Tanin wo Yosetsukenai Chapter 57 Bahasa Indonesia

Chapter 57 – Permintaan dari Enami-san

 

“Aduh!”

Terdengar suara robekan.

Suara tersebut bergema saat dia merobeknya dari wajahku. Aku merasakan sakit perih, jadi aku langsung menekannya dengan tanganku. Sayaka memandangiku dengan ekspresi merepotkan sebagai tanggapan atas reaksiku.

“Kamu rewel sekali, sih.”

Di tangannya, ada perban yang sudah dilepas. Itu adalah perban bekas yang tadi menempel di wajahku.

Saya yang berseragam sekolah meraih perban lain yang sudah ditempatkan di sampingnya. Aku mati-matian mencoba melarikan diri, tetapi tangannya lebih cepat. Terdengar suara robekan lagi.

“Aduh! Kamu ini tidak bisa melepasnya dengan pelan-pelan napa? ”

“Tapi rasanya jauh lebih sakit kalau aku melepasnya pelan-pelan, ‘kan?”

Di dalam ruang tamu, Aku dan Sayaka sedang duduk di sofa. Luka dan memarku sudah hampir sembuh. Luka kecil hampir tertutup, dan satu-satunya bagian yang tersisa tinggal luka yang sedikit serius. Wajahku masih mengenakan plester, tetapi jumlah plester secara bertahap berkurang, dan sekarang hanya ada tiga.

Yah, kupikir rasanya sedikit gila juga kalau berpikir tiga plester itu sedikit.

Plester terakhir ditarik dengan kencang. Dia membungkus tiga potong dengan benar dan meletakkannya di atas meja.

“Oke.”

“Kamu tidak perlu meletakkannya di sini lagi, kan?”

Aku mengeluarkan smartphone dan menatap wajahku yang terpantul di layar.

Pembengkakan di sekitar mataku sudah kempis. Untuk sementara, rasanya lumayan sakit saat membuka atau menutup mata, tetapi aku tidak merasakan apa-apa lagi. Memar yang dulu ada di seluruh wajahku sudah tidak terlihat lagi sekarang. Masih ada bekas luka kecil, tapi tidak terlihat dari kejauhan.

Rasanya sedikit memalukan untuk pergi ke sekolah dengan perban di wajahku.

“Masih belum. Ini jelas lebih baik, tapi itu belum sempurna.”

“Aku sudah baik-baik saja, kok.”

“Tidak, masih belum. Di medan perang, ini mungkin tidak terlalu mengganggumu.”

...... Sudah hampir sebulan sejak aku terluka.

Sekarang sudahmemasuki pertengahan November. Karena cuaca yang dingin, aku harus menyalakan pemanas akhir-akhir ini. Baru dua bulan yang lalu cuaca suhunya sangat menyegat, tetapi sekarang suhunya turun drastis seolah-olah panas menyengat musim kemarin seperti ilusi belaka. Jika aku melompat ke sungai di cuaca yang dingin begini, aku mungkin akan masuk angin.

Dalam hal itu, aku senang bahwa waktu itu tidak terlalu dingin.

Aku tidak mengalami masalah apa-apa sejak saat itu. Aku tidak harus berurusan dengan para berandalan itu lagi. Karena aku memberi mereka apa yang mereka inginkan dan mengancam mereka, mereka sepertinya sudah berhenti mencoba untuk terlibat denganku. Selama aku mendapatkan apa yang aku butuhkan dari mereka, cedera itu akan menjadi harga kecil yang harus dibayar.

Matahari pagi bersinar melalui jendela. Jendelanya sudah tertutup, tapi aku bisa merasakan udara dingin berhembus melewatinya.

Ayahku, yang sedang menyantap sarapannya di meja makan, dan menoleh ke arahku.

“Hei. Telur dadar hari ini rasanya terlalu asin, tau.”

Seperti biasa, kamu banyak mengeluh, pikirku. Aku menjawab saat Sayaka sedang membalut lukaku.

“Sesekali tidak masalah, ‘kan.”

“Eh~. Aku suka telur dadar manis. Yang asin itu salah.”

“Ayah ini banyak ngeluh. Jika ayah terlalu banyak bicara, aku tidak akan membuatkanmu sarapan lagi.”

“Hmmm.”

Aku pikir dua-duanya memiliki kelebihan masing-masing. Ayahku, yang pemilih makanan, mungkin tidak mengerti hal ini.

“Ngomong-ngomong, apa kamu juga memasak telur dadar asin ini di makan siangku?”

“Tentu saja.”

“Kamu merusak kesenanganku…….”

“Ayah ngotot sekali. Ayah harusnya merasa bersyukur kalau aku masih mau membuatkan makan siang. Rasanya terlalu merepotkan buat bangun pagi-pagi dan mempersiapkan semuanya. Apa Ayah ingin mencoba memasaknya sendiri?”

“Tolong maafkan aku!”

Ia berbalik dengan panik dan mulai makan.

Aku dan Sayaka saling bertukar pandang. Kami berdua sepertinya memikirkan hal yang sama. Aku berharap ayahku akan lebih serius.

Semuanya masih sama ketika ibuku masih hidup. Dia selalu mengurus ayahku yang sangat ceroboh. Ia tidak memiliki selera pakaian dan sering mengenakan pakaian berlapis-lapis secara acak, jadi dia bahkan harus memilih pakaian mana yang akan dia kenakan. Karena tempat kerjanya mengizinkan pakaian kasual, selera buruk ayahku akan muncul dengan sendirinya.

“Kuso-aniki. Aku sudah selesai.”

Sayaka menutup kotak P3K.

Sudah menjadi rutinitas untuk mengganti perban di pagi hari. Untuk beberapa alasan, dia merasa berkewajiban untuk melakukannya, dan dia selalu memastikan untuk mengurusnya.

“Terima kasih, Sayaka.”

Sayaka diam-diam berdiri dan menyimpan kotak P3K di lemari. Dia kemudian menyampirkan tasnya di bahunya dan mulai meninggalkan ruang tamu.

“Aku berangkat dulu sekarang.”

Tepat sebelum pergi, dia memalingkan wajahnya ke arahku dan berkata begitu.

Tak lama kemudian, aku mendengar suara pintu ditutup. Waktu sudah menunjukkan pukul 07:20. Aku sudah tidak punya banyak waktu lagi, karena jam pelajaran pertama akan dimulai pada pukul 08.10.

Aku meraih tasku seraya memanggil ayahku.

“Aku akan pergi sekarang juga. Simpan saja piringnya seperti biasa.”

Ayahku mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi di udara dan melambai ke arahku.

Aku meninggalkan ruang tamu dan memakai sepatu pintu depan. Sayaka tampaknya telah mengenakan sepatunya yang biasa, yang merupakan satu-satunya barang yang hilang dari pintu masuk.

Aku pergi keluar. Hari ini adalah hari yang indah. Menurut ramalan cuaca, hari ini akan cerah sepanjang hari.

Aku juga bersemangat untuk melakukan yang terbaik hari ini.

Saat aku memasuki kelas, Saito sudah duduk di kursinya. Tumben-tumbennya Ia sudah datang karena biasanya akan datang agak telat.

Ketika aku menyapanya, Ia menjawab dengan selamat pagi. Untuk beberapa alasan, Ia sedang membaca buku. Sampul bukunya ditutupi, jadi aku tidak tahu buku macam apa yang Ia baca.

“Lagi baca apa?”

Saito menatapku. Ia lalu melirikku dan menunjukkan padaku isinya. Saat melihat isinya, aku dibuat kaget.

“Pagi-pagi begini …… kamu ini lagi ngapain, sih?”

Isi dari buku yang ditunjukkan Saito adalah beberapa ilustrasi yang terlihat seperti materi dewasa. Ia mungkin sedang membaca novel erotis. Aku pikir itu adalah buku yang serius karena dia terlihat sangat serius, tapi begonia diriku yang berpikiran begity. Tapi dari sudut pandang orang luar, Ia sepertinya tidak sedang membaca novel erotis sama sekali.

“Tidak, ini… luar biasa sekali.”

Pandangan seriusnya seolah-olah sedang menonton permainan super seorang atlet papan atas. Aku dibuat tercengang dengan reaksinya.

“Hah. ……?”

“Ini sangat bagus. Terlalu menakjubkan.”

Ia terlihat kegirangan, tapi hal tersebut cuma membuat hatiku semakin dingin. Rasanya seperti seorang bocah SMP yang baru belajar tentang seks.

“Apa belakangan ini kamu sedang menyukai itu?”

Saito balas mengangguk.

“Aku tidak pernah tahu kalau ada dunia semacam ini. Ini berbeda dari manga. Aku pikir aku telah membuka pintu baru. ……”

“…bagus untukmu.”

“Aku membawa beberapa buku lain, kalau mau, kamu juga bisa membacanya.”

“Tidak, terima kasih.”

Semuanya sudah tahu kalau aku ini seorang otaku, tapi seperti yang diduga, aku masih merasa ragu untuk membaca novel erotis. Atau lebih tepatnya, bagaimana rasanya membaca novel erotis di depan umum, terlepas dari kamu itu seorang otaku atau bukan?

Berkat ujian UTS sudah selesai, rasa tegangku telah hilang. Semua penjelasan untuk ujian sudah selesai, dan hari ini hanya jam pelajaran biasa.

Aku duduk di kursiku, mengeluarkan buku catatan dan buku soal dari tasku.

“Oi Oi. Apa kamu menolak ajakanku untuk mempelajari dunia baru ini? Seberapa sukanya kamu dengan belajar, heh?”

“Memangnya aku peduli? Tinggalkan aku sendiri.”

Aku akan mengikuti ujian masuk tahun depan. Bahkan jika aku melakukan beberapa persiapan sekarang, waktunya masih kurang dari cukup.

Aku sudah mempelajari sebagian besar materi di kelasku di sekolah untuk persiapan ujian. Ini cuma masalah seberapa banyak kamu bisa meningkatkan kemampuanmu. Demi bisa diterima di Universitas Tohashi, kamu harus menonjol dari siswa lain.

Aku dengan lancar memecahkan beberapa soal latihan. Secara bertahap, jumlah orang di dalam kelas meningkat dan suasana kelas jadi lebih meriah.

Aku memperhatikan kalau tinggal lima menit lagi sampai sekolah dimulai. Para siswa yang punya kegiatan klub di pagi haru sudah memasuki ruang kelas juga.

Aku melihat Shindo, Fujisaki, dan Nishikawa juga sudah ada di dalam kelas. Aku melihat ke belakang barisanku.

Di kursi Enami-san. Masih tidak ada orang di sana.

Aku memutar kepalaku kembali ke depan.

Lagipula, dia tidak pernah terlambat sejak saat itu. Sikapnya di kelas cukup normal. Ketika guru menunjuk padanya, dia menjawab dengan jujur, dan dia tidak mencari gara-gara dengan guru lagi.

Kemampuan adaptasi manusia memang hal yang menakutkan, dan aku tidak lagi terkejut dengan pemandangan seperti itu. Sama seperti dulu aku menganggap begitu saja kalau Enami-san tidak ada di sana di pagi hari, sekarang aku menerima begitu saja bahwa dia akan ada di sana di pagi hari.

...... Tapi hari ini, dia sangat terlambat.

Aku memikirkan hal itu tetapi dengan cepat menepis pikiran itu.

Kenapa juga aku harus peduli dengan Enami-san?

Aku melanjutkan belajarku.

Setelah menyelesaikan satu soal, aku melihat ke atas lagi. Masih belum ada tanda-tanda kedatangan Enami-san. Aku melihat jam di atas papan tulis dan melihat bahwa masih ada sisa dua menit lagi.

Apa yang sedang dia lakukan, pikirku kesal. Aku baru saja berpikir kalau dia sudah berubah dan mulai menjalani sekolah dengan serius.

Jarum kedua jam berputar tanpa henti. Sepuluh detik, dua puluh detik, tiga puluh detik: ……. Dengan kurang dari satu menit tersisa, waktu untuk wali kelas pagi perlahan mendekat.

Guru wali kelas kami, Shiroyama-sensei, selalu masuk kelas tepat pukul 8:10. Jadi tidak ada banyak waktu luang. Murid-murid lainnya sepertinya sudah mulai kembali ke kelas masing-masin, dan aku tidak bisa lagi mendengar suara di lorong.

Saat itu, aku mendengar suara langkah kaki datang dari lorong.

“……”

Aku menoleh ke arah langkah kaki tersebut.

Langkah kaki itu semakin mendekat. Aku bisa mengetahui kalau dia sedang terburu-buru. Kemudian, langkah kaki itu berhenti di depan kelas dan dengan cepat berubah menjadi suara pintu terbuka.

kratakkratak~!

Ada seorang gadis di sana dan berdiri dengan napas yang sedikit tersenggal-senggal.

Kurasa dia berhasil tepat waktu. Aku merasa sedikit lega.

Gadis itu adalah Enami-san yang berdiri di pintu masuk. Bukan dengan penampilannya yang biasa, tapi dengan rambut yang sedikit acak-acakan.

Pada waktu yang hampir bersamaan, bel pun berbunyi

Enami-san menghela napas dalam-dalam. Dia mulai berjalan  ke tempat duduknya seakan-akan tidak terjadi apa-apa.

Dia melintasi meja yang ada di ujung dekat pintu masuk dan berhenti di depan mejaku.

“Selamat pagi.”

Dia mulai menyapaku dan aku membalas sapaan itu dengan jujur.

“Ah. Selamat pagi juga.”

Setelah mendengar balasanku, Enami-san pergi ke tempat duduknya. Shiroyama-sensei lalu segera masuk ke dalam kelas.

Beliau lalu memandang Enami-san yang ada di belakang kelas dan mengangguk puas. Ia berdiri di depan meja guru dan meletakkan daftar hadir.

“Berdiri! Beri salam!”

Orang yang bertugas di hari itu berseru memberi perintah salam. Dan pagi yang biasa kembali dimulai.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama