanya ……)
Mau tak mau Masachika menyadarinya.
Ia dipaksa untuk menyadarinya.
(Alya, ternyata kamu memang….)
Selama ini, Ia berpaling dari
kenyataan. Tapi sekarang, karena sudah sampai sejauh ini, Ia tidak bisa
mengelak lagi. Masachika …. tidak bisa berpura-pura untuk tidak menyadari
perasaan cinta Alisa kepada dirinya.
Walau sudah menyadarinya ... tapi Masachika hanya merasakan sesak di
dadanya.
(... Tapi, aku… )
Sambil mengepal erat-erat
tangannya, Masachika melihat ke atas langit. Entah kenapa, kembang api yang
tadinya terlihat sangat indah, sekarang terlihat menyayat hati dan cepat
berlalu.
Tanpa menyadari pemikiran batin
Masachika, pertunjukan kembang api terus bermekaran dan berhamburan satu demi
satu. Cahaya yang sesaat dan indah tersebut memantulkan bayang-bayang kedua
orang yang bersandar satu sama lain di atas permukaan tanah.
Sebelumnya |
Daftar isi | Selanjutnya
[2] Katanuki adalah permainan mengukir permen. Aktivitas yang biasa dilakukan dalam festival Jepang di mana cetakan permen berwarna yang terbuat dari tepung gandum, pati, atau gula, diukir menggunakan jarum atau tusuk gigi dalam bentuk binatang, bintang, bunga sakura, dll. Mereka yang dapat mengukir cetakan dengan mahir akan menerima hadiah.
[3] Sedikit pembahasan mengenai permainan menangkap ikan mas ini. Kingyo sukui atau permainan menangkap ikan mas adalah salah satu permainan yang paling populer di festival musim panas. Para pemain ditantang untuk menangkap ikan sebanyak mungkin sebelum kertas pada jaring yang disebut dengan poi (ポイ) mereka robek. Bergerak terlalu cepat atau membiarkan poi terlalu lama di dalam air akan membuatnya cepat robek, sehingga permainan akan berakhir karena pemain tidak dapat menangkap ikan lagi. Pemain yang berhasil memancing ikan boleh membawa pulang hasil tangkapan mereka dengan kantong plastik yang disediakan di kios permainan.)
[4] Wasabi adalah bahan makanan yang rasanya sangat pedas