Chapter 4 — Festival Musim Panas
... Mungkin karena waktunya
sudah memasuki musim panas. Pada suatu hari, Ichigo tiba-tiba mengingat
kenangan festival musim panas yang pernah Ia kunjungi dengan Sakura.
Waktu itu adalah musim panas
pertamanya ketika menginjak kelas 1 SMP. Ia mengajak Sakura ke festival musim
panas yang diselenggarakan di kota asalnya. Sakura juga senang menerima ajakan
Ichigo.
Kemudian, pada hari itu.
Suara seruling dan drum
memeriahkan suasana festival saat musik dimainkan. Warna langit yang aneh
dengan perpaduan warna Magenta dan Cyan menyatu bersama di malam hari. Suasana
festival merupakan campuran dupa dan udara panas, karakteristik khas musim
festival Obon. Gerombolan orang, kebisingan, dan warung makan yang semarak
berjejer di sepanjang jalan.
“Terima
kasih sudah lama menunggu, Ichi.”
Dan kemudian, Sakura datang
terlambat mendekati Ichigo, yang sudah menunggunya di tempat pertemuan. Ichigo
sudah memberitahunya kalau Ia akan menjemputnya di rumahnya, tapi Sakura tetap
bersikeras menyuruhnya untuk pergi duluan karena dia membutuhkan waktu untuk
bersiap-siap.
Bersiap-siap…? Ichigo
merasa penasaran, tapi begitu melihat penampilannya, Ia langsung terdiam.
Sakura yang muncul di hadapannya mengenakan yukata.
“Bagaimana
menurutmu, Ichi? Kupikir kalau ini akan lebih bagus jika kamu melihatnya di
sini duluan, bukan di tempatku.'
Ketika mengatakan ini, Sakura
meletakkan tangannya di lehernya. Pipinya tampak kemerahan, menunjukkan kalau
dia sedikit gugup.
Sakura dalam balutan yukata.
Yukata yang dia kenakan memberikan nuansa dewasa, dengan pola bunga dalam
pewarna biru muda pada kain putih. Rambut hitamnya yang panjang dan berkilau,
yang selalu dibiarkan tergerai, sekarang diikat ekor kuda, dan mengekspos
tengkuk lehernya. Itu adalah bagian dari tubuh Sakura yang biasanya tidak
pernah Ichigo lihat. Dan di lehernya, Ichigo menemukan tanda tahi lalat.
Jantungnya berdegup kencang.
Tanpa sadar, dirinya terkesiap. Sakura cuma beda 2 tahun dengannya, seorang
siswi yang duduk di bangku kelas 3 SMP, masih seorang gadis remaja, tapi dia
tampak jauh lebih seksi daripada orang dewasa.
'Itu
sangat cocok untukmu…'
Ichigo berusaha memujinya
dengan nada sedatar mungkin, tetapi dari caranya memalingkan muka dan ekspresi
tersipunya, Sakura mungkin tahu apa yang sebenarnya Ia pikirkan.
'Terima
kasih.'
Ucap Sakura sambil tersenyum.
Pada malam musim panas ini,
Ichigo kembali menemukan kalau dia terlihat lebih memikat.
Cara dirinya menempatkan
wajahnya dekat dengan permen kapas dan mengunyahnya seperti binatang kecil. Pemandangan
dirinya yang dengan senang hati mendpatkan hadiah dalam permainan menembak. Memakan
mie Yakisoba yang dibeli dari warung makan, dan tampak puas. Dan di akhir
festival, mereka menyaksikan pertunjukkan kembang api bersama-sama. Merah,
biru, dan warna-warna cerah lainnya berkedip memenuhi langit malam. Sosoknya
yang diterangi oleh cahaya, tampak rapuh namun cantik. Keindahan kembang api di
langit menerangi malam musim panas yang masih biru. Ichigo menatap wajah Sakura
saat dia mendongak.
'Apa
ada yang salah? Ichi. '
Menyadari tatapan Ichigo,
Sakura balas menatapnya.
'Tidak,
bukan apa-apa ...'
balas Ichigo.
Cantik
sekali... Cuma satu kata itu saja yang pada akhirnya tidak pernah
keluar dari tenggorokannya. Ichigo tidak tahu apa itu karena sifat keras kepalanya
atau sesuatu yang lain.
Ia seharusnya mengatakannya.
Tidak, Ia harusnya merasa
senang karena Ia tidak mengatakannya.
Dalam retrospeksi, tidak satu
pun dari itu adalah jawaban yang tepat.
‘Ayo datang lagi tahun depan.’
Kalimat yang keluar seolah-olah
berusaha menutupi dirinya. Setelah jeda sesaat, Sakura tersenyum lembut.
'Ya.
Tahun depan, mari kita datang lagi. '
Festival musim panas tahun itu
merupakan salah satu kenangan terbaik dalam kehidupan Ichigo ... atau,
seharusnya begitu. Itu adalah festival musim panas terakhir yang Ia kunjungi
bersama Sakura. Kalau saja, kenangan tersebut belum ditimpa oleh kenangan yang
memilukan ...
※※※※※
Sekarang sudah resmi memasuki
bulan Agustus.
Kebanyakan institusi pendidikan
tengah mengalami liburan musim panas. Jumlah pelanggan di department store
tempat Ichigo bekerja jelas meningkat pesat dibandingkan sebelumnya. Tak peduli
itu hari kerja atau akhir pekan, toko tersebu terus dibanjiri oleh banyak
keluarga dan pelanggan yang biasanya tidak datang ke sini. Para karyawan di
mesin kasir dalam operasi penuh setiap hari, dan penjualan insektisida, produk
musiman, meningkat tajam dari tahun lalu. Penjualan layar dan alat pertanian
untuk penyiangan juga lumayan pesat. Lagipula, ada banyak keluarga yang mungkin
akan memanfaatkan liburan musim panas ini untuk mengganti layar pintu mereka
atau menyiangi taman.
Selain itu, ada juga penjualan
barang-barang rekreasi seperti peralatan berenang, kembang api, pemanggang BBQ,
arang, dan sebagainya. Barang-barang Obon seperti bunga Buddha dan sesembahan
juga dijual laris manis. Area penjualan yang diciptakan Ichigo ketika
mendiskusikan idenya bersama para penanggung jawab sales dan media yang sudah
Ia rencanakan untuk merangsang pembelian tampaknya telah bekerja dengan baik,
dan meskipun Ia sibuk, hasilnya sepadan.
“Wah ... ada banyak sekali
pekerjaan.”
Dalam sebuah toko yang ramai,
Ichigo berjalan-jalan ditemani seorang pria. Pria berwajah rapi, rambut yang
disisir dengan gaya dua blok, dan alis tipis. Ia adalah pria yang terlihat
baik, dan kebanyakan orang pasti akan menyebutnya tampan. Ia bisa digambarkan
sebagai ahli kecantikan. Ia adalah manajer yang bertanggung jawab atas pekerja
kasir sambilan, dan namanya oshikata. Ia satu tahun lebih tua dari Ichigo dalam
hal usia dan dalam waktu masuk perusahaan, Ia masuk di tahun yang sama dengan
Wakana.
“Anda benar-benar mengesankan, pak
manajer. Di area ini, penjualan toko kita melebihi tahun lalu dengan margin
lebar.”
“Tidak, tidak. Bahkan jika ada banyak
pelanggan datang, tidak ada gunanya jika kita tidak bisa melayani mereka atau menangani
mesin kasir. Semua ini berkat upaya Oshikata-san dan Wakana-san yang memastikan
kalau toko kita memiliki cukup staf.”
Ketika liburan panjang dimulai,
jumlah pekerja sambilan yang bisa bekerja menurun secara drastis karena mereka
perlu mudik dan menghadiri acara-acara lokal. Hal tersebut akan mengarah pada
kekurangan staf di toko. Ia dan asisten manajernya, Wakana, bekerja bersama
untuk mengumpulkan cukup banyak orang untuk tahun ini. Berkat itu, mereka
tampaknya telah berhasil menghindari kejadian umum dalam industri layanan
sepanjang tahun ini, di mana toko menjadi kewalahan karena kekurangan karyawan.
Dan kemudian—
“Onee-chan, apa ini sudah
cukup?”
“Ya, sangat bagus, hebat
sekali!” Ketika melewati ruang lokakarya, Ichigo mendengar suara yang ceria.
Kursus dan les kerajinan kembali diadakan lagi hari ini. Di bawah pengawasan
karyawan yang menggantikan instruktur lama, Luna melakukan pekerjaan dengan
baik sebagai orang yang bertanggung jawab.
Mungkin mereka diberi tugas
kerajinan sebagai bagian dari tugas PR liburan musim panas mereka. Luna tampaknya
bersenang-senang ketika bertindak sebagai instruktur yang baik untuk anak-anak
yang berkumpul.
“Maaf sudah mengganggumu,
instruktur. Jenis cat apa yang harus aku gunakan untuk produk begini?” Pada
saat itu, peserta les kerajinan, yang sedang mengerjakan mebel kayu di meja
lain, mendekati Luna.
“Ah, um, mari kita lihat.”
“Luna-chan, jika kamu ingin
memanfaatkan serbuk kayu, kupikir cat pelindung ini lebih baik.” Kemudian,
peserta lain memberi beberapa saran dari samping. Orang tersebut adalah salah
satu pelanggan wanita yang datang tempo hari ketika Ichigo jadi instruktur
sementara.
Sama seperti itu, dengan
bantuan para pelanggan tetap, dia dapat melayani pelanggannya tanpa jeda.
Pengetahuan dan pengalamannya masih terbatas, tapi dia tampaknya dapat
menggantinya dengan kerja keras dan ketulusannya. Karena hal inilah, Ichigo
bisa menyerahkan posisi instruktur sepenuhnya ke Luna.
“Dia benar-benar menakjubkan, bukan?
Dia sudah jadi simbol ruang lokakarya.” Melihat Luna seperti ini, Oshikata sepertinya
terkesan dengannya. “Dia bekerja sebagus karyawan tetap.”
“Ya, meski dia cuma pelajar
SMA, tapi kamu benar-benar bisa mengandalkannya.” Ichigo pun memuji Luna dengan
jujur.
“Ketika aku masih remaja dulu, aku
ragu apa aku bisa bertingkah sedewasa dirinya. Yang kuingat cuma kalau aku ini
hanya pembuat onar.”
“Ha ha ha.”
Ichigo menertawakan Oshikata,
yang menyilangkan lengannya dan mengerang, “hmm ...”
Ia mungkin tampak seperti orang
yang sembrono, tetapi Ia sebenarnya seorang suami yang penuh kasih sayang dan
peduli dengan keluarganya.
Dan kemudian, saat itulah terjadi.
Secara kebetulan, tatapan Luna menoleh ke arah Ichigo dan yang lainnya. Dengan
itu, dia pasti menyadari bahwa Ichigo sedang menatapnya. Luna tersenyum dan
melambai-lambai kecil ke arahnya.
Melihat hal itu, Ichigo
memalingkan wajahnya dengan panik dan terbatuk untuk menutupinya.
...
dewasa, ya?
Namun sebenarnya, dia hanyalah
anak manja dan punya sifat jahil yang sesuai dengan usianya.
※※※※※
“Sepertinya bakal ada festival
musim panas di distrik rumahku.”
Pada jam istirahat makan siang.
Ichigo dan Wakana baru saja berjalan ke ruang istirahat bersama. Sonozaki, seorang
pekerja sambilan sekaligus ibu rumah tangga
yang bertanggung jawab atas desain interior, sedang mengobrol dengan karyawan
lainnya ketika makan siang bersama.
“Rumahku berada di distrik
komite , jadi aku membantu dalam banyak hal.”
Festival Musim panas….
Rupanya, festival musim panas
akan diadakan di distrik tempat Sonozaki tinggal, dan dia adalah salah satu
anggota panitianya.
“Kapan festival itu
diselenggarakan?”
“Lima hari lagi. Di festival
itu nanti akan ada tarian Bon, pameran, dan kembang api, jadi semua orang harus
datang dan mampir ke sana, ya.”
“Yah, pengen sih, tapi aku juga
jadi panitia untuk festival musim panas di distrik lain.”
“Ara, sayang sekali.”
“Yah, ini adalah tahun di mana
festival diadakan di banyak tempat.”
Pembicaraan semacam ini di
antara ibu-ibu rumah tangga sudah menjadi sejenis tradisi musim panas.
“Kalau Luna-chan bagaimana? Apa
kamu tertarik dengan festival musim panas?”
“Ya. Festival musim panas
kedengarannya tempat yang menyenangkan.” Luna juga tampaknya hadir, dan ketika
ditanya oleh Sonozaki, dia menjawab begitu.
“Kalau begitu, ayo mampir ke
sana ya. Lihat, kamu pernah bilang kalau kamu menyukai seseorang, kan? Coba aja
dia atau sesuatu.” Komentar mendadak Sonozaki membuat Ichigo terkejut, dan
badannya menegang.
“Apa ada yang salah? Pak
manajer.”
“Tidak ... Bukan apa-apa.” Ketika
Wakana memanggilnya, Ichigo mencoba menutupinya. Pada saat itu, Luna tampaknya
menyadari kedatangan Ichigo dan Wakana di ruang istirahat.
“…Pak manajer.” Gadis itu,
melihat Ichigo dan Wakana seraya bertanya, “Apa pak manajer tertarik pada
festival musim panas?”
“......”
…Dia…
Seperti yang diharapkan, Ichigo
bisa merasakan niat Luna. Ia benar-benar bisa menciumnya. Luna ingin pergi
bersamanya, itulah niatnya.
...
tidak, itu mustahil.
Tentu saja, mengunjungi
festival musim panas cuma berduaan saja ... akan benar-benar mustahil. Mereka
tidak dalam menjalin suatu hubungan di mana mereka bisa berjalan-jalan dengan
senyum lebar. Bos dan bawahan — meski
demikian, mana mungkin mereka bisa pergi
berduaan.
“Sonozaki-san juga, bukannya
anda akan lebih senang jika pak manajer
dan Wakana-san datang berkunjung?”
“Ya tentu saja.”
Selanjutnya, Luna dengan
antusias mendekati Sonozaki, memintanya untuk memperkuat bujukannya. Ichigo
mencoba menemukan cara untuk menjatuhkan topik ini. Kemudian,
“Wahh ide bagus tuh, ayo kita
semua pergi bersama-sama ke Festival Musim Panas, Sono-chan.”
Orang-orang yang setuju adalah
mahasiswi pekerja sambilan yang berada di ruangan itu. Mereka adalah trio
pekerja sambilan yang berteman baik dan selalu bersama. Nama mereka terdiri
dari Sasaki-san, Ishidate-san, dan Horinouchi-san.
“Ayo pergi bersama, Luna-chan.”
Salah satu dari trio, Sasaki, meletakkan tangannya di bahu Luna dan
mengundangnya.
“Eh? Apa beneran tidak
apa-apa?”
“Tentu saja, jangan khawatir.
Kita akan bersenang-senang bersama.”
“Ah, a-aku juga! Aku juga mau
ikut!”
Dan kemudian, cowok yang duduk sedikit
lebih jauh, ikut mendengarkan. Aoyama, seorang pekerja sambilan cowok, berusaha
untuk ikut bergabung. Namun…
“Kalau kamu sih tidak diajak.”
Tanpa ragu, Ia langsung ditolak mentah-mentah.
“Kamu ini tidak pernah kapok
ya, kemarin-kemarin ‘kan kamu sudah ditolak, teapi kamu masih mengejar Luna-chan,
ya?”
“Tidak! Aku seriusan, dan
dengan hati yang bersih, aku berpikir kalau Luna-san itu imut! Cuma itu saja!”
“Pasti tidak cuma itu saja,
‘kan?”
Aoyama dipukuli habis-habisan
oleh Ishidate dan Horinouchi.
“Ah, bagaimana kalau kamu
ikutan juga, Wakana-san?” Sasaki kemudian mengajak Wakana, yang berdiri di
sebelah Ichigo.
“Ah, aku?” Tiba-tiba diminta
untuk bergabung, Wakana tampak kaget.
“Apa kamu kebetulah sudah punya
rencana sendiri?”
“Tidak, aku tidak punya urusan
yang... ah.” Kemudian, Wakana menoleh ke arah Ichigo yang ada di sebelahnya dan
mengangkat suaranya seolah-olah dia baru saja menyadari sesuatu. “Karena
Oshikata-san punya jadwal hari libur pada hari itu, pak manajer juga akan
ikutan pergi, kan?”
“Eh?” Ichigo yang berpikir
diam-diam, dibuat terkejut oleh komentar Wakana.
“Tidak, ini mungkin terlalu
lancang! Um, saya hanya berpikir bahwa itu akan lebih menyenangkan jika pak
manajer bisa bergabung dengan kami ...”
“Benarkah?” Sementara Wakana
bergegas dengan kata-katanya, Luna dengan cepat menimpali komentarnya.
“Bagus, bagus, jika Wakana-san
akan datang, pak manajer harus datang juga.” Begitu pula Sonozaki.
“Tidak, um ...” Ichigo tidak
bisa menyela ketika percakapan berjalan dengan cepat.
“Bagaimana menurut anda, pak manajer?
Apa anda sudah punya rencana tersendiri untuk hari itu?”
“Aku tidak punya rencana, tapi
...” Ketika Sasaki bertanya kepadanya, Ichigo sedikit terganggu, tapi tetap menjawab
dengan jujur. Memang, pada hari festival musim panas di distrik Sonozaki
diselenggarakan, bertepatan dengan hari libur Ichigo. Dan bukannya Ia punya
rencana atau urusan untuk dilakukan.
“Kalau begitu, Wakana-san dan
pak manajer akan bergabung dengan kami.”
“Hebat, sekarang mulai jadi
meriah.”
“Jarang-jarang kita mendapatkan
kesempatan untuk pergi ke acara seperti ini bersama manajer kami, iya ‘kan?”
Gadis-gadis kampus mulai heboh
sendiri ketika mendengar bahwa Ichigo dan Wakana akan bergabung dengan mereka.
“Lalu, Sono-chan?”
“Baiklah. Aku akan menunggu
semua orang datang.”
Sebelum Ichigo bisa mengatakan
hal lain, keputusan sudah dibuat. Sementara itu, Luna terus memandang ke arah
Ichigo dengan tatapan berbinar-binar.
Oleh karena itu, lima hari
kemudian, bersama gadis-gadi kampus pekerja sambilan dari kantor, Wakana ...
dan dengan Luna juga, Ichigo akan pergi mengunjungi festival musim panas.
※※※※※
“Ini beneran terjadi ...”
Malam harinya di hari yang sama
Setelah bekerja, di malam hari.
Ichigo mengunjungi rumah Luna sekali lagi malam itu. Rasanya sudah hampir
menjadi kebiasaan baginya untuk datang ke sini. Ia datang untuk mengajari Luna,
yang sudah pulang duluan, tentang pelajaran baru dalam kursus kerajinan.
“Ehehe, aku sangat
menantikannya, Ichi.”
Ichigo berkata dengan wajah lelah,
sementara Luna, yang sudah duduk di kamar menunggu kedatangannya, tampak
benar-benar bahagia. Ngomong-ngomong, dia mengenakan baju piayamanya hari ini.
Karena mereka telah memutuskan untuk pergi ke festival musim panas, dia
tampaknya berada dalam suasana semangat tinggi. Melihatnya seperti ini, Ichigo
menghela nafas.
...
sekali lagi, itu akan menjadi acara yang bikin kepala pusing.
Namun, Ia tidak bisa mendadak
membatalkannya. Luna sudah banyak membantu di toko dengan memasukkan beberapa
shift, meski sekarang adalah liburan musim panasnya. Dia juga bersedia menerima
penugasan tiba-tiba, dan bahkan setelah bekerja selesai, dia dengan penuh
semangat belajar untuk mempelajari lebih lanjut tentang pekerjaannya. Memang
benar kalau Ichigo bersyukur, dan dia telah mengundangnya dari kebaikan
hatinya, jadi Ichigo tidak bisa mengabaikan perasaannya.
“Yah, Sasaki-san dan yang lainnya
sepertinya menikmati diri mereka sendiri, jadi tidak ada salahnya untuk melakukan
hal seperti ini sesekali.”
“Ya, dan aku juga sudah
bertukar ID Line dengan Sasaki-san serta yang lainnya.” Luna melihat ke bawah
pada layar teleponnya di tangannya. Tampaknya dia baru saja bertukar pesan
dengan mereka. “Semuanya bilang kalau mereka akan berdandan pada hari itu ...”
Kemudian, tiba-tiba, gerakan
Luna berhenti.
“... Ah, iya!” Dia bergumam
seolah-olah dia baru kepikiran sesuatu.
“Ada apa?”
“Bukan apa-apa, untuk saat ini,
masih rahasia.” Menanggapi pertanyaan Ichigo, Luna menjawab dengan senyum
nakal. “Tolong nantikan saja pada hari festival.”
“......”
Ia penasaran apa yang
dimaksudnya.
Entah bagaimana, Ichigo
merasakan perasaan tidak enak yang sama ketika Luna mendadak datang berkunjung
ke tokonya setelah Ia merusak perabotan di rumahnya.
※※※※※
Dan waktu berlalu dengan cepat.
Hari ini merupakan hari festival musim panas.
“Rasanya seolah-olah baru
terjadi kemarin ...”
Tempat diselenggarkannya festival
musim panas di distrik tempat Sonozaki tinggal hanya beberapa menit berjalan
kaki dari rumah Ichigo. Setelah tiba di tempat tujuan, festival sudah mulai dan
ramai dengan banyak pengunjung. Suasananya begitu meriah dan berisik ... tetapi
yang lebih pendting lagi, tempatnya terasa nostalgia bagi Ichigo. Nuansa yang
Ia rasakan mirip seperti saat Ia mengunjungi festival musim panas bersama
Sakura.
“Hmmm, apa semuanya sudah berkumpul?”
Ichigo mengeluarkan hapenya untuk
memeriksa waktu dan pesan baru. Tiga gadis kampus, Luna, dan Wakana berencana
untuk bertemu langsung di tempat tujuan. Adapun Luna yang masih di bawah umur,
Ichigo menyarankan untuk menjemputnya, tetapi dia menolak dengan sopan, mengatakan
kalau dia akan pergi dengan yang lain ...
“…Hmm?”
Ia merasa seperti telah
mengalami perkembangan ini di suatu tempat sebelumnya ... sesuatu yang
ternging-ngiang di benaknya, dan sementara Ichigo memikirkan itu….
“Pak manajer, maaf sudah
membuat anda menunggu ~”
Ia mendengar suara yang akrab
dan berbalik untuk melihat sekelompok gadis kampus datang ke arahnya.
“…Ah.”
Mereka semua memakai Yukata. Sasaki,
Ishidate, dan Horinouchi semuanya mengenakan Yukata. Dan tentu saja, Wakana
juga.
“Maaf, butuh waktu lumayan lama
untuk mengenakan yukata.” ucap Wakana dengan malu-malu sambil menyisir
rambutnya dengan tangan.
Dia mengeluarkan aura wanita
ideal yang berbeda dari pakaian kerja atau pakaian kasualnya yang biasa. Dia
mengenakan kimono dengan warna dasar vermilion, dan penampilannya, yang berbeda
dari kehidupan normalnya, memberikan perasaan memikat yang menarik bagi hati
pria.
“Sudah lama sekali sejak saya
memakai Yukata ... Ba-Bagaimana menurut anda?”
Tidak baik untuk berterus
terang memberi tahu Wakana mengenai apa yang baru saja dipikirkannya, jadi
Ichigo menenangkan diri dan tanpa motif tersembunyi, menjawab, “Itu sangat
sesuai untukmu.”
“Pak manajer.” Kemudian, ada suara
memanggilnya dari belakang. Cuma ada satu orang saja yang belum hadir. Tentunya
gadis itu adalah—
Apakah itu rasa krisis atau
harapan samar-samar, Ichigo berbalik ke belakang dengan salah satu dari
perasaan tersebut di dalam hatinya. Dan di sana, Luna berdiri.
“......”
Secara spontan, wajah Ichigo
menegang.
“Terima kasih sudah menunggu,
ehehe.” tutur Luna dengan senyum berseri-seri, mengenakan yukata berwarna
cahaya biru yang tenang pada kain putih. Warnanya sama dengan yang pernah dipakai
Sakura pada hari festival musim panas musim panas itu. Tidak, bukan hanya warna
saja — tapi pola, ukurannya, semuanya tampak sama persis. Dan Luna, yang
mempunyai wajah yang sama persis dengannya, memakainya. Dia dengan sopan
mengikat rambut gelapnya dengan cara yang sama, mengekspos tengkuknya lehernya.
Ichigo tidak tahu apakah ini adalah mimpi atau kenyataan.
“Bagaimana menurut anda?” Luna
dengan cemas bertanya pada Ichigo, yang tetap diam.
Mereka tampak sama persis.
Warna Yukata-nya, cara dia mengikat rambutnya. Dan di lehernya….
“......”
Tidak ada tahi lalat.
…Yah, wajar saja.
Segera, proses pikirannya
menjadi dingin. Tapi bukan berarti Ia merasa kecewa atau semacamnya. Bukan
Sakura yang ada di sini, tapi putrinya, Luna. Bila dilihat dari penampilannya,
Ichigo bisa mengetahui kalau dia sudah berusaha sangat keras dan berusaha untuk
merias dirinya. Itu memberi kesan menggemaskan dan cantik.
“Yukata itu sangat cocok
untukmu.” Itu sebabnya Ichigo memberitahu Luna. Sekilas, perkataan tersebut
mungkin terdengar seperti orang dewasa yang memuji upaya anak kecil. Namun, itu
juga perasaan jujurnya yang tidak bisa sembunyikan.
“Te-Terima kasih banyak ...”
begitu mendengar pujian Ichigo, mata Luna melebar dan wajahnya mulai tersipu
merah. Pada saat yang sama, dia sepertinya sangat bahagia.
“Kamu benar-benar manis sekali,
Luna-chan!”
“Bukannya Yukata itu terlihat
seperti terbuat dari kain yang cukup bagus!?”
“Maksudku, bagaimana kamu tahu
cara memakainya sendiri? Aku bahkan tidak mengerti sama sekali.”
Saat itulah gadis-gadis kampus
mengerumuni Luna dan mulai riuh sendiri.
“Ehehe, aku juga sama tidak
paham. Itu sebabnya aku mempelajarinya dari internet.” Luna dengan malu-malu
menjawab gadis-gadis itu.
Sementara itu, Ichigo
mengalihkan pandangannya dan memutuskan untuk diam-diam mendinginkan pipinya
yang sedikit memanas.
“Jadi, bagimana kalau kita
pergi sekarang?”
“Kios Sono-chan di sebelah
mana?”
“Ah, kupikir sudah ada di
sana.”
Sasaki, Ishidate, dan
Horinouchi mulai berjalan sambil berbicara, lalu Wakana memimpin jalan. Di
belakang mereka, Ichigo dan Luna mengikuti.
“... Ichi.” Kemudian,
tiba-tiba, Luna memalingkan kepalanya ke arah Ichigo, dan berbisik ke
telinganya. “Yukata ini dikirimkan dari rumah keluargaku setelah kita
memutuskan untuk pergi ke festival musim panas.”
“Rumah keluarga ...”
“Ya. Ketika aku menelepon Nenek
tentang pulang di hari Festival Obon, kami kebetulan membicarakannya. Awalnya, aku
ingin mengenakan yukata, tetapi aku kebingungan mencari tempat penyewaan
yukata. Tapi kemudian Nenek memberiathu kalau dia memiliki Yukata yang tidak
terpakai di rumah dan mengirimkannya kepadaku. Aku juga sangat terkejut.”
“......”
Rumah keluarga Luna — dengan
kata lain, rumah keluarga Sakura. Jika demikian, maka yukata ini ... kemungkinan
besar yukata yang pernah dikenakan Sakura di masa lalu. Dengan tegas, Ichigo
menatap Luna. Ia memeriksa dengan hati-hati untuk memastikan kalau Ia tidak
melihat ke tempat-tempat aneh ... tak diragukan lagi. Yukata tersebut sangat
mirip dengan model dalam ingatannya.
... Tidak, walau Ia tidak bisa
memastikan ingatannya sendiri, tapi Ichigo masih bisa secara intuitif
menegaskannya. Pastinya, itu adalah yukata yang ppernah dipakai Sakura pada
musim panas itu. Ichigo penasaran apakah Luna tahu tentang itu ...
“... Ehehe, aku jadi sedikit malu.
Ichi, apa kamu menyukai yukatanya?” Kemudian, ketika pandangan mata Ichigo
terus menatapnya, Luna terkikik seolah menyembunyikan rasa malunya. “Tahu
enggak, Yukata ini memang dikirim kepadaku, tetapi aku juga membeli ornamen
rambut ini, Geta, dan Obi dengan uang yang aku terima dari Ichi.”
“... uang 20.000 yen yang
kuberikan padamu terakhir kali?”
Beberapa waktu lalu,
ketikaIchigo dan Luna telah memahami perasaan sejati masing-masing dan Ia
mengunjungi rumahnya untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Ichigo
memberinya uang untuk membantu biaya hidupnya. Dan rupanya, malam itu, dia
sepertinya kepikiran sesuatu tentang Yukata.
“Itu bukan pembelian murah, dan
aku berpikir kalau Ichi mungkin akan memarahiku, tapi aku senang kamu
menyukainya.” Luna berbisik dengan gembira dan tersenyum polos.
“Aku tidak marah padamu. Kamu
bebas menggunakannya apapun yang kamu mau.” Ichigo menjawab tanpa penolakan.
“Wah ... Ada begitu banyak
orang di sini.”
“Dan banyak yang orang pacaran
juga.”
Sementara itu, Sasaki dan yang
lain di depan mereka berkomentar ketika melihat sekeliling pada kerumunan orang yang
secara bertahap.
“Memangnya Sasaki-san dan yang
lainnya tidak berencana untuk datang ke sini dengan pacar masing-masing?”
Wakana bertanya kepada Sasaki dan yang lainnya.
“Tidak, aku tidak ada niatan
begitu.” “Rasanya jauh lebih menyenangkan ketika datang bersama teman.” Mereka
menjawab seolah-olah mereka tidak tertarik pada pacar sama sekali.
...
Aku penasaran apa memang begitu masalahnya.
Tapi sekarang, memang ada
banyak sepasang kekasih yang memenuhi area festival. Kombinasi wanita dalam
Yukata dan seorang pria yang memakai Jinbei dapat dilihat di sana-sini.
“Aku berharap kalau Ichi juga
mengenakan Jinbei.” Dari sampingnya, Luna berbisik.
“Jika aku memakainya, itu akan
menjadi kencan festival musim panas.” Ketika Ichigo dengan ringan menggodanya,
Luna tertawa dan membalikkan tubuhnya dengan, “Ehehe.”
※※※※※
Tempat pertama yang mereka
kunjungi adalah kios milik Sonozaki.
“Ah! pak Manajer dan
Wakana-san. Luna-chan dan yang lainnya juga! Aku senang kalian mampir ke sini!”
Sonozaki sedang mengurus tong besar yang penuh dengan es, dan bertanggung jawab
menjual minuman. Dia mengenakan mantel happi
dan Hachimaki yang cocok dengan kepribadian dinamisnya. Setelah bertukar
salam singkat dengannya, mereka langsung pergi ke warung untuk membeli minuman.
“Apa ada kios yang menjual
makanan dan lainnya?”
“Ada kok, letaknya sedikit
lebih jauh dari deretan kios-kios ini, mereka menjual berbagai macam jenis.”
Menanggapi pertanyaan Sasaki, Sonozaki menunjuk ke arah kios dan menjelaskan.
“Kalau gitu, ayo pergi dan
melihat-lihat kios!”
“Aku butuh sesuatu yang bisa
menemani Sake.”
“Ayo beli yakisoba atau
lainnya.”
Setelah menyimpan alkohol di
kios Sonozaki, Sasaki dan yang lainnya mulai mencari sesuatu untuk menemani minuman mereka.
...
Mereka dalam mode minum-minum.
Mengikuti mereka, Ichigo, Luna,
dan Wakana juga berjalan-jalan di sekitaran kios-kios yang ramai.
“Ah.” Saat itulah Luna
menghentikan langkah kakinya, seolah-olah dia telah menemukan sesuatu.
Mengikuti arah tatapannya, ada kios menangkap ikan mas.
“Menyerok ikan mas, ya?”
“Rasanya bikin nostalgia,
‘kan?”
Ada tanda plang besar yang
ditampilkan di atas kios. Ichigo dan Wakana merasa nostalgia ketika mereka
melihat tulisan besar tertulis di atasnya. Ia sudah lama tidak bermain menyerok
ikan mas ketika kecil dulu.
“…Apa kamu ingin mencobanya?”
Ichigo bertanya pada Luna, yang menatap sekelompok ikan mas merah kecil yang
berenang di kolam besar.
“Aku cuma sedikit penasaran
...” Gumam Luna, dan tersenyum malu-malu. Ichigo tanpa sadar tersenyum ramah
saat melihat ekspresi kekanak-kanakannya.
“Mumpung ada di sini, kenapa
kamu tidak mencobanya? Sepertinya Sasaki-san dan yang lainnya masih
melihat-lihat.”
“Apa itu tidak apa apa? Tapi
... cuma aku satu-satunya yang tertarik.” Kata Luna perlahan.
Dia
selalu perhatian dan sungkan bahkan pada saat seperti ini, pikir
Ichigo.
“Kalau begitu, aku akan mencobanya
juga karena sudah lama tidak pernah memainkannya.”Kemudian, Wakana menawarkan
bantuan. “Hoshigami-san, mari kita coba bersama-sama.”
“Y-Ya!” Diajak oleh Wakana,
Luna menjawab dengan gembira. Terlepas itu cara Wakana untuk menyingkirkan
keraguan Luna, atau dia benar-benar hanya ingin melakukannya juga, sulit untuk
mengatakannya.
...
Pokoknya, aku senang kamu ada di sini, Wakana-san, pikir
Ichigo dengan jujur. Bagaimanapun juga, Luna dan Wakana mencoba permainan
menangkap ikan mas. Setelah membayar kepada penjaga kios, mereka masing-masing
menerima poi dan mangkuk, lalu
berjongkok di depan kolam. Luna tampak bersmeangat dan memasukkan poi ke dalam
air. Namun—
“Ah ...” Segera, kertas
penyeroknya robek dan Luna berakhir gagal tanpa menangkap seekor ikan pun.
“Apa jangan-jangan ini baru
pertama kalinya memainkan permainan menangkap ikan mas ini?” Ichigo bertanya
pada luna yang sedih.
Luna tampak malu-malu dan
membalas, “Sebenarnya, ya ...”
Tidak heran, itu menjelaskan
mengapa dia begitu tertarik dengan permainan ini.
“Luna-san, sebenarnya ada trik untuk menyerok ikan mas.” Kemudian,
Wakana mulai menjelaskan sambil memegang poi di tangannya. “Ketika menargetkan
ikan mas, masukkan poi dari kepala, mereka akan berbalik ke samping untuk melarikan
diri. Kemudian, ketika mereka menunjukkan perut mereka, kamu bisa dengan mudah
menangkapnya.”
“Be-Begitu rupanya.”
“Juga, saat menarik poi dari
air, kamu harus memegangnya sedikit ke permukaan air sehingga ikan mas
ditempatkan di tepi poi untuk mencegah merobek kertas.”
Luna menganggukkan kepalanya
dengan, “Mhmm Mhmm.” Menerima saran Wakana, dia membeli poi lain dan mencoba
sekali lagi.
“Aku akan mencobanya.” Dan
ketika dia mencoba melakukan apa yang dikatakan Wakana padanya—
“Ah! Aku berhasil
mendapatkannya!”
Kali ini, sepertinya berhasil.
Tanpa merobek poi, dia memperoleh satu ikan mas kecil di mangkuknya.
“Kamu berhasil.”
“Ya, itu semua berkat saranmu,
Wakana-san.”
Ketika Luna berterima kasih
padanya, kacamata Wakana berkilauan dan dia tampak sombong.
Dia
tampak menggelikan ..., sambil memikirkan hal itu, Ichigo menyaksikan
interaksi mereka berdua. Sama seperti itu, baik Wakana dan Luna berhasil dengan
sukses.
“Pak Manajer, kami mendapat
tiga ikan!” Wajah Ichigo tersenyum ketika Luna dengan senang hati menunjukkan
kepadanya ikan mas di kantong plastik.
“Bagus untukmu. Kamu bisa
mendapatkan mangkuk ikan mas di bagian persediaan hewan peliharaan dari toko,
dan kamu bisa memeliharanya.”
“Ya!”
※※※※※
Setelah bermain menangkap ikan
mas, kelompok Ichigo bertemu dengan Sasaki dan yang lainnya. Gadis-gadis itu
membeli makanan bersama di sebuah warung makanan yang mereka temukan, dan
mereka semua menuju ke ruang terbuka di mana beberapa meja dan kursi didirikan.
“““Bersulangg!!!”””Begitu
mereka duduk, Sasaki, Ishidate, dan Horinouchi mengangkat sake yang telah
mereka beli dan mulai minum-minum dengan penuh semangat.
“Apa anda ingin bergabung juga,
pak manajer?”
“Tidak, aku baik-baik saja ...”
“Aku juga, aku tidak ikutan
untuk hari ini.”
Sebagai orang yang lebih tua,
Ichigo dan Wakana dengan santai menolak undangan gadis-gadis itu. Sementara
menolak, Ichigo melihat kaleng di Sasaki dan tangan yang lain.
...
Itu adalah kaleng bir merk Strong Zero.
Sake yang mereka pegang adalah
soju, minuman keras beralkohol tinggi.
... Kurasa gadis-gadis kampus jaman sekarang bisa meminum itu tanpa masalah
…. Tunggu, bukannya kebanyakan orang minum banyak di masa-masa kuliah mereka? Juga,
apa itu aman sampai minum sebanyak itu?, Ichigo berpikir untuk dirinya
sendiri dalam kebingungan. Namun, kekhawatiran Ichigo dengan cepat menjadi
kenyataan.
“Aku tau kalau aku pernah
bilang sesuatu seperti itu sebelumnya, tapi aku benar-benar kepengen punya
pacar!”
“Betul sekali!”
Beberapa menit setelah mereka
mulai minum, Sasaki dan yang lainnya sudah mabuk.
“Pak manajer, kupikir aku ingin
punya pacar.”
“Apa kamu bisa memperkenalkanku
pada cowok yang baik dan tampan?”
“Tidak, bahkan jika kamu bilang
cowok yang baik ...”
Ketika Sasaki dan yang lainnya
mulai kehilangan nalar mereka, Ichigo juga mulai kelihatan bermasalah di
wajahnya. Namun, Ia tidak keberatan. Dalam profesinya, Ia harus berkomunikasi
dengan banyak orang dari berbagai usia dan jenis kelamin. Meski gadis-gadis itu
sedikit lebih muda, mereka semua berusia dua puluhan. Percakapannya sendiri
tidak sulit. Bahkan, mereka berada pada panjang gelombang yang sama.
“Ketika membahas cowok yang
baik, ada Aoyama-kun, iya ‘kan? Aku yakin kalau Ia masih—”
“Yup, tidak mungkin.”
“Serius, kalau orang itu
mustahil.”
“Itu tidak mungkin.”
Mereka semua membalas dengan
wajah lurus dan berkata demikian. Itu balasan serempak yang tak kenal ampun.
...
Aoyama-kun, aku kasihan padamu ...
“Padahal Aoyama-kun adalah pria
yang baik-baik. Tidak ada salahnya berpacaran dengannya.”
“Maksudku, pak manajer tahu
persis bagaimana reaksi kami saat pak manajer menyebutkan nama Aoyama.”
“Itu tidak benar. Memangnya
kalian pikir seberapa buruk kepribadianku?” Ichigo terkekeh.
“Tapi Aoyama-kun sangat populer
di kalangan pelanggan lanjut usia, tau.” Kemudian, Wakana menimpali dengan
dukungan.
“Benar, Ia populer di kalangan
nenek yang sering datang ke toko.”
“Itu karena Ia bisa membawa barang-barang
berat dengan gampang.” Sasaki dan yang lainnya tertawa juga.
“Kalau kamu sendiri bagaimana,
Wakana-san? Apa ada seseorang yang kamu sukai?” Ishide, salah satu dari mereka,
bertanya kepada Wakana.
“Um ... tidak ada.” Ketika
topik percakapan tiba-tiba diarahkan padanya, Wakana menjawab dengan
kebingungan.
“Yah, kurasa kamu tidak bertemu
terlalu banyak orang dalam pekerjaan ini.”
“Tapi cerita tentang sesama
karyawan yang menikah satu sama lain, atau sesuatu seperti pekerja paruh waktu
menikah karyawan tetap lumayan banyak terjadi, iya ‘kan?”
“Aku penasaran apa pak manajer
dan Wakana-san akhirnya akan menjadi seperti itu juga.”
Gadis-gadis kampus, yang
tampaknya semakin mabuk, mulai terbawa suasana dan bergosip semacam itu.
Mendengar obrolan mereka, pipi Wakana tampak memerah dan dia mengalihkan
wajahnya seolah-olah merasa tersipu malu.
“Kamu terlalu mabuk,
Sasaki-san.” di sisi lain, Ichigo memperingati mereka layaknya orang dewasa
yang bijak.
Mereka semua sangat bersemangat
tentang hal itu. Namun, Luna tampak sedikit tidak nyaman dalam kelompok. Dari
semua anggota di sini, dialah yang termuda. Dan tentu saja, dia tidak bisa
minum alkohol. Karena itu, wajar-wajar saja kalau tidak bisa masuk ke dalam
aliran percakapan. Tetap saja, dia melakukan yang terbaik untuk tidak
sembarangan bicara, untuk menikmati momen sebanyak yang dia bisa, dan untuk
menjaga suasana tetap meriah tanpa merusaknya.
Lalu, pada akhirnya….
“Ugh ... aku merasa ingin
muntah.” Suasananya semakin menyenangkan, tetapi mungkin ternyata ke arah yang
salah. Akibat dari minum dengan kecepatan yang cukup cepat, Sasaki dan yang
lainnya mulai mabuk berat dan kelelahan.
“Rumahku cukup dekat. Apa
kalian ingin istirahat di sana?”
“Kalau begitu, tolong ...”
“Apa itu tidak apa apa? Aku
cukup khawatir.”
Melihat gadis-gadis kuliah yang
tampak sempoyongan, Ichigo mengungkapkan kecemasannya.
“Anda tidak perlu risau, pak
manajer.” Kemudian, ekspresi Wakana tampak tegas dan berkata, “Gadis-gadis itu pulang ke arah
yang sama dengan saya, jadi saya akan mengantar mereka sampai ke rumah dengan
aman.”
“Apa kamu yakin tentang ini,
Wakana-san?”
“Tidak apa-apa. Tolong jangan
ragu untuk mengandalkan saya.” Wakana, yang meyakinkannya tentang hal ini,
memiliki ekspresi yang sama ketika mereka berada dalam perjalanan bisnis tempo
hari. Di rest-area dalam perjalanan pulang, tepatnya.
“Kalau begitu ... Maaf,
Wakana-san, aku akan menyerahkan gadis-gadis itu padamu.”
Jadi meskipun masih sedikit
lebih awal, mereka memutuskan untuk bubar pada hari itu.
“Terima kasih untuk hari ini,
Luna-chan.”
“Maaf, kami jadi sedikit
terbawa suasana.”
“Kamu tidak terlalu
menikmatinya, kan?”
“Tidak, itu tidak benar sama
sekali, rasanya menyenangkan, kok! Kapan-kapan, tolong ajak aku lagi!” Luna
menjaga senyum yang sama di wajahnya, dan bersama Ichigo, mereka melihat Sasaki
dan yang lainnya pergi, serta Wakana yang mengawal mereka.
“Sekarang ...” Ketika Sasaki
dan yang lainnya tidak terlihat, Ichigo menatap Luna di sebelahnya. Jika mengikuti
alur situasinya, dia pasti akan pulang pada tingkat ini ...
...
Jika memang itu masalahnya, rasanya sedikit kasihan.
Dia sudah repot-repot
menyiapkan pakaian untuk festival musim panas, berdandan, dan tampak sangat senang
untuk dipuji olehnya. Ichigo tidak bisa memberinya banyak perhatian dan orang
dewasa semuanya bersemangat sendiri. Apa itu tidak masalah jika semuanya
berakhir seperti ini?
“Apa yang harus kita lakukan?”
Seolah-olah secara alami, mulut Ichigo menggumamkan kata-kata ini. “Masih
terlalu cepat untuk pulang.”
“ ... Ichi, dari sini ke rumah
Ichi, lumayan dekat, bukan?” Kemudian, mungkin karena komentar Ichigo, dia
mungkin telah menafsirkannya sebagai ajakan. Sambil gelisah, Luna lalu
melanjutkan, “Apa aku boleh mampir ke rumah Ichi?”
“Eh.”
“Ah, lihat ini.” Luna
menunjukkan kantong plastik di tangannya. Itu adalah makanan yang mereka beli
dari warung sebelumnya. Mereka repot-repot embelinya, tetapi karena alkohol,
mereka akhirnya meninggalkannya tidak tersentuh.
“... Benar, sulit untuk
memakannya di sini, dan makanannya juga sudah dingin. Ayo hangatkan lagi di
tempatku dan makan di sana.”
Aku
merasa seperti sedang mengarang-ngarang alasan, seolah-olah aku ini pria jahat
yang menyembunyikan motif tersembunyi untuk memancingnya, pikir
Ichigo.
Ketika Ichigo menerima
tawarannya, Luna menatapnya dan menyipit matanya dengan penuh kasih.
“... Ichi, kamu memang sangat
baik.”
“Eh? Maksudku, bukannya ini
sama seperti biasanya?”
Luna tersenyum pada Ichigo,
yang mengatakannya dengan terkekeh.
“Ya, jadi itu berarti kamu
selalu bersikap baik.”
“Kurasa begitulah adanya ...”
Bagaimanapun juga, Ichigo
memutuskan untuk mengantar Luna dan menuju rumahnya.
※※※※※
Dengan demikian, Ichigo membawa
Luna ke perumahan perusahaan tempat Ia tinggal. Untungnya, sejauh ini, tidak
ada yang melihat mereka bersama.
“Permisi!”
“Ya ... tolong pelankan suaramu
sedikit, oke?”
Ketika Ichigo hendak membuka
pintu depan, Luna yang sedari tadi diam, berteriak riang, dan melepas bakiaknya
untuk masuk ke dalam rumah.
“Ehehe, sudah lama sejak aku
mengunjungi rumah Ichi.”
“Ye-yeah.”
Kunjungan terakhir Luna
dipenuhi dengan memori pahit karena berbagai alasan. Tapi sekarang, dia tidak
menunjukkan tanda-tanda terlalu memedulikan kejadian waktu itu. Dia tampak
benar-benar senang bisa mengunjungi rumah Ichigo lagi.
“Baiklah, sekarang, pertama-tama
...”
Makanan yang mereka beli dari
warung tidak tersentuh dan sudah dingin. Karena terbawa suasana oleh
gadis-gadis kuliah yang mabuk, Luna tidak punya waktu untuk membukanya.
“Mari panaskan kembali makanan
ini di microwave.”
“Baik. Ah, iya! “ Kemudian Luna
melihat ke arah jendela ruang tamu dan membuat saran. “Rumah Ichi memiliki
taman, iya ‘kan?”
“Ah, ya.”
“Bagaimana kalau kita makan di
luar?” Meski mereka kembali dari area festival, sepertinya dia masih ingin
menikmati suasana festival musim panas.
“Begitu ya... Baiklah. Kenapa
tidak?”
Gagasan Luna langsung
disetujui, dan mereka memutuskan untuk memanfaatkan taman kecil di luar ruang
tamu. Segera setelah itu, Ichigo membuka jendela geser dan melangkah keluar
teras. Ia tidak terlalu khawatir karena dinding pembatas dan tanaman akan
menghalangi pandangan dari luar. Dan halaman tersebut, ada meja dan kursi
outdoor di sana.
“Itu belum digunakan untuk
sementara waktu, jadi agak berdebu. Aku akan membersihkannya.”
“Ya, kalau begitu aku akan
pergi menyiapkan makanan sampai saat itu."
Ichigo mengeluarkan kain dan
ember, lalu mengelap kursi dan meja, serta menyapu area sekitarnya. Ia kemudian
meletakkan kain di atas meja dan menyalakan obat bakar nyamuk di teras, dan
semuanya sudah siap.
“Maaf sudah membuatmu menunggu,
Ichi.” Pada saat itu, Luna telah memanaskan kembali Yakisoba dan Takoyaki dan
membawanya.
“Ya, aku juga hampir selesai di
sini. Kamu bisa berganti dengan sandal yang ada di sana dan turun. “ Ichigo
memberi isyarat kepada Luna ketika sedang membereskan alat pembersih di sudut
taman.
“Kelihatannya sangat enak.”
“Ya.”
Uapnya naik dari makanan yang
sidah dihangatkan dan aroma sedap saus gurih serta mayones yang dipancarkan
memiliki daya tarik yang berbeda dan lebih menggugah selera daripada hidangan
yang lebih mahal.
“Ah, maaf, aku seenaknya
menggunakan piringmu.”
“Tidak, tidak apa-apa. Terima
kasih sudah berusaha memindahkan piring.” Perhatiannya terhadap detail terlihat
jelas dalam makanan yang diatur dengan rapi di piring. Ketika Ichigo
mengungkapkan rasa terima kasihnya, Luna tersenyum malu-malu dan berkata,
“Ehehe.”
“Lalu ini juga.” Kemudian, dia
meletakkan sesuatu yang lain di atas meja. Itu adalah sekaleng bir.
“Ini…”
Kaleng perak yang ditutupi
dengan kondensasi dan tetesan air, tampak akrab. Itu adalah kaleng bir yang
pernah dibeli Ichigo untuk persediaan dan menyimpan beberapa di dalam kulkas.
“Ichi juga, silahkan
minum-minum.”
“Alkohol, ya ...”
“Aku merasa seperti festival
musim panas, aku merasa seperti festival musim panas.” Luna menyanyikan dan
membuka tutupnya dengan "psssst."
Dia kemudian menawarkannya kepadanya, “Ini silahkan.”
“Yah, karena sekarang ada
festival musim panas ...” Di bawah pengaruh antusiasme Luna, Ichigo menerima
kaleng bir.
... Lagipula, bir ada untuk merayakan festival musim panas.
Ichigo merasa kalau dirinya melupakan
sesuatu yang penting, tapi keinginannya untuk menenggak bir mengalahi pertanyaan
itu. Ia menyesap dan meminumnya sekaligus. Bir dingin mengalir ke
tenggorokannya. Kepahitan dan stimulasi mengalir dengan sensasi dingin yang
menyenangkan. Hal berikutnya yang Ia tahu, dirinya mengunyah Yakisoba yang
telah disiapkan Luna untuknya.
“…Lezatnya.”
Ichigo penasaran mengapa
Yakisoba dan bir selalu jadi pasangan yang serasi. Pasti jelas mengandung
nutrisi yang berbeda dari yang dijual di restoran Cina dan minimarket.
“Apa rasanya benar-benar
lezat?” Melihat Ichigo menikmati bir dan Yakisoba dan terlihat sangat bahagia,
Luna tampak iri. “Seperti Sasaki-san dan yang lainnya, aku berharap bisa bisa
minum alkohol juga.”
“Hahaha, kamu maish belum cukup
umur, itu masih lama sekali.”
Makanan khas festival musim
panas dan sake yang lezat. Ichigo dan Luna memanjakan diri dalam makan malam
yang memuaskan.
“Oh, sudah kosong?”
“Ini dia.”
Ia menaruh kaleng kosong di
atas meja dan Luna menyuguhkan kaleng bir yang berikutnya. Tidak butuh waktu
lama sampai Ia menghabiskan 3 kaleng.
“Makasih.”
Berkat pengaruh alkohol, Ichigo
tampaknya berada dalam suasana hati yang sedikit optimis. Sikapnya berbeda dari
biasanya, dan Luna menertawakannya.
“Oh iya, ini.” Kemudian, Luna
menarik sesuatu dari kantong plastik kecil.
“Itu ... Oh, itu bonus dari bir
ini, ya ...”
Itu adalah item promosi yang
melekat pada bungkus bir kalengan. Itu semacam ekstra yang dimasukkan ketika
membeli banyak di musim ini.
“Ya, kupikir yang begini ada
bagusnya.” Di dalam kotak ada beberapa kembang api kecil. “Aku belum pernah
memainkan kembang api genggam lagi selama bertahun-tahun.”
Ketika Ia menggumamkan ini,
Luna melirik Ichigo. Ichigo tersenyum masam. Ia tahu persis apa yang Luna
pikirkan
“Ayo kita nyalakan.”
“Apa kamu yakin?”
“Bukannya itu sudah jadi
rencanamu selama ini.” Ichigo tertawa dan mengulurkan tangannya, mengelus-elus
kepala Luna. Itu seharusnya menjadi perilaku biasa, layaknya orang dewasa yang
menjahili anak kecil. Tetapi tindakan itu membuat Luna terdiam sesaat, dan
sesaat kemudian, pipinya memerah.
“Mhmmm? Apa ada yang salah?”
“Ichi ... sepertinya kamu agak
agresif ketika kamu minum-minum.”
Bertanya-tanya mengapa tatapan
Luna mengarah kemana-mana, Ichigo berkata, “Aku ada obat bakar nyamuk buat
nyalainnya, jadi aku akan mengambil air dulu,” dan pergi ke ruang tamu.
Kemudian, ketika kembali dari dalam rumah sambil membawa seember air, Ichigo segera
menyalakan beberapa kembang api kecil dengan Luna.
“Wah ~ indahnya.”
Kembang api itu menyala dan
bersinar, menyebarkan percikan api yang
rapuh. Luna menatap dengan penuh perhatian pada cahaya kecil tersebut.
“Kembang api... Sudah lama aku
tidak melakukannya, jadi rasanya sedikit menyegarkan.”
“......”
Sudah
lama, ya? Aku ingin tahu apa dulu dia sering melakukan ini ketika orang tuanya
masih hidup, atau ketika cuma ada dia dan Sakura—
“......”
Luna menatap percikan kembang
api sambil berjongkok. Di sebelahnya seperti ini, Ichigo membayangkan Sakura
menikmati kembang api genggam dengannya. Ia secara egois berharap itu adalah
waktu yang sangat menyenangkan.
“Ah, itu jatuh.” Akhirnya, sebuah
gumpalan merah kecil terputus, dan nyala api padam tanpa suara.
“Kembang api kecil ini imut.”
“Ya, ada baiknya melakukan
sesuatu seperti ini sesekali—”
Pada saat itu……
“Ah.”
“Hyuu
~”
suara yang mirip seperti peluit dan bernada tinggi bisa terdengar. Pada saat
yang sama, Ichigo dan Luna menatap di atas kepala mereka. Seketika, bunga besar
dan berwarna cerah mekar dalam kegelapan langit malam. Sesaat kemudian, ada
suara gemuruh yang terdengar.
“Begitu ya ... Kita pulang sebelum
pertunjukkan kembang api dimulai.”
Di atas langiat malam yang
hitam pekat, kembang api berwarna-warni mekar satu demi satu. Tiba-tiba, Ichigo
mengalihkan tatapannya. Di depannya ada sosok Luna yang tatapan matanya terlihat
berkilau ketika menatap kembang api.
“......”
Seni yang sangat menakjubkan,
dipenuhi dengan banyak warna, dan seorang gadis anggun menatap pemandangan yang
luar biasa. Wajah Luna diterangi oleh kembang api, dan Ichigo mau tak mau
merasa terkagum ketika memandanginya.
“Cantik sekali.”
“Ya…”
Pada saat itu, Luna juga
tampaknya mulai menyadari kalau Ichigo tengah menatap wajahnya.
“Ichi?”
“Ya, maaf. Kamu benar-benar
terlihat cantik.”
Berkat pengaruh alkohol, Ia
tidak bisa memikirkan atau mempertimbangkan hal lain, jadi Ia hanya mengatakan
apa yang dirinya rasakan. Begitu mendengar pujian tulus Ichigo, wajah Luna
langsung memerah sekaligus sampai ke telinganya, dia lalu mengalihkan pandangannya
ke bawah dan terdiam. Peraaaan malu yang datang terlambat membuat Ichigo
buru-buru mengalihkan kepalanya.
“Uwaa ...” Lalu tiba-tiba,
tubuh Ichigo tampak goyah. Perutnya sedikit mual, dan Ia segera meletakkan
tangannya di atas meja untuk menopang beratnya sendiri.
“Ichi, apa kamu mulai ngantuk?”
“Ah, ya ...”
Tampaknya Ia sudah benar-benar
mabuk. Tercengang dengan kenyataan ini, Ichigo bertanya-tanya apa Ia selalu
lemah dengan alkohol.
...
Tidak, ketika aku bersamanya, aku tidak bisa menahan diri untuk minum dengn
lebih cepat.
Hal yang sama juga pernah
terjadi pada pertemuan pertama mereka. Apa itu karena Ia merasa gugup? Atau
karena Ia merasa bersenang-senang? Berakhir mabuk seperti ini, Ichigo merasa
dirinya tidak berhak menceramahi gadis-gadis kuliah itu.
“Aku minta maaf. Kurasa aku terlalu
banyak minum alkohol.” Ketika pikiran mabuknya mulai berpikiran demikian,
Ichigo berusaha berjalan dari taman di luar menuju ke kamar yang ada di dalam.
“Aku akan minum air dan mencuci muka ...” katanya ketika mencoba naik ke teras
untuk sampai ke dapur.
“Apa kamu baik-baik saja? Hati-hati
jalannya, oke? “ Lalu Luna, yang mengejarnya, langsung meraih lengan Ichigo.
Dengan bantuannya, Ichigo pergi ke teras dan kemudian ke ruang tamu. Ia merasa
tidak sanggup lagi untuk berdiri, jadi Ia merosot di atas sofa.
“Aku akan berbaring sebentar.”
“Ya, ini airnya.” Luna
menawarkan air mineral yang dia bawa dari kulkas.
“Terima kasih…”
“Maaf, aku membuatmu minum
terlalu banyak.” Luna dengan lembut membelai kepala Ichigo ketika menggumamkan
sesuatu tentang tidak enak badan. “Ichi, beristirahatlah. Biar aku yang
membereskan semuanya.”
“Maaf ...” Setelah menggumamkan
itu, Ichigo langsung tertidur di atas sofa. Dan begitulah, dirinya tidak
menahan keinginan berat untuk tidur, dan kehilangan kesadarannya ...
※※※※※
“Apa yang harus aku lakukan…”
Setelah itu, di tempat Ichigo
yang tepar karena mabuk, Luna membersihkan piring. Pada saat dia selesai, waktu
sudah larut malam. Dia tidak menyadarinya ketika berbicara dengan Ichigo,
tetapi sepertinya waktu sudah berlalu lumayan lama. Tidak ada transportasi umum
yang melewati area apartemen Ichigo untuk pulang pada jam ini, dan sudah
waktunya sudah terlalu malam untuk naik taksi sendirian. Terlebih lagi, Ichigo
dalam keadaan mabuk. Mustahil baginya untuk menyetir mobil demi mengantar Luna
pulang ke rumah.
“Kurasa aku tidak punya pilihan
lain selain memintanya untuk membiarkanku menginap di sini ...”
Luna kemudian melirik Ichigo
yang berbaring di sofa. Ia benar-benar tertidur lelap dan tidak menunjukkan tanda-tanda
akan bangun.
“......”
Luna lalu berjalan
perlahan-lahan mendekati sofa. Dia kemudian membungkuk dan menatap wajah Ichigo
pada jarak yang sangat dekat.
“... Ichi.”
Belakangan ini, jarak antara
Ichigo dan dirinya sepertinya semakin memendek. Awalnya, meskipun keinginannya
untuk menjaga jarak yang tepat satu sama lain, Luna bertindak sembrono dengan
menerobos ke dalam tokonya sebagai pekerja paruh waktu. Didorong oleh pikiran
egoisnya, dia memaksakan dirinya mencium bibirnya. Setelah itu, Luna menyadari
betapa merepotkan perilakunya sendiri dan, sesuai dengan keinginan Ichigo, dia berusaha
menjaga jarak yang tepat.
... Namun, Luna tidak tahu
bagaimana menjaga jarak yang tepat, atau lebih tepatnya, dia tidak tahu apa yang
harus dia lakukan. Tentu saja, tidak ada orang yang bisa diajak curhat.
Tapi suatu hari, ketika dia
berada dalam kegalauan, Ichigo menyadari, dan berjalan padanya. Ichigo akan
selalu ada di sana untuk membantunya. Dia tersesat, tertekan, dan berjuang dengan
membenci sendiri, tetapi Ichigo merasakan hal itu dan datang untuk
menyelamatkannya.
Pria cinta pertamanya, yang selalu
dibicarakan ibunya dalam ingatannya. Pasangan ideal yang dia bayangkan sejak
dia masih kecil, bahkan lebih dari ideal. Luna merasa bahwa dirinya dan Ichigo
saling mengenal, dan sedikit demi sedikit, hati mereka semakin dekat. Hal
tersebut membuatnya sangat bahagia.
“Aku bersumpah kalau aku pasti akan membuatmu mencintaiku apa adanya.”
Pada hari itu, dia menyatakan
kalimat ini kepada Ichigo. Dia tidak bisa menghentikan dirinya karena niat
sesaat, dan perasaan aslinya meluap. Dia tahu bahwa Ichigo memandangnya
seolah-olah dia adalah ibunya, Sakura.
Tetapi suatu hari, suatu hari
nanti, Ichigo akan benar-benar mencintai dirinya sendiri sebagai seorang wanita.
Dia hanya bisa berharap begitu.
…Jangan-jangan…
Sebelumnya, ketika dia menonton
pertunjukkan kembang api, Ichigo mengatakan kepadanya kalau dia cantik.
Jantungnya mulai berdetak kencang, wajahnya terasa panas, dan dia merasa sangat
bahagia sampai-sampa tidak bisa berbicara sama sekali. Itu sebabnya, pikirnya. Tadi itu, mungkin saja, Ichigo
benar-benar memikirkan Luna—
“Ugh ...”
Luna terbenam dalam semangat
menggebu-gebu di dalam dirinya dan imajinasinya tentang masa depan yang
bahagia. Kemudian, Ichigo yang ada di depannya menggeram dan membuka matanya.
“Ah, Ichi, apa aku
membangunkanmu?”
“... Mhmm.”
Mungkin Ia terbangun karena
merasakan kehadiran seseorang yang mendekatinya atau mungkin karena suara yang
dia buat. Sementara Luna khawatir tentang ini, Ichigo menatapnya dengan
sepasang mata tertegun. Ada nuansa kelegaan dalam tatapan matanya, yang
merupakan campuran mabuk dan kantuk. Disertai senyum kebahagiaan, Ichigo
memanggil namanya dengan penuh kasih sayang.
“... Sakura.”
“......”
Isi kepala Luna benar-benar
kosong sejenak. Pada saat yang sama, dia memiliki kilas balik dari kenangan
masa lalu bersama Ichigo sampai sekarang. Kenangan yang menyenangkan dan
kebahagiaan karena berada di dekat hati masing-masing. Di kedalaman semua itu,
adegan di mana Ichigo berbicara dengan penuh kasih sayang mengenai ibunya
kembali terlintas di benaknya.
-Sedikit
demi sedikit, membuatnya mencintai dirinya apa adanya-
Kata-kata tersebut yang baru
saja muncul di benaknya, dan kebahagiaan yang dia bayangkan, sekarang tampak
dangkal dan konyol. Kilatan nyeri menembus hatinya dan menjalar luas dalam
sekejap. Dia tidak tahu bagaimana cara menenangkannya…..
Tanpa dia sadari, Luna mulai
mendekatkan wajahnya sendiri dengan Ichigo dan berusaha menempelkan bibirnya ke
bibir Ichigo….
※※※※※
“Ugh ...”
Kepalanya terasa sangat pening.
Dengan perasaan yang tidak menyenangkan yang berkutat di kepalanya, Ichigo pun
terbangun.
...
di mana aku dan apa yang sudah aku lakukan?
Dengan pemikiran yang tidak
jelas, Ia mencoba mengingat-ingat melalui kenangannya. Dalam penglihatannya
yang buram, Ia tidak bisa melihat dengan jelas karena cahaya latar, tapi Ichigo
bisa mengetahui kalau ada seseorang yang sangat dekat. Dia mengenakan yukata
biru muda dengan latar belakang putih, rambut hitamnya diikat, dan tatapan
matanya ditutupi dengan bulu mata panjang—
Ah,
itu dia.
Musim panas itu — di Festival
Musim Panas. Dirinya sudah berusaha mencoba untuk mengubur dan melupakannya, tapi
itu seharusnya menjadi kenangan terbaik dalam hidupnya-
Ichigo tersenyum dan memanggil
namanya, seolah-olah mencari keberadaannya.
“... Sakura.”
Saat Ia mengatakan itu,
ekspresi gadis itu ... langsung berubah. Wajahnya terlihat dipenuhi kesedihan.
Mengapa?
Ichigo tidak ingin melihatnya
membuat ekspresi seperti ini. Ia takkan membiarkannya. Di tengah-tengah
pikirannya yang campur aduk, Ichigo akhirnya menyadari sesuatu.
Salah, dia bukanlah Sakura.
Dia adalah Luna.
Begitu Ichigo menyadari hal
ini, semuanya sudah terlambat. Tubuh Luna semakin mendekat, dan kulit melawan
kulit, bibir menekan bibir. Menyentuh, saling tumpang tindih, menyebabkan semua
dari lima indranya yang ditutupi olehnya.
Bersandar lebih dekat, Luna
mengangkat tangannya di sekitar kepala Ichigo, menolak untuk melepaskannya.
Tenaganya cukup kuat, seolah-olah dia berusaha melukis ulang sesuatu, atau
seolah-olah dia mencoba untuk menutupi sesuatu. Ia bisa merasakan momentum
putus asa.
“He-Hentikan!” Ichigo buru-buru
melompat dari tubuh Luna.
“Ah ...” Luna, yang telah didorong
dan merosot ke lantai, mengeluarkan suara terkejut.
Tampaknya dia sadar. Dia pasti
menyadari apa yang barusan dia lakukan sekarang.
“…Aku minta maaf.” Luna meminta
maaf dalam suara teredam.
Lagi-lagi, pikir
Ichigo dengan pahit. Seolah-olah Ia melihat adegan yang sama lagi. Tepat di
rumah ini, di ruang tamu ini pada hari itu ketika Ia menolaknya.
“Tidak ... barusan, itu
salahku.” Kata Ichigo, memegang dahinya, seolah-olah Ia juga menyesali
tindakannya sendiri.
Ya, itu benar-benar salahnya.
Karena Ia salah mengira dia sebagai Sakura merupakan perbuatan yang di luar
pengertian.
“... Kamu membersihkan
semuanya, ‘kan? Terima kasih.”
“......”
Kata-kata terima kasih yang Ia
ucapkan untuk menutupi kesalahannya sangat tipis. Luna masih tetap diam dan tak
bergeming. Kombinasi mabuk dan kebingungan menyulitkan Ichigo untuk berpikir
jernih.
“... Yukata itu ... mungkin adalah
Yukata yang pernah dipakai Sakura di masa lalu.”
Jika Ia terus menutup mulutnya,
Ia cuma membuang-buang waktu untuk mencari-cari alasan. Oleh karena itu, Ichigo
memutuskan untuk berkata jujur.
“Aku pergi mengunjungi festival
musim panas dengannya sekali, dan baru-baru ini, kenangan tentang waktu itu
kembali teringat. Kamu terlihat sama persis seperti Sakura dalam kenangan itu
...”
“......”
“Itu sebabnya aku salah
mengiranya.” Satu-satunya hal yang bisa Ichigo lakukan adalah merangkai banyak
alasan. Ia marah pada dirinya sendiri untuk itu.
“Begitu rupanya ...” Setelah
mendengar penjelasan Ichigo, Luna membuka mulutnya. Kespresinya tampak mencibir,
seolah-olah dia dipaksa untuk membuatnya. Dia mencengkeram ujung yukata-nya
dengan tangan gemetar, seolah-olah dia tidak tahu bagaimana menghadapi
emosinya.
“... Ibu benar-benar cantik, iya ‘kan?”
“......”
Ah,
gawat, Ichigo menyadari bahwa Ia salah bicara. Sebelumnya, Ia
memberi pujian kepada Luna, dengan mengatakan kalau dia cantik. Luna sekarang pasti
berpikir kalau pernyataan itu merujuk kepada ibunya. Semua pujian tersebut
diarahkan pada Sakura, yang mempunyai wajah mirip dengan Luna, menyiratkan kalau
dirinya hanyalah pengganti Sakura. Rasanya seolah-olah kalau dirinya cuma
manekin yang dimodelkan setelahnya.
“Bukan begitu maksudku.” teriak
Ichigo, nada suaranya naik sedikit. “Kamulah yang cantik.”
Ucapan tersebut bukanlah
kalimat manis di bibir maupun alasan yang dibuat-buat. Pujian itu tidak
diragukan lagi untuk Luna. Ichigo ingin memberitahunya bahwa kebahagiaan yang
Luna berikan padanya bukanlah palsu, apapun yang terjadi.
“Yukata itu terlihat sangat
cocok padamu, Luna-san. Aku pikir itu sangat menarik dan indah ketika kamu
berusaha keras untuk merias diri. Caramu menatap kembang api tadi mirip seperti
lukisan. Itu sebabnya aku mengatakannya. Aku mengatakannya kepadamu.”
Tanpa pemikiran kotor dan kepedulian aneh, Ichigo memberitahunya
perasaannya yang sebenarnya. Perasaan ketidakdewasaan, tetapi penuh dengan
cahaya murni yang Ia yakini pernah ada. Dirinya mengingat itu, dan dengan perasaan
itu dalam pikiran dan kemauan yang kuat, ichigo berteriak.
Melihat ekspresi seriusnya,
Luna langsung melebarkan matanya seolah-olah terkejut. Kemudian, seolah-olah
keinginannya telah diakui, matanya tampak berkaca-kaca. Dia lalu menyeka dan
menyingkirkan air mata.
“Terima kasih, Ichi.” Jadi dia
menjawab sambil tersenyum.
Perasaannya dipahami. Mungkin,
ketimbang kalimat pujian itu sendiri, fakta bahwa pujian tersebut diarahkan
padanya mulai menenangkannya dari kecemasan yang mulai muncul di harinya.
Bagaimanapun juga, Ichigo merasa lega. Ia tidak menyangka kalau dirinya akan
mengigau mabuk dan membuat kesalahan.
...
Aku seharusnya tidak minum-minum ... Ah.
Pada saat itu, Ichigo menyadari
bahwa Ia melakukan kesalahan lain.
“Maafkan aku ... Aku seharusnya
memberimu tumpangan pulang, tapi aku malah mabuk karena minum-minum.”
Ketika sedang menikmati bir
tadi, Ichigo merasa kalau Ia melupakan sesuatu yang penting — ternyata itu yang
Ia lupakan.
“Tidak, jangan khawatir tentang
itu. Dari awal, itu semua salahku yang sudah menawarkan alkohol.” Seolah-olah
ingin menyampaikan, “Jangan menyalahkan
dirimu sendiri ...” Luna tersenyum lembut dengan wajah yang bermasalah dan
menanggapi Ichigo.
“... tapi tidak ada bus yang
lewat di jam segini.”
“Tepat sekali.”
Begitu banyak untuk kebencian,
mereka mengalihkan perhatian mereka pada kenyataan dan memecahkan masalah.
“Memanggil taksi ... Ya, mustahik.”
Rasanya akan sedikit mencurigakan bagi seorang gadis SMA yang memanggil taksi
sendirian pada tengah malam begini.
... karena sudah buntu, tidak
ada pilihan lain selain solusi yang satu ini.
“Kamu bisa menginap di sini
hari ini.” Ichigo menyarankan ketika bangkit dari sofa. “Aku akan mengantarmu pulang
di pagi hari.”
“Apa kamu yakin?”
“Mau bagaimana lagi ... atau
lebih tepatnya, itu wajar saja karena itu salahku.” Ichigo menunjuk ke pintu masuk
ruang tamu, menuju lorong. “Ada tempat tidur di kamarku, kamu boleh
menggunakannya.”
“Benarkah? Terima kasih banyak,
Ichi.”
“Ya ... ah.” Saat itulah Ichigo
menyadari. Saat ini, Luna masih mengenakan yukata. “Untuk baju gantimu ...”
Seperti yang diharapkan, tidur
dengan mengenakan Yukata bukanlah ide yang baik... ketika Ichigo meletakkan
tangannya di mulutnya dan memikirkan solusi, Luna tiba-tiba menyarankan, “Ah,
kalau gitu...”
“Jika Ichi bisa meminjamkanku
salah satu bajumu, kurasa itu tidak masalah.”
“Eh, kamu tidak
keberatan?" Ichigo kebingungan dengan saran yang Luna ungkit. “Bajuku ...
sejak awal, aku berpikir kalau ukurannya takkan pas dengan ukuranmu.”
“Jangan khawatir, sedikit
kebesaran juga tidak masalah kalau buat pakaian tidur.”
Ichigo bertanya-tanya apa
memang begitu.
...
Yah, kurasa itu ada benarnya juga. Kalau diingat-ingat lagi, aku sudah sering
melihat banyak kemeja besar dalam pakaian tidur wanita.
Yah, karena tidak ada pilihan
lain, dan jika orangnya sendiri tidak keberatan dengan itu, maka Ia tidak perlu
terlalu rewel juga.
“Baiklah. Harusnya ada kemeja
baru yang tidak digunakan di laci kamar tidur, jadi kamu bisa menggunakannya.
Lalu, jangan ragu-ragu untuk menggunakan kamar mandi.”
“Oke, terima kasih ...” usai mengatakan
itu, Luna meninggalkan ruang tamu dan menuju kamar tidur. Setelah melihat
kepergiannya, Ichigo berbaring di sofa sekali lagi.
“......”
Suasana di antara mereka masih
agak canggung. Namun, itu keadaan yang tak terelakkan. Lagipula setelah
kejadian itu, Luna sudah melakukannya dengan baik untuk mendapatkan kembali
ketenangannya.
“Aku harus lebih berhati-hati.”
Tak berselang lama kemudian,
suara kucuran air bisa terdengar datang dari kamar mandi. Rupanya, Luna sedang mandi.
Sementara itu, Ichigo meletakkan tubuhnya dalam keadaan kemalasan, mengosongkan
pikirannya demi mengistirahatkan kepalanya yang masih mabuk meskipun dia tidak
lagi mengantuk.
“Ichi ...”
Sejumlah saat pun telah berlalu
tanpa Ia sadari. Ketika seseorang memanggil namanya dari pintu masuk ruang
tamu, Ichigo mengangkat kepalanya.
“Ada apa, Luna-sa—”
Dan di sana, penampilan Luna
yang baru saja selesai mandi. Dia mengenakan kemeja besar, yang merupakan salah
satu kemeja milik Ichigo. Kulitnya sedikit bernoda ceri merah setelah mandi,
dan dari ujung kemeja, kakinya yang mulus nan indah mengintip terbuka.
“Terima kasih untuk mandinya.
Terus, aku sudah meminjam bajumu, apa kamu yakin ini tidak apa-apa?”
“Ah … Ya, tidak masalah.” Ichigo
terkejut dengan betapa menggairahkan dan menggodanya penampilannya, tapi Ia
mencoba yang terbaik untuk mempertahankan ketenangannya saat menjawab. “Po-Pokoknya,
karena sudah larut malam, jadi mari kita tidur.”
“Ya selamat malam…”
Luna membalikkan badannya
dengan gerakan ragu-ragu. Ichigo bertanya-tanya apakah reservasi-nya masih
berlaku dalam kepribadiannya. Tapi kemudian, Luna tiba-tiba menoleh kembali ke
arah Ichigo.
“Um …”
“Apa? Apa ada masalah?”
“Karena aku merasa tidak enakan
karena membuat Ichi tidur di sofa …” dengan ragu-ragu, seolah-olah dia bersalah
atas sesuatu, Luna berbisik. “Jika kamu mau … bersama …”
“Eh?”
“…... Ayo tidur bersama di
tempat tidurmu?”
“H-hmm!?”
Mau tak mau Ichigo berteriak
pada pernyataan yang mengejutkan. Ichigo sendiri sangat menyadari kepribadian
Luna. Mempertimbangkan sifatnya yang ingin membalas budi kebaikan orang, dia mungkin
tidak bermaksud jahat, dia murni menyatakan itu dengan kebaikan hatinya. Namun,
waktu dan cara pengucapannya—
Kemudian, setelah melihat
reaksi Ichigo, Luna pasti mengerti sekali lagi apa yang sudah dia katakan.
Wajahnya yang sudah sangat memerah setelah mandi, langsung berubah merah padam
sekaligus seolah-olah habis direbus.
“U-uh, ti-tidak jadi! Selamat
malam!” Luna berteriak dalam upaya putus asa untuk menutupinya, dan berjalan
pergi.
“… Hah …” Begitu mendengar
suara pintu kamar tidur dibanting, Ichigo ambruk dengan lemas di atas sofa.
Sepertinya Ia mungkin perlu memberinya dukungan emosional.
“…Ini lumayan sulit.”
Ichigo memahami ini dengan
sangat baik karena sekali lagi, Ia menderita dengan hubungan yang rumit ini.
※※※※※
Dan kemudian fajar pun mulai
menyingsing.
Setelah membiarkan Luna
menginap di rumahnya untuk malam itu, Ichigo memutuskan untuk mengantarnya
pulang di pagi berikutnya. Setelah mengantar sampaidi rumahnya, Ia akan
langsung bekerja. Berpakaian dengan pakaian kerjanya, Ichigo kemudian mengantar
Luna, yang sekali lagi mengenakan Yukata, menuju apartemennya.
“… Ne, Ichi.”
Di lantai dua gedung apartemen,
tepat setelah bertukar selamat tinggal di depan kamarnya di sebelah tangga,
“Bisakah kita bertemu lagi malam
ini?” Luna bertanya dengan ekspresi serius di wajahnya.
Sejenak, Ichigo merasa
terkejut. Setelah semua yang terjadi tadi malam, Ia mungkin telah menyebabkan
semacam luka dalam di dalam hatinya.
“Aku tidak keberatan. Memangnya
ada masalah apa?” Itu sebabnya Ia memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab
untuk itu. Ichigo berpikir sambil menerima tawarannya setulus mungkin.
“… Sebenarnya, aku ingin berbicara denganmu tentang sesuatu
sebentar. Ah, tapi jika kamu sibuk, kita bisa melakukannya lain kali.”
Gerakannya terlihat sungkan, tetapi
ekspresi di matanya serius. Ini … mungkin telah dikatakan dengan banyak
keberanian.
“Tidak apa-apa. Kalau setelah
kerja, aku tidak sibuk. Apa yang ingin kamu bicarakan?”
“… tentang rumah orang tuaku,”
kata Luna. “Mengenai rumah Kakek dan Nenek.”
“…...”
Rumah orang tua Luna. Setelah
mendengar perkataanya itu, Ichigo langsung merasakan sakit kusam meresap ke
otaknya. Dengan kata lain, itu rumah orang tua Sakura.
Ayah dan Ibu Sakura.
Orang tua gadis yang
dicintainya, orang-orang yang sudah membuat Sakura menghilang dari kehidupan
Ichigo.
Tak menyadari konflik batin
Ichigo, Luna terus melanjutkan…
“Aku berniat pulang ke rumah
kakek nenek untuk mengunjungi kuburan ibu pada Festival Obon mendatang.”
“Jadi …” Luna lalu memandang lekat-lekat ke arah Ichigo.
“Kira-kira, apa Ichi ingin ikut
bersama denganku?”
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya