Chapter 5 — Keluarga
Ichigo mengingat kenangannya
tentang rumah orang tua Sakura.
Di masa lalu, ketika dirinya
masih kecil, Ichigo biasa pergi ke rumah Sakura untuk bermain. Keluarga Sakura
adalah keluarga kaya yang menjalankan bisnis pribadi, dan rumah mereka,
meskipun bukan rumah besar, adalah bangunan bergaya barat yang hebat
dibandingkan dengan keluarga biasa.
“Ah, halo, selamat pagi, tante.”
Ia membunyikan bel pintu di
sebelah papan nama yang dibaca 'Ito'
dan meminta izin untuk masuk. Di pintu gerbang, ibu Sakura menyapa Ichigo,
'Selamat
datang, Ichigo-kun.'
Dia memberikan kesan yang
lembut dan ramah, dengan kemiripan yang sama seperti Sakura. Tidak seperti
rambut hitam Sakura, rambut kastanye yang bergelombang dan lembut diikat
menjadi satu bundel dan digantung di atas bahunya.
“Maaf
sudah mengganggu, tante.”
'Tunggu
sebentar ya, tante akan pergi memanggil Sakura. Semoga saja dia tidak masih
tidur meskipun Ichigo-kun sudah datang. '
Ia memastikan untuk menyapa
orang tua Sakura dengan benar ketika
mengunjungi rumah mereka. Mungkin itu tidak terlalu kaku dan sopan
seperti tentang suasana unik, kelas atas yang dimiliki keluarga ini. Dalam
pikiran kekanak-kanakannya, dia sadar akan perlunya berperilaku dengan benar.
‘Oh,
Ichigo-kun. Terima kasih sudah datang.'
Ayah Sakura juga muncul. Beliau
adalah presiden perusahaan yang berurusan dengan pemrosesan buah dan sayuran,
pengembangan produk, dan distribusi. Rambut hitamnya dipotong pendek dan Ia
memiliki wajah yang bermartabat. Beliau adalah pria yang tampak kuat dengan
kacamata dan tubuh yang kokoh. Namun, Ia tidak terlihat menakutkan dan galak,
melainkan sebaliknya, Ia memberikan kesan yang murah hati, baik hati, dan
pekerja keras.
Pada saat itu—
‘Ya
ampun, Sakura. Mau sampai kapan kamu bersiap-siap? Ichigo-kun sudah ada di
sini, tau.'
‘Aku
mengerti, Bu. Jangan katakan itu keras-keras.’
Sakura turun dari tangga yang
menuju lantai dua. Ketika dia melihat Ichigo, dia tersenyum malu-malu.
‘Selamat
pagi, Ichi.’
Dia mengenakan sweater musim
panas berwarna lembut dan rok lipit. Rambut hitam pekatnya masih sama seperti
biasa. Dia memancarkan aroma yang menyegarkan, mengingatkan pada jeruk.
Di sana, dia tampak seperti
dewi yang turun ke bumi.
......
Paman yang serius dan pekerja
keras, seorang tante yang baik dan lembut, kemudian, seorang gadis muda yang
rapi dan cantik. Tidak mengherankan jika keluarga mereka tampak bagus jika
dijadikan lukisan. Keluarga mereka sangat persis seperti keluarga ideal yang
Ichigo bayangkan. Namun—
Lima belas tahun yang lalu,
keluarga Sakura gagal dalam bisnis mereka. Karena penjualan yang terus
meningkat, mereka memutuskan untuk memperluas bisnis mereka dan menghabiskan
banyak uang untuk beriklan, tapi semuanya tidak berjalan dengan baik dan mereka
berakhir dengan banyak hutang.
Demi menyelamatkan keluarganya
dari krisis, Sakura bertunangan dengan presiden perusahaan besar. Itu adalah
pernikahan politik. Setelah Sakura bertunangan dan pergi ke luar negeri, orang
tua Sakura juga pindah, mungkin karena terlalu sulit bagi mereka untuk tinggal
di daerah tersebut.
Hubungan di antara Ichigo dan
Sakura benar-benar terputus, dengan cara yang begitu kejam dan mengerikan—
※※※※※
Menurut tangal yang ada di kalender,
sekarang sudah mendekati pertengahan Agustus. Itu adalah sekitaran waktu di
mana liburan musim panas memasuki babak kedua.
Gumpalan awan cumulonimbus yang
berbentuk mirip seperti sarang lebah raksasa, menggantung di langit biru. Di
bawah langit cerah seperti itu, sebuah mobil melaju di atas jalanan aspal yang
panas. Di kursi pengemudi, orang memegang setir adalah Ichigo. Dan di kursi
penumpang, Luna duduk dengan manis. Mereka berdua dalam pakaian kasual mereka
hari ini.
“Apa kamu merasa gugup?”
“Y-Ya.”
Ketika Ichigo bertanya
kepadanya, dia menjawab dengan suara gemetar. Luna yang duduk di kursi penumpang,
memiliki ekspresi agak suram di wajahnya.
“... Terima kasih banyak Ichi,
karena sudah bersedia ikut denganku hari ini.” Luna berkata dengan malu-malu
seraya menatapnya, dan Ichigo tersenyum tenang, seolah-olah berusaha
meringankan ketegangannya.
“Tidak, justru akulah yang
harusnya berterima kasih karena sudah diberi kesempatan ini. Sudah lama sejak
aku punya kesempatan untuk menyapa orang tua Sakura.”
Saat ini, Ichigo dan Luna
sedang dalam perjalanan ke rumah orang tuanya orang tua Luna. Dengan kata lain,
rumah di mana orang tua Sakura tinggal. Nama lengkap Sakura sebelum
pernikahannya adalah Ito Sakura. Oleh karena itu, mereka sedang dalam
perjalanan menuju keluarga Ito.
“......”
Ekspresi Luna dalam perjalanan
ke rumah kakek neneknya bukanlah ekspresi yang ceria. Hubungan antara dirinya
dan keluarga orang tuanya pernah disebutkan sebelumnya oleh Luna sendiri.
Mereka tidak akur ... dan itu tidak terlihat bagus. Tapi bukannya berarti
mereka menolaknya. Luna juga menggambarkan bahwa orang tua Sakura, kakek dan
neneknya, sebagai orang baik. Namun, mereka sepertinya tidak memahami kesedihan
dan kegelapan yang dia miliki di hatinya.
Meski demikian, in adalah
perjalanan akhir pekan yang panjang ke rumah wali yang sudah merawatnya. Mana
mungkin dia tidak pulang ke rumah mereka. Terlepas dari situasinya, rumah itu
sekarang bertindak sebagai orangtua pengganti, mengawasi pertumbuhan Luna, dan
yang paling penting—
“Begitu rupanya ... kuburan
Sakura ada di sana, ya.”
“…Ya.”
Mengunjungi makam Sakura. Itulah
salah satu alasan mengapa Ichigo dan Luna pergi ke rumah orang tuanya hari ini.
Sisa-sisa peninggalan Sakura beristirahat di makam orang tuanya, keluarga Ito,
bukan di keluarga suaminya, keluarga Hoshigami.
Walaupun nama keluarga Luna
adalah Hoshigami, makam Sakura berada di kuburan keluarga Ito ... mungkin ada
beberapa keadaan yang pelik di luar imajinasinya, atau mungkin jauh lebih baik
untuk tidak membayangkan yang aneh-aneh, tapi Ichigo tidak memaksakan dirinya
untuk mencari tahu pada saat ini. Karena hal pertama yang harus mereka lakukan
ialah menghadapi masalah yang menjulang di depan mereka.
...
Mengunjungi makam Sakura, ya ...
Itu adalah tindakan yang pasti
membuatnya sadar akan kematian Sakura, meski dirinya sudah mengetahui dan sadar
akan hal itu. Rasanya memang menyakitkan, tapi bukan berarti Ia tidak ingin
pergi. Sebaliknya, Ichigo ingin pergi mengunjunginya. Ia ingin menghadapinya.
Untuk menghadapi kematian Sakura sambil mengambil kesempatan ini dan menjadi
teguh.
“......”
Ichigo melirik kursi penumpang
dan melihat Luna yang masih menutup mulutnya. Lebih dari segalanya, hal yang Ia
khawatirkan saat ini adalah gadis itu.
Mungkin dia awalnya ingin berbicara
dengan Ichigo tentang permasalan ini malam itu di Festival Musim Panas. Dia
mungkin mengandalkan Ichigo, yang menyatakan bahwa Ia akan membantu Luna jika
sesuatu terjadi padanya.
Namun, setelah 'kejadian itu', dia sekali lagi merasa
bimbang dan ragu-ragu mendekati Ichigo ...
...
Itu semua salahku.
Ichigo kemudian memutar
setirnya dan mengganti jalur. Luna mendongak dan bereaksi terhadap gerakan yang
tiba-tiba dari kendaraan yang tadinya melaju lurus ke depan.
“Ayo istirahat dulu.”
“Ah, ya ...”
Mobil Ichigo melaju langsung
memasuki rest-area yang ada di pinggir jalan. Itu hanyalah rest-area kecil
tanpa adanya fasilitas atau bangunan yang signifikan, Cuma ada mesin penjual
otomatis dan toilet.
“Aku pergi beli minuman dulu.”
“Ah, lalu aku akan pergi juga
...”
“Tidak usah. Aku bisa pergi
sendiri.” Menahan upaya Luna untuk bergerak, Ichigo dengan cepat keluar dari
kursi pengemudi dan menuju ke deretan mesin penjual otomatis. Ia kemudian
membeli sebotol es kafe au lait di sana dan kembali ke dalam mobil.
“Ini.” Kemudian, Ia memberinya
kepada Luna yang ada di kursi penumpang. “Kali ini, yang dingin.”
“......”
Ichigo ingat ketika Ia
menolaknya sebelumnya, keadaan mental Luna menjadi tidak stabil dan tersesat berkeliaran
di pegunungan, jadi Ia harus mencarinya. Pada saat itu, Ichigo juga ingat kalau
Ia membeli café au lait untuk menenangkan Luna.
“Jangan khawatir.” Ichigo
menyemangati Luna ketika menyerahkan café au lait dan naik ke kursi pengemudi.
"Setidaknya kamu tidak sendirian. Ada aku disini. Jika kamu mengalami
kesulitan, aku ada di sini untuk membantumu.”
“…Aku minta maaf.”
“Tidak apa-apa. Karena itulah
sebabnya aku di sini bersamamu.”
Ya, menghadapi kematian Sakura,
menyapa orang tuanya untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Semuanya bukan
demi perkara masa lalu. Di masa sekarang, di sini dan sekarang, ada seorang
gadis yang menderita. Membantunya juga merupakan tanggung jawab penting yang
harus Ichigo lakukan pada dirinya sendiri.
Mendengar perkataan menghibur Ichigo,
Luna tersenyum dengan tatapan mata lembab.
“... Aku merasa sangat
bersyukur kamu ada di sini, Ichi.”
“......”
... Jika senyum Sakura
diumpamakan layaknya dewi, maka senyum gadis ini adalah malaikat.
... Sekali lagi, aku dengan egoisnya membandingkannya dengan Sakura ... Aku
memang tidak pernah kapok sama sekali, Ichigo merenungkan situasi ini
secara rahasia.
Kemudian, setelah istirahat
sejenak, mobil yang mereka tumpangi melanjutkan perjalanannya dan meninggalkan rest-area.
※※※※※
“…Kita sudah sampai. Apa benar
ini tempatnya?”
“Ya.”
Berkendara dari kota tempat
Ichigo dan Luna tinggal, dan melintasi beberapa gunung dan prefektur,
membutuhkan waktu tempuh sekitar tiga jam. Mereka berdua tiba di daerah
pedesaan dengan lanskap luas dan tenang.
Mereka akhirnya sampai di depan
sebuah rumah besar yang dibangun di atas bukit yang sedikit tinggi. Meski itu
adalah rumah besar ... tapi tidak sampai disebut Grand Mansion. Rumah tersebut
lebih mirip seperti rumah gaya Jepang yang relatif besar dibandingkan dengan
biasanya. Namun, gerbang yang luar biasa dan pintu masuk otomatis dengan jelas
membedakannya dari rumah umum.
Ini adalah rumah tempat kakek
dan nenek Luna tinggal ... dengan kata lain, orang tua Sakura.
“Perusahaan dan pabriknya ...?”
“Tidak di dekat sini, tapi itu
bisa ditempuh dengan jarak pendek.”
Pertanyaan Ichigo dijawab oleh
Luna. Rupanya, masih sama seperti dulu. Bisnis keluarga mereka masih terus
berlanjut, yang mana itu sedikit melegakan.
“......”
Kakek dan nenek ibu Luna,
dengan kata lain Ayah dan Ibu Sakura.
Lima belas tahun yang lalu,
setelah usaha bisnis yang gagal dan keterlibatan Sakura, orang tua pun Sakura
pindah, mungkin karena mereka merasa malu tinggal di daerah tersebut. Sekarang,
untuk pertama kalinya dalam 15 tahun, Ichigo bisa mendatangi tempat mereka
pindah.
“… Laut?”
Rumah itu terletak di atas
gunung kecil, jadi menengok ke belakang, pemandangan lanskap terbuka bisa
terlihat. Dari kejauhan, Ichigo bisa melihat cakrawala. Lokasi rumah ini relatif
dekat dengan laut, walaupun masih jauh beberapa kilometer dari pantai terdekat.
Namun, entah itu kebetulan atau
mungkin takdir yang tak bisa dihindari? Bagi Ichigo, yang telah mengalami
ingatan tentang musim panas itu ketika pergi ke pantai bersama Sakura, dirinya
tidak bisa menahan diri untuk merasakan jika ini sesuatu yang ditakdirkan.
“Apa kamu sudah memberitahu
nenek dan kakekmu tentang aku?”
“Ya, aku memberi tahu mereka
sebelumnya, jadi seharusnya baik-baik saja.”
“Begitu ya ... Baiklah!” Ichigo
kemudian menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.
Kegugupan Luna mungkin menular.
Tidak ... kegugupan Ichigo sendiri memuncak segera setelah melihat rumah di
depannya.
“Apa kamu merasa gugup juga,
Ichi?”
“Ah ... Ya.”
Pada saat itu, Luna menebak
persis apa yang terjadi. Sebagai orang yang merasakan hal yang sama, mereka
mungkin dapat berkomunikasi satu sama lain. Keduanya saling memandang dan tersenyum.
“Kalau begitu, ayo pergi.”
“Ya.”
Kemudian, setelah memutuskan,
Ichigo menelepon bel pintu. Ia membunyikan bel pintu di sebelah papan nama
bergaya Jepang yang dibaca 'Ito'.
Sama halnya yang pernah terjadi di masa lalu.
Suara dering samar diulang beberapa
kali ... lalu, 'Ya,' suara balasan bisa terdengar dari penerima di
pintu. Itu adalah suara seorang wanita tua.
“Ini aku, Luna. Aku sudah
kembali ke rumah.”
“Ara, selamat datang kembali,
Luna-chan. Aku akan membuka gerbang sekarang.” Beberapa detik kemudian, gerbang
samping dibuka secara otomatis.
“Suara tadi itu ...”
“Ya, itu suara nenek.”
Mereka berjalan melalui gerbang
yang terbuka dan memasuki pekarangan rumah. Mereka berjalan melewati taman
Jepang yang megah dengan pohon pinus yang dipangkas dengan rapi, dan kemudian
sampai di pintu masuk mansion, di mana pintu itu sudah dibuka. Di sana, seorang
wanita tua sedang menunggu.
...
Orang ini ...
Lima belas tahun sudah berlalu
sejak saat itu. Dengan kata lain, usianya saat ini mungkin sudah mencapai akhir
lima puluhan. Namun, dia tampak dan terlihat jauh lebih muda dari usia sebenarnya.
Rambut berwarna kastanye-nya diikat sanggul dan menutupi bahunya, masih sama
seperti itu saat itu. Secara intuitif, Ichigo langsung mengenalinya. Dia adalah
ibu Sakura, yang sudah lama tidak Ia jumpai selama 15 tahun.
“Selamat datang kembali, Luna-chan.” Dia berkata kepada Luna
dengan senyum lembut. Itu adalah senyum ceria yang menggambarkan kelembutan dan
kepribadian yang sesuai untuk usianya. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke
arah Ichigo yang berdiri di samping Luna.
“... Kamu Ichigo-kun?”
“Ya, sudah lama tidak bertemu,
tante.”
Apa
aku harus memberinya souvenir yang ada di tanganku sekarang?
Ichigo tidak tahu apakah Ia
terlalu santai atau gugup ketika memikirkan hal sepele semacam itu. Ini adalah
pertama kalinya Ia bertemu lagi dengan beliau sejak dia masih kecil dan setelah
semua peristiwa yang terjadi.
“Ichigo-kun ...”
Pertama-tama, ekspresi macam
apa yang harus Ia tunjukkan, dan kata-kata macam apa yang harus dibicarakan?
Ketika Ichigo memikirkan itu
dengan bimbang, beliau membuka matanya lebar-lebar—
“Kamu beneran Ichigo-kun!? Ya
Tuhan, kamu sudah tumbuh dewasa!” Dia melompat-lompat dengan gembira. Itu adalah
reaksi yang polos layaknya gadis SMA yang kegirangan. “Sudah lima belas tahun
sejak aku melihatmu. Kamu sudah tumbuh besar! Kamu dulunya anak kecil yang lucu
saat itu, tapi sekarang kamu sudah berubah jadi seorang pria dewasa! Lihat!”
“Ah iya. Tante juga, masih
secantik seperti biasanya ... “
“Walah, walah, sekarang kamu
juga pintar menyanjung seperti itu! Waktu memang berlalu dengan cepat! Apalagi,
kamu sekarang manajer toko tempat Luna bekerja, ‘kan? Sungguh kebetulan sekali,
aku tidak bisa mempercayainya! Mukjizat macam apa ini!? Tapi tetap saja, kamu sudah
menjadi pria yang tampan!”
“......”
Dia telah diberitahu sebelumnya
dan mengizinkannya berkunjung, jadi dIchigo berpikir kalau beliau takkan
terlalu terkejut ... Ichigo sedikit kebingungan oleh reaksi ibu Sakura yang tak terduga. Dia tampaknya
telah banyak berubah dari kesan suci dan polos dibandingkan dengan 15 tahun
yang lalu.
“Um, Ini hanya oleh-oleh tidak seberapa, tapi tolong
silahkan diterima.”
“Oh ya ampun, aku senang sekali.
Sekarang, ayolah, ayolah, kalian berdua. Aku akan menyiapkan cemilan yang
kalian bawa dan beberapa teh.”
“Ah iya.”
Atas saran ibu Sakura, atau
lebih tepatnya pada desakannya, Ichigo dan Luna melepas sepatu mereka.
“Tapi irasanya sudah lama
sekali, jadi aku sangat senang. Aku minta maaf karena terus menanyakan ini,
tapi kamu adalah manajer toko dari tempat Luna bekerja, ‘kan?”
“Ya, ummm ...”
Ibu Sakura bertanya, masih
dalam keadaan gembira. Dia tampak benar-benar terkejut, dan mungkin karena dia
juga merasa optimis, dia terus mengulangi topik yang sama.
Namun, Ichigo terkekeh pada
reaksinya, dan sebagai gantinya, Ia merasa kalau hatinya berangsur-angsur mulai
tenang. Ketika menyadari bahwa pihak lain juga dalam keadaan gembira, Ia bisa
merasakan bahwa ketegangan itu dengan cepat menghilang.
“Tidak, bukannya berarrti aku kebetulan
jadi manajer toko tempat dia bekerja.”
“Ya, ya, aku juga sudah mendengar
cerita itu. Kamu menyelamatkan Luna-chan dari serangan berandalan, bukan? Kamu
jantan sekali.” Ibu Sakura meletakkan tangannya di pipinya dan berbicara
tentang kekagumannya dengan, “Kyaa!”
Tampaknya Luna juga
menmberitahunya tentang pertemuannya dengan Ichigo.
Diserang
oleh berandalan ... yah, walaupun isinya sedikit berbeda.
“Nenek, Kugiyama-san agak
bermasalah.” Kemudian, Luna menindaklanjuti dari samping sambil tertawa
terkekeh.
“Oh astaga, aku minta maaf.”
Kata ibu Sakura, tampak malu.
... Luna-san tampaknya tidak punya masalah berbicara dengan beliau.
“Tapi beneran, aku tidak
percaya kalau Ichigo-kun, yang dulunya sangat kecil dan imut, sudah tumbuh
menjadi orang dewasa yang hebat. Aku merasa seperti sedang berbicara tentang
anakku sendiri, dan aku menangis tertaru dengan kebahagiaan.” Ibu Sakura
menyeka matanya saat mengatakan itu.
Ichigo juga merasakan sensasi
tersedak di belakang tenggorokannya pada perilakunya.
“Aku juga ... Aku senang bisa
melihat tante lagi.”
Rasanya
konyol sekali betapa gugupnya aku dengan semua pemikiran yang saling
bertentangan dan suram yang berkutat di kepalaku, pikir
Ichigo.
Lima belas tahun telah berlalu,
dan ada perpisahan dramatis. Karena itu, Ia ingin sekali melihatnya lagi ... tepi
orang ini tidak berubah. Tidak, kesannya agak berbeda, tetapi tidak dengan cara
yang tidak menyenangkan. Bagaimanapun juga, dia adalah ibu Sakura, dan juga
orang yang baik dan lembut.
Ibu yang cantik itu, yang
menurutnya adalah sosok ibu yang ideal, sama halnya seperti dirinya, dterus-menerus
tumbuh selama bertahun-tahun. Fakta ini saja membuat Ichigo merasa nyaman.
“Kalau begitu, tunggu aku di
kamar Tatami di sini.”
Ketika dia membawa mereka ke
koridor, mereka dipandu ke ruang belakang dengan pemandangan halaman. Ibu
Sakura menunjuk ke pintu geser tertutup dan berkata,
“Otou-san juga berada di Ruang
Tatami, jadi kamu bisa berbicara dengannya setelah sekian lama. Jangan lupa
untuk menyapa juga, Luna-chan.” (TN: Ibu Sakura memanggil suaminya dengan panggilan
'Otou-san', jadi kalau diterjemahkan artinya jadi ayah.)
Ayah sakura.
Pada saat itu, Ichigo merasa
tubuh Luna sedikit gemetar ketika dia mengikuti di belakangnya.
“Luna-san?”
“......”
Sebelum Ichigo bisa menanyakan
keadaannya, mereka bertiga tiba di Ruang Tatami. Ibu Sakura meletakkan
tangannya di pintu geser dan membukanya.
“Otou-san, Luna-chan dan
Ichigo-kun ada di sini.”
Di dalam ruang Tatami, seorang
pria duduk bersila dengan bantal, menunggu kedatangan mereka.
“......”
Dia adalah seorang pria tua,
tetapi fisiknya yang tumbuh dengan baik tampak sangat akrab. Karena itu, Ichigo
bisa langsung mengenalinya dengan sekilas.
“Ah ... sudah lama tidak
bertemu, Paman.”
“......”
Ia memalingkan kepalanya dalam
diam pada salam Ichigo. Rambut abu-abunya semakin banyak dan kerutan di
wajahnya menjadi lebih dalam dan lebih gelap. Ia mengenakan kacamata berbingkai
hitam dan wajahnya yang khidmat menunjukkan bahwa Ia telah mengalami banyak
kesulitan. Tidak ada tanda-tanda sosok ayah yang ceria, sungguh-sungguh, dan
ideal seperti di masa lalu. Seorang pria, tanpa ekspresi, pendiam dan tegas
seperti batu bisu, ada di sana.
“Silakan duduk.” Ketika ibu
Sakura memberi tahu mereka, Ichigo dan Luna duduk tegak di atas bantal yang
telah disiapkan untuk mereka. Di seberang meja kayu, mereka menghadapi ayah
Sakura.
“......”
Ibu Sakura meninggalkan ruangan
Tatami, dan suasana yang berat memenuhi ruangan. Ichigo bertanya-tanya apakah
pria itu benar-benar ayah Sakura.
...
Tidak, instingku memberitahuku begitu.
Tidak diragukan lagi, mereka
adalah orang yang sama. Namun, seperti ibu Sakura, kesannya justru ...
“... Ichigo-kun.” Lalu di sana,
beliau mulai membuka mulutnya kepada Ichigo, yang sedang melamun.
“Ya!” Ichigo secara tidak sadar
meluruskan punggungnya dan menanggapi dengan tegas.
Melihat reaksi Ichigo seperti
itu, ayah Sakura—
“... Sudah lama.”
Wajahnya dipenuhi dengan senyum
lembut. Suara yang keluar dari tenggorokannya lembut dan hangat. Ichigo hampir
terguncang oleh kesenjangan antara kesan sebelumnya dan yang ini.
“... Ya, sudah lama tidak
berjumpa, Paman.” Ia bisa membalas secara alami. Ekspresi pria di depannya masih
sama dengan 15 tahun yang lalu. Oleh karena itu, Ichigo merasa lebih tenang.
“Aku senang mendengarmu
baik-baik saja. Kamu terlihat luar biasa, dan aku mendengar kalau kamu sekarang
adalah manajer di toko besar? Hebat sekali.”
“Terima kasih banyak.”
Nada suaranya yang tenang dan
bermartabat berbicara dengan baik dari Ichigo. Merasa agak malu, Ichigo
menggaruk rambutnya.
Apa-apaan
... Ia tidak berubah sama sekali.
Meskipun mereka tidak bertemu
satu sama lain dalam 15 tahun, percakapan itu lebih normal dari yang
diharapkan. Ichigo bahkan merasakan nostalgia. Tapi kemudian, Ichigo menyadari
ada sesuatu yang tidak beres.
“... Luna-san?”
Luna yang berada di sampingnya
tidak bergabung dalam percakapan sama sekali. Dia tampak waspada terhadap
kehadiran ayah Sakura ... Tidak, Ichigo bisa merasakan ketakutannya. Wjahnya
tampak seperti seorang anak kecil yang menghadapi omelan ayah yang galak.
“... Luna, aku mendengar kalau
kamu saat ini bekerja paruh waktu di toko Ichigo-kun.”
Kemudian, percakapan beralih kepadanya.
Pada saat inilah nuansa dan suasana yang dipakai ayah Sakura berubah
sepenuhnya. Suasana sama seperti beberapa menit yang lalu, ketika pintu ke
ruangan ini pertama kali dibuka. Ekspresinya tampak tegas.
“Aku harap kamu tidak
menimbulkan masalah?”
“…Ya.”
Suasana yang menyelimuti terasa
tegang. Situasinya sangat ekstrem dan pergeseran itu melampaui pemahamannya
sampai membuat Ichigo tidak punya pilihan lain selain menutup mulutnya.
“... Ichigo-kun. Kami mempunyai
banyak hal yang perlu dibicarakan, tapi bisakah kamu meluangkan kami waktu
sebentar?” Pada saat itu, ayah Sakura mendesak Ichigo untuk meninggalkan
ruangan.
“Eh ...”
“Kami memiliki sesuatu yang
penting untuk didiskusikan antar keluarga. Aku minta maaf untuk bersikap
seperti ini kepadamu yang merupakan tamu kami, tapi kami hanya perlu waktu
sebentar saja.”
“......”
Auranya sangat mengintimidasi
hingga membuat Ichigo mau tak mau bilang setuju dan diam-diam meninggalkan
kursinya.
“Luna-san, apa kamu tidak
apa-apa?” Dia berbisik kepada gadis di sebelahnya.
“Ah ... Ya, maaf. Seperti yang
dibilang kakek, itu hanya akan memakan waktu beberapa saat.” Luna membalas
dengan nada kaku.
Begitu diberitahu seperti itu,
Ichigo tidak punya pilihan lain selain keluar dari ruangan. Ia meninggalkan
kamar tatami. Ketika hendak pergi, Ia melihat sekilas ke arah wajah Luna, yang
memiliki ekspresi sedih seolah-olah dia mengalami sesuatu yang menyakitkan.
※※※※※
“... Apa yang harus kulakukan
...” Setelah meninggalkan ruangan, Ichigo bingung.
...
Pembicaraan keluarga yang penting, ya ...
Bagaimanapun juga, dirinya
masih orang luar yang baru saja tiba di sini. Dirinya juga tidak bisa
sembarangan berjalan di dalam rumah ini. Namun, Ia juga tidak bisa
terus-terusan berdiri di lorong, dan bahkan jika itu keadaan yang memaksa, mana
mungkin Ia akan menguping. Jadi Ichigo memutuskan untuk mencari dapur terlebih
dahulu.
“Ara, Ichigo-kun.”
Ketika menuju ke arah dapur, Ia bisa mendeteksi
kehadiran orang yang bergerak. Ia mengintip ke dalam ruangan dan, seperti yang
diharapkan, menemukan dapur, di mana ibu Sakura sedang menyiapkan teh.
“Aku sudah membuka cemilan yang
kamu berikan padaku.”
“Ya terima kasih banyak.”
“Bagaimana dengan Otou-san dan
Luna-chan?”
“Ah, sepertinya ada hal penting
yang perlu mereka bicarakan, jadi aku memberikan waktu untuk mereka berdua.”
“Begitu ya ...” Guman Ibu
Sakura seraya mengalihkan wajahnya ke bawah. Ekspresinya tampak berawan, dan
Ichigo bisa melihatnya.
“... Biarkan aku ikut membantu
juga.” Ucap Ichigo dan memasuki dapur. “Maafkan aku atas kunjungan hari ini. Aku
mengambil keuntungan dari mudiknya Luna-san dan mendadak datang berkunjung ke
sini.” Ichigo berkata ketika menempatkan teko yang dipenuhi dengan daun teh,
cangkir teh, dan beberapa permen di atas nampan.
“Tidak, jangan khawatir, oke? Aku
terkejut ketika pertama kali mendengarnya, tapi aku sangat senang ketika melihat
Ichigo-kun lagi setelah sekian lama.” Ibu Sakura berkata dengan nada suara yang
ceria saat menunggu air dalam panci listrik mendidih. “Lagipula, aku merasa
sangat berterima kasih karena sudah mengantar Luna-chan kembali ke sini dengan
aman.”
“Tidak, itu tidak benar…”
... Bagi orang tua Sakura, yang
mengingatkannya pada kenangan saat itu, keberadaannya sendiri dianggap seperti
apa? Apa dirinya menjadi kenangan yang menjijikkan? Atau seseorang yang tidak
ingin mereka ingat?
Tidak ada cara untuk memastikannya.
Ichigo penasaran apa mereka benar-benar merasa senang mengenai dirinya yang
datang ke sini karena dia benar-benar ingin tahu tentang itu.
... tetapi menilai dari reaksi
mereka terhadap kunjungannya hari ini, keberadaan Ichigo rupanya tidak
mengganggu mereka.
“......”
Jadi, di dalam pikiran mereka,
apakah ingatan tentang Sakura sebagian besar sudah memudar? Memikirkan
kemungkinan tersebut membuat hatinya sedikit perih.
“Apa hubungan Luna-san dan
Paman tidak rukun?” Mungkin itu adalah upaya yang tidak disadari untuk
menyembunyikan rasa sakitnya, tetapi Ichigo mendapati dirinya segera bertanya.
“... Apa kamu sudah mendengar
sesuatu dari gadis itu?” Setelah beberapa saat singkat, ibu Sakura balik bertanya.
“Yah ... Tidak, ini hanya
sekedar dugaanku.”
“Tapi gadis itu memang
menunjukkan beberapa tanda yang membuatmu berpikir begitu, bukan?” Pada saat
itu, ibu Sakura tersenyum pada Ichigo. “Ichigo-kun, gadis itu mempercayaimu,
iya ‘kan? Aku sedikit terkejut sekaligus senang tentang itu.”
“Ya…”
“Aku tidak menyangka kalau dia
akan menunjukkan hatinya kepada seseorang seperti itu. Dia tidak pernah
mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya kepadaku atau bahkan kepada
teman-teman dekatnya.”
Kemudian, ibu Sakura
membalikkan badan dan menghadap ke arah Ichigo. Suasana di sekitarnya
seolah-olah dia memutuskan tentang sesuatu dan bertekad untuk mengatakan yang
sebenarnya.
“Kamu benar, sejujurnya, ayah
dan Luna-chan sama sekali tidak akur. Luna-chan takut pada pria itu.”
“... Aku sudah mendengar
sedikit tentang itu dari Luna-san.” Mendengar kebenaran itu, Ichigo juga
melanjutkan untuk berbicara sambil berhati-hati dengan kata-katanya.
“Ketika suami Sakura meninggal
dan Sakura kembali ke rumah, dia kembali dengan warisan yang sangat sedikit.
Jadi Sakura dan Paman sering berdebat tentang itu ... karena perihal ini, Luna
berpikir kalau keberadaannya tidak diterima ... Sesuatu seperti itu?”
“…Tepat sekali.”
Ichigo berpikir kalau dirinya
sudah menyampaikan dengan hati-hati, tapi dia mungkin mengungkapkannya dengan
begitu blak-blakan. Namun, menilai dari balasan Ibu Sakura, mungkin lebih baik
sejelas mungkin. Ketika Ichigo bertanya kepadanya tentang hal itu, ibu Sakura
tersenyum dengan ekspresi sedikit sedih.
“... Dia juga mengubah
kepribadiannya.”
“Itu ...”
Ibu Sakura menoleh ke arah luar,
seolah-olah dia mencari tempat yang jauh. Dan kemudian….
“Ichigo-kun, aku benar-benar
minta maaf.”
“Eh ...”
“Karena situasi keluarga kami,
Sakura menghilang dari kehidupanmu. Masalah itu selalu menghantui pikiranku
sejak lama.”
“......”
Topik itu tiba-tiba
menggoyahkan ketenangannya, dan jantung Ichigo mulai berdetak cepat. Dirinya
berpikir kalau ini masih tentang Luna dan permasalahannya sendiri bisa dibahas
lain waktu, tetapi sekarang, Ia benar-benar terkejut.
“Kamu mungkin tiddak
mempercayainya ketika aku memberitahumu ini, dan kamu mungkin berpikir aku
hanya berbicara omong kosong, tapi ... Orang itu juga, selalu menyesalinya
karena sudah memaksa Sakura untuk menikah demi menyelamatkan keluarga kami.”
“Menyesali…”
Mengapa Ibu Sakura tiba-tiba
membahas hal itu sekarang? Dirinya takkan pernah berpura-pura memiliki rasa
keadilan. Dia tidak memiliki hak untuk merasa marah.
Dan mengapa bisa begitu? Karena
Ichigo bisa merasakan kalau tidak ada kepalsuan dalam kata-katanya. Setidaknya,
pria itu tidak dengan sukarela memilih untuk mengorbankan kehidupan putrinya.
Bahkan jika disuruh memilih untuk melakukannya, itu mungkin akan menjadi
keputusan yang sangat sulit sebagai pemilik bisnis dengan ratusan karyawan.
…Namun. Ichigo menggigit bibirnya.
Namun, jika semua itu
ditentukan sebagai kesalahan, maka sebagai akibat dari kesalahan tersebut,
'Luna yang lahir dari kesalahan itu'…
…. Kemudian, suara bernada
tinggi bisa terdengar mereka.
“….eh?”
“Barusan, tadi itu ...”
Kedengarannya seolah-olah ada
sesuatu yang retak. Suara itu datang dari ruang tatami di belakang. Ichigo
memandangi ibu Sakura. Sedikit kecemasan melintas di wajahnya. Melihat ekspresi
wajahnya yang seperti itu, Ichigo mengencangkan ekspresinya.
“Ayo pergi.”
Setelah itu, Ibu Sakura dan
Ichigo bergegas menuju kamar Tatami.
※※※※※
“Permisi, suara tadi itu baru
saja….”
Ichigo tiba di depan kamar
Tatami. Ketika membuka pintu geser, Ia menemukan Ayah Sakura dan Luna .…
“Luna-san!?”
Pandangan mata Ichigo melebar
dengan tak percaya ketika melihat keadaan Luna di dalam ruangan. Dia terkapar
di tikar tatami dan berbaring tak berdaya. Di sampingnya, ada vas bunga yang
pecah. Ichigo dengan cepat membungkuk berlutut dan memeriksa keadaan Luna yang
berbaring di sana.
“Uh ...”
Ketika Ichigo dengan lembut menyentuh
bahu Luna, erangan yang berasal dari tenggorokannya terdengar. Rupanya dia
masih sadar.
Merasa lega dengan keadaannya,
Ichigo melihat sekeliling ruangan. Ayah Sakura berdiri diam, dan ibu Sakura
memegang mulutnya dengan ekspresi terkejut. Kemudian, Ia melihat ada selembar kertas
tipis di atas meja. Di bagian depannya tertulis, 'kartu laporan'. Itu adalah kartu laporan dari sekolah Luna, SMA
Perempuan Himesuhara.
“…Apa yang sebenarnya terjadi?”
Ichigo meminta penjelasan ayah Sakura.
Ia tetap dalam posisi berdiri,
pandangannya diarahkan ke arah lain.
“Otou-san ...” Ibu Sakura juga
memalingkan wajahnya yang cemas kepadanya.
“... Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. Kami hanya membicarakan tentang apa dia mengabaikan pelajarannya
setelah kamu pergi.” Akhirnya, ayah
Sakura membuka mulutnya. Dia mengatakannya dengan sederhana, dingin, dan
langsung ke intinya. “Aku memeriksa kartu laporannya. Nilainya memang tidak
buruk, tetapi ada nilai yang turun di beberapa pelajaran, padahal dia selalu
mempertahankan nilai tertinggi dalam semua mata pelajaran di sekolah SMP. Itu sebabnya
...” Beliau lalu melanjutkan “Aku memberitahunya kalau dia perlu keluar dari
pekerjaan paruh waktuya yang sekarang.”
“......”
“Itu keputusan yang wajar.
Tugas utama dari seorang pelajar adalah belajar. Pertama-tama, ini terlalu dini
bagi anak kelas satu SMA untuk bekerja paruh waktu. Sebaliknya, jika dia terus
bekerja di toko ketika mencoba menyeimbangkan keduanya dalam keadaan seperti
itu pasti akan merepotkan Ichigo-kun juga. Adapun masalah biaya hidup, jumlah
yang kami kirimkan harusnya mencukupi sama seperti sebelumnya ... itu saja.”
“Aku
benar-benar senang bisa bekerja di toko ini.”
Ichigo masih bisa mengingat jelas
senyum bahagia di wajah Luna ketika mengatakannya pada hari itu. Luna menyukai
pekerjaan paruh waktunya saat ini. Dia tidak bisa melupakan Ichigo, terlepas
dari rasa cintanya dan ingin mengejarnya serta membuatnya berpaling padanya,
Luna merasa puas dan dengan senang hati bekerja pada pekerjaannya saat ini.
“... Jika nilainya turun, maka
...” Kata Ichigo ketika memegangi Luna dalam rangkulannya. “Aku memintanya untuk
menyetujui bertanggung jawab pada posisi sibuk di toko. Memang benar dia datang
bekerja selama berjam-jam sebelum liburan musim panas. Jadi, jika memang itu
alasan kenapa nilainya bisa turun, maka itu berarti semuanya salahku.”
“......”
“Paman. Sebagai orang dewasa
yang berada dalam posisi untuk mengawasi dan menjaga pertumbuhan seorang anak
yang masih pelajar, perkataan paman memang ada benarnya. Tapi bukannya berarti
paman bisa berbuat kasar padanya—”
“Kugiyama-san, bukan itu yang
terjadi ...” Lalu tiba-tiba terdengar suara dari arah dekat lengan Ichigo. Luna
perlahan mengangkat dirinya. “Aku baru saja ... tersandung.”
“Luna-san ...”
“Aku merasa sakit dan pusing,
saat aku terjatuh, vasnya juga tak sengaja ikutan jatuh ... Kakek tidak
melakukan apa-apa.”
“......”
Meskipun keadaan Luna baik-baik
saja, fakta bahwa kesadarannya secara abnormal terpengaruhi berkat
kehadirannya, itu berarti kata-kata dan sikapnya telah mempengaruhi
mentalitasnya. Ichigo juga mempelajari tentang masalah kesehatan mental dalam
pelatihan kerja khusus manajer. Mana mungkin dirinya mengabaikan situasi ini.
“Luna-san, apa kamu bisa
berdiri?” Ichigo perlahan-lahan melepas tangannya dari tubuh Luna saat
memerksanya. Dia kemudian tersenyum meyakinkan ketika yakin dia bisa menopang badannya sendiri. Dia berdiri dan melangkah di depan
ayah Sakura.
“... Ichigo-kun, ini masalah
dalam keluarga kami.” Ayah Sakura berkata kepada Ichigo. Suara dan ekspresinya
tampak garang, bukan ekspresi lembut yang Ia tunjukkan kepada Ichigo
sebelumnya. “Aku minta maaf untuk mengatakan ini, tetapi kamu hanyalah orang
luar. Jadi, bisa tidak jangan mencampuri urusan keluargaku?”
“Paman ...” Ichigo menanggapi langsung
pernyataannya. “Benar sekali. Aku mungkin tidak berada dalam posisi untuk ikut
campur dalam urusan keluarga Anda.”
“…Jika begitu…”
“Atau itulah yang ingin
kukatakan, tapi sayangnya, paman dan keluarga paman sudah menghancurkan hidupku,
jadi aku bukanlah orang yang tidak berhubungan dengan masalah ini.”
Mendengar ocehan kasar Ichigo,
ayah Sakura melebarkan matanya dengan kaget. Jika persis seperti yang dikatakan
ibu Sakura, jika pria di hadapan Ichigo ini adalah tipe orang yang serius dan
bertanggung jawab, serta jika Ia menyesali perbuatannya pada hari itu, maka tentu
saja Ia tidak bisa mengabaikan perkataan Ichigo.
“Izinkan aku berbicara langsung
ke intinya. Kedatanganku hari ini karena aku ingin berbicara dengan paman.” Secara
gambling dan blak-blakan, Ichigo terus melanjutkan “Aku ingin membicarakan
tentang Sakura.”
※※※※※
Untuk saat ini, Ichigo meminta
ibu Sakura dan Luna untuk meninggalkan ruangan sehingga Ia bisa melakukan
percakapan empat mata dengan ayah Sakura.
“Kugiyama-san ...” Ketika Luna
berjalan keluar dari ruangan sambil ditemani neneknya, dia menatap Ichigo
ketika mereka saling berpapasan. Ekspresi di matanya menampilkan kecemasan
sekaligus kebingungan. Itu adalah ekspresi yang sama pernah dia tunjukkan
ketika Ichigo menemukannya di pegunungan sebelumnya.
Demi menennangkannya, Ichigo
berkata, “Jangan khawatir,” dan memandangi mereka keluar dari ruangan. Saat ini,
hanya ada Ichigo dan Ayah Sakura saja yang ada di dalam ruangan.
“Sudah lama aku tidak bertemu
paman dalam lima belas tahun, tapi paman tidak berubah sama sekali.”
“......”
Tak satu pun dari mereka yang
mau duduk. Sambil berdiri, mereka bertukar kata-kata dan hanya melakukan apa
yang diperlukan.
“Pada satu titik, ketika aku pertama
kali bertemu dengan paman, paman masih terlihat sama persis seperti dulu. Pria
yang baik dan lembut layaknya sosok ayah ddeal yang selalu aku bayangkan.”
“... Ideal, ya?”
Berulang kali, ayah Sakura tersenyum
sinis. Seolah-olah ingin mengatakan, 'Memangnya
kamu tahu apa, hah ...?'
“Itu sebabnya aku merasa tidak
nyaman dengan cara paman memperlakukan Luna-san.” Ichigo dengan jujur menyampaikan
pendapatnya sendiri kepada pria tersebut. “Seolah-olah Anda memalsukan diri
sejati Anda, membuat diri Anda tampak kasar dan menakutkan. Tidak, seolah-olah
Anda mencoba memaksakan diri untuk berubah.”
“... Ichigo-kun.” Kemudian,
ayah Sakura mengajukan pertanyaan Ichigo. “... Apa aku terlihat seperti sedang
mengabaikan gadis itu?”
“Ya, tergantung pada dari sudut
pandang mana anda melihatnya.”
“Tapi itu sebabnya aku berpkir
kalau anda tidak serius.” Ichigo melanjutkan.
“Aku bisa merasakan kalau
kekerasan paman terhadap Luna bukan karena anda tidak menyukainya, atau menganggapnya
sebagai gangguan.”
Seorang putri yang pulang
dengan membawa sebagian kecil dari warisannya yang sangat besar, dan cucu yang
ditinggalkannya. Dia perlu dicintai, dia perlu diterima. Ketika Ia bertanya
pada Luna apa yang ada di benaknya sebelumnya, Luna sepertinya berpikir bahwa
dia harus bertindak seperti dirinya.
“Tapi ketika aku melihat anda
hari ini, kupikir persepsi itu salah. Sebaliknya, Anda terlihat kikuk, tetapi
masih berusaha merawatnya ... Aku merasa seperti Anda tidak tahu bagaimana memperlakukannya
dengan benar. Anda kesulitan untuk menggambarkannya dengan kata-kata.”
“... Ucapanmu tampak
kondradiktif.”
Ichigo terkekeh pada pernyataan
ayah Sakura yang masuk akal.
“Bisa saja memiliki dua
perasaan kontradiktif pada saat yang sama.”
Dua emosi yang bertentangan.
Ada kalanya Ichigo berada dalam keadaan seperti itu sehingga Ia sendiri tidak
tahu harus berbuat apa. Meski Ia sudah menolak Luna dan memberitahunya akan
lebih baik jika mereka tidak pernah bertemu lagi, tapi Ia masih berusaha
mencarinya. Peristiwa ini pun adalah kasus yang sama.
“Anda menyesal karena sudah
mengacaukan kehidupan Sakura 15 tahun yang lalu. Dan sekarang Luna-san ada di
sini, Anda juga merasa bersalah atas hal itu.”
“... Ichigo-kun.” Kemudian,
ayah Sakura membuka mulutnya. Suaranya terdengar bergetar. “Semua yang kamu
katakan itu benar adanya.”
Seolah-olah Ia bertobat.
“Kamu benar-benar bisa
mengetahuinya sejauh itu, huh? Sifatku yang menyedihkan tampaknya terpampang
jelas di matamu.”
“......”
“Ketika aku mendengar kalau
kamu akan datang bersama Luna hari ini, aku terkejut, tapi pada saat yang sama,
aku merasa pasrah dan siap kalau waktunya sudah tiba.”
“Itu ...” Ichigo menghentikan
kata-katanya di sana. Itu karena ayah Sakura berbalik dan menatapnya.
“Maaf, tapi sekarang, aku akan
memberimu rengekan terburukku.”
“…Ya.” Ichigo bertekad untuk
menerima semua kata-katanya dan ekspresinya yang kesakitan.
“Aku menyesali tentang apa yang
sudah kulakukan di masa lalu, mengenai aku yang memaksa Sakura ke dalam
pertunangan yang tidak diinginkan karena kesalahanku. Ketika Sakura pulang ke
rumah ini, mau tak mau aku merasa seolah-olah aku dihadapkan dengan kesalahan
masa laluku. Aku tidak bisa menghadapi Sakura. Itu sebabnya aku memperlakukan
Sakura dengan sangat buruk.”
“......”
“Sekarang dia sudah pergi dari
dunia ini juga, rasa bersalah membanjiriku, dan aku dipenuhi dengan penyesalan.
Namun, jika aku menyebut kalau pertunangan Sakura adalah kesalahan, itu berarti
sama saja dengan aku menyangkal Luna yang lahir dari kesalahan tersebut ... Itu
sebabnya aku tidak bisa menyebutnya kesalahan. Karena itu berarti menolak keberadaan
gadis itu. Itu sebabnya ... Aku bahkan tidak berani menghadapi Luna lagi.”
“......”
“Jika seseorang menuduhnya
sesuatu, dia tidak bisa membantah kembali, dan jika seseorang mengoreksi
kesalahannya, dia tidak punya alasan, jadi aku tidak punya pilihan selain
menjadi keras dan galak, untuk membuatnya takut ... Kami tidak punya pilihan
selain untuk menutupi perasaan kita satu sama lain seperti itu.”
Itu adalah serangkaian kutukan
yang telah mengikatnya selama lima belas tahun terakhir.
“... Jika kamu, Luna, dan
Sakura membenciku, tidak apa-apa. Tidak masalah. Kamu bisa membenciku sepuasmu.
Aku tidak kompeten dan tidak dapat diandalkan, dan aku tidak mungkin dimaafkan
karena seperti ini ...”
“…Aku mengerti.”
Ketika ayah Sakura selesai
memuntahkan kecaman seperti itu, Ichigo ... merasa lega. Ia merasa senang
karena beliau masih sama seperti dulu.
“Terima kasih. Karena sudah
bersedia membicarakan apa yang paman pikirkan.”
“Tapi ...” lanjut Ichigo. Ia
menemukan apa yang perlu dilakukan dan apa yang seharusnya Ia lakukan. “Izinkan
aku meluruskan satu kesalahpahaman yang ada dalam ucapan paman.”
“…Salah paham?”
“Kesalahpahaman kalau semua
orang membenci Anda.”
Ichigo membuka pintu geser dan
meninggalkan ruangan. Ia kemudian pergi ke dapur, di mana Luna baru saja
dikawal oleh ibu Sakura untuk menerima perawatan.
“Luna-san, apa kamu baik-baik
saja?”
“…Ya.”
Dia merasa jauh lebih tenang
sekarang. Ichigo berjongkok dan melakukan kontak mata dengannya saat dia duduk
di kursi.
“Luna-san, biarkan aku bertanya
sesuatu padamu. Apa kamu membenci kakekmu? Karena sudah membuatmu melalui
pengalaman yang menakutkan.”
Mungkin itu tidak baik untuk kesehatan
mentalnya, tapi Ichigo langsung mengajukan pertanyaan seperti itu. Tetapi saat
ini, itu adalah sesuatu yang benar-benar perlu dikonfirmasi ulang.
Luna sejenak melebarkan matanya
terkejut, tetapi menjatuhkan tatapannya dengan takut-takut ketika Ichigo
berkata, “Tidak apa-apa,” dan meremas tangannya.
“... Itu ...”
Ketika ditanya apakah dia takut
padanya, Luna takkan bisa mengatakan tidak. Dan itu tidak apa-apa. Salah
jadinya jika dia mencoba bertindak seperti gadis yang baik dalam situasi ini.
“Paman, Tante, dan Luna-san
juga.”
Ichigo pun berdiri. Pada saat
itu, bersama Luna di depannya, ibu Sakura berdiri di belakangnya, dan ayah Sakura
menunggu di luar dapur, Ichigo lalu mengajak mereka semua….
"Ada tempat yang ingin aku
kunjungi, jika kalian tidak keberatan, apa kalian bersedia ikut denganku
sebentar?”
※※※※※
'Ada
tempat yang ingin aku kunjungi'
Segera setelah mengatakan itu,
Ichigo menempatkan semua orang di dalam mobil dan pergi. Lebih dari sepuluh
menit kemudian, mereka akhirnya tiba di….
“Ini…”
“Mungkin Paman dan Tante tidak
tahu mengenai hal ini, tapi ... musim panas sebelum Sakura menghilang, dia dan
aku pergi untuk melihat laut bersama.”
Tujuannya adalah pantai. Laut
terlihat dari puncak gunung kecil di mana rumah orang tua Sakura berada, jadi Ia
tahu kalay ada pantai berada di dekatnya. Mengikuti sistem navigasi mobil,
mereka mengunjungi pantai yang terdekat. Itu adalah pantai spi dengan beberapa
penduduk setempat yang berjalan-jalan. Pemandangan ini mengingatkan Ichigo pada
lautan musim panas itu.
“Tidak ... Aku mengingatnya.”
Hembusan angin laut yang kuat
menerpa di sepanjang pantai. Ibu Sakura dan Luna memegang rambut panjang mereka
sementara ayah Sakura berdiri di sana dengan acuh tak acuh, mendengarkan kisah
Ichigo.
“Ketika Sakura pergi bersamamu
untuk melihat lautan ... itu lebih dari sepuluh tahun yang lalu, tepat di
sekitar tahun ini?” Kata ayah Sakura, ekspresinya agak suram.
Ichigo memandang sekilas ke
arahnya, lalu mengalihkan pandangannya ke arah laut.
“Di pantai itu, aku berbicara
dengan Sakura. Kami membicarakan impian kamu di masa depan.”
“... mimpi, ya? Aku—”
“Paman, tolong dengarkan dulu
sampai aku selesai.”
Ayah Sakura mungkin berpikir
bahwa dia telah menghancurkan masa depan Sakura, bahwa Ia telah menghancurkan
mimpi putrinya dan semua yang dia inginkan. Namun, apa yang ingin disampaikan
Ichigo berbeda.
“Pada hari itu, Sakura
mengatakan kepadaku kalau di masa depan, dia ingin bekerja dalam bisnis
keluarga dan membantu ayah serta keluarganya dengan pekerjaan mereka.”
Begitu mendengar ucapan Ichigo,
tatapan mata ayah Sakura melebar.
Ya, Ichigo mengingatnya. Itu
adalah percakapan terakhir mereka di musim panas itu.
Matahari mulai terbenam dan
waktu yang dijadwalkan untuk pulang semakin mendekat. Ichigo berdiri dari pasir
dan mulai berjalan pergi, mengatakan bahwa sudah waktunya untuk pergi — tapi
pada saat itu….
“Ichi,
kamu tahu, aku ...” Sakura mulai berbicara kepada Ichigo yang
bergerak di depannya. “Aku sedang
berpikir untuk mengambil alih bisnis keluarga di masa depannanri. Aku ingin
mengalami banyak hal, mendapatkan pengetahuan, dan jika mungkin, membantu ibu
dan ayahku dalam bisnis keluarga.”
Itulah yang dia katakan.
Ichigo kemudian melihat ke
belakang. Ayah dan Ibu Sakura pasti belum pernah mendengar ini sebelumnya. Ya,
ini adalah mimpi yang cuma dikatakan Sakura kepada Ichigo.
“Jika paman bertanya kepadaku
apa Sakura memiliki penyesalan atau tidak ... Aku akan mengatakan bahwa dia
tidak mempunyai penyesalan sedikit pun. Dia adalah orang yang mampu
membayangkan cita-cita seperti itu ketika berada di kelas 3 SMP. Aku pikir
alasan dia kembali ke sini setelah suaminya meninggal karena dia
mengkhawatirkan keadaa kalian dan ingin membantu paman.”
“... Jadi itu terjadi, ya?”
Ichigo mengangguk pada ayah
Sakura, yang suaranya sedikit serak.
“Ichigo-kun ... jadi kamu
selalu mengingat saat itu sepanjang waktu?” Ibu Sakura bertanya dengan ekspresi
yang agak bahagia sekaligus sedih di wajahnya.
“Ya ... tapi tidak persis 'sepanjang waktu'.” Balas Ichigo,
tatapannya sedikit menunduk. “Aku baru mengingatnya belakangan ini. Aku sudah
mengubur kenangan yang menyakitkan dan berusaha melupakannya. Tapi ketika aku
bertemu dengannya, aku jadi mengingatnya.”
Kemudian Ichigo memandang Luna.
Ayah Sakura juga berbalik untuk menatapnya.
“Luna ...”
“Sejak aku pertama kali bertemu
dengannya, aku selalu merasakan jejak Sakura dalam dirinya. Kehadiran Luna-san
membawa kembali kenangan yang sudah aku coba lupakan dan itu membuat kehadiran
Sakura menjadi lebih kuat dalam diriku ... tetapi ternyata, itu tidak semuanya
buruk. Dengan cara ini, aku bisa menyampaikan pikirannya kepada kalian.”
“......”
“Dan mimpi yang Sakura harapkan
pada waktu itu ... Dia bilang kalau dirinya ingin mengalami segala macam hal
ketika dia bisa bekerja.” Ichigo memandang Luna dengan lembut. “Kamu memiliki
mimpi yang sama sekarang, Luna-san.”
Luna terkesiap dan dia erat-erat
menekankan bibirnya. Dia menyadari bahwa Ichigo berusaha memberi tahu kakeknya
tentang perasaan sejati Luna, tentang apa yang sebenarnya ingin dia lakukan.
“Bisakah kamu membantunya
dengan mimpinya? Aku juga akan membantunya dengan segala kemampuanku. Tolong.”
“... Luna.” Setelah
mendengarkan kata-kata Ichigo, ayah Sakura menoleh ke belakang di Luna.
“Kakek…”
Mungkin ayah Sakura tidak tahu
bagaimana menjelaskannya dengan benar. Ia menganggap dirinya sebagai seseorang
yang harus terpinggirkan, seseorang yang harus dibenci, dan dicemooh. Alasan
mengapa Ia begitu galak pada Sakura dan Luna ialah itulah cara yang
bertele-tele, terlalu canggung dan tindakan menyakitkan diri.
“…Kakek minta maaf.”
Masa lalu tidak dapat diubah.
Seseorang tidak bisa hanya mengakui bahwa kesalahan adalah kesalahan atau
menyangkal kalau itu bukanlah kesalahan. Ia memiliki kontradiksi dalam
hidupnya.
Namun ... Luna juga, hidup
dengan emosi yang saling bertentangan. Dia ingin bersama Ichigo, walaupun tahu
kalau dia seharusnya tidak boleh—
“Kakek, tolong jangan meminta
maaf.” Luna meraih tangan kakeknya. Dia cukup pintar untuk memahami
perasaannya. “Sama seperti yang Kugiyama-san katakan, aku yakin kalau ibu tidak
membenci atau marah terhadap Kakek. Itu sebabnya, jangan khawatir tentang itu.”
…Tepat
sekali.
Ketika Ichigo pertama kali
bertemu ayah dan ibu Sakura hari ini, Ia dapat melakukan percakapan normal
dengan mereka. Rasanya seperti kelanjutan dari apa yang terjadi 15 tahun yang
lalu, tetapi tanpa penyesalan untuk Sakura. Ichigo tidak menyimpan dendam
terhadap mereka juga. Terlebih lagi setelah mengetahui kebenaran kalau beliau menderita
selama 15 tahun terakhir.
Luna lalu berusaha
menyampaikan,
“Tidak ada siapapun yang
membenci kakek. Kakek hanya harus mempercayaiku tentang itu.”
Ayah Sakura menggigit bibirnya
dengan erat. Dan di bahunya, ibu Sakura dengan lembut meletakkan tangannya dari
belakang.
“... mulai sekarang, bisakah
kita memulai kembali, sebagai keluarga?"
“Ya.” Luna tersenyum, dan
senyumnya yang tampak malaikat seperti itu, ditujukan pada kakeknya.
※※※※※
Dengan peristiwa itu, hubungan
rumit antara Luna dan kakeknya telah tiada.
Tidak, rasanya terlalu
berlebihan untuk menyebutnya berbaikan. Mereka hanya berbicara satu sama lain, cuma
itu saja. Tentang Sakura, tentang Luna, dan tentang ayah Sakura. Hanya itu saja,
tapi itulah faktor yang paling penting.
'Tidak
tahu' sering memiliki dampak psikologis negatif. Dan 'tahu', atas
apa nilainya, memiliki efek mengurangi beban psikologis, terlepas dari alasan
atau konsistensi. Seringkali merasa lega. Bagaimanapun juga, begitu masalah ini
diselesaikan, rasanya mungkin terlihat seperti bukan masalah besar.
Kutukan lima belas tahun telah
diangkat hanya dalam beberapa jam komunikasi. Itu adalah kisah sepele dan
klise. Namun, butuh banyak keajaiban yang harus terjadi untuk menyelesaikan
perkara ini.
Jika Ichigo tidak bertemu Luna,
jika Luna tidak membiarkannya masuk ke dalam hatinya dan tahu tentang ayah dan
ibu Sakura, jika Ichigo tidak mengingat kenangannya tentang Sakura ... bisa
dibilang kalau kutukan itu diangkat karena semua pertemuan itu dan semua masa
lalu telah berkumpul. Meski di atas segalanya, hal itu berkat kontribusi Ichigo
yang membawa mereka ke titik ini.
“Luna, kamu harus pulang dengan
Ichigo-kun.” Di depan rumah keluarga Ito, ketika mereka baru saja kembali dari
pantai dan keluar dari mobil, ayah Sakura mengatakan ini kepada Luna dan
Ichigo.
“Eh ...” Awalnya, Ichiho akan
pulang dulu hari ini, dan Luna akan menginap beberapa malam.
“Kurasa Luna akan lebih baik
tinggal bersamamu sekarang.” Ayah Sakura mengatakan ini dengan ekspresi cerah.
Itu adalah ekspresi dermawan, baik, dan tulus yang pernah beliau tunjukkan dan
sama seperti 15 tahun yang lalu. Ibu Sakura juga menyetujui perkataannya dengan
berkata, “Benar.”
“Ichigo-kun, aku sangat
menyesali atas apa yang sudah kulakukan padamu.” Ayah Sakura menundukkan
kepalanya secara mendalam. “Dan hari ini, aku berhutang budi padamu. Selain
itu, jika aku boleh mengatakan ini, aku ingin kamu berada di samping Luna dan teris
mendukungnya.”
“Kakek ...” Begitu mendengar
perkataannya, Luna memerah dengan malu.
“Aku merasa tenang jika dia
berada di dekatmu. Terelbih lagi, ketika aku melihatmu dan Luna sekarang, aku
merasa sperti kalau kamu sedekat dengan Sakura seperti pada saat itu. Hal itu membuatku
tersenyum.”
“Sungguh, sejak gadis ini
adalah putrinya, mungkin dia dan Ichigo-kun adalah pasangan yangserasi.”
Ketika ayah dan ibu Sakura
mengatakan sesuatu yang menguntungkan, Luna tersenyum, dan pipinya memerah,
seolah-olah dia merasa puas
...
Eh, hmm?
Sedangkan di sisi lain, Ichigo
berkeringat dingin. Suasana yang tak terlukiskan dan ramah ini diarahkan dari
kerabat Luna, apa itu hanya imajinasinya? Atau mungkin memang dimaksudkan
begitu?
...
Tidak, aku saja yang terlalu kepedean ... mungkin ...
※※※※※
“Ah, Ichi, tempatnya ada di
depan sana.”
Dengan demikian, Ichigo dan
Luna pulang lebih cepat atas perintah orang tua Sakura. Namun, ada sesuatu yang
harus mereka lakukan sebelum pulang. Ichigo berbicara dengan orang tua Sakura
dan mendapat persetujuan mereka. Untuk mencapai tujuannya, Ichigo pergi ke
tempat tertentu, dipandu oleh Luna. Dan tempat itu adalah….
“…Di sini?”
Komplek pemakaman yang dibangun
di sekitar sisi lain gunung, hjaraknya agak jauh dari rumah orang tua Luna, ada
makam yang diukir dalam marmer hitam yang menjulang dengan nama keluarga Ito di
atasnya.
“Mereka memindahkan kuburan
keluarga Ito ketika mereka pindahan ke daerah yang sekarang.”
“Begitu ... Tapi tentu saja,
tempat ini memiliki pemandangan dan tenang, jadi seseorang bisa beristirahat
dengan tenang.”
Dan sekarang, di bawah kuburan
ini, Sakura juga tengah tertidur lelap. Sekali lagi, Ichigo dipaksa untuk
menghadapi kenyataan itu.
“… Begitu ya.”
Melihat namanya terukir di sisi
batu nisan, Ichigo mengerti bahwa ... Sakura benar-benar sudah tiada.
“......”
Ia menyalakan dupa yang sudah
disiapkan dan menempatkannya ke dalam pedupaan. Ichigo menyatukan tangannya,
menutup matanya, dan berdoa dengan pikiran kosong. Namun, secara alami dan tak
terelekkan, ada banyak ingatan mengenai Sakura yang kembali muncul di dalam
pikirannya.
Ichigo mengingat ketika
berjalan bersamanya di sepanjang jalan menuju sekolah, di mana kelopak bunga
sakura berterbangan. Kenangan bermain gim dan bersenang-senang bersama di
rumahnya. Kenangan pergi jalan-jalan bersama, mengunjungi kolam renang, taman,
festival musim panas, pusat perbelanjaan, dan tempat-tempat lainnya. Di setiap
adegan tersebut, di setiap ingatan yang semakin menumpuk dan sepele, ada senyum
Sakura yang mempesona.
Dan kemudian ketika musim panas
di pantai. Pada hari di mana mereka berbicara tentang masa depan mereka, yang
mana Ia coba tutupi untuk menghindari mengingatnya, Sakura memberi tahu Ichigo
tentang mimpinya dalam perjalanan pulang. Setelah mengatakan kalau dia ingin
membantu bisnis keluarganya, Sakura lalu menambahkan…..
‘Aku
akan merasa sangat senang jika mungkin ... Ichi bisa berada di sampingku juga
... '
Ya, benar sekali. Pada
akhirnya, Sakura memberitahunya hal itu.
Awalnya, Ichigo tidak
benar-benar memahaminya pada saat itu. Dirinya hanya berpikir kalau Sakura
bermaksud akan menyenangkan untuk bisa bekerja bersama-sama. Jadi mungkin,
mungkin saja, perasaannya terhadap Ichigo….
“Ichi?”
“Ah…”
Butiran air mata tumpah ruah
dari sudut matanya. Mereka mengalir tak terbendung secara menyedihkan. Luna
yang ada di sebelahnya, tampak khawatir.
“Aku baik-baik saja.”
Tidak,
hentikan. Sekarang bukan waktunya.
Ichigo mati-matian berusaha
menahan diri. Namun…
Air matanya tidak berhenti
mengalir.
Bayangan Sakura yang muncul di
benaknya. Kenangan indah dari adegan yang tak terlupakan di pantai, disertai
dengan kebahagiaan yang Ia rasakan pada saat itu, tidak bisa pergi dengan mudah.
Namun, ingatan yang dipenuhi
cahaya seperti itu tidak bisa lagi diperoleh kembali atau diperbarui. Fakta
tersebut menggerus hatinya. Tanpa Ia sadari, dirinya sudah menangis
tersedu-sedu. Meski Ichigo bilang kalau Ia baik-baik saja, Ia tidak bisa
menghentikan air matanya. Mengeluarkan suara isak tangis kecil, Ichigo menutupi wajahnya dengan kedua tangan
dan meratapi kematian mantan cinta pertamanya.
“Ichi ...” Pada saat itu,
Ichigo merasakan sentuhan lembut yang menyelimutinya. Tangan ramping Luna mendekap
bahu Ichigo saat dia memeluknya. Secara diam-diam dan tanpa sepatah kata pun,
Luna hanya ingin menghibur untuk menenangkannya.
Untuk sementara, mereka terus
dalam posisi itu dan melewati waktu bersama. Pada akhirnya…..
“…Terima kasih.” Ichigo, yang mulai sedikit tenang dan berhenti menangis,
menyeka wajahnya dengan mansetnya dan berkata kepada Luna.
“Ichi, apa kamu baik-baik
saja?” Luna bertanya dengan penuh perhatian saat menjauhkan badannya. Guncangan
psikologis yang diterima Ichigo sangatlah tak terukur. Dan dia memahami itu
juga.
“Ya, aku sudah baik-baik saja
sekarang.” Ichigo menjawab dengan wajah tenang supaya tidak membuat Luna cemas.
“... Kamu tahu, ada banyak alasan
mengapa aku meminta Ichi untuk datang ke sini bersamaku hari ini.” Di sana, Luna
berbicara dalam benaknya. “Aku tidak punya keberanian untuk melihat Kakek. Aku
sangat takut ... Itu sebabnya, aku ingin kamu berada di sana untukku. Aku tahu
itu menyedihkan, tetapi itulah yang kurasakan.”
"Ya, tidak apa-apa."
Kamu
masih anak-anak. Tidak ada salahnya untuk mengandalkan orang dewasa, pikir
Ichigo.
“Dan juga…”
Luna kemudian melanjutkan
sambil mengarahkan pandangannya ke bawah,
“Kupikir, Ichi mungkin ingin
melihat Ibu.”
“......”
“Aneh sekali, bukan? Di malam
aku melakukan 'itu', aku benci ketika
mengetahui kalau Ichi menempatkan bayangan Ibu padaku ... tetapi jika Ichi ingin
melihat ibu, Aku berpikir kalau kamu harus bertemu dengannya.”
Dua emosi yang saling bertentangan.
Terkadang kita merasakannya pada saat yang sama. Tetapi seseorang selaly dapat
memilih satu emosi daripada yang lainnya.
Jika ini yang dia pilih dari
dua emosi yang dicampur di dalam dirinya pada saat itu, itu tidak terlalu berlebihan
jika pilihan Luna sudah menyelamatkan Ichigo.
“Terima kasih. Aku merasa
bersyukur bisa berada di sini, dan aku senang kamu membuat keputusan itu.”
“Ya, aku sangat senang.” Luna
mengangkat kepalanya dan memandang Ichigo. Tatapan matanya, yang tampak seperti
perhiasan dengan sedikit hijau di belakang kegelapan, memandang Ichigo. Matanya
juga terlihat lembab.
“Aku yakin Ibu juga merasa sangat
senang karena bertemu dengan pria luar biasa yang terus memikirkannya di
hatinya.”
Ekspresinya penuh rasa terima
kasih dan kasih sayang dari lubuk hatinya.
“Aku pikir Ibu pasti merasa
senang karena kamu adalah cinta pertamanya.”
“......”
Cinta
pertamanya ... Lalu, itu sama denganku, pikir Ichigo ketika mendongak
untuk menatap langit yang memancarkan gradasi oranye dan biru.
※※※※※
Setelah itu, Ichigo dan Luna
sekali lagi masuk ke mobil dan pulang. Waktunya sudah sore menjelang malam ketika
mereka meninggalkan prefektur tersebut, dan ketika mobil yang mereka tumpangi
melaju di sepanjang jalan raya, tirai gelap yang menandakan malam hari
menyelubungi langit.
“Ah, benar juga! Di depan sana,
ada rest-area itu.” Di tengah perjalanan mereka, Luna tiba-tiba berteriak.
“Di depan sana ... Ah,
rest-area yang ernah aku singgahi pada perjalanan bisnis tempo hari, ya.” Ichigo
melihat sistem navigasi pada permintaan Luna, dan memperhatikan nama rest-area
pada layar.
“Sudah waktunya untuk
istirahat, jadi ayo mampir ke sana. Mari kita cicipi es krim bunga matahari!”
“Astaga, yang benar saja.”
Jadi, menanggapi desakan Luna,
Ichigo mengarahkan mobilnya ke rest-area. Beberapa hari yang lalu, Ia
mendatangi rest-area ini dengan Wakana, dan hari ini, Ia datang bersama Luna.
Ichigo sedikit kaget saat berpikir kalau janji yang dibuatnya pada hari itu
akan menjadi kenyataan begitu cepat.
“Ini dia, es krim bunga
mataharinya.” Kemudian, Luna dengan cepat membeli es krim dan kembali ke mobil.
Karena mereka tidak bisa keluar dengan mereka berdua di tempat umum, Ichigo memintanya
untuk pergi sendiri. Toppingnya mungkin terlihat seperti biji bunga matahari,
tapi Luna bilang kalau itu hanyalah kacang almond berlapis cokelat.
“Di sini, ahh!” Di dalam mobil,
Luna menawarkan sesendok es krim.
“Ya, aku akan mengambil seluruh
sendok.”
“Eh, kamu bisa saja
mengambilnya.”
Ia mengambil sendok dari Luna
dan memakan es krim.
“... Ya, ini memang cokelat
almond. Dan rasanya cukup enak.”
“Iya ‘kan! Aku belum pernah mencobanya
dan aku menyukainya!” Luna berseru ketika dengan senang hati membawa es krim ke
mulutnya.
...
Moodnya yang suram selama setengah hari tadi tampak seperti kebohongan, pikir
Ichigo ketika memandangnya.
Nah, mengingat salah satu
masalah yang terus menghantui pikirannya telah tuntas, tidak mengherankan kalau
dia merasa lebih bersemangat.
“Nee ~ Ichi.” Kemudian, Luna
menunjukkan jendela dari kursi penumpang. “Mumpung kita di sini, ayo pergi
melihat observatorium.”
“Observatorium?”
“Ya, kamu pernah bilang kalau
pemandangan malam di sana itu indah, bukan?”
“Hmm…”
Ichigo melihat ke arah observatorium
dari mobil. Mungkin karena sudah larut malam, atau mungkin waktunya saja yang
pas, hampir tidak ada banyak orang yang datang di rest-area.
“Jangan khawatir. Ketika aku
pergi membeli es krim tadi, aku melihat sekeliling, tetapi tidak ada orang
selain kita berdua.”
Itu adalah langkah cerdik di
pihaknya untuk melakukan pengintaian.
“... Yah, kalau cuma sebentar.”
“Horee!”
Mereka berdua keluar dari mobil
dan menuju ke observatorium. Dari sana, Ichigo dapat melihat pemandangan malam
yang sama seperti yang Ia lihat dengan Wakana kemarin.
“Wah ~ menakjubkan sekali!”
Luna terkagum-kagum saat melihat pemandangan yang luar biasa. “Apa itu?”
“Itu lampu pabrik.”
"Entah bagaimana, rasanya
agak keren. Ah! Ada taman hiburan di sana!” Gondola bianglala menyala. Luna
memalingkan kepalanya kepada Ichigo sembari menunjuka kea rah sana. Pipinya
sedikit memerah, menunjukkan kegembiraannya. “Suatu hari, mari kita pergi ke
taman hiburan bersama.”
“......”
Ketimbang kecewa, dia
sepertinya dalam suasana hati yang gembira. Melihat bahwa suasananya berada di
ambang luar kendali, Ichigo menegurnya, “Kita tidak bisa.”
Bibir Luna cemberut “Ehh~~”
tetapi ekspresinya yang cemberut tidak menunjukkan tanda-tanda ketidaksenangan
sama sekali.
Setelah menghabiskan waktu yang
menyenangkan seperti ini, waktu sudah memasuki larut malam. Mobil Ichigo
akhirnya tiba di depan apartemen Luna.
“Kalau begitu, terima kasih
banyak untuk hari ini, Ichi.”
“Ya, Sampai jumpa.”
Di depan kamar Luna, mereka
mengucapkan selamat tinggal.
“Sampai jumpa besok.” Ichigo
berbalik pada Luna dan berusaha pergi. Saat itulah Ia merasa kalau dirinya
dipeluk dengan erat dari belakang. Hati Ichigo hampir berhenti pada sentuhan
lembut yang menyelimuti punggungnya.
“Terima kasih banyak, Ichi ...”
Suara yang manis, seolah meluap dari lubuk hatinya, terdengar telinganya. Dia
membisikkan kata-kata terima kasih.
Dan kemudian-
“Aku mencintaimu, aku sangat
mencintaimu, Ichi.”
Kata-kata cinta dengan semua
perasaan yang bisa dia kerahkan.
“Hari ini, ketika aku melihat
Ichi menangis memikirkan Ibu ... kupikir kamu adalah orang luar biasa yang
selalu mengabdikan diri pada orang yang kamu cintai ... Aku merasa seperti
kalau cintaku semakin tumbuh—”
Perasaan hangat meninggalkan
punggungnya.
“Memang ada banyak kesulitan,
tapi aku benar-benar senang bahwa orang yang jatuh cinta, cinta pertamaku,
adalah kamu.”
Ichigo berbalik dengan panik.
Meski Ia membalik kepalanya, Ia bisa tetap kaku ketika Luna tertawa, “Ehehe~”
dan menutup pintu.
Ichigo buru-buru menyembunyikan
wajahnya yang memerah, seolah-olah menyembunyikan rasa malunya.
“... Jangan melongo terus, ya
ampun.”
Jantungnya benar-benar hampir
copot.
Bagaimana
jika seseorang melihat kita, pikir Ichigo seperti biasa.
…Tapi.
Namun, ada sesuatu yang berbeda
dari biasanya, dan Ichigo tidak merasa buruk. Wajahnya tidak tumpang tindih
oleh wajah Sakura juga. Itu hanya kepuasan murni karena dirinya bisa membantu
Luna ... dan ketika gadis itu berkata 'Aku
mencintaimu', membuatnya sangat bahagia.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya