Kimi wa Hatsukoi no Hito, no Musume Vol.2 Chapter 4 Bahasa Indonesia

Chapter 4 —  Festival Musim Panas

 

 

... Mungkin karena waktunya sudah memasuki musim panas. Pada suatu hari, Ichigo tiba-tiba mengingat kenangan festival musim panas yang pernah Ia kunjungi dengan Sakura.

Waktu itu adalah musim panas pertamanya ketika menginjak kelas 1 SMP. Ia mengajak Sakura ke festival musim panas yang diselenggarakan di kota asalnya. Sakura juga senang menerima ajakan Ichigo.

Kemudian, pada hari itu.

Suara seruling dan drum memeriahkan suasana festival saat musik dimainkan. Warna langit yang aneh dengan perpaduan warna Magenta dan Cyan menyatu bersama di malam hari. Suasana festival merupakan campuran dupa dan udara panas, karakteristik khas musim festival Obon. Gerombolan orang, kebisingan, dan warung makan yang semarak berjejer di sepanjang jalan.

“Terima kasih sudah lama menunggu, Ichi.”

Dan kemudian, Sakura datang terlambat mendekati Ichigo, yang sudah menunggunya di tempat pertemuan. Ichigo sudah memberitahunya kalau Ia akan menjemputnya di rumahnya, tapi Sakura tetap bersikeras menyuruhnya untuk pergi duluan karena dia membutuhkan waktu untuk bersiap-siap.

Bersiap-siap…? Ichigo merasa penasaran, tapi begitu melihat penampilannya, Ia langsung terdiam. Sakura yang muncul di hadapannya mengenakan yukata.

“Bagaimana menurutmu, Ichi? Kupikir kalau ini akan lebih bagus jika kamu melihatnya di sini duluan, bukan di tempatku.'

Ketika mengatakan ini, Sakura meletakkan tangannya di lehernya. Pipinya tampak kemerahan, menunjukkan kalau dia sedikit gugup.

Sakura dalam balutan yukata. Yukata yang dia kenakan memberikan nuansa dewasa, dengan pola bunga dalam pewarna biru muda pada kain putih. Rambut hitamnya yang panjang dan berkilau, yang selalu dibiarkan tergerai, sekarang diikat ekor kuda, dan mengekspos tengkuk lehernya. Itu adalah bagian dari tubuh Sakura yang biasanya tidak pernah Ichigo lihat. Dan di lehernya, Ichigo menemukan tanda tahi lalat.

Jantungnya berdegup kencang. Tanpa sadar, dirinya terkesiap. Sakura cuma beda 2 tahun dengannya, seorang siswi yang duduk di bangku kelas 3 SMP, masih seorang gadis remaja, tapi dia tampak jauh lebih seksi daripada orang dewasa.

'Itu sangat cocok untukmu…'

Ichigo berusaha memujinya dengan nada sedatar mungkin, tetapi dari caranya memalingkan muka dan ekspresi tersipunya, Sakura mungkin tahu apa yang sebenarnya Ia pikirkan.

'Terima kasih.'

Ucap Sakura sambil tersenyum.

Pada malam musim panas ini, Ichigo kembali menemukan kalau dia terlihat lebih memikat.

Cara dirinya menempatkan wajahnya dekat dengan permen kapas dan mengunyahnya seperti binatang kecil. Pemandangan dirinya yang dengan senang hati mendpatkan hadiah dalam permainan menembak. Memakan mie Yakisoba yang dibeli dari warung makan, dan tampak puas. Dan di akhir festival, mereka menyaksikan pertunjukkan kembang api bersama-sama. Merah, biru, dan warna-warna cerah lainnya berkedip memenuhi langit malam. Sosoknya yang diterangi oleh cahaya, tampak rapuh namun cantik. Keindahan kembang api di langit menerangi malam musim panas yang masih biru. Ichigo menatap wajah Sakura saat dia mendongak.

'Apa ada yang salah? Ichi. '

Menyadari tatapan Ichigo, Sakura balas menatapnya.

'Tidak, bukan apa-apa ...'

balas Ichigo.

Cantik sekali... Cuma satu kata itu saja yang pada akhirnya tidak pernah keluar dari tenggorokannya. Ichigo tidak tahu apa itu karena sifat keras kepalanya atau sesuatu yang lain.

Ia seharusnya mengatakannya.

Tidak, Ia harusnya merasa senang karena Ia tidak mengatakannya.

Dalam retrospeksi, tidak satu pun dari itu adalah jawaban yang tepat.

Ayo datang lagi tahun depan.’

Kalimat yang keluar seolah-olah berusaha menutupi dirinya. Setelah jeda sesaat, Sakura tersenyum lembut.

'Ya. Tahun depan, mari kita datang lagi. '

Festival musim panas tahun itu merupakan salah satu kenangan terbaik dalam kehidupan Ichigo ... atau, seharusnya begitu. Itu adalah festival musim panas terakhir yang Ia kunjungi bersama Sakura. Kalau saja, kenangan tersebut belum ditimpa oleh kenangan yang memilukan ...

 

※※※※※

 

Sekarang sudah resmi memasuki bulan Agustus.

Kebanyakan institusi pendidikan tengah mengalami liburan musim panas. Jumlah pelanggan di department store tempat Ichigo bekerja jelas meningkat pesat dibandingkan sebelumnya. Tak peduli itu hari kerja atau akhir pekan, toko tersebu terus dibanjiri oleh banyak keluarga dan pelanggan yang biasanya tidak datang ke sini. Para karyawan di mesin kasir dalam operasi penuh setiap hari, dan penjualan insektisida, produk musiman, meningkat tajam dari tahun lalu. Penjualan layar dan alat pertanian untuk penyiangan juga lumayan pesat. Lagipula, ada banyak keluarga yang mungkin akan memanfaatkan liburan musim panas ini untuk mengganti layar pintu mereka atau menyiangi taman.

Selain itu, ada juga penjualan barang-barang rekreasi seperti peralatan berenang, kembang api, pemanggang BBQ, arang, dan sebagainya. Barang-barang Obon seperti bunga Buddha dan sesembahan juga dijual laris manis. Area penjualan yang diciptakan Ichigo ketika mendiskusikan idenya bersama para penanggung jawab sales dan media yang sudah Ia rencanakan untuk merangsang pembelian tampaknya telah bekerja dengan baik, dan meskipun Ia sibuk, hasilnya sepadan.

“Wah ... ada banyak sekali pekerjaan.”

Dalam sebuah toko yang ramai, Ichigo berjalan-jalan ditemani seorang pria. Pria berwajah rapi, rambut yang disisir dengan gaya dua blok, dan alis tipis. Ia adalah pria yang terlihat baik, dan kebanyakan orang pasti akan menyebutnya tampan. Ia bisa digambarkan sebagai ahli kecantikan. Ia adalah manajer yang bertanggung jawab atas pekerja kasir sambilan, dan namanya oshikata. Ia satu tahun lebih tua dari Ichigo dalam hal usia dan dalam waktu masuk perusahaan, Ia masuk di tahun yang sama dengan Wakana.

“Anda benar-benar mengesankan, pak manajer. Di area ini, penjualan toko kita melebihi tahun lalu dengan margin lebar.”

“Tidak, tidak. Bahkan jika ada banyak pelanggan datang, tidak ada gunanya jika kita tidak bisa melayani mereka atau menangani mesin kasir. Semua ini berkat upaya Oshikata-san dan Wakana-san yang memastikan kalau toko kita memiliki cukup staf.”

Ketika liburan panjang dimulai, jumlah pekerja sambilan yang bisa bekerja menurun secara drastis karena mereka perlu mudik dan menghadiri acara-acara lokal. Hal tersebut akan mengarah pada kekurangan staf di toko. Ia dan asisten manajernya, Wakana, bekerja bersama untuk mengumpulkan cukup banyak orang untuk tahun ini. Berkat itu, mereka tampaknya telah berhasil menghindari kejadian umum dalam industri layanan sepanjang tahun ini, di mana toko menjadi kewalahan karena kekurangan karyawan.

Dan kemudian—

“Onee-chan, apa ini sudah cukup?”

“Ya, sangat bagus, hebat sekali!” Ketika melewati ruang lokakarya, Ichigo mendengar suara yang ceria. Kursus dan les kerajinan kembali diadakan lagi hari ini. Di bawah pengawasan karyawan yang menggantikan instruktur lama, Luna melakukan pekerjaan dengan baik sebagai orang yang bertanggung jawab.

Mungkin mereka diberi tugas kerajinan sebagai bagian dari tugas PR liburan musim panas mereka. Luna tampaknya bersenang-senang ketika bertindak sebagai instruktur yang baik untuk anak-anak yang berkumpul.

“Maaf sudah mengganggumu, instruktur. Jenis cat apa yang harus aku gunakan untuk produk begini?” Pada saat itu, peserta les kerajinan, yang sedang mengerjakan mebel kayu di meja lain, mendekati Luna.

“Ah, um, mari kita lihat.”

“Luna-chan, jika kamu ingin memanfaatkan serbuk kayu, kupikir cat pelindung ini lebih baik.” Kemudian, peserta lain memberi beberapa saran dari samping. Orang tersebut adalah salah satu pelanggan wanita yang datang tempo hari ketika Ichigo jadi instruktur sementara.

Sama seperti itu, dengan bantuan para pelanggan tetap, dia dapat melayani pelanggannya tanpa jeda. Pengetahuan dan pengalamannya masih terbatas, tapi dia tampaknya dapat menggantinya dengan kerja keras dan ketulusannya. Karena hal inilah, Ichigo bisa menyerahkan posisi instruktur sepenuhnya ke Luna.

“Dia benar-benar menakjubkan, bukan? Dia sudah jadi simbol ruang lokakarya.” Melihat Luna seperti ini, Oshikata sepertinya terkesan dengannya. “Dia bekerja sebagus karyawan tetap.”

“Ya, meski dia cuma pelajar SMA, tapi kamu benar-benar bisa mengandalkannya.” Ichigo pun memuji Luna dengan jujur.

“Ketika aku masih remaja dulu, aku ragu apa aku bisa bertingkah sedewasa dirinya. Yang kuingat cuma kalau aku ini hanya pembuat onar.”

“Ha ha ha.”

Ichigo menertawakan Oshikata, yang menyilangkan lengannya dan mengerang, “hmm ...”

Ia mungkin tampak seperti orang yang sembrono, tetapi Ia sebenarnya seorang suami yang penuh kasih sayang dan peduli dengan keluarganya.

Dan kemudian, saat itulah terjadi. Secara kebetulan, tatapan Luna menoleh ke arah Ichigo dan yang lainnya. Dengan itu, dia pasti menyadari bahwa Ichigo sedang menatapnya. Luna tersenyum dan melambai-lambai kecil ke arahnya.

Melihat hal itu, Ichigo memalingkan wajahnya dengan panik dan terbatuk untuk menutupinya.

... dewasa, ya?

Namun sebenarnya, dia hanyalah anak manja dan punya sifat jahil yang sesuai dengan usianya.

 

※※※※※

 

“Sepertinya bakal ada festival musim panas di distrik rumahku.”

Pada jam istirahat makan siang. Ichigo dan Wakana baru saja berjalan ke ruang istirahat bersama. Sonozaki, seorang  pekerja sambilan sekaligus ibu rumah tangga yang bertanggung jawab atas desain interior, sedang mengobrol dengan karyawan lainnya ketika makan siang bersama.

“Rumahku berada di distrik komite , jadi aku membantu dalam banyak hal.”

Festival Musim panas….

Rupanya, festival musim panas akan diadakan di distrik tempat Sonozaki tinggal, dan dia adalah salah satu anggota panitianya.

“Kapan festival itu diselenggarakan?”

“Lima hari lagi. Di festival itu nanti akan ada tarian Bon, pameran, dan kembang api, jadi semua orang harus datang dan mampir ke sana, ya.”

“Yah, pengen sih, tapi aku juga jadi panitia untuk festival musim panas di distrik lain.”

“Ara, sayang sekali.”

“Yah, ini adalah tahun di mana festival diadakan di banyak tempat.”

Pembicaraan semacam ini di antara ibu-ibu rumah tangga sudah menjadi sejenis tradisi musim panas.

“Kalau Luna-chan bagaimana? Apa kamu tertarik dengan festival musim panas?”

“Ya. Festival musim panas kedengarannya tempat yang menyenangkan.” Luna juga tampaknya hadir, dan ketika ditanya oleh Sonozaki, dia menjawab begitu.

“Kalau begitu, ayo mampir ke sana ya. Lihat, kamu pernah bilang kalau kamu menyukai seseorang, kan? Coba aja dia atau sesuatu.” Komentar mendadak Sonozaki membuat Ichigo terkejut, dan badannya menegang.

“Apa ada yang salah? Pak manajer.”

“Tidak ... Bukan apa-apa.” Ketika Wakana memanggilnya, Ichigo mencoba menutupinya. Pada saat itu, Luna tampaknya menyadari kedatangan Ichigo dan Wakana di ruang istirahat.

“…Pak manajer.” Gadis itu, melihat Ichigo dan Wakana seraya bertanya, “Apa pak manajer tertarik pada festival musim panas?”

“......”

…Dia

Seperti yang diharapkan, Ichigo bisa merasakan niat Luna. Ia benar-benar bisa menciumnya. Luna ingin pergi bersamanya, itulah niatnya.

... tidak, itu mustahil.

Tentu saja, mengunjungi festival musim panas cuma berduaan saja ... akan benar-benar mustahil. Mereka tidak dalam menjalin suatu hubungan di mana mereka bisa berjalan-jalan dengan senyum lebar. Bos dan bawahan —  meski demikian, mana mungkin mereka  bisa pergi berduaan.

“Sonozaki-san juga, bukannya anda akan lebih senang jika  pak manajer dan Wakana-san datang berkunjung?”

“Ya tentu saja.”

Selanjutnya, Luna dengan antusias mendekati Sonozaki, memintanya untuk memperkuat bujukannya. Ichigo mencoba menemukan cara untuk menjatuhkan topik ini. Kemudian,

“Wahh ide bagus tuh, ayo kita semua pergi bersama-sama ke Festival Musim Panas, Sono-chan.”

Orang-orang yang setuju adalah mahasiswi pekerja sambilan yang berada di ruangan itu. Mereka adalah trio pekerja sambilan yang berteman baik dan selalu bersama. Nama mereka terdiri dari Sasaki-san, Ishidate-san, dan Horinouchi-san.

“Ayo pergi bersama, Luna-chan.” Salah satu dari trio, Sasaki, meletakkan tangannya di bahu Luna dan mengundangnya.

“Eh? Apa beneran tidak apa-apa?”

“Tentu saja, jangan khawatir. Kita akan bersenang-senang bersama.”

“Ah, a-aku juga! Aku juga mau ikut!”

Dan kemudian, cowok yang duduk sedikit lebih jauh, ikut mendengarkan. Aoyama, seorang pekerja sambilan cowok, berusaha untuk ikut bergabung. Namun…

“Kalau kamu sih tidak diajak.” Tanpa ragu, Ia langsung ditolak mentah-mentah.

“Kamu ini tidak pernah kapok ya, kemarin-kemarin ‘kan kamu sudah ditolak, teapi kamu masih mengejar Luna-chan, ya?”

“Tidak! Aku seriusan, dan dengan hati yang bersih, aku berpikir kalau Luna-san itu imut! Cuma itu saja!”

“Pasti tidak cuma itu saja, ‘kan?”

Aoyama dipukuli habis-habisan oleh Ishidate dan Horinouchi.

“Ah, bagaimana kalau kamu ikutan juga, Wakana-san?” Sasaki kemudian mengajak Wakana, yang berdiri di sebelah Ichigo.

“Ah, aku?” Tiba-tiba diminta untuk bergabung, Wakana tampak kaget.

“Apa kamu kebetulah sudah punya rencana sendiri?”

“Tidak, aku tidak punya urusan yang... ah.” Kemudian, Wakana menoleh ke arah Ichigo yang ada di sebelahnya dan mengangkat suaranya seolah-olah dia baru saja menyadari sesuatu. “Karena Oshikata-san punya jadwal hari libur pada hari itu, pak manajer juga akan ikutan pergi, kan?”

“Eh?” Ichigo yang berpikir diam-diam, dibuat terkejut oleh komentar Wakana.

“Tidak, ini mungkin terlalu lancang! Um, saya hanya berpikir bahwa itu akan lebih menyenangkan jika pak manajer bisa bergabung dengan kami ...”

“Benarkah?” Sementara Wakana bergegas dengan kata-katanya, Luna dengan cepat menimpali komentarnya.

“Bagus, bagus, jika Wakana-san akan datang, pak manajer harus datang juga.” Begitu pula Sonozaki.

“Tidak, um ...” Ichigo tidak bisa menyela ketika percakapan berjalan dengan cepat.

“Bagaimana menurut anda, pak manajer? Apa anda sudah punya rencana tersendiri untuk hari itu?”

“Aku tidak punya rencana, tapi ...” Ketika Sasaki bertanya kepadanya, Ichigo sedikit terganggu, tapi tetap menjawab dengan jujur. Memang, pada hari festival musim panas di distrik Sonozaki diselenggarakan, bertepatan dengan hari libur Ichigo. Dan bukannya Ia punya rencana atau urusan untuk dilakukan.

“Kalau begitu, Wakana-san dan pak manajer akan bergabung dengan kami.”

“Hebat, sekarang mulai jadi meriah.”

“Jarang-jarang kita mendapatkan kesempatan untuk pergi ke acara seperti ini bersama manajer kami, iya ‘kan?”

Gadis-gadis kampus mulai heboh sendiri ketika mendengar bahwa Ichigo dan Wakana akan bergabung dengan mereka.

“Lalu, Sono-chan?”

“Baiklah. Aku akan menunggu semua orang datang.”

Sebelum Ichigo bisa mengatakan hal lain, keputusan sudah dibuat. Sementara itu, Luna terus memandang ke arah Ichigo dengan tatapan berbinar-binar.

Oleh karena itu, lima hari kemudian, bersama gadis-gadi kampus pekerja sambilan dari kantor, Wakana ... dan dengan Luna juga, Ichigo akan pergi mengunjungi festival musim panas.

 

※※※※※

 

“Ini beneran terjadi ...”

Malam harinya di hari yang sama

Setelah bekerja, di malam hari. Ichigo mengunjungi rumah Luna sekali lagi malam itu. Rasanya sudah hampir menjadi kebiasaan baginya untuk datang ke sini. Ia datang untuk mengajari Luna, yang sudah pulang duluan, tentang pelajaran baru dalam kursus kerajinan.

“Ehehe, aku sangat menantikannya, Ichi.”

Ichigo berkata dengan wajah lelah, sementara Luna, yang sudah duduk di kamar menunggu kedatangannya, tampak benar-benar bahagia. Ngomong-ngomong, dia mengenakan baju piayamanya hari ini. Karena mereka telah memutuskan untuk pergi ke festival musim panas, dia tampaknya berada dalam suasana semangat tinggi. Melihatnya seperti ini, Ichigo menghela nafas.

... sekali lagi, itu akan menjadi acara yang bikin kepala pusing.

Namun, Ia tidak bisa mendadak membatalkannya. Luna sudah banyak membantu di toko dengan memasukkan beberapa shift, meski sekarang adalah liburan musim panasnya. Dia juga bersedia menerima penugasan tiba-tiba, dan bahkan setelah bekerja selesai, dia dengan penuh semangat belajar untuk mempelajari lebih lanjut tentang pekerjaannya. Memang benar kalau Ichigo bersyukur, dan dia telah mengundangnya dari kebaikan hatinya, jadi Ichigo tidak bisa mengabaikan perasaannya.

“Yah, Sasaki-san dan yang lainnya sepertinya menikmati diri mereka sendiri, jadi tidak ada salahnya untuk melakukan hal seperti ini sesekali.”

“Ya, dan aku juga sudah bertukar ID Line dengan Sasaki-san serta yang lainnya.” Luna melihat ke bawah pada layar teleponnya di tangannya. Tampaknya dia baru saja bertukar pesan dengan mereka. “Semuanya bilang kalau mereka akan berdandan pada hari itu ...”

Kemudian, tiba-tiba, gerakan Luna berhenti.

“... Ah, iya!” Dia bergumam seolah-olah dia baru kepikiran sesuatu.

“Ada apa?”

“Bukan apa-apa, untuk saat ini, masih rahasia.” Menanggapi pertanyaan Ichigo, Luna menjawab dengan senyum nakal. “Tolong nantikan saja pada hari festival.”

“......”

Ia penasaran apa yang dimaksudnya.

Entah bagaimana, Ichigo merasakan perasaan tidak enak yang sama ketika Luna mendadak datang berkunjung ke tokonya setelah Ia merusak perabotan di rumahnya.

 

※※※※※

 

Dan waktu berlalu dengan cepat. Hari ini merupakan hari festival musim panas.

“Rasanya seolah-olah baru terjadi kemarin ...”

Tempat diselenggarkannya festival musim panas di distrik tempat Sonozaki tinggal hanya beberapa menit berjalan kaki dari rumah Ichigo. Setelah tiba di tempat tujuan, festival sudah mulai dan ramai dengan banyak pengunjung. Suasananya begitu meriah dan berisik ... tetapi yang lebih pendting lagi, tempatnya terasa nostalgia bagi Ichigo. Nuansa yang Ia rasakan mirip seperti saat Ia mengunjungi festival musim panas bersama Sakura.

“Hmmm, apa semuanya sudah berkumpul?”

Ichigo mengeluarkan hapenya untuk memeriksa waktu dan pesan baru. Tiga gadis kampus, Luna, dan Wakana berencana untuk bertemu langsung di tempat tujuan. Adapun Luna yang masih di bawah umur, Ichigo menyarankan untuk menjemputnya, tetapi dia menolak dengan sopan, mengatakan kalau dia akan pergi dengan yang lain ...

“…Hmm?”

Ia merasa seperti telah mengalami perkembangan ini di suatu tempat sebelumnya ... sesuatu yang ternging-ngiang di benaknya, dan sementara Ichigo memikirkan itu….

“Pak manajer, maaf sudah membuat anda menunggu ~”

Ia mendengar suara yang akrab dan berbalik untuk melihat sekelompok gadis kampus datang ke arahnya.

“…Ah.”

Mereka semua memakai Yukata. Sasaki, Ishidate, dan Horinouchi semuanya mengenakan Yukata. Dan tentu saja, Wakana juga.

“Maaf, butuh waktu lumayan lama untuk mengenakan yukata.” ucap Wakana dengan malu-malu sambil menyisir rambutnya dengan tangan.

Dia mengeluarkan aura wanita ideal yang berbeda dari pakaian kerja atau pakaian kasualnya yang biasa. Dia mengenakan kimono dengan warna dasar vermilion, dan penampilannya, yang berbeda dari kehidupan normalnya, memberikan perasaan memikat yang menarik bagi hati pria.

“Sudah lama sekali sejak saya memakai Yukata ... Ba-Bagaimana menurut anda?”

Tidak baik untuk berterus terang memberi tahu Wakana mengenai apa yang baru saja dipikirkannya, jadi Ichigo menenangkan diri dan tanpa motif tersembunyi, menjawab, “Itu sangat sesuai untukmu.”

“Pak manajer.” Kemudian, ada suara memanggilnya dari belakang. Cuma ada satu orang saja yang belum hadir. Tentunya gadis itu adalah—

Apakah itu rasa krisis atau harapan samar-samar, Ichigo berbalik ke belakang dengan salah satu dari perasaan tersebut di dalam hatinya. Dan di sana, Luna berdiri.

“......”

Secara spontan, wajah Ichigo menegang.

“Terima kasih sudah menunggu, ehehe.” tutur Luna dengan senyum berseri-seri, mengenakan yukata berwarna cahaya biru yang tenang pada kain putih. Warnanya sama dengan yang pernah dipakai Sakura pada hari festival musim panas musim panas itu. Tidak, bukan hanya warna saja — tapi pola, ukurannya, semuanya tampak sama persis. Dan Luna, yang mempunyai wajah yang sama persis dengannya, memakainya. Dia dengan sopan mengikat rambut gelapnya dengan cara yang sama, mengekspos tengkuknya lehernya. Ichigo tidak tahu apakah ini adalah mimpi atau kenyataan.

“Bagaimana menurut anda?” Luna dengan cemas bertanya pada Ichigo, yang tetap diam.

Mereka tampak sama persis. Warna Yukata-nya, cara dia mengikat rambutnya. Dan di lehernya….

“......”

Tidak ada tahi lalat.

…Yah, wajar saja.

Segera, proses pikirannya menjadi dingin. Tapi bukan berarti Ia merasa kecewa atau semacamnya. Bukan Sakura yang ada di sini, tapi putrinya, Luna. Bila dilihat dari penampilannya, Ichigo bisa mengetahui kalau dia sudah berusaha sangat keras dan berusaha untuk merias dirinya. Itu memberi kesan menggemaskan dan cantik.

“Yukata itu sangat cocok untukmu.” Itu sebabnya Ichigo memberitahu Luna. Sekilas, perkataan tersebut mungkin terdengar seperti orang dewasa yang memuji upaya anak kecil. Namun, itu juga perasaan jujurnya yang tidak bisa sembunyikan.

“Te-Terima kasih banyak ...” begitu mendengar pujian Ichigo, mata Luna melebar dan wajahnya mulai tersipu merah. Pada saat yang sama, dia sepertinya sangat bahagia.

“Kamu benar-benar manis sekali, Luna-chan!”

“Bukannya Yukata itu terlihat seperti terbuat dari kain yang cukup bagus!?”

“Maksudku, bagaimana kamu tahu cara memakainya sendiri? Aku bahkan tidak mengerti sama sekali.”

Saat itulah gadis-gadis kampus mengerumuni Luna dan mulai riuh sendiri.

“Ehehe, aku juga sama tidak paham. Itu sebabnya aku mempelajarinya dari internet.” Luna dengan malu-malu menjawab gadis-gadis itu.

Sementara itu, Ichigo mengalihkan pandangannya dan memutuskan untuk diam-diam mendinginkan pipinya yang sedikit memanas.

“Jadi, bagimana kalau kita pergi sekarang?”

“Kios Sono-chan di sebelah mana?”

“Ah, kupikir sudah ada di sana.”

Sasaki, Ishidate, dan Horinouchi mulai berjalan sambil berbicara, lalu Wakana memimpin jalan. Di belakang mereka, Ichigo dan Luna mengikuti.

“... Ichi.” Kemudian, tiba-tiba, Luna memalingkan kepalanya ke arah Ichigo, dan berbisik ke telinganya. “Yukata ini dikirimkan dari rumah keluargaku setelah kita memutuskan untuk pergi ke festival musim panas.”

“Rumah keluarga ...”

“Ya. Ketika aku menelepon Nenek tentang pulang di hari Festival Obon, kami kebetulan membicarakannya. Awalnya, aku ingin mengenakan yukata, tetapi aku kebingungan mencari tempat penyewaan yukata. Tapi kemudian Nenek memberiathu kalau dia memiliki Yukata yang tidak terpakai di rumah dan mengirimkannya kepadaku. Aku juga sangat terkejut.”

“......”

Rumah keluarga Luna — dengan kata lain, rumah keluarga Sakura. Jika demikian, maka yukata ini ... kemungkinan besar yukata yang pernah dikenakan Sakura di masa lalu. Dengan tegas, Ichigo menatap Luna. Ia memeriksa dengan hati-hati untuk memastikan kalau Ia tidak melihat ke tempat-tempat aneh ... tak diragukan lagi. Yukata tersebut sangat mirip dengan model dalam ingatannya.

... Tidak, walau Ia tidak bisa memastikan ingatannya sendiri, tapi Ichigo masih bisa secara intuitif menegaskannya. Pastinya, itu adalah yukata yang ppernah dipakai Sakura pada musim panas itu. Ichigo penasaran apakah Luna tahu tentang itu ...

“... Ehehe, aku jadi sedikit malu. Ichi, apa kamu menyukai yukatanya?” Kemudian, ketika pandangan mata Ichigo terus menatapnya, Luna terkikik seolah menyembunyikan rasa malunya. “Tahu enggak, Yukata ini memang dikirim kepadaku, tetapi aku juga membeli ornamen rambut ini, Geta, dan Obi dengan uang yang aku terima dari Ichi.”

“... uang 20.000 yen yang kuberikan padamu terakhir kali?”

Beberapa waktu lalu, ketikaIchigo dan Luna telah memahami perasaan sejati masing-masing dan Ia mengunjungi rumahnya untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Ichigo memberinya uang untuk membantu biaya hidupnya. Dan rupanya, malam itu, dia sepertinya kepikiran sesuatu tentang Yukata.

“Itu bukan pembelian murah, dan aku berpikir kalau Ichi mungkin akan memarahiku, tapi aku senang kamu menyukainya.” Luna berbisik dengan gembira dan tersenyum polos.

“Aku tidak marah padamu. Kamu bebas menggunakannya apapun yang kamu mau.” Ichigo menjawab tanpa penolakan.

“Wah ... Ada begitu banyak orang di sini.”

“Dan banyak yang orang pacaran juga.”

Sementara itu, Sasaki dan yang lain di depan mereka berkomentar ketika  melihat sekeliling pada kerumunan orang yang secara bertahap.

“Memangnya Sasaki-san dan yang lainnya tidak berencana untuk datang ke sini dengan pacar masing-masing?” Wakana bertanya kepada Sasaki dan yang lainnya.

“Tidak, aku tidak ada niatan begitu.” “Rasanya jauh lebih menyenangkan ketika datang bersama teman.” Mereka menjawab seolah-olah mereka tidak tertarik pada pacar sama sekali.

... Aku penasaran apa memang begitu masalahnya.

Tapi sekarang, memang ada banyak sepasang kekasih yang memenuhi area festival. Kombinasi wanita dalam Yukata dan seorang pria yang memakai Jinbei dapat dilihat di sana-sini.

“Aku berharap kalau Ichi juga mengenakan Jinbei.” Dari sampingnya, Luna berbisik.

“Jika aku memakainya, itu akan menjadi kencan festival musim panas.” Ketika Ichigo dengan ringan menggodanya, Luna tertawa dan membalikkan tubuhnya dengan, “Ehehe.”

 

※※※※※

 

Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah kios milik Sonozaki.

“Ah! pak Manajer dan Wakana-san. Luna-chan dan yang lainnya juga! Aku senang kalian mampir ke sini!” Sonozaki sedang mengurus tong besar yang penuh dengan es, dan bertanggung jawab menjual minuman. Dia mengenakan mantel happi dan Hachimaki yang cocok dengan kepribadian dinamisnya. Setelah bertukar salam singkat dengannya, mereka langsung pergi ke warung untuk membeli minuman.

“Apa ada kios yang menjual makanan dan lainnya?”

“Ada kok, letaknya sedikit lebih jauh dari deretan kios-kios ini, mereka menjual berbagai macam jenis.” Menanggapi pertanyaan Sasaki, Sonozaki menunjuk ke arah kios dan menjelaskan.

“Kalau gitu, ayo pergi dan melihat-lihat kios!”

“Aku butuh sesuatu yang bisa menemani Sake.”

“Ayo beli yakisoba atau lainnya.”

Setelah menyimpan alkohol di kios Sonozaki, Sasaki dan yang lainnya mulai  mencari sesuatu untuk menemani minuman mereka.

... Mereka dalam mode minum-minum.

Mengikuti mereka, Ichigo, Luna, dan Wakana juga berjalan-jalan di sekitaran kios-kios yang ramai.

“Ah.” Saat itulah Luna menghentikan langkah kakinya, seolah-olah dia telah menemukan sesuatu. Mengikuti arah tatapannya, ada kios menangkap ikan mas.

“Menyerok ikan mas, ya?”

“Rasanya bikin nostalgia, ‘kan?”

Ada tanda plang besar yang ditampilkan di atas kios. Ichigo dan Wakana merasa nostalgia ketika mereka melihat tulisan besar tertulis di atasnya. Ia sudah lama tidak bermain menyerok ikan mas ketika kecil dulu.

“…Apa kamu ingin mencobanya?” Ichigo bertanya pada Luna, yang menatap sekelompok ikan mas merah kecil yang berenang di kolam besar.

“Aku cuma sedikit penasaran ...” Gumam Luna, dan tersenyum malu-malu. Ichigo tanpa sadar tersenyum ramah saat melihat ekspresi kekanak-kanakannya.

“Mumpung ada di sini, kenapa kamu tidak mencobanya? Sepertinya Sasaki-san dan yang lainnya masih melihat-lihat.”

“Apa itu tidak apa apa? Tapi ... cuma aku satu-satunya yang tertarik.” Kata Luna perlahan.

Dia selalu perhatian dan sungkan bahkan pada saat seperti ini, pikir Ichigo.

“Kalau begitu, aku akan mencobanya juga karena sudah lama tidak pernah memainkannya.”Kemudian, Wakana menawarkan bantuan. “Hoshigami-san, mari kita coba bersama-sama.”

“Y-Ya!” Diajak oleh Wakana, Luna menjawab dengan gembira. Terlepas itu cara Wakana untuk menyingkirkan keraguan Luna, atau dia benar-benar hanya ingin melakukannya juga, sulit untuk mengatakannya.

... Pokoknya, aku senang kamu ada di sini, Wakana-san, pikir Ichigo dengan jujur. Bagaimanapun juga, Luna dan Wakana mencoba permainan menangkap ikan mas. Setelah membayar kepada penjaga kios, mereka masing-masing menerima poi dan mangkuk, lalu berjongkok di depan kolam. Luna tampak bersmeangat dan memasukkan poi ke dalam air. Namun—

“Ah ...” Segera, kertas penyeroknya robek dan Luna berakhir gagal tanpa menangkap seekor ikan pun.

“Apa jangan-jangan ini baru pertama kalinya memainkan permainan menangkap ikan mas ini?” Ichigo bertanya pada luna yang sedih.

Luna tampak malu-malu dan membalas, “Sebenarnya, ya ...”

Tidak heran, itu menjelaskan mengapa dia begitu tertarik dengan permainan ini.

“Luna-san, sebenarnya  ada trik untuk menyerok ikan mas.” Kemudian, Wakana mulai menjelaskan sambil memegang poi di tangannya. “Ketika menargetkan ikan mas, masukkan poi dari kepala, mereka akan berbalik ke samping untuk melarikan diri. Kemudian, ketika mereka menunjukkan perut mereka, kamu bisa dengan mudah menangkapnya.”

“Be-Begitu rupanya.”

“Juga, saat menarik poi dari air, kamu harus memegangnya sedikit ke permukaan air sehingga ikan mas ditempatkan di tepi poi untuk mencegah merobek kertas.”

Luna menganggukkan kepalanya dengan, “Mhmm Mhmm.” Menerima saran Wakana, dia membeli poi lain dan mencoba sekali lagi.

“Aku akan mencobanya.” Dan ketika dia mencoba melakukan apa yang dikatakan Wakana padanya—

“Ah! Aku berhasil mendapatkannya!”

Kali ini, sepertinya berhasil. Tanpa merobek poi, dia memperoleh satu ikan mas kecil di mangkuknya.

“Kamu berhasil.”

“Ya, itu semua berkat saranmu, Wakana-san.”

Ketika Luna berterima kasih padanya, kacamata Wakana berkilauan dan dia tampak sombong.

Dia tampak menggelikan ..., sambil memikirkan hal itu, Ichigo menyaksikan interaksi mereka berdua. Sama seperti itu, baik Wakana dan Luna berhasil dengan sukses.

“Pak Manajer, kami mendapat tiga ikan!” Wajah Ichigo tersenyum ketika Luna dengan senang hati menunjukkan kepadanya ikan mas di kantong plastik.

“Bagus untukmu. Kamu bisa mendapatkan mangkuk ikan mas di bagian persediaan hewan peliharaan dari toko, dan kamu bisa memeliharanya.”

“Ya!”

 

※※※※※

 

 

Setelah bermain menangkap ikan mas, kelompok Ichigo bertemu dengan Sasaki dan yang lainnya. Gadis-gadis itu membeli makanan bersama di sebuah warung makanan yang mereka temukan, dan mereka semua menuju ke ruang terbuka di mana beberapa meja dan kursi didirikan.

“““Bersulangg!!!”””Begitu mereka duduk, Sasaki, Ishidate, dan Horinouchi mengangkat sake yang telah mereka beli dan mulai minum-minum dengan penuh semangat.

“Apa anda ingin bergabung juga, pak manajer?”

“Tidak, aku baik-baik saja ...”

“Aku juga, aku tidak ikutan untuk hari ini.”

Sebagai orang yang lebih tua, Ichigo dan Wakana dengan santai menolak undangan gadis-gadis itu. Sementara menolak, Ichigo melihat kaleng di Sasaki dan tangan yang lain.

... Itu adalah kaleng bir merk Strong Zero.

Sake yang mereka pegang adalah soju, minuman keras beralkohol tinggi.

... Kurasa gadis-gadis kampus jaman sekarang bisa meminum itu tanpa masalah …. Tunggu, bukannya kebanyakan orang minum banyak di masa-masa kuliah mereka? Juga, apa itu aman sampai minum sebanyak itu?, Ichigo berpikir untuk dirinya sendiri dalam kebingungan. Namun, kekhawatiran Ichigo dengan cepat menjadi kenyataan.

“Aku tau kalau aku pernah bilang sesuatu seperti itu sebelumnya, tapi aku benar-benar kepengen punya pacar!”

“Betul sekali!”

Beberapa menit setelah mereka mulai minum, Sasaki dan yang lainnya sudah mabuk.

“Pak manajer, kupikir aku ingin punya pacar.”

“Apa kamu bisa memperkenalkanku pada cowok yang baik dan tampan?”

“Tidak, bahkan jika kamu bilang cowok yang baik ...”

Ketika Sasaki dan yang lainnya mulai kehilangan nalar mereka, Ichigo juga mulai kelihatan bermasalah di wajahnya. Namun, Ia tidak keberatan. Dalam profesinya, Ia harus berkomunikasi dengan banyak orang dari berbagai usia dan jenis kelamin. Meski gadis-gadis itu sedikit lebih muda, mereka semua berusia dua puluhan. Percakapannya sendiri tidak sulit. Bahkan, mereka berada pada panjang gelombang yang sama.

“Ketika membahas cowok yang baik, ada Aoyama-kun, iya ‘kan? Aku yakin kalau Ia masih—”

“Yup, tidak mungkin.”

“Serius, kalau orang itu mustahil.”

“Itu tidak mungkin.”

Mereka semua membalas dengan wajah lurus dan berkata demikian. Itu balasan serempak yang tak kenal ampun.

... Aoyama-kun, aku kasihan padamu ...

“Padahal Aoyama-kun adalah pria yang baik-baik. Tidak ada salahnya berpacaran dengannya.”

“Maksudku, pak manajer tahu persis bagaimana reaksi kami saat pak manajer menyebutkan nama Aoyama.”

“Itu tidak benar. Memangnya kalian pikir seberapa buruk kepribadianku?” Ichigo terkekeh.

“Tapi Aoyama-kun sangat populer di kalangan pelanggan lanjut usia, tau.” Kemudian, Wakana menimpali dengan dukungan.

“Benar, Ia populer di kalangan nenek yang sering datang ke toko.”

“Itu karena Ia bisa membawa barang-barang berat dengan gampang.” Sasaki dan yang lainnya tertawa juga.

“Kalau kamu sendiri bagaimana, Wakana-san? Apa ada seseorang yang kamu sukai?” Ishide, salah satu dari mereka, bertanya kepada Wakana.

“Um ... tidak ada.” Ketika topik percakapan tiba-tiba diarahkan padanya, Wakana menjawab dengan kebingungan.

“Yah, kurasa kamu tidak bertemu terlalu banyak orang dalam pekerjaan ini.”

“Tapi cerita tentang sesama karyawan yang menikah satu sama lain, atau sesuatu seperti pekerja paruh waktu menikah karyawan tetap lumayan banyak terjadi, iya ‘kan?”

“Aku penasaran apa pak manajer dan Wakana-san akhirnya akan menjadi seperti itu juga.”

Gadis-gadis kampus, yang tampaknya semakin mabuk, mulai terbawa suasana dan bergosip semacam itu. Mendengar obrolan mereka, pipi Wakana tampak memerah dan dia mengalihkan wajahnya seolah-olah merasa tersipu malu.

“Kamu terlalu mabuk, Sasaki-san.” di sisi lain, Ichigo memperingati mereka layaknya orang dewasa yang bijak.

Mereka semua sangat bersemangat tentang hal itu. Namun, Luna tampak sedikit tidak nyaman dalam kelompok. Dari semua anggota di sini, dialah yang termuda. Dan tentu saja, dia tidak bisa minum alkohol. Karena itu, wajar-wajar saja kalau tidak bisa masuk ke dalam aliran percakapan. Tetap saja, dia melakukan yang terbaik untuk tidak sembarangan bicara, untuk menikmati momen sebanyak yang dia bisa, dan untuk menjaga suasana tetap meriah tanpa merusaknya.

Lalu, pada akhirnya….

“Ugh ... aku merasa ingin muntah.” Suasananya semakin menyenangkan, tetapi mungkin ternyata ke arah yang salah. Akibat dari minum dengan kecepatan yang cukup cepat, Sasaki dan yang lainnya mulai mabuk berat dan kelelahan.

“Rumahku cukup dekat. Apa kalian ingin istirahat di sana?”

“Kalau begitu, tolong ...”

“Apa itu tidak apa apa? Aku cukup khawatir.”

Melihat gadis-gadis kuliah yang tampak sempoyongan, Ichigo mengungkapkan kecemasannya.

“Anda tidak perlu risau, pak manajer.” Kemudian, ekspresi Wakana tampak tegas  dan berkata, “Gadis-gadis itu pulang ke arah yang sama dengan saya, jadi saya akan mengantar mereka sampai ke rumah dengan aman.”

“Apa kamu yakin tentang ini, Wakana-san?”

“Tidak apa-apa. Tolong jangan ragu untuk mengandalkan saya.” Wakana, yang meyakinkannya tentang hal ini, memiliki ekspresi yang sama ketika mereka berada dalam perjalanan bisnis tempo hari. Di rest-area dalam perjalanan pulang, tepatnya.

“Kalau begitu ... Maaf, Wakana-san, aku akan menyerahkan gadis-gadis itu padamu.”

Jadi meskipun masih sedikit lebih awal, mereka memutuskan untuk bubar pada hari itu.

“Terima kasih untuk hari ini, Luna-chan.”

“Maaf, kami jadi sedikit terbawa suasana.”

“Kamu tidak terlalu menikmatinya, kan?”

“Tidak, itu tidak benar sama sekali, rasanya menyenangkan, kok! Kapan-kapan, tolong ajak aku lagi!” Luna menjaga senyum yang sama di wajahnya, dan bersama Ichigo, mereka melihat Sasaki dan yang lainnya pergi, serta Wakana yang mengawal mereka.

“Sekarang ...” Ketika Sasaki dan yang lainnya tidak terlihat, Ichigo menatap Luna di sebelahnya. Jika mengikuti alur situasinya, dia pasti akan pulang pada tingkat ini ...

... Jika memang itu masalahnya, rasanya sedikit kasihan.

Dia sudah repot-repot menyiapkan pakaian untuk festival musim panas, berdandan, dan tampak sangat senang untuk dipuji olehnya. Ichigo tidak bisa memberinya banyak perhatian dan orang dewasa semuanya bersemangat sendiri. Apa itu tidak masalah jika semuanya berakhir seperti ini?

“Apa yang harus kita lakukan?” Seolah-olah secara alami, mulut Ichigo menggumamkan kata-kata ini. “Masih terlalu cepat untuk pulang.”

“ ... Ichi, dari sini ke rumah Ichi, lumayan dekat, bukan?” Kemudian, mungkin karena komentar Ichigo, dia mungkin telah menafsirkannya sebagai ajakan. Sambil gelisah, Luna lalu melanjutkan, “Apa aku boleh mampir ke rumah Ichi?”

“Eh.”

“Ah, lihat ini.” Luna menunjukkan kantong plastik di tangannya. Itu adalah makanan yang mereka beli dari warung sebelumnya. Mereka repot-repot embelinya, tetapi karena alkohol, mereka akhirnya meninggalkannya tidak tersentuh.

“... Benar, sulit untuk memakannya di sini, dan makanannya juga sudah dingin. Ayo hangatkan lagi di tempatku dan makan di sana.”

Aku merasa seperti sedang mengarang-ngarang alasan, seolah-olah aku ini pria jahat yang menyembunyikan motif tersembunyi untuk memancingnya, pikir Ichigo.

Ketika Ichigo menerima tawarannya, Luna menatapnya dan menyipit matanya dengan penuh kasih.

“... Ichi, kamu memang sangat baik.”

“Eh? Maksudku, bukannya ini sama seperti biasanya?”

Luna tersenyum pada Ichigo, yang mengatakannya dengan terkekeh.

“Ya, jadi itu berarti kamu selalu bersikap baik.”

“Kurasa begitulah adanya ...”

Bagaimanapun juga, Ichigo memutuskan untuk mengantar Luna dan menuju rumahnya.

 

※※※※※

 

Dengan demikian, Ichigo membawa Luna ke perumahan perusahaan tempat Ia tinggal. Untungnya, sejauh ini, tidak ada yang melihat mereka bersama.

“Permisi!”

“Ya ... tolong pelankan suaramu sedikit, oke?”

Ketika Ichigo hendak membuka pintu depan, Luna yang sedari tadi diam, berteriak riang, dan melepas bakiaknya untuk masuk ke dalam rumah.

“Ehehe, sudah lama sejak aku mengunjungi rumah Ichi.”

“Ye-yeah.”

Kunjungan terakhir Luna dipenuhi dengan memori pahit karena berbagai alasan. Tapi sekarang, dia tidak menunjukkan tanda-tanda terlalu memedulikan kejadian waktu itu. Dia tampak benar-benar senang bisa mengunjungi rumah Ichigo lagi.

“Baiklah, sekarang, pertama-tama ...”

Makanan yang mereka beli dari warung tidak tersentuh dan sudah dingin. Karena terbawa suasana oleh gadis-gadis kuliah yang mabuk, Luna tidak punya waktu untuk membukanya.

“Mari panaskan kembali makanan ini di microwave.”

“Baik. Ah, iya! “ Kemudian Luna melihat ke arah jendela ruang tamu dan membuat saran. “Rumah Ichi memiliki taman, iya ‘kan?”

“Ah, ya.”

“Bagaimana kalau kita makan di luar?” Meski mereka kembali dari area festival, sepertinya dia masih ingin menikmati suasana festival musim panas.

“Begitu ya... Baiklah. Kenapa tidak?”

Gagasan Luna langsung disetujui, dan mereka memutuskan untuk memanfaatkan taman kecil di luar ruang tamu. Segera setelah itu, Ichigo membuka jendela geser dan melangkah keluar teras. Ia tidak terlalu khawatir karena dinding pembatas dan tanaman akan menghalangi pandangan dari luar. Dan halaman tersebut, ada meja dan kursi outdoor di sana.

“Itu belum digunakan untuk sementara waktu, jadi agak berdebu. Aku akan membersihkannya.”

“Ya, kalau begitu aku akan pergi menyiapkan makanan sampai saat itu."

Ichigo mengeluarkan kain dan ember, lalu mengelap kursi dan meja, serta menyapu area sekitarnya. Ia kemudian meletakkan kain di atas meja dan menyalakan obat bakar nyamuk di teras, dan semuanya sudah siap.

“Maaf sudah membuatmu menunggu, Ichi.” Pada saat itu, Luna telah memanaskan kembali Yakisoba dan Takoyaki dan membawanya.

“Ya, aku juga hampir selesai di sini. Kamu bisa berganti dengan sandal yang ada di sana dan turun. “ Ichigo memberi isyarat kepada Luna ketika sedang membereskan alat pembersih di sudut taman.

“Kelihatannya sangat enak.”

“Ya.”

Uapnya naik dari makanan yang sidah dihangatkan dan aroma sedap saus gurih serta mayones yang dipancarkan memiliki daya tarik yang berbeda dan lebih menggugah selera daripada hidangan yang lebih mahal.

“Ah, maaf, aku seenaknya menggunakan piringmu.”

“Tidak, tidak apa-apa. Terima kasih sudah berusaha memindahkan piring.” Perhatiannya terhadap detail terlihat jelas dalam makanan yang diatur dengan rapi di piring. Ketika Ichigo mengungkapkan rasa terima kasihnya, Luna tersenyum malu-malu dan berkata, “Ehehe.”

“Lalu ini juga.” Kemudian, dia meletakkan sesuatu yang lain di atas meja. Itu adalah sekaleng bir.

“Ini…”

Kaleng perak yang ditutupi dengan kondensasi dan tetesan air, tampak akrab. Itu adalah kaleng bir yang pernah dibeli Ichigo untuk persediaan dan menyimpan beberapa di dalam kulkas.

“Ichi juga, silahkan minum-minum.”

“Alkohol, ya ...”

“Aku merasa seperti festival musim panas, aku merasa seperti festival musim panas.” Luna menyanyikan dan membuka tutupnya dengan "psssst." Dia kemudian menawarkannya kepadanya, “Ini silahkan.”

“Yah, karena sekarang ada festival musim panas ...” Di bawah pengaruh antusiasme Luna, Ichigo menerima kaleng bir.

... Lagipula, bir ada untuk merayakan festival musim panas.

Ichigo merasa kalau dirinya melupakan sesuatu yang penting, tapi keinginannya untuk menenggak bir mengalahi pertanyaan itu. Ia menyesap dan meminumnya sekaligus. Bir dingin mengalir ke tenggorokannya. Kepahitan dan stimulasi mengalir dengan sensasi dingin yang menyenangkan. Hal berikutnya yang Ia tahu, dirinya mengunyah Yakisoba yang telah disiapkan Luna untuknya.

“…Lezatnya.”

Ichigo penasaran mengapa Yakisoba dan bir selalu jadi pasangan yang serasi. Pasti jelas mengandung nutrisi yang berbeda dari yang dijual di restoran Cina dan minimarket.

“Apa rasanya benar-benar lezat?” Melihat Ichigo menikmati bir dan Yakisoba dan terlihat sangat bahagia, Luna tampak iri. “Seperti Sasaki-san dan yang lainnya, aku berharap bisa bisa minum alkohol juga.”

“Hahaha, kamu maish belum cukup umur, itu masih lama sekali.”

Makanan khas festival musim panas dan sake yang lezat. Ichigo dan Luna memanjakan diri dalam makan malam yang memuaskan.

“Oh, sudah kosong?”

“Ini dia.”

Ia menaruh kaleng kosong di atas meja dan Luna menyuguhkan kaleng bir yang berikutnya. Tidak butuh waktu lama sampai Ia menghabiskan 3 kaleng.

“Makasih.”

Berkat pengaruh alkohol, Ichigo tampaknya berada dalam suasana hati yang sedikit optimis. Sikapnya berbeda dari biasanya, dan Luna menertawakannya.

“Oh iya, ini.” Kemudian, Luna menarik sesuatu dari kantong plastik kecil.

“Itu ... Oh, itu bonus dari bir ini, ya ...”

Itu adalah item promosi yang melekat pada bungkus bir kalengan. Itu semacam ekstra yang dimasukkan ketika membeli banyak di musim ini.

“Ya, kupikir yang begini ada bagusnya.” Di dalam kotak ada beberapa kembang api kecil. “Aku belum pernah memainkan kembang api genggam lagi selama bertahun-tahun.”

Ketika Ia menggumamkan ini, Luna melirik Ichigo. Ichigo tersenyum masam. Ia tahu persis apa yang Luna pikirkan

“Ayo kita nyalakan.”

“Apa kamu yakin?”

“Bukannya itu sudah jadi rencanamu selama ini.” Ichigo tertawa dan mengulurkan tangannya, mengelus-elus kepala Luna. Itu seharusnya menjadi perilaku biasa, layaknya orang dewasa yang menjahili anak kecil. Tetapi tindakan itu membuat Luna terdiam sesaat, dan sesaat kemudian, pipinya memerah.

“Mhmmm? Apa ada yang salah?”

“Ichi ... sepertinya kamu agak agresif ketika kamu minum-minum.”

Bertanya-tanya mengapa tatapan Luna mengarah kemana-mana, Ichigo berkata, “Aku ada obat bakar nyamuk buat nyalainnya, jadi aku akan mengambil air dulu,” dan pergi ke ruang tamu. Kemudian, ketika kembali dari dalam rumah sambil membawa seember air, Ichigo segera menyalakan beberapa kembang api kecil dengan Luna.

“Wah ~ indahnya.”

Kembang api itu menyala dan bersinar, menyebarkan  percikan api yang rapuh. Luna menatap dengan penuh perhatian pada cahaya kecil tersebut.

“Kembang api... Sudah lama aku tidak melakukannya, jadi rasanya sedikit menyegarkan.”

“......”

Sudah lama, ya? Aku ingin tahu apa dulu dia sering melakukan ini ketika orang tuanya masih hidup, atau ketika cuma ada dia dan Sakura—

“......”

Luna menatap percikan kembang api sambil berjongkok. Di sebelahnya seperti ini, Ichigo membayangkan Sakura menikmati kembang api genggam dengannya. Ia secara egois berharap itu adalah waktu yang sangat menyenangkan.

“Ah, itu jatuh.” Akhirnya, sebuah gumpalan merah kecil terputus, dan nyala api padam tanpa suara.

“Kembang api kecil ini imut.”

“Ya, ada baiknya melakukan sesuatu seperti ini sesekali—”

Pada saat itu……

“Ah.”

“Hyuu ~” suara yang mirip seperti peluit dan bernada tinggi bisa terdengar. Pada saat yang sama, Ichigo dan Luna menatap di atas kepala mereka. Seketika, bunga besar dan berwarna cerah mekar dalam kegelapan langit malam. Sesaat kemudian, ada suara gemuruh yang terdengar.

“Begitu ya ... Kita pulang sebelum pertunjukkan kembang api dimulai.”

Di atas langiat malam yang hitam pekat, kembang api berwarna-warni mekar satu demi satu. Tiba-tiba, Ichigo mengalihkan tatapannya. Di depannya ada sosok Luna yang tatapan matanya terlihat berkilau ketika menatap kembang api.

“......”

Seni yang sangat menakjubkan, dipenuhi dengan banyak warna, dan seorang gadis anggun menatap pemandangan yang luar biasa. Wajah Luna diterangi oleh kembang api, dan Ichigo mau tak mau merasa terkagum ketika memandanginya.

“Cantik sekali.”

“Ya…”

Pada saat itu, Luna juga tampaknya mulai menyadari kalau Ichigo tengah menatap wajahnya.

“Ichi?”

“Ya, maaf. Kamu benar-benar terlihat cantik.”

Berkat pengaruh alkohol, Ia tidak bisa memikirkan atau mempertimbangkan hal lain, jadi Ia hanya mengatakan apa yang dirinya rasakan. Begitu mendengar pujian tulus Ichigo, wajah Luna langsung memerah sekaligus sampai ke telinganya, dia lalu mengalihkan pandangannya ke bawah dan terdiam. Peraaaan malu yang datang terlambat membuat Ichigo buru-buru mengalihkan kepalanya.

“Uwaa ...” Lalu tiba-tiba, tubuh Ichigo tampak goyah. Perutnya sedikit mual, dan Ia segera meletakkan tangannya di atas meja untuk menopang beratnya sendiri.

“Ichi, apa kamu mulai ngantuk?”

“Ah, ya ...”

Tampaknya Ia sudah benar-benar mabuk. Tercengang dengan kenyataan ini, Ichigo bertanya-tanya apa Ia selalu lemah dengan alkohol.

... Tidak, ketika aku bersamanya, aku tidak bisa menahan diri untuk minum dengn lebih cepat.

Hal yang sama juga pernah terjadi pada pertemuan pertama mereka. Apa itu karena Ia merasa gugup? Atau karena Ia merasa bersenang-senang? Berakhir mabuk seperti ini, Ichigo merasa dirinya tidak berhak menceramahi gadis-gadis kuliah itu.

“Aku minta maaf. Kurasa aku terlalu banyak minum alkohol.” Ketika pikiran mabuknya mulai berpikiran demikian, Ichigo berusaha berjalan dari taman di luar menuju ke kamar yang ada di dalam. “Aku akan minum air dan mencuci muka ...” katanya ketika mencoba naik ke teras untuk sampai ke dapur.

“Apa kamu baik-baik saja? Hati-hati jalannya, oke? “ Lalu Luna, yang mengejarnya, langsung meraih lengan Ichigo. Dengan bantuannya, Ichigo pergi ke teras dan kemudian ke ruang tamu. Ia merasa tidak sanggup lagi untuk berdiri, jadi Ia merosot di atas sofa.

“Aku akan berbaring sebentar.”

“Ya, ini airnya.” Luna menawarkan air mineral yang dia bawa dari kulkas.

“Terima kasih…”

“Maaf, aku membuatmu minum terlalu banyak.” Luna dengan lembut membelai kepala Ichigo ketika menggumamkan sesuatu tentang tidak enak badan. “Ichi, beristirahatlah. Biar aku yang membereskan semuanya.”

“Maaf ...” Setelah menggumamkan itu, Ichigo langsung tertidur di atas sofa. Dan begitulah, dirinya tidak menahan keinginan berat untuk tidur, dan kehilangan kesadarannya ...

 

※※※※※

 

“Apa yang harus aku lakukan…”

Setelah itu, di tempat Ichigo yang tepar karena mabuk, Luna membersihkan piring. Pada saat dia selesai, waktu sudah larut malam. Dia tidak menyadarinya ketika berbicara dengan Ichigo, tetapi sepertinya waktu sudah berlalu lumayan lama. Tidak ada transportasi umum yang melewati area apartemen Ichigo untuk pulang pada jam ini, dan sudah waktunya sudah terlalu malam untuk naik taksi sendirian. Terlebih lagi, Ichigo dalam keadaan mabuk. Mustahil baginya untuk menyetir mobil demi mengantar Luna pulang ke rumah.

“Kurasa aku tidak punya pilihan lain selain memintanya untuk membiarkanku menginap di sini ...”

Luna kemudian melirik Ichigo yang berbaring di sofa. Ia benar-benar tertidur lelap dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangun.

“......”

Luna lalu berjalan perlahan-lahan mendekati sofa. Dia kemudian membungkuk dan menatap wajah Ichigo pada jarak yang sangat dekat.

“... Ichi.”

Belakangan ini, jarak antara Ichigo dan dirinya sepertinya semakin memendek. Awalnya, meskipun keinginannya untuk menjaga jarak yang tepat satu sama lain, Luna bertindak sembrono dengan menerobos ke dalam tokonya sebagai pekerja paruh waktu. Didorong oleh pikiran egoisnya, dia memaksakan dirinya mencium bibirnya. Setelah itu, Luna menyadari betapa merepotkan perilakunya sendiri dan, sesuai dengan keinginan Ichigo, dia berusaha menjaga jarak yang tepat.

... Namun, Luna tidak tahu bagaimana menjaga jarak yang tepat, atau lebih tepatnya, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Tentu saja, tidak ada orang yang bisa diajak curhat.

Tapi suatu hari, ketika dia berada dalam kegalauan, Ichigo menyadari, dan berjalan padanya. Ichigo akan selalu ada di sana untuk membantunya. Dia tersesat, tertekan, dan berjuang dengan membenci sendiri, tetapi Ichigo merasakan hal itu dan datang untuk menyelamatkannya.

Pria cinta pertamanya, yang selalu dibicarakan ibunya dalam ingatannya. Pasangan ideal yang dia bayangkan sejak dia masih kecil, bahkan lebih dari ideal. Luna merasa bahwa dirinya dan Ichigo saling mengenal, dan sedikit demi sedikit, hati mereka semakin dekat. Hal tersebut membuatnya sangat bahagia.

Aku bersumpah kalau aku pasti akan membuatmu mencintaiku apa adanya.”

Pada hari itu, dia menyatakan kalimat ini kepada Ichigo. Dia tidak bisa menghentikan dirinya karena niat sesaat, dan perasaan aslinya meluap. Dia tahu bahwa Ichigo memandangnya seolah-olah dia adalah ibunya, Sakura.

Tetapi suatu hari, suatu hari nanti, Ichigo akan benar-benar mencintai dirinya  sendiri sebagai seorang wanita.

Dia hanya bisa berharap begitu.

Jangan-jangan…

Sebelumnya, ketika dia menonton pertunjukkan kembang api, Ichigo mengatakan kepadanya kalau dia cantik. Jantungnya mulai berdetak kencang, wajahnya terasa panas, dan dia merasa sangat bahagia sampai-sampa tidak bisa berbicara sama sekali. Itu sebabnya, pikirnya. Tadi itu, mungkin saja, Ichigo benar-benar memikirkan Luna—

“Ugh ...”

Luna terbenam dalam semangat menggebu-gebu di dalam dirinya dan imajinasinya tentang masa depan yang bahagia. Kemudian, Ichigo yang ada di depannya menggeram dan membuka matanya.

“Ah, Ichi, apa aku membangunkanmu?”

“... Mhmm.”

Mungkin Ia terbangun karena merasakan kehadiran seseorang yang mendekatinya atau mungkin karena suara yang dia buat. Sementara Luna khawatir tentang ini, Ichigo menatapnya dengan sepasang mata tertegun. Ada nuansa kelegaan dalam tatapan matanya, yang merupakan campuran mabuk dan kantuk. Disertai senyum kebahagiaan, Ichigo memanggil namanya dengan penuh kasih sayang.

“... Sakura.”

“......”

Isi kepala Luna benar-benar kosong sejenak. Pada saat yang sama, dia memiliki kilas balik dari kenangan masa lalu bersama Ichigo sampai sekarang. Kenangan yang menyenangkan dan kebahagiaan karena berada di dekat hati masing-masing. Di kedalaman semua itu, adegan di mana Ichigo berbicara dengan penuh kasih sayang mengenai ibunya kembali terlintas di benaknya.

-Sedikit demi sedikit, membuatnya mencintai dirinya apa adanya-

Kata-kata tersebut yang baru saja muncul di benaknya, dan kebahagiaan yang dia bayangkan, sekarang tampak dangkal dan konyol. Kilatan nyeri menembus hatinya dan menjalar luas dalam sekejap. Dia tidak tahu bagaimana cara menenangkannya…..

Tanpa dia sadari, Luna mulai mendekatkan wajahnya sendiri dengan Ichigo dan berusaha menempelkan bibirnya ke bibir Ichigo….

 

※※※※※

 

 “Ugh ...”

Kepalanya terasa sangat pening. Dengan perasaan yang tidak menyenangkan yang berkutat di kepalanya, Ichigo pun terbangun.

... di mana aku dan apa yang sudah aku lakukan?

Dengan pemikiran yang tidak jelas, Ia mencoba mengingat-ingat melalui kenangannya. Dalam penglihatannya yang buram, Ia tidak bisa melihat dengan jelas karena cahaya latar, tapi Ichigo bisa mengetahui kalau ada seseorang yang sangat dekat. Dia mengenakan yukata biru muda dengan latar belakang putih, rambut hitamnya diikat, dan tatapan matanya ditutupi dengan bulu mata panjang—

Ah, itu dia.

Musim panas itu — di Festival Musim Panas. Dirinya sudah berusaha mencoba untuk mengubur dan melupakannya, tapi itu seharusnya menjadi kenangan terbaik dalam hidupnya-

Ichigo tersenyum dan memanggil namanya, seolah-olah mencari keberadaannya.

“... Sakura.”

Saat Ia mengatakan itu, ekspresi gadis itu ... langsung berubah. Wajahnya terlihat dipenuhi kesedihan.

Mengapa?

Ichigo tidak ingin melihatnya membuat ekspresi seperti ini. Ia takkan membiarkannya. Di tengah-tengah pikirannya yang campur aduk, Ichigo akhirnya menyadari sesuatu.

Salah, dia bukanlah Sakura.

Dia adalah Luna.

Begitu Ichigo menyadari hal ini, semuanya sudah terlambat. Tubuh Luna semakin mendekat, dan kulit melawan kulit, bibir menekan bibir. Menyentuh, saling tumpang tindih, menyebabkan semua dari lima indranya yang ditutupi olehnya.

Bersandar lebih dekat, Luna mengangkat tangannya di sekitar kepala Ichigo, menolak untuk melepaskannya. Tenaganya cukup kuat, seolah-olah dia berusaha melukis ulang sesuatu, atau seolah-olah dia mencoba untuk menutupi sesuatu. Ia bisa merasakan momentum putus asa.

“He-Hentikan!” Ichigo buru-buru melompat dari tubuh Luna.

“Ah ...” Luna, yang telah didorong dan merosot ke lantai, mengeluarkan suara terkejut.

Tampaknya dia sadar. Dia pasti menyadari apa yang barusan dia lakukan sekarang.

“…Aku minta maaf.” Luna meminta maaf dalam suara teredam.

Lagi-lagi, pikir Ichigo dengan pahit. Seolah-olah Ia melihat adegan yang sama lagi. Tepat di rumah ini, di ruang tamu ini pada hari itu ketika Ia menolaknya.

“Tidak ... barusan, itu salahku.” Kata Ichigo, memegang dahinya, seolah-olah Ia juga menyesali tindakannya sendiri.

Ya, itu benar-benar salahnya. Karena Ia salah mengira dia sebagai Sakura merupakan perbuatan yang di luar pengertian.

“... Kamu membersihkan semuanya, ‘kan? Terima kasih.”

“......”

Kata-kata terima kasih yang Ia ucapkan untuk menutupi kesalahannya sangat tipis. Luna masih tetap diam dan tak bergeming. Kombinasi mabuk dan kebingungan menyulitkan Ichigo untuk berpikir jernih.

“... Yukata itu ... mungkin adalah Yukata yang pernah dipakai Sakura di masa lalu.”

Jika Ia terus menutup mulutnya, Ia cuma membuang-buang waktu untuk mencari-cari alasan. Oleh karena itu, Ichigo memutuskan untuk berkata jujur.

“Aku pergi mengunjungi festival musim panas dengannya sekali, dan baru-baru ini, kenangan tentang waktu itu kembali teringat. Kamu terlihat sama persis seperti Sakura dalam kenangan itu ...”

“......”

“Itu sebabnya aku salah mengiranya.” Satu-satunya hal yang bisa Ichigo lakukan adalah merangkai banyak alasan. Ia marah pada dirinya sendiri untuk itu.

“Begitu rupanya ...” Setelah mendengar penjelasan Ichigo, Luna membuka mulutnya. Kespresinya tampak mencibir, seolah-olah dia dipaksa untuk membuatnya. Dia mencengkeram ujung yukata-nya dengan tangan gemetar, seolah-olah dia tidak tahu bagaimana menghadapi emosinya.

 “... Ibu benar-benar cantik, iya ‘kan?”

“......”

Ah, gawat, Ichigo menyadari bahwa Ia salah bicara. Sebelumnya, Ia memberi pujian kepada Luna, dengan mengatakan kalau dia cantik. Luna sekarang pasti berpikir kalau pernyataan itu merujuk kepada ibunya. Semua pujian tersebut diarahkan pada Sakura, yang mempunyai wajah mirip dengan Luna, menyiratkan kalau dirinya hanyalah pengganti Sakura. Rasanya seolah-olah kalau dirinya cuma manekin yang dimodelkan setelahnya.

“Bukan begitu maksudku.” teriak Ichigo, nada suaranya naik sedikit. “Kamulah yang cantik.”

Ucapan tersebut bukanlah kalimat manis di bibir maupun alasan yang dibuat-buat. Pujian itu tidak diragukan lagi untuk Luna. Ichigo ingin memberitahunya bahwa kebahagiaan yang Luna berikan padanya bukanlah palsu, apapun yang terjadi.

“Yukata itu terlihat sangat cocok padamu, Luna-san. Aku pikir itu sangat menarik dan indah ketika kamu berusaha keras untuk merias diri. Caramu menatap kembang api tadi mirip seperti lukisan. Itu sebabnya aku mengatakannya. Aku mengatakannya kepadamu.”

Tanpa pemikiran kotor dan  kepedulian aneh, Ichigo memberitahunya perasaannya yang sebenarnya. Perasaan ketidakdewasaan, tetapi penuh dengan cahaya murni yang Ia yakini pernah ada. Dirinya mengingat itu, dan dengan perasaan itu dalam pikiran dan kemauan yang kuat, ichigo berteriak.

Melihat ekspresi seriusnya, Luna langsung melebarkan matanya seolah-olah terkejut. Kemudian, seolah-olah keinginannya telah diakui, matanya tampak berkaca-kaca. Dia lalu menyeka dan menyingkirkan air mata.

“Terima kasih, Ichi.” Jadi dia menjawab sambil tersenyum.

Perasaannya dipahami. Mungkin, ketimbang kalimat pujian itu sendiri, fakta bahwa pujian tersebut diarahkan padanya mulai menenangkannya dari kecemasan yang mulai muncul di harinya. Bagaimanapun juga, Ichigo merasa lega. Ia tidak menyangka kalau dirinya akan mengigau mabuk dan membuat kesalahan.

... Aku seharusnya tidak minum-minum ... Ah.

Pada saat itu, Ichigo menyadari bahwa Ia melakukan kesalahan lain.

“Maafkan aku ... Aku seharusnya memberimu tumpangan pulang, tapi aku malah mabuk karena minum-minum.”

Ketika sedang menikmati bir tadi, Ichigo merasa kalau Ia melupakan sesuatu yang penting — ternyata itu yang Ia lupakan.

“Tidak, jangan khawatir tentang itu. Dari awal, itu semua salahku yang sudah menawarkan alkohol.” Seolah-olah ingin menyampaikan, “Jangan menyalahkan dirimu sendiri ...” Luna tersenyum lembut dengan wajah yang bermasalah dan menanggapi Ichigo.

“... tapi tidak ada bus yang lewat di jam segini.”

“Tepat sekali.”

Begitu banyak untuk kebencian, mereka mengalihkan perhatian mereka pada kenyataan dan memecahkan masalah.

“Memanggil taksi ... Ya, mustahik.” Rasanya akan sedikit mencurigakan bagi seorang gadis SMA yang memanggil taksi sendirian pada tengah malam begini.

... karena sudah buntu, tidak ada pilihan lain selain solusi yang satu ini.

“Kamu bisa menginap di sini hari ini.” Ichigo menyarankan ketika bangkit dari sofa. “Aku akan mengantarmu pulang di pagi hari.”

“Apa kamu yakin?”

“Mau bagaimana lagi ... atau lebih tepatnya, itu wajar saja karena itu salahku.” Ichigo menunjuk ke pintu masuk ruang tamu, menuju lorong. “Ada tempat tidur di kamarku, kamu boleh menggunakannya.”

“Benarkah? Terima kasih banyak, Ichi.”

“Ya ... ah.” Saat itulah Ichigo menyadari. Saat ini, Luna masih mengenakan yukata. “Untuk baju gantimu ...”

Seperti yang diharapkan, tidur dengan mengenakan Yukata bukanlah ide yang baik... ketika Ichigo meletakkan tangannya di mulutnya dan memikirkan solusi, Luna tiba-tiba menyarankan, “Ah, kalau gitu...”

“Jika Ichi bisa meminjamkanku salah satu bajumu, kurasa itu tidak masalah.”

“Eh, kamu tidak keberatan?" Ichigo kebingungan dengan saran yang Luna ungkit. “Bajuku ... sejak awal, aku berpikir kalau ukurannya takkan pas dengan ukuranmu.”

“Jangan khawatir, sedikit kebesaran juga tidak masalah kalau buat pakaian tidur.”

Ichigo bertanya-tanya apa memang begitu.

... Yah, kurasa itu ada benarnya juga. Kalau diingat-ingat lagi, aku sudah sering melihat banyak kemeja besar dalam pakaian tidur wanita.

Yah, karena tidak ada pilihan lain, dan jika orangnya sendiri tidak keberatan dengan itu, maka Ia tidak perlu terlalu rewel juga.

“Baiklah. Harusnya ada kemeja baru yang tidak digunakan di laci kamar tidur, jadi kamu bisa menggunakannya. Lalu, jangan ragu-ragu untuk menggunakan kamar mandi.”

“Oke, terima kasih ...” usai mengatakan itu, Luna meninggalkan ruang tamu dan menuju kamar tidur. Setelah melihat kepergiannya, Ichigo berbaring di sofa sekali lagi.

“......”

Suasana di antara mereka masih agak canggung. Namun, itu keadaan yang tak terelakkan. Lagipula setelah kejadian itu, Luna sudah melakukannya dengan baik untuk mendapatkan kembali ketenangannya.

“Aku harus lebih berhati-hati.”

Tak berselang lama kemudian, suara kucuran air bisa terdengar datang dari kamar mandi. Rupanya, Luna sedang mandi. Sementara itu, Ichigo meletakkan tubuhnya dalam keadaan kemalasan, mengosongkan pikirannya demi mengistirahatkan kepalanya yang masih mabuk meskipun dia tidak lagi mengantuk.

“Ichi ...”

Sejumlah saat pun telah berlalu tanpa Ia sadari. Ketika seseorang memanggil namanya dari pintu masuk ruang tamu, Ichigo mengangkat kepalanya.

“Ada apa, Luna-sa—”

Dan di sana, penampilan Luna yang baru saja selesai mandi. Dia mengenakan kemeja besar, yang merupakan salah satu kemeja milik Ichigo. Kulitnya sedikit bernoda ceri merah setelah mandi, dan dari ujung kemeja, kakinya yang mulus nan indah mengintip terbuka.

“Terima kasih untuk mandinya. Terus, aku sudah meminjam bajumu, apa kamu yakin ini tidak apa-apa?”

“Ah … Ya, tidak masalah.” Ichigo terkejut dengan betapa menggairahkan dan menggodanya penampilannya, tapi Ia mencoba yang terbaik untuk mempertahankan ketenangannya saat menjawab. “Po-Pokoknya, karena sudah larut malam, jadi mari kita tidur.”

“Ya selamat malam…”

Luna membalikkan badannya dengan gerakan ragu-ragu. Ichigo bertanya-tanya apakah reservasi-nya masih berlaku dalam kepribadiannya. Tapi kemudian, Luna tiba-tiba menoleh kembali ke arah Ichigo.

“Um …”

“Apa? Apa ada masalah?”

“Karena aku merasa tidak enakan karena membuat Ichi tidur di sofa …” dengan ragu-ragu, seolah-olah dia bersalah atas sesuatu, Luna berbisik. “Jika kamu mau … bersama …”

“Eh?”

“…... Ayo tidur bersama di tempat tidurmu?”

“H-hmm!?”

Mau tak mau Ichigo berteriak pada pernyataan yang mengejutkan. Ichigo sendiri sangat menyadari kepribadian Luna. Mempertimbangkan sifatnya yang ingin membalas budi kebaikan orang, dia mungkin tidak bermaksud jahat, dia murni menyatakan itu dengan kebaikan hatinya. Namun, waktu dan cara pengucapannya—

Kemudian, setelah melihat reaksi Ichigo, Luna pasti mengerti sekali lagi apa yang sudah dia katakan. Wajahnya yang sudah sangat memerah setelah mandi, langsung berubah merah padam sekaligus seolah-olah habis direbus.

“U-uh, ti-tidak jadi! Selamat malam!” Luna berteriak dalam upaya putus asa untuk menutupinya, dan berjalan pergi.

“… Hah …” Begitu mendengar suara pintu kamar tidur dibanting, Ichigo ambruk dengan lemas di atas sofa. Sepertinya Ia mungkin perlu memberinya dukungan emosional.

“…Ini lumayan sulit.”

Ichigo memahami ini dengan sangat baik karena sekali lagi, Ia menderita dengan hubungan yang rumit ini.

 

※※※※※

 

Dan kemudian fajar pun mulai menyingsing.

Setelah membiarkan Luna menginap di rumahnya untuk malam itu, Ichigo memutuskan untuk mengantarnya pulang di pagi berikutnya. Setelah mengantar sampaidi rumahnya, Ia akan langsung bekerja. Berpakaian dengan pakaian kerjanya, Ichigo kemudian mengantar Luna, yang sekali lagi mengenakan Yukata, menuju apartemennya.

“… Ne, Ichi.”

Di lantai dua gedung apartemen, tepat setelah bertukar selamat tinggal di depan kamarnya di sebelah tangga,

“Bisakah kita bertemu lagi malam ini?” Luna bertanya dengan ekspresi serius di wajahnya.

Sejenak, Ichigo merasa terkejut. Setelah semua yang terjadi tadi malam, Ia mungkin telah menyebabkan semacam luka dalam di dalam hatinya.

“Aku tidak keberatan. Memangnya ada masalah apa?” Itu sebabnya Ia memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab untuk itu. Ichigo berpikir sambil menerima tawarannya setulus mungkin.

“… Sebenarnya,  aku ingin berbicara denganmu tentang sesuatu sebentar. Ah, tapi jika kamu sibuk, kita bisa melakukannya lain kali.”

Gerakannya terlihat sungkan, tetapi ekspresi di matanya serius. Ini … mungkin telah dikatakan dengan banyak keberanian.

“Tidak apa-apa. Kalau setelah kerja, aku tidak sibuk. Apa yang ingin kamu bicarakan?”

“… tentang rumah orang tuaku,” kata Luna. “Mengenai rumah Kakek dan Nenek.”

“…...”

Rumah orang tua Luna. Setelah mendengar perkataanya itu, Ichigo langsung merasakan sakit kusam meresap ke otaknya. Dengan kata lain, itu rumah orang tua Sakura.

Ayah dan Ibu Sakura.

Orang tua gadis yang dicintainya, orang-orang yang sudah membuat Sakura menghilang dari kehidupan Ichigo.

Tak menyadari konflik batin Ichigo, Luna terus melanjutkan…

“Aku berniat pulang ke rumah kakek nenek untuk mengunjungi kuburan ibu pada Festival Obon mendatang.”

“Jadi …” Luna lalu memandang lekat-lekat ke arah Ichigo.

“Kira-kira, apa Ichi ingin ikut bersama denganku?”

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama