Epilog — Masa Lalu Yang Tidak Boleh Dilupakan.
“Ara Masachika-chan, kamu mau
keluar?”
“Ya, aku mau keluar dulu
sebentar.”
“Begitu, hati-hati di jalan,
ya?”
“Hmm, aku pergi dulu.”
Masachika melambai ke neneknya
dan meninggalkan rumah. Setelah menyelesaikan kemah pelatihan OSIS, Masachika
datang mengunjungi rumah kakek-nenek dari pihak ayahnya ... Pada hari ini, Ia
memutuskan untuk pergi ke tempat tertentu dengan satu tekad.
“... Baiklah..”
Dengan mengerahkan sedikit
semangatnya, Masachika perlahan mulai berjalan di bawah terik matahari.
“...”
Selama kemah pelatihan OSIS,
Masachika menyadari perasaan cinta Alisa yang diarahkan padanya. Ia tidak tahu
seberapa besar perasaan cintanya itu. Apa itu hanya perasaan samar yang tidak
disadari oleh orangnya sendiri, atau apa itu justru perasaan yang jelas Alisa
sadari ... Jika itu yang terakhir, apa Alisa sendiri memiliki keinginan untuk
menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih atau tidak. Masachika sendiri tidak
tahu tentang itu …. Tapi karena sekarang Ia sudah menyadari hal tersebut, Ia tidak
bisa berpura-pura tidak mengetahuinya seperti dulu lagi.
Tidak, sebelum berpura-pura
tidak tahu ... Masachika berpikir kalau dirinya harus memantapkan perasaan dan
tekadnya. Bagaimana dirinya harus …. menanggapi perasaan Alisa?
(Apa aku …. menyukai Alya?)
Itu adalah pertanyaan yang
sudah Ia tanyakan pada dirinya sendiri berkali-kali sejak hari kemah pelatihan.
Jika ditanya apa Ia menyukainya atau tidak, Masachika pasti akan mengatakan kalau
Ia menyukainya. Sebaliknya, dirinya bahkan merasakan sesuatu yang mirip dengan
kasih sayang. Ia juga merasakan sesuatu yang tampak seperti kegembiraan cinta.
Tapi……
(Aku tidak tahu ...)
Jika ditanya apa itu
benar-benar cinta, Masachika sendiri tidak begitu paham. Tidak, bisa dibilang
kalau Ia mencoba untuk tidak memahaminya. Dan alasan tersebut sangat dimengerti
oleh dirinya sendiri.
(Jika mengingat masalah cinta ...)
Mau tak mau Ia jadi mengingat
kenangan masa lalu. Mengenai dirinya yang pernah jatuh cinta pada gadis itu. Dan Masachika membenci
dirinya sendiri karena telah melupakan gadis itu dan tidak bisa lagi mempercayai
cintanya sendiri ... Lalu pada akhirnya, Ia berpura-pura tidak melihatnya. Begitulah
cara dirinya melarikan diri selama ini.
(Tapi ... kalau aku begitu terus, tidak
ada gunanya.)
Sekarang, Ia harus berhenti
melarikan diri. Jangan gunakan gadis itu
sebagai alasan untuk lari dari cinta lagi. Ia harus menyelesaikan cinta masa
lalunya ... demi bisa terus melangkah maju.
Ada seseorang yang jatuh cinta
kepada dirinya yang seperti ini. Ada seorang Senpai …. yang memberinya keberanian pada
dirinya yang seperti ini.
“Karena
Kuze-kun adalah tipe orang yang bisa mencintai seseorang dengan baik.”
Ditemani kata-kata yang diucapkan
dengan pelukan lembut, Masachika bergerak maju. Ia berjalan menuju ….... taman
yang dipenuhi dengan kenangan bersama gadis
itu.
“.....”
Semakin dekat dirinya melangkah
ke taman, semakin familier pula jalan yang Ia lewati .... Hati Masachika berderit
dan mengeluarkan aliran rasa jijik serta penolakan tanpa henti. Bahkan
setelah mengambil keputusan, langkahnya masih terasa lambat dan pemikiran untuk
melarikan diri seperti, “Mendingan pulang
lagi saja,” atau “Mungkin aku akan melakukannya lain kali” muncul di
benaknya.
Meski demikian, Masachika terus
berjalan sambil menahan keringat berminyak yang bercucuran terlepas dari panasnya
terik matahari, dan sensasi mual yang berputar-putar di perutnya. Butuh waktu
lebih dari 30 menit untuk mencapai tujuan, yang biasanya memakan waktu 10 menit
untuk mencapainya.
“... Ah, di sini tempatnya.”
Begitu Masachika melihat pintu
masuk taman, anehnya Ia merasa tenang. Rasanya seperti …. objek yang kamu
takuti selama ini tanpa mengetahui identitas aslinya telah memperoleh entitas dan
kamu sudah tidak merasa takut lagi. Masachika sendiri agak kebingungan dengan perubahan
ketenangan suasana hatinya yang begitu tiba-tiba.
(Mungkinkah ... aku sudah tidak begitu ingin
menghindarinya ...?)
Atau mungkin karena bukan
alun-alun dengan banyak fasilitas bermain, yang menjadi tempat kenangan terindahnya.
Tempat di mana Masachika kecil selalu bertemu dengan gadis itu hanyalah bagian
dari seluruh taman besar ini, dan tempatnya berada di sepanjang kawasan pejalan
kaki dari sini ke ujung lain area taman.
“... yah, kurasa aku akan
menelusurinya sesuai urutan.”
Bertentangan dengan nada
ringannya, Masachika meyakinkan dirinya sendiri dan melangkah dengan tekad yang
kuat.
Ia berjalan perlahan sambil
melihat-lihat kawasan pejalan kaki tempat keluarga dan pria yang sedang berlari
kecil.
(Ah, di sebelah sana ... tempat di mana
aku bermain lempar tangkap frisbee dengan gadis itu)
Di ruang terbuka besar yang
dikelilingi oleh pepohonan, ingatan Masachika tentang masa lalu kembali muncul
di dalam kepalanya. Saat melihat area sekelilingnya, kenangannya saat bersama
gadis itu kembali terlintas satu demi satu.
(Kalau yang di sana adalah tempat di mana
aku biasa bersembunyi saat bermain petak umpet ... … Ah, perosotan itu, kami
biasa meluncur ke bawah bersama-sama...)
Tidak ada satu pun yang
istimewa dari hal itu, semua itu hanyalah permainan anak kecil yang penuh
kekonyolan dan kekanak-kanakan. Namun, bagi Masachika yang waktu itu belum
pernah merasakan permainan kekanak-kanakan semacam itu dalam hidupnya,
hari-hari yang dihabiskan bersama gadis itu selalu terasa menyenangkan. Kekaguman
murni yang gadis itu tujukan padanya adalah yang paling menyenangkan, begitu
pula mata birunya yang menatap lurus ke arahnya. Berkat kekecawaan pada ibunya,
hatinya yang membeku mulai meleleh. Ia merasa kalau dirinya bisa melakukan apa
saja demi gadis itu.
(Jalan ini... Oh iya, aku diserang anjing
di jalan ini...)
Masachika mengenang masa lalu
dengan perasaan yang tenang dan tenteram. Hari-hari yang Ia habiskan bersama
gadis itu masih terkenang indah dan bersinar......, tapi hatinya tidak merasa
sakit dengan kecemerlangan itu. Dirinya tak perlu lagi merasa tersiksa oleh
rasa kehilangan. Dengan perasaan lega di dalam batinnya …. Masachika tiba-tiba berhenti di alun-alun air
mancur yang mendadak muncul di hadapannya.
(Dan tempat ini ….... tempat aku berpisah
dengan gadis itu ...)
Ya, pada saat Ia menyadarinya.
Pintu ingatan …. yang tersegel jauh di lubuk hati Masachika, mulai terbuka.
◇◇◇◇
【Masaachika】
【Apa? 】
Seperti biasa, mereka
beristirahat setelah bermain bersama. Gadis itu biasanya memanggilnya dengan
nama julukannya, tapi sudah lama sekali sejak dia memanggilnya dengan nama itu,
.... dan Masachika berbalik untuk
melihat ada apa gerangan.
Kemudian, gadis yang selalu
ceria itu memiliki ekspresi suram di wajahnya........
“──────”
Dan mengatakan sesuatu …… ya, gadis itu mengatakan sesuatu yang
mengejutkan. Bukan dalam bahasa Rusia, tapi dalam bahasa Jepang.
Masachika dibuat tercengang
oleh kata-katanya dan ...... begitu kesadarannya kembali, gadis itu sudah pergi.
Apa
ada sesuatu yang salah? Mari dengar ceritanya lagi lain kali. Sambil
berpikir demikian, Ia mengunjungi taman itu lagi keesokan harinya, tetapi gadis
itu tidak ada di sana.
Tidak peduli berapa kali
Masachika mengunjungi taman itu dan mencarinya, Ia tidak dapat menemukan gadis
itu ... “Mungkin aku bisa melihatnya hari
ini,” “Aku tidak bisa melihatnya hari ini, tapi aku akan menemuinya besok,”
Ia terus mengulangi harapan samar dan kekecewaan yang sia-sia tersebut. Setelah
sebulan berlalu, Ia akhinya tiba-tiba menyadari, “Ahh, aku memang tidak bisa melihatnya lagi, ya.”
Dan tidak lama setelah itu, Ia
dipanggil kembali ke rumah kakek dan neneknya dari keluarga Suou. Ayahnya lalu
memberitahu kalau dirinya dan Ibunya akan bercerai. Pada saat itu, ingatan masa
lalu muncul kembali di benak Masachika.
“Uwaahh,
keren!!!”
Kapan ... kejadian itu terjadi?
Kalau tidak salah, dirinya itu masih anak TK. Ayahnya lalu berkata kepada
Masachika kecil yang berseru saat melihat petugas polisi. Ayahnya bilang “Keren banget, ya? Sebenarnya, Ayah dulu
ingin menjadi polisi”.
“Tapi
sekarang, kenapa Ayah tidak jadi polisi?”
Ketika Masachika menanyakan
pertanyaan ini dengan polos, ayahnya cuma tersenyum sedikit sedih dan berkata.
“Karena
ayah menemukan sesuatu yang lebih penting daripada mimpi ayah sendiri.”
Pada waktu itu, Masachika tidak
memahami maksudnya, tetapi kemudian Ia mengetahui bahwa keluarga Suou merupakan
keluarga yang menjabat jadi diplomat selama beberapa generasi. Ia lalu
mengetahui bahwa ayahnya telah meninggalkan mimpinya sendiri untuk menjadi
seorang diplomat demi bisa menikahi ibunya.
Masachika merasa kagum ketika
mengetahui hal tersebut. Apa yang dikatakan ayahnya lebih penting daripada
mimpinya adalah ibunya. Ayahnya lebih memprioritaskan wanita yang dicintainya
daripada mimpinya sendiri. Keren sekali. Ayahku
sangat keren sekali! Ya, Masachika sangat menghormatinya ketika masih kecil
dulu, namun….
“Maaf
ya, Masachika. Mulai sekarang, ayah dan ibu akan hidup terpisah.”
Namun ... kenapa….kenapa, ibu
mengkhianati pengabdian dan usaha ayah? Mengapa dia tidak menghargai usaha ayah
... tidak menghargai usahaku?
“Baiklah,
aku mengerti.”
Masachika tidak perlu mengerti
hal itu. Ia tidak harus memahaminya. Ibunya ... Wanita itu hanyalah seorang
bajingan yang bahkan tidak bisa memberikan kasih sayang kepada suami dan
anak-anaknya sendiri. Itu saja sudah cukup.
“Kalau
begitu, ... aku akan ikut ayah.”
Ia sudah tidak peduli lagi. Ia
sudah merasa muak. Semua upayanya terbuang sia-sia. Hari-hari usaha kerasanya
untuk mendapat perhatian ibu itu tidak ada artinya. Semuanya sama sekali tidak
berguna. Jadi Ia membuangnya.
Ibu yang tidak pernah
menanggapi sekeras apapun dirinya berusaha, kakek yang masih tetap memaksanya
untuk bekerja keras, dan keluarga inni yang
sudah membuat ayahnya meninggalkan mimpinya. Masachika membuang semuanya. Yang
dia butuhkan hanyalah ayah dan adik perempuannya, Yuki. Mulai sekarang, Ia akan
menjalani hidup dengan memikirkan mereka sebagai keluarganya. Selama ada
Ayahnya dan Yuki, dirinya...
“Maafkan
aku Nii-sama, aku ... akan tetap tinggal di rumah ini.”
Tapi, begitu Masachika mengunjungi
kamar adiknya... Yuki mengangkat tubuhnya di tempat tidur dan mengatakan itu
tanpa ragu.
Kata-kata yang tidak terduga.
Masachika dibuat terkejut dengan keinginan kuat yang ditunjukkan adik
perempuannya.
“Apa
kamu mengkhawatirkan asmamu? Kalau begitu, jangan khawatir. Tidak masalah jika
kamu tidak tinggal di sini, penyakit asmamu pasti takkan bertambah parah. Jika
kamu menginginkan seorang pengasuh, kamu bisa membawa Ayano bersamamu...”
Meski merasa kebingungan, Ia
masih berusaha membujuk Yuki sambil dilanda perasaan tidak sabar. Namun, Yuki
tidak menggelengkan kepalanya.
“Kenapa!
Tidak ada untungnya kalau kamu tinggal di rumah ini terus!Lebih baik, kita
pergi meninggalkan rumah ini!”
Yuki hanya tersenyum sedih saat
melihat ledakan emosi Masachika yang meneriakkan hal-hal buruk tentang ibu dan
kakeknya.
“Tapi
... jika aku pergi dari rumah ini, ibu akan sendirian.”
Yuki hanya mengucapkan satu
kata itu. Begitu mendengar kalimat yang dia ucapkan dan melihat raut wajahnya,
Masachika tidak bisa ...... mengatakan apa-apa lagi.
Pada saat itu, Ia langsung paham.
Ia selalu berpikir bahwa adiknya yang sakit-sakitan dan harus Ia lindungi ……
ternyata jauh lebih dewasa, dan memiliki keinginan yang jauh lebih kuat dan
cinta yang lebih dalam daripada dirinya.
Tiba-tiba, Masachika merasa
malu pada dirinya sendiri. Ia merasa sangat malu dengan kepicikannya sendiri,
mengomel secara emosional dan menyalahkan keluarganya. Tapi harga diri Suou Masachika menolak untuk menerima
kenyataan ini..
“Kalau
begitu, lakukan saja sesukamu!”
Seraya menyadari di suatu
tempat di lubuk hatinya kalau dirinya cuma menambah daftar rasa malunya,
Masachika berteriak begitu dan meninggalkan kamar Yuki. Dan tanpa menatap wajah
Yuki, Ia menghabiskan hari-harinya dengan berpikir “Dia pasti akan meminta maaf padaku”, “Mana mungkin Yuki mau meninggalkanku”,
atau “Jika dia meminta maaf, aku akan
memaafkannya sebagai kakaknya”. Pada hari perpisahan mereka tiba, Masachika
melihat adik perempuannya berdiri di samping ibunya. Akhirnya, Ia kemudian menyadari
kesalahpahaman bodohnya.
Yang membuang segalanya adalah
Masachika, tapi mengapa Ia merasa seolah-olah kalau dirinya lah yang dibuang. Ia
pergi meninggalkan kediaman Suou dengan perasaan hampa, seolah-olah angin
dingin bertiup di dadaku, tanpa meninggalkan sedikit pun kegembiraan. Di
sampingnya, ayahnya terus meminta maaf kepadanya dengan tatapan minta maaf
sepanjang waktu.
Setelah itu, hari-hari yang
terasa kelabu terus berlanjut untuk sementara waktu. Kesehariannya berlalu
sangat damai tanpa ada harapan kakeknya, kekaguman dari gadis itu, maupun
pelajaran les yang harus dipelajari. Tanpa tahu apa yang harus dilakukan atau
apa yang ingin Ia lakukan, Masachika hanya menghabiskan kesehariannya dalam kemalasan......
Ketika memasuki kelas 6 SD dan menyadari sekolah SMP mana yan ingin Ia masuki,
mendadak suatu ide terlintas di benaknya.
Benar juga, ayo masuk ke Seirei Gakuen.
Bisa dibilang, ini merupakan
semacam balas dendam. Ia akan memasuki sekolah yang diinginkan kakeknya, tanpa
perlu bantuan dari keluarga Suou. Kemudian dirinya akan memberitahu pada kakek
dan ibu itu dengan pernyataan, “Ikan yang
kalian lepaskan itu besar. Kalian telah kehilangan pewaris yang tak tertandingi
berkat perbuatan bodoh kalian sendiri.”
Dengan motif yang menyimpang
seperti itu, Masachika mulai belajar untuk ujian masuk ... dan berhasil
diterima di sekolah Seirei Gakuen dengan mulus.
Gimana,
rasain tuh. Buat memasuki sekolah
segampang ini, cuma butuh waktu enam bulan saja untuk belajar. Sudah kuduga
kalau aku ini luar biasa, aku ini orang istimewa ... merasa puas dengan hal itu, Masachika
menghadiri upacara penerimaan siswa baru dengan penuh antusias. Lalu di sana,
orang yang menjadi siswa terbaik yang diterima di sekolah dan memberikan pidato
sebagai perwakilan siswa baru adalah .....
“Senang
bertemu dengan anda semua. Nama saya Suou Yuki, dan saya diminta untuk memberi
pidato perkenalan sebagai perwakilan dari siswa baru.”
Adik perempuannya sendiri,
orang yang ditinggalkan dalam keluarga Suou.
Adiknya memberi pidato sambutan
dengan penuh sopan santun dan perilaku yang bermartabat. Saat melihat tubuhnya
yang sehat dan pertumbuhannya yang bagus ….… Masachika akhirnya menyadari kalau
dirinya bukanlah orang yang istimewa. Dirinya adalah sosok yang bisa diganti.
Orang yang benar-benar tidak berharga... Sampah yang sebenarnya adalah dirinya
sendiri. Ia selalu emosional dan selalu termotivasi berkat orang lain. Jika tidak
bergantung pada orang lain dan mencari-cari alasan, Ia tidak bisa melakukan apa
pun dengan motivasinya sendiri. Selain itu, Selain itu, Ia mengandalkan mereka tanpa
izin, dan jika pihak lain tidak menanggapi seperti yang diinginkan, Ia secara
egois akan merasa kecewa... ...Tanpa mampu mencintai keluarga dekatnya,
Masachika menyerahkan semuanya pada adik perempuan tercintanya.
Namun, adik perempuannya itu
masih memperlakukannya dengan baik kepada dirinya yang tidak berdaya. Dia
selalu menunjukkan wajahnya yang konyol dan bersikap ala otaku supaya tidak
membuatnya merasa bersalah, dan dia tidak pernah malu untuk memberitahu betapa
besar dia menyukai Masachika. Adik perempuannya berusaha melindungi ikatan
keluarga sekaligus harus memikul tanggung jawab berat menjadi pewaris keluarga
Suou. Setiap kali melihat seberapa lapang hatinya dan kecemerlangan jiwanya,
Masachika merasa ……..
◇◇◇◇
“Hah ...”
Masachika duduk di bangku dekat
alun-alun air mancur dan menghela nafas karena dadanya memancarkan rasa sakit
yang berdenyut. Rasanya sungguh menyakitkan. Dimulai dengan ingatan berpisah
dengan gadis itu, rantai ingatan masa lalu yang diingatnya benar-benar
mengerikan.
“Rasanya pengen mati saja~ ...”
Ini bukan perkara apakah
dirinya menyukai Alisa atau tidak.
Sedari awal ... Mengapa dirinya bertingkah songong sampai
berpikir kalau dirinya pantas bersama Alisa? Dirinya hanyalah wadah kecil yang
kosong, berkeliaran mencari seseorang untuk diandalkan. Bagaimana bisa dirinya
yakin kalau dirinya cocok dengan Alisa?
“... Sungguh bodoh sekali.”
Sejak awal, Masachika tidak
pernah memiliki hak untuk memikirkan apakah Ia menyukainya atau tidak. Dikelilingi
oleh orang-orang dengan jiwa yang mempesona, apa Ia membuat kekeliruan dengan
berpikir bahwa dirinya telah menjadi salah satu dari mereka?
“... Dasar keparat.”
Secara alami, sumpah serapah
pada dirinya sendiri keluar dari mulutnya. Ketika Masachika mengingat dirinya
yang dulu, dirinya adalah bocah tengil yang tak berdaya lebih dari yang Ia
duga. Selama ini ….. Masachika selalu menganggap kalau semuanya itu salah
ibunya. Tapi ternyata Ia salah.
Sekarang Ia bisa memahaminya. Penyebab
langsung kehancuran keluarga itu tidak lain adalah ...... dirinya sendiri. Sampai
saat itu, masing-masing dari mereka memiliki pemikirannya sendiri, tapi mereka berhati-hati
untuk tidak menghancurkan bentuk keluarga. Ibu itu juga melindungi garis
pertahanan terakhirnya dengan tidak membiarkan anak-anaknya melihatnya memukul
suaminya terlalu keras.
Namun ... hanya Masachika yang
melanggar garis pertahanan itu. Ia bahkan tidak berusaha menyembunyikan
kebenciannya pada ibunya dan pemberontakannya ...... mungkin jadi penyebab
kenapa orang tuanya bercerai. Mereka mungkin memutuskan bahwa sudah mustahil
mempertahankan bentuk keluarga lagi. Kemudian mereka semua berpisah ... Yuki
sekarang berusaha mati-matian untuk melindungi ikatan keluarga yang telah dihancurkan
Masachika. Adik perempuan yang mencintai keluarganya lebih dari siapapun
Meskipun
dia memikul tanggung jawab yang berat sebagai pewaris keluarga Suou.
“Ugh!”
Tiba-tiba, Masachika merasa
ingin menangis. Dadanya bergetar dan buliran air mata sudah menggenang di sudut
matanya. Entah itu karena ketidaklayakannya sendiri, kasih sayang terhadap adik
perempuannya, atau karena rasa kasihan, ...... Ia tidak tahu jawabannya. Tanpa
mengetahuinya, Masachika menggertakkan gigi dan berusaha menahan air matanya.
Sekarang Ia ingin memeluk Yuki ... memeluk tubuh kecilnya itu dengan sekuat
tenaga.
“... Haahhh.”
Masachika menghela napas dengan
emosi yang campur aduk dan berdiri dari bangku. Tujuan awalnya untuk mengunjungi
tempat kenangan dengan gadis itu dan menyelesaikan cinta masa lalu ... belum
terpenuhi. Tapi sekarang, Ia pikir kalau semuanya sudah cukup.
Sejak awal, dirinya sama sekali
tidak cocok untuk Alisa. Tidak, Masachika yakin kalau dirinya tidak pantas
untuk siapa pun. Dirinya yang membenci dan sudah menghancurkan keluarganya
sendiri. Dirinya yang tidak bisa melindungi satu-satunya adik kesayangannya.
Masachika merasa kalau dirinya tidak pantas untuk memiliki cinta yang mengarah
pada ... ikatan keluarga baru. Bahkan jika Ia berhasil mendapatkannya ... Ia
merasa kalau dirinya tidak bisa merawatnya dengan baik.
“... mending pulang saja lah.”
Entah bergumam kepada siapa,
Masachika mulai berjalan pergi. Matahari musim panas terasa sangat menyengat di
kulitnya, namun bagian dalam tubuhnya terasa sangat dingin sampai-sampai Ia
tidak bisa merasakan panasnya. Seolah-olah organ di dalam tubuhnya digantikan
dengan tanah liat dingin. Seluruh tubuhnya terasa berat seperti lumpur dan
Masachika merasa sangat tidak nyaman.
Ia berjalan perlahan ke trotoar
dan hanya mengikuti jalan setapak. Ketika mencapai persimpangan jalan, Masachika
berhenti.
“...”
Jika Ia memilih jalan di
sebelah kanan, jalan tersebut akan mengarah ke pintu keluar taman. Jika Ia
memilih jalan di sebelah kiri, jalan tersebut akan mengarah pada alun-alun ……
dengan banyak peralatan bermain, di mana dirinya menghabiskan sebagian besar
waktunya dengan gadis itu. Masachika sedikit ragu …... dan perlahan
melangkahkan kakinya ke jalan setapak di sebelah kiri. Masachika sendiri tidak
yakin apa alasannya. Entah karena Ia memutuskan untuk menelusuri semua area
taman itu supaya Ia tidak perlu berkunjung ke sini lagi ... atau mungkin suasana
hatinya begitu putus asa sehingga Ia berpikir untuk melukai dirinya sendiri
untuk lebih jauh mencungkil hatinya sendiri?
Tanpa mengetahui jawabannya,
Masachika terus berjalan sambil menundukkan kepalanya yang berat dan menatap
tanah. Tak berselang lama kemudian, jalan beraspal berubah menjadi jalan
berpasir bercampur kerikil. Ketika perlahan-lahan mengangkat wajahnya,
Masachika melihat sebuah kotak yang terlihat jauh lebih kecil dari yang diingatnya.
Kotak pasir yang dikelilingi
oleh trotoar, dan empat ayunan berwarna merah yang saling berjajar. Di luar
itu, ada pagar kecil untuk mencegah seseorang untuk berlarian ke arah jalan
raya. Ketika masih kecil dulu, Ia selalu merasa kesal karena harus berjalan di
antara pagar-pagar kecil yang berliku-liku sebelum bisa berlari ke gadis itu. Sambil
tertawa kecil memikirkan dirinya yang dulu, Masachika mengalihkan perhatiannya
ke arah sebelah kiri. Ada fasilitas permainan berbentuk kubah dengan lubang di
dalamnya. Dan di atasnya …..
“Ehh…?”
Ada sosok familiar yang
memandang ke atas langit. Seseorang yang seharusnya tidak ada di sini …….
membuat jalan pemikirannya berhenti. Saat Masachika berdiri tertegun dan
melihat sosok itu dengan tatapan tercengang, gadis yang tadi menatap ke langit
tiba-tiba menurunkan pandangannya. Dia terus menjaga Masachika dalam pandangannya, mengangkat
pinggulnya, dan setengah meluncur turun dari fasilitas bermain dengan sedikit
terhuyung.
Kemudian, ketika kakinya
mencapai permukaan tanah, dia perlahan berjalan mendekati Masachika.
Dia berhenti di hadapan
Masachika dengan ekspresi yang sedikit bernostalgia ..... tapi juga ada senyum
sedih di wajahnya. Ketika Masachika terkesiap, gadis tersebut lalu berkata
dengan segenap perasaannya.
“Sudah lama tidak ketemu, ya….”