Chapter 5 — Kenangan Indah
─
─ Aku tidak bisa setengah-setengah dalam mengelabui atau menyembunyikan
sesuatu darinya.
─
─ Oleh karena itu, aku akan menceritakan semuanya kepadanya.
Bertempat di rumah dinas
Ichigo.
Sepulang kerja, Ichigo meminta Wakana
berkunjung ke rumah dinasnya supaya Ia menjelaskan kepadanya tentang masalah
ini, lagipula kejadian itu bisa menyebabkan kesalahpahaman di kemudian hari
jika tidak dijelaskan dengan benar.
Selain itu, Luna juga hadir di
tempat tersebut.
Penjelasan Ichigo saja mungkin
tidak cukup meyakinkan.
Bukann karena tidak mempercayai
Wakana, tapi Ichigo memutuskan kalau penjelasannya akan lebih meyakinkan jika
Luna ikut hadir.
Ada banyak peristiwa yang
terjadi dalam seharian ini.
Ichigo sedikit mencemaskan keadaan
mental Luna saat ini, tapi dia setuju untuk menghadiri.
Kedua belah pihak saling
berhadapan di seberang meja, dengan Ichigo dan Luna di satu sisi dan Wakana di
sisi lainnya.
Ichigo mengatakan kepada Wakana tentang hubungannya dengan Luna. Artinya, Ia menjelaskan dari awal hingga akhir, secara rinci. Dari pertemuan pertama mereka sampai hari ini.
Pada hari di mana Ichigo
menolongnya dari seorang pemabuk.
Ichigo mengetahui bahwa dia
adalah putri seorang teman masa kecilnya. Ditambah lagi, ada perasaan yang
sangat kuat yang dimiliki Luna untuk Ichigo.
Tindakan dan keseharian yang
mereka jalani. Apa yang terjadi pada Luna dan hubungannya dengan Ichigo.
Setelah semua ini
diceritakan.......
“Jadi, begitu rupanya, ya......”
“..........”
...... suasana hening
menyelimuti mereka bertiga.
Wakana sendiri mungkin merasa
kesulitan menelaah informasi secara bersamaan di dalam kepalanya.
Namun, meski itu yang terjadi,
hal ini sudah tidak bisa dihindari lagi. Seperti kejadian yang telah
ditakdirkan atau semacam hal yang tak terduga...
“Bagaimana bilangnya ya,
rasanya seperti….”
Setelah beberapa saat, Wakana
pun mulai berbicara dengan perlahanlahan.
“itu …. seperti hubungan yang romantis, ya?”
Wakana membuat komentar seperti
itu mungkin demi meringankan suasana yang begitu berat.
Terlepas dari hal itu, baik
Wakana yang mengatakan demikian dan Luna yang memiliki raut wajah murung,
sepenuhnya memahami situasinya sekarang, karena mereka tahu apa yang telah
terjadi sampai saat ini.
Luna dan Wakana adalah rival
dalam masalah cinta.
Perbedaan usia dan posisi
sosial tidak ada hubungannya dengan hal ini.
Mereka tidak lebih dari lawan
yang bersaing untuk mendapatkan cinta dari orang yang sama, yakni Ichigo.
“Untuk saat ini, begitulah
situasi dari kami berdua.”
“Aku mengerti…”
Ichigo menyimpulkan, dan Wakana
pun mengangguk sekaligus membalas pernyataan itu.
“Maafkan aku karena menanyakan
pertanyaan ini lagi, tapi apakah tidak ada orang lain selain aku yang tahu
tentang hubungan kalian berdua?”
“….Ya, kurasa tidak ada.”
Paling tidak, tentang Luna yang
sering bolak-balik berkunjung ke rumahnya, tentang dia yang mendambakan
hubungan lawan jenis, sekaligus tentang Ichigo yang tidak mampu menolaknya
dengan tegas. Maka, tidak ada satupun yang mengetahui hubungan seperti itu
kecuali Wakana.
“Aku minta maaf atas sikap
tidak sopanku yang menyebut hubungan itu sebagai hubungan romantis sebelumnya.
Tapi kenyataannya, jika hubungan ini tersebar ke muka publik…..”
“Aku memahami itu…..”
“Kalaupun kedua belah pihak itu
sendiri samasama setuju, tetapi hal tersebut mungkin tidaklah bisa diterima
secara sosial bagi anak yang di bawah umur dan seseorang yang merupakan anggota
masyarakat untuk berinteraksi pada tingkat yang melampaui batas. Apalagi,
sebagai karyawan perusahaan, kamu harus berhatihati tentang peraturan, dan juga
perusahaan dapat menghukum pak manajer.”
Perusahaan juga dapat menghukum
Ichigo demi mematuhi kode etik mereka.
“Tergantung pada kasusnya, kamu
dapat dikenakan penurunan jabatan atau pemecatan dari posisimu.”
Wakana mengatakan ini karena
dia merasa sangat khawatir.
Namun, saat mendengar deretan
kalimat Wakana, tubuh Luna bergetar dengan sentakan. Wajahnya memucat. Ancaman
yang diterimanya dari penguntit beberapa jam yang lalu mungkin ikut berpengaruh
juga.
Untuk pertama kalinya, Luna dan
Ichigo yang bersamasama mengupayakan hubungan yang diinginkan Luna, mereka
malah dibuat untuk melihat masalah yang jelas dengan kenyataan itu semua, dan
mungkin membuat mereka menyadari bahaya dari situasi yang mereka hadapi.
Rasanya sama seperti dihantam
oleh kenyataan yang pahit.
“U-Ummm .... Aku….”
“Ya, aku juga menyadari
permasalahan itu.”
Luna menjawab dengan suara
gemetar, sedangkan Ichigo menanggapi dengan tegas.
“Aku sudah siap dengan kemungkinan itu.” jawab
Ichigo.
“….Ah.”
Luna mempertanyakan betapa
hampa dan tidak bergunanya ungkapan kosong yang pernah dia ungkapkan dahulu
bahwa dia ‘tidak akan pernah menimbulkan
masalah’ dan ‘bisa memberikan
penjelasan yang tepat’.
Saat menyadari hal itu, Luna
menutup mulutnya.
“……”
Ucapan Ichigo yang dipenuhi
kejujuran dan tanpa ragu sedikit pun. Dan keadaan Luna yang tertekan dan tidak
bisa menyembunyikan rasa takutnya. Begitu melihat semua ini, Wakana lalu berkata...
“Baiklah, aku mengerti…..”
Nada suaranya terdengar lembut
dan melanjutkan.
“Aku takkan memberitahu siapa pun tentang hubungan
kalian. Aku yakin kalau pak Manajer bukanlah tipe orang yang akan membuat
kesalahan bahkan jika ada keadaan tak terelakkan.”
Ichigo membungkuk kepada seraya
berterima kasih Wakana saat dia menyimpulkan dengan kata kata tersebut.
“.........”
“.........”
...... Namun, tetap saja,
percakapan itu tidak berlanjut lebih jauh. Baik Ichigo maupun Wakana.
Kemudian, Luna juga memahami
perasaan cinta Wakana kepada Ichigo, jadi dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi.
Psikologi mereka yang kompleks
saling terkait. Hal yang sama terjadi pada Wakana. Wakana jelas sepenuhnya
memahami kekuatan perasaan Luna dari apa yang baru saja didengarnya.
Jadi sekarang, sudah tidak ada
lagi.......
“Pak manajer, aku punya permintaan.”
Dalam situasi di mana Ichigo
berpikir bahwa tidak akan ada kemajuan lebih lanjut, Wakana tibatiba membuka
mulutnya.
“Silahkan berbicara empat mata dengan
Hoshigami-san.”
Mendengar pernyataannya, Luna
mengangkat wajahnya, yang tadinya tertunduk.
“Tolong habiskan waktu yang
sama dengannya seperti yang kamu habiskan bersamaku.”
“….. itu maksudnya…”
Ichigo memahami apa yang Wakana
coba katakan.
'Waktu
seperti yang kamu habiskan bersamaku’ yang dia maksudkan itu ialah
acara kencan beberapa hari yang lalu.
Wakana mempersilahkan mereka untuk
berbagi waktu demi menutup jarak di antara hati mereka dan saling memahami satu
sama lain secara mendalam.
Tanpa disangka-sangka dia akan
menyarankan hal itu.
“Kemudian, Pak manajer bisa
memberikan jawabannya di akhir. Waktu bukanlah masalah. Aku akan tetap menunggu
jawabanmu sampai Pak Manajer merasa puas.”
“Wakana-san….”
“Seandainya …. Ummm, jika
seandainya Pak manajer tidak memilihku, kamu tidak perlu mencemaskan kalau aku
akan membeberkan hubunganmu dengan Hoshigamisan atau semacamnya. Aku sama
sekali tidak niatan menceritakan kisah ini kepada siapapun.”
Ichigo tidak mengkhawatirkan
tentang hal itu.
Ichigo juga percaya bahwa
Wakana bukanlah orang yang seperti itu.
“Apa kamu benar-benar yakin?
Wakana-san.”
Ichigo mencoba menegaskan hal
ini, meskipun dia berpikir akan aneh baginya untuk mengajukan pertanyaan
semacam itu.
Saat mendengar pertanyaan
Ichigo, Wakana tersenyum dan mengangguk.
“Aku cuma ingin pak Manajer
membuat pilihan tanpa ada rasa penyesalan.”
Sama seperti Luna yang bisa
memahami perasaan Wakana, Wakana juga bisa memahami perasaan Luna karena dia
pun menyukai Ichigo.
Demi Luna dan Ichigo Wakana
memikirkan mereka berdua dan membuat usulan.
“Apalagi, jika Manajer bersedia
memilihku, aku akan merasa sangat senang.”
Pada akhirnya, Wakana bergumam
dengan suara yang pelan.
※※※※※
Jadi, setelah mendengar
penjelasan Ichigo, Wakana memutuskan untuk pulang dari rumah Ichigo.
Dia mengatakan kalau rasanya
akan sulit bagi Ichigo untuk berbicara dengan Luna jika dirinya ada di sana,
sehingga dia meminta mereka untuk memutuskan rencana mereka ke depannya bersama
dan pergi begitu saja.
Cuma ada Ichigo dan Luna yang
tersisa di rumah tersebut.
“….Wakana-san, dia hebat sekali, ya.”
Ichigo melihat Wakana pergi dan
kembali ke ruang tamu.
Di sana, Luna yang masih duduk
di kursinya, berbisik kepadanya.
“Dia begitu dewasa untuk tetap
memikirkanku …. bahkan dalam keadaan seperti ini.”
“Luna-san ….”
Ekspresi Luna memang sedikit
ceria. Namun, tidak ada sedikit pun perasaan gembira yang tampil di raut wajahnya.
Ekspresinya yang dingin terlihat seperti langit musim dingin——seakan-akan kalau
dia sudah kalah.
“Ichi…”
Akhirnya, Luna mulai membuka
mulutnya.
“Bisakah kita pergi berkencan?”
Saran Wakana yang sebelumnya.
Sebuah harapan yang didasarkan
pada hal itu.
“Ah, tentu saja.”
Tanpa merasa ragu, Ichigo pun
menyetujuinya.
“Ada tempat yang ingin aku
kunjungi. Terakhir kali, dalam perjalanan pulang dari rumah kakek dan nenek,
kita melihat pemandangan malam hari dari observatorium di rest-area, ‘kan? Di
sana, ada taman hiburan dengan bianglala. Aku ingin pergi ke sana.”
“Ah, taman bermain itu ya….”
Tempatnya mungkin cukup jauh,
tapi tidak ada kemungkinan untuk berpapasan dengan orang yang mereka kenal.
Ichigo yakin kalau di sana akan
baik-baik saja.
“Baiklah.” Ichigo setuju.
Dengan begitu, kencan bersama
Luna telah diputuskan.
Kebetulan, mereka akan pergi
pada hari Sabtu minggu depan. Memang jaraknya cukup jauh, tetapi ada baiknya
memiliki sedikit waktu luang.
“Kalau begitu, kita janjian di
hari itu”
“Ya, aku menantikannya.”
Luna pun menanggapinya dengan tersenyum.
Senyum tulusnya yang baru Ia
lihat setelah sekian lama. Namun, entah mengapa Ichigo merasa sedikit gelisah
dengan senyumannya itu.
※※※※※
Setelah itu, Luna pergi bekerja
di toko seperti biasanya dan melakukan pekerjaan dengan sikap yang sama seperti
biasanya.
Karena insiden tempo hari,
rekan-rekannya yang sesama pekerja paruh waktu lebih mengkhawatirkannya, tapi
dia tampaknya terlalu memedulikannya dan tetap bersikap normal.
“Kamu ini tahan banting juga ya,
Luna-chan.”
Ya, dia begitu tangguh sehingga
semua orang terkesan dengan ketangguhannya.
Ada beberapa tanda bahwa dia
telah mengurangi jumlah hari dan jam kerjanya, tapi Ichigo tidak terlalu
khawatir mengenai hal itu, mungkin saja itu terjadi karena ada kegiatan sekolah
dan semacamnya.
Kemudian, waktu seminggu
berlalu dalam sekejap mata...
Dan hari ini adalah hari di
mana mereka janjian untuk kencan.
“Kita sudah sampai.”
Tempo hari, dalam perjalanan
pulang dari rumah kakek dan nenek Luna, mereka berhenti di rest-area.
Mereka tiba di taman hiburan
dengan bianglala yang bisa mereka lihat dari dek observasi.
Mereka memarkir mobil di tempat
parkir yang luas, keluar dan segera melihat pintu masuk ke taman hiburan di
depan mereka.
“Uwahh, menakjubkan sekali!”
Luna yang turun dari kursi penumpang,
berteriak penuh semangat saat melihat pemandangan itu.
Hari ini Luna mengenakan
kardigan yang menutupi gaunnya dan baret cokelat di kepalanya.
Tentu saja, ini baru pertama
kalinya Ichigo melihatnya mengenakan pakaian kasualnya yang khusus musim gugur.
Penampilannya sangat cocok
untuk musim yang sejuk saat ini, tidak terlalu mencolok dan lebih damai.
“Ah, lihat deh, lihat, itu
bianglala!”
“Oh, jadi itulah yang kita
lihat hari itu.”
Saat mereka menuju pintu masuk
taman, mereka berdua bisa melihat sejumlah wahana yang besar.
Luna sangat senang ketika melihat
ke arah bianglala yang menonjol di antara wahana-wahana tersebut.
“Aku senang cuara hari ini
cerah ya, Ichi.”
Luna berkata begitu sambil tersenyum
padanya, yang dijawab Ichigo dengan bingung, “Be-Benar”.
Hari ini, Luna terlihat sangat
ceria dan bersemangat sejak pagi. Seolaholah semua kekhawatirannya dari beberapa
hari yang lalu telah sirna.
Dia mengatakan bahwa dirimya
sangat menantikan hal ini, tetapi sejujurnya, tingkahnya terasa tidak wajar.
“Nee, Ichi. Hari ini kita lagi kencan,
iya ‘kan?”
Lalu, mereka membeli tiket di
pintu masuk dan memasuki taman. Luna kemudian mendadak bertanya pada Ichigo.
“Eh, ah, um, iya.”
“Kalau begitu… yosh!”
Sesaat kemudian, Luna
melingkarkan tangannya di sekitar lengan Ichigo dan menariknya ke dekat tubuhnya.
“Tungg—…”
Mereka saling merangkulkan
tangan layaknya sepasang kekasih.
Bukannya ini akan menjadi hal
yang buruk jika sampai terekspos ke publik?
“Jangan khawatir. Ichi juga
masih terlihat muda, jadi mereka takkan menganggapnya aneh.”
Ujar Luna seolah-olah bisa
mengetahui kecemasan seperti itu dari wajah Ichigo.
“Lagipula, jika kita dipandang
sebagai orang tua dan anak, bukannya hal yang wajar kalau orangtua memanjakan
anaknya? Jadi, tidak masalah sama sekali.”
“Hmmm …. baiklah, aku
mengerti.”
Ichigo secara wajar menerima
perkataan seperti itu dari Luna.
Rasanya
sungguh aneh.
Di masa lalu, Ichigo akan
terpaksa menarik diri, karena pertimbangannya atau akal sehatnya yang akan
menyadarkannya, tapi sekarang Ichigo justru ingin memenuhi keinginannya sebisa
mungkin.
Ichigo ingin membiarkannya
melakukan apa yang ingin Luna lakukan.
Apa itu karena efek melihatnya
begitu tidak stabil dan menyedihkan sampai hari ini?
Munculnya rasa perhatian karena
kasihan?
Tidak, bukan seperti itu.
Hal ini berbeda dengan jenis
toleransi orang dewasa ….. yang mendengarkan keegoisan anakanak.
Ya, ini mirip dengan perasaan
harihari yang dia habiskan bersama Sakura. Seolaholah, karena Ichigo jatuh
cinta padanya.
Seolaholah dia merasakan kebahagiaan
terbesar jika gadis itu menginginkannya ...
(……lah,
aku ini mikir apaan sih?)
Dia cuma sekedar …
….Dia cuma sekedar, “Putrinya Sakura”?
Lantas,
untuk apa aku datang ke sini hari ini?
Untuk
menemuinya, untuk menghabiskan waktu yang sama dengannya seperti yang kuhabiskan
bersama Wakana, kan?
Apakah
aku berpikir bahwa diriku memang tidak berniat memilih Luna sejak awal?
Apakah
aku melakukan hal yang begitu kejam kepadanya?
Tanpa diduga, Ichigo harus
menghadapi konflik batinnya sekali lagi di sana.
Apa
yang ingin ….. aku lakukan dengan Luna?
“Oh, lihat, lihat.”
Di sana, Luna menemukan sebuah
kios di taman dan menunjuk ke sana.
Kios itu adalah kios es krim.
“Ichi, mau makan es krim
enggak? Atau apakamu lebih memilih memakannya sehabis menaiki wahana?”
“Hmmm. …. Aku awalnya berniat
cuma melihat-lihat taman hiburan sambil melihat wahana apa saja yang ada di
sana, jadi mungkin makan es krim saat kita berada di sana akan menyenangkan.”
“Kalau gitu, aku akan
membelinya dulu ya.”
Setelah mendengar jawaban Ichigo,
Luna langsung menuju kios. Tindakannya begitu cepat.
“Oh, aku ikut pergi juga.”
Ichigo pun ikut mengejar Luna.
Dengan begitu, mereka membeli
es krim bersama. Lalu, Luna memilih es krim cokelat mint, sedangkan Ichigo
memilih rasa vanila.
“Apa …. ini kebetulan?”
Ini
sama seperti ketika kami pertama kali bertemu pikir Ichigo.
Ya, ketika Ichigo dan Luna baru
saja bertemu. Mereka pernah membeli es krim di sebuah toko es krim. Hari itu
juga merupakan kencan pertama di antara mereka bedua.
Atau lebih tepatnya, Luna
membuntuti Ichigo yang saat itu sedang bertugas sebagai pembanding toko
terhadap toko perusahaan lain karena alasan pekerjann, dan mengubah kegiatan
itu menjadi acara kencan mendadak.
Luna membelikannya cokelat mint
dan Ichigo membelikannya es krim vanila.
“Kombinasi yang sama seperti
hari itu.”
Ichigo secara alami bergumam
pada dirinya sendiri.
“Ya, benar sekali.”
Luna juga membalas katakata
itu.
“Kamu memang sangat menyukai rasa cokelat mint
ya, Luna-san.”
“… iya.”
Entah kenapa, pada saat itu
Luna terlihat sedikit sedih meski hanya sesaat.
※※※※※
Setelah itu...
Usai berjalanjalan di sekitar
taman sambil menikmati rasa es krim, mereka memutuskan untuk menaiki wahana
yang membuat mereka tertarik.
Luna tampaknya menyukai wahana
yang memacu adrenalin seperti roller
coaster dan seluncuran air.
Keduanya juga dapat menikmati
banyak kesenangan dan kegembiraan.
“Ah, tadi itu seru sekali ya.”
“Benarkah? Padahal, kamu gemetar
dan berteriak terus-menerus.”
Ketika Ichigo mengatakan hal
tersebut kepadanya, Luna membalas dengan ekspresi kesal, “Ketakutan semacam itulah
yang membuatnya jadi seru.”
Ekspresi Luna yang seperti itu
tampak benarbenar manis.
Pada momen saat inilah nilai
moral dan etika yang telah ditetapkan dalam pikirannya itu disingkirkan, Ichigo
juga bisa ikut bersenang-senang.
Dirinya seolah terpengaruhi
oleh energi Luna yang polos, ceria dan energik. Seakan-akan Ia kembali ke
usianya yang remaja dulu.
...... Tidak, mungkin itu
kurang tepat.
Seperti dia sekarang, Ichigo
bisa berbagi perasaan dan kesenangan yang sama dengannya.
Kelihatannya memang menggelikan
untuk mengatakan kalau seorang pria dewasa memiliki usia mental yang sama
dengan seorang gadis SMA, tetapi meskipun begitu, inilah kenyataannya,
kenyataan yang menyenangkan.
“Oh iya.”
Luna berbicara dengan Ichigo
sambil memakan crepe yang dibelinya di sepanjang jalan.
Topik yang sedang mereka
bicarakan ialah kediaman kakek dan neneknyanya.
“Kakek dan nenek mengirimiku
email beberapa hari yang lalu.”
“Hee, dari kakek …. Maksudmu
dari Ojii-san?”
“Ya! Enggak nyangka banget
‘kan.”
Kakek Luna ….. dengan kata lain, ayahnya Sakura.
Beliau merupakan seseorang yang
Ichigo kenal sejak masih kecil.
(...... orang itu, mengirimkan email kepada
cucunya?)
Kedengarannya emang agak lucu.
“Pabrik kakek sedang membuat
produk baru, dan kakek bilang kalau Ia menginginkan Ichi buat mencobanya.”
“Hee….”
Percakapan mereka berakhir sampai
di sana.
(…. hmm?)
Ichigo tibatiba merasakan
suatu kegelisahan yang tak bisa diungkapkan.
Apa
itu tadi?
Ada sesuatu yang terasa aneh
dalam percakapan barusan.
Tapi Ia tidak bisa menemukan di
mana letak kejanggalan dari percakapan tadi.
Mengapa
aku merasa aneh?
Ichigo memiringkan kepalanya,
tidak yakin dengan perasaan bimbang yang tibatiba dirasakannya.
“Oh, Ichi, lihat!”
Luna kemudian menunjuk ke
depan.
Dia menunjuk pada bangunan putih
yang besar dan megah. Dengan tanda salib dan lonceng di atapnya, yang mana itu
menandakan sebuah gereja.
“Ternyata di dalam taman
hiburan ada gereja juga ya”
“Ahh, benar juga. Kok bisa ya?”
Apa
bangunan itu juga termasuk wahana taman hiburan?
Ketika mereka mencoba masuk ke
dalam gereja, mereka melihat di dalamnya terdapat struktur yang sangat otentik.
Tempat ini memiliki suasana aula pernikahan daripada wahana taman hiburan.
“Apa tempat ini …. gereja sungguhan?”
“Oh, maaf.”
Ichigo kemudian memanggil
seorang petugas wanita di dekatnya. Menurut penuturan petugas tersebut, pihak
taman hiburan menawarkan layanan di mana mereka menyewakan taman hiburan untuk
mengadakan pernikahan, dan gereja ini dijadikan tempat dilaksakannya upacara
pernikahan.
Dengan kata lain, ini biasa
disebut sebagai pernikahan di taman hiburan.
“Heee, itu hebat!”
“Begitu ya …. Aku memang pernah mendengar ada upacara
pernikahan yang semacam itu.”
Saat mendengar penjelasan itu,
Ichigo dan Luna tercengang.
“Apa Anda berdua ingin mencoba upacara
pernikahan di sini?”
Lalu, petugas wanita itu dengan
santainya mengucapkan kalimat seperti itu.
“Eh?!”
Tanpa sengaja, Ichigo
meninggikan suaranya.
“Anda berdua terlihat seperti
pasangan yang serasi.”
“Be-Benarkah?”
Tampaknya Ichigo dan Luna dipandang
sebagai sepasang kekasih.
Ichigo mencoba untuk
mempertahankan ketenangannya, sementara di dalam hatinya Ia merasa panik.
Sedangkan di sisi lain, sambil tetap menundukkan wajahnya, Luna bergumam dengan
berbisik, “Itu sama sekali tidak benar…”
“Oh benar. Jika Anda berkenan
meluangkan waktu Anda beberapa menit, Anda bisa mencoba gaun pengantinnya, bagaimana
menurut anda?”
Petugas wanita itu kemudian
menyarankan kepada Luna.
“Apa? Mencoba gaun?”
“Selain gaun pengantin
sungguhan, pihak kami juga menyewakan gaun yang bisa Anda coba dan dibawa
berkeliling di sekitar taman, tapi karena ini adalah kesempatan yang bagus,
mengapa Anda tidak mencoba gaun pengantin sungguhan?”
“Ah… itu sih, um, aku…..”
Luna kebingungan, tetapi
anggota staf wanita ini menjawab, “Ini kesempatan yang bagus, loh! Kami akan
melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan Anda dalam waktu sesingkat mungkin!”
Dia sangat memaksa.
Atau mungkin dia menyukai Luna
pada pandangan pertama dan ingin mendandaninya dengan gaun pengantin.
Pokoknya, dia begitu memaksa sehingga
Luna dibawa dengan paksa ke dalam bagian belakang gereja, dengan kata lain ke
ruang ganti.
Ichigo dibawa ke ruang tunggu
lain, di mana Ia harus menunggu.
Setelah menunggu sejenak…..
“Ta~da! Bagaimana menurut anda,
Kareshi-san?”
Di ruang tunggu di mana Ichigo
sedang menunggu, petugas wanita yang sebelumnya kembali, menyeka keringat dari
dahinya.
Ekspresi wajahnya sangat
menunjukkan kesan 'Aku sudah melakukan
tugasku dengan baik'.
Di balik punggungnya, Luna
sedang berdiri sembari mengenakan gaun pengantinnya.
“……”
“MMaaf ya, aku sudah membuatmu
menunggu. Apalagi, gaun ini sama sekali tidak cocok buatku ‘kan….”
Luna mengatakannya dengan nada
meminta maaf, tapi kesan Ichigo justru sebaliknya.
Gaun pengantin slim-fit yang bagian roknya panjang
disertai dengan hiasan bordir.
Kemudian, ada sarung lengan
sutra yang menutupi lengannya sementara ada hiasan kepala menutupi rambut
hitamnya yang diikat. Dibalut dalam gaun berwarna putih bersih, dia terlihat secantik
bidadari, meninggalkan kesan kepolosan dan keindahan, dan bahkan terlihat
seperti dewi saat disinari oleh cahaya yang berkilauan.
Ichigo benarbenar dibuat
terpesona saat melihat penampilannya.
Apakah karena Luna mengingatkannya
pada gaun pengantin Sakura?
Tidak, itu salah.
Ichigo mengerti sekarang.
Pada akhirnya, Ia menyadari.
Dirinya kembali mencoba menggunakan
Sakura sebagai alasan.
Dirinya tertarik pada Luna
karena bisa melihat jejak wajah Sakura dalam dirinya.
Dengan mengatakan hal seperti
itu sama saja dengan mencoba membohongi lagi perasaannya yang sebenarnya.
Pada saat ini juga Ia bisa
memahami.
Dia bahkan dapat meyakinkan
dirinya sendiri bahwa yang dilihatnya sekarang ini, tidaklah benar.
Seolaholah Luna, gadis yang periang,
ekspresif secara emosional, berjiwa muda
sekaligus mempesona itu, telah berubah menjadi sesosok makhluk yang suci.
Jantungnya ikut berdegup
kencang saat memikirkannya.
“U-Umm….Ak-Aku sudah bilang
kalau gaun yang terlihat seksi dan berlekuk seperti ini tidak cocok untukku. Ah
tapi, bukan karena gaunnya jelek, maksudku bahwa aku tidaklah cukup bagus untuk
mengenakan itu. “
Dia pasti merasa tidak nyaman
di hadapan Ichigo, yang terus menatapnya dalam diam.
Luna membuat alasan seperti
itu, sambil berhatihati memperhatikan petugas wanita itu. Dia pasti
benarbenar malu— karena dia mengucapkan berbagai kata untuk menutupinya.
“Itu sama sekali tidak benar.”
Demi Luna yang mengenakan gaun
itu.
“Gaun itu terlihat sangat cocok
untukmu.”
Dengan perasaan serius dan
tulus, Ichigo menatap matanya dan berkata.
“Kamu terlihat sangat cantik.”
“……..”
Ichigo pun tersenyum saat
mengucapkan kata-kata pujian itu.
USai mendengar hal itu, bibir
Luna diamdiam mengencang dan bahunya bergetar pelan.
“Te-Terima kasih. Kalau gitu,
karena aku masih ingin pergi ke wahana lainnya, jadi aku akan segera berganti
pakaian.”
“Eh…..?”
Setelah mengatakan itu, Luna
dengan cepat meninggalkan ruangan.
“Ara ….. apa dia tidak terlalu
menyukainya, ya? Padahal saya berharap bisa mengambil foto anda berdua.”
“……..”
Ichigo hanya bisa menatap pintu
yang dilewati Luna, bersama dengan petugas wanita yang mulai mempersiapkan
kamera.
Sementara itu, Luna kembali ke
kamar ganti yang kosong dan menyandarkan punggungnya di pintu yang tertutup.
Kemudian, suara isak tangis
kecil keluar dari bibirnya ...
[Kamu
terlihat sangat cantik.]
Senyuman Ichigo dan
kata-katanya yang tulus. Sambil mengingat kembali hal itu...
“…. Uuu.”
Luna diam-diam menumpahkan air
matanya sendirian.
※※※※※
Setelah meninggalkan gereja,
mereka melanjutkan perjalanan mengunjungi berbagai wahana di taman hiburan.
Setelah beberapa saat...
“Ahh, lihat itu deh, Ichi.”
Mereka berdua akhirnya tiba di
depan wahana bianglala.
Mereka datang ke bianglala
raksasa, wahana yang menjadi tujuan mereka datang ke taman bermain ini.
“Kurasa sudah waktunya, ‘kan?”
“Ya.”
Masih ada waktu yang tersisa
sebelum waktunya tutup, tetapi akan sudah larut jika mereka mau pulang setelah
menaiki ini.
Hari sudah menjelang malam,
matahari pun mulai terbenam dan suasana di sekitar sudah agak gelap.
Sudah hampir waktunya untuk
pulang, sebagaimana yang telah mereka rencanakan.
“Kalau gitu, ayo naik bianglala
ini sebagai penutupnya.”
Atas saran Luna, Ichigo
memutuskan untuk naik bianglala bersamanya.
Petugas memandu mereka ke arah
gondola yang turun agar mereka bisa menaikinya. Gondola yang membawa mereka
berdua bergerak meninggalkan permukaan tanah dan berangsur-angsur naik ke atas.
Mereka mendekati puncak.
Dari sana, pemandangan di atas
permukaan menjadi panorama.
“Wahh ….. ini mirip seperti
pemandangan malam yang pernah aku lihat sebelumnya”
Pemandangan dari observatorium
di service area malam itu bahkan lebih tampak jelas sekarang.
“Lihat deh, di sebelah sana,
Ichi. Bukannya observatorium dari rest-area?”
Luna menunjuk ke arah
pegunungan di luar jendela dan menjadi sangat gembir. Luna meminta Ichigo untuk
melihatnya lebih dekat, sehingga apa yang dilihatnya memanglah seperti
observatorium yang dikelilingi oleh fasilitas dan pagar di tengah gunung.
“Entah kenapa, rasanya jadi
misterius, ya? Beberapa hari yang lalu kita ada di sana, berarti kita berada
dalam pemandangan yang kita lihat pada waktu itu.”
“Memang, jika kamu bilang
begitu.”
Lampu penerangan yang mereka
lihat malam itu, sekarang bisa dilihat lebih jelas oleh mereka.
“…..Indahnya...”
Luna terpaku melihat
pemandangan itu sambil berpegangan pada jendela.
“Kamu tidak takut dengan
ketinggian, ya?”
Ichigo berkata dengan senyum
masam, mengingat bagaimana dia terus berteriak di wahana roller coaster tadi.
“ berarti aku takut terhadap
ketinggian,” dijawab oleh Luna dengan pipinya yang menggembung.
"Selain itu, alasan aku
menyukai wahana yang membuat berteriak itu karena aku dapat memeluk Ichi seerat
mungkin tanpa takut dilihat oleh siapapun.”
Ichigo tersipu ketika Luna
mengatakan itu.
“B-Begitu ya. ….” katanya
seolah-olah untuk menutupinya.
“Ah, Ichi.”
Ichigo mendongak ketika dipanggil
oleh Luna yang sedang melihat ke luar jendela.
“Kita sebentar lagi mau turun,
loh.”
“Eh?”
Gondola yang sedang turun tiba
di tanah tempat mereka berada.
Jendela terbuka dan mereka pun
dituntun untuk turun oleh seorang petugas.
“Ahh~ tadi itu sangat
menyenangkan.”
Luna menoleh ke arah Ichigo
saat meregangkan badan.
“Ayo kita pulang sekarang,
Ichi.”
“........”
Usai mengatakan hal ini, Luna
menuju pintu masuk taman hiburan.
Ichigo menatap punggungnya
dengan raut wajah yang sulit dijelaskan.
“…Ah.”
Kemudian Ichigo akhirnya menyadari.
Identitas sebenarnya dari perasaan yang membuatnya tidak nyaman sebelumnya.
Ketika rumah orang tua Luna
disebutkan sebelumnya, dan percakapan di bianglala tadi. Ichigo merasakan
sensasi tidak nyaman. Luna juga tidak mengatakan, “Mari kita pergi ke sini
lagi.”
Wlaupun sudah berbagi waktu
yang menyenangkan bersama, Luna tidak pernah memintanya untuk pergi keluar
bersamanya lagi.
Ayo pergi ke rumah orang tuaku,
atau ayo ke taman hiburan lagi.
Biasanya, Luna akan berkata
demikian, tapi Itulah sifat asli dari
rasa ketidaknyamannya itu.
“.........”
Tidak, lantas kenapa jika
memang begitu, hanya itulah yang terpikirkan oleh Ichigo.......
Itu adalah sesuatu yang
mengganggu Ichigo sampai ke tingkat yang sangat tidak biasa.
※※※※※
Setelah menghabiskan waktu yang
menyenangkan bersama seperti itu, Ichigo dan Luna masuk ke dalam mobil dan
kembali ke tempat mereka tinggal.
Sebentar lagi, mereka akan
segera tiba di rumah Luna.
(….Kalau
dipikir-pikir, ketika aku berkencan dengan Wakana-san sebelumnya, aku
mengatakan padanya bagaimana perasaanku pada akhirnya, kan?)
Saat mengemudi, Ichigo memikirkan
tentang apa yang harus Ia katakan kepada Luna ketika berpisah nantinya......
─ ─ Kalau dipikir-pikir, Ichigo
penasaran, sebenarnya seberapa jauhnya dia dalam berpikir.
Mereka pun hampir sampai di
apartemen Luna.
Saat Ia melihat pemandangan yang
familiar di depan stasiun....
“Cukup sampai di sini saja.”
Itulah yang dikatakan Luna.
“Hah?”
Ichigo memarkirkan mobilnya ke
pinggir jalan dan berhenti.
“Bukannya masih cukup jauh
untuk sampai ke rumah Luna-san… apa kamu ada sesuatu yang ingin dilakukan?”
“Nee, Ichi.”
Luna keluar dari mobil dan
berjalan ke sisi pengemudi.
Ichigo menurunkan jendela untuk
melihat apa yang sedang terjadi, dan dia berkata.
“Apa kita bisa berjalan kaki
sebentar ?”
“….. berjalan kaki?”
Sebelum bisa bertanya lebih
lanjut, Luna sudah mulai berjalan menuju stasiun.
Ichigo mengarahkan mobilnya ke
tempat parkir di sisi jalan, keluar dari belakang setir dan berjalan
mengikutinya.
Ichigo dan Luna berjalan
bersama di sepanjang jalan setapak di depan stasiun.
Jalanan berbatu.
Cuma ada sedikit orang yang
berlalu-lalang.
Ada bangunan minimarket bisa dilihat
di dekatnya.
(…
benar juga)
Ini adalah jalan di mana Ichigo
dan Luna pertama kali bertemu.
“Di sinilah aku bertemu Ichi
untuk pertama kalinya."
Luna berhenti beberapa meter
jauhnya dan Ichigo mendengarnya mengatakan itu.
….
Perasaan apa ini.
Ichigo punya firasat buruk
tentang hal ini.
“Luna-san?”
“Maafkan aku, Ichi. Tolong
berhenti di situ.”
Tepat ketika Ichigo ingin
mendekatinya, Luna langsung menghentikannya. Kaki Ichigo menegang saat menebak
dengan jelas tindakan Luna.
Luna melihat kembali ke arah
Ichigo saat berhenti.
“Terima kasih banyak karena
sudah mau mendengarkan keegoisanku hingga akhir….. dan memberikanku kenangan yang indah ini.”
“Apa?”
“Ayo akhiri ini.”
Sambil tersenyum, Luna terus
berkata.
“Mulai detik ini, mari jangan
bertemu lagi.”
….. Pada awalnya Ichigo tidak
mengerti apa yang dikatakan.
Katakata pertama yang keluar
dari mulut Luna. Kalimnat penolakan pertama terhadap Ichigo.
Ichigo tidak bisa berbuat
apaapa selain tercengang saat mendengarnya.
“Lu…..”
“Aku yakin jika lebih baik
seperti ini.”
Luna melanjutkan ucapannya
kepada Ichigo yang tetap terdiam.
“Aku tidak bisa mengganggumu
lagi, aku tidak bisa menghalangi kehidupan Ichi sekarang,….. maaf, aku
membutuhkan waktu lama untuk membuat keputusan.”
“…. Hal semacam itu.”
Sedikit demi sedikit, Ichigo mulai
mencerna katakata Luna. Dia sudah mengatakannya.
Dia memutuskan untuk menarik
diri dari kehidupannya.
Dia takkan memiliki hubungan
yang sama seperti sebelumnya dan juga tidak lagi menginginkan sesuatu yang
lebih.
Dan kemudian, dia juga akan menghilang
dari kehidupan Ichigo.
“Aku rasa ini adalah kesempatan
yang pas buat Ichi untuk mengucapkan selamat tinggal pada masa lalu.”
“Itu…. terlalu mendadak.”
Bingung, Ichigo berusaha mencari kata-katanya. Ketika mendengar itu, Luna menggigit bibirnya.
“Ini mungkin ...... terlalu
mendadak, tapi aku sudah ….. memikirkannya dengan serius untuk waktu yang
sangat lama.”
Ichigo tak bisa berkata apa-apa
saat melihat ekspresi serius di wajah Luna
“Aku menghalangi kebahagiaan
Ichi. Aku mengikatmu dengan kenangan yang tidak bisa kamu lupakan. Jika aku
yang menjadi penyebab Ichi tidak bisa mengikhlaskan masa lalu, maka aku yakin kalau
inilah pilihan yang terbaik…” Tiba-tiba, ekspresi Luna menjadi tenang.
“Ichi akan lebih bahagia jika
menikah dengan Wakana-san.”
Matanya yang sembab memantulkan
cahaya lampu jalan.
“Dan kemudian, seluruh dunia
akan menerimanya.”
“.........”
“Aku yang masih di bawah umur, tidak
seharusnya bersama Ichi. Ada begitu banyak rintangan yang menghadang. Aku cuma
akan mengandalkan dirimu. Aku akan ketergantungan, terobsesi, dan cuma
merepotkanmu. Apalagi, aku merasa kesulitan …. untuk kembali menjadi kenalan
biasa, karena kita tidak bisa menjadi sepasang kekasih.”
“….Luna-san.”
“Jika itu memang yang terjadi,
aku yakin aku akan mulai mengejar sosok Ichi lagi, kehilangan kendali
pikiranku, lalu menyebabkan masalah lagi. Oleh karena itu, aku pikir lebih baik
kalau kita mengakhiri hubungan kita saat ini.”
“Apa kamu… akan benar-benar
puas dengan itu?”
Ichigo lalu bertanya. Sebuah
pertanyaan yang akan menghancurkan tekadnya dan segala sesuatu yang lain.
“Aku sendiri….. tidak tahu.”
Luna lalu menjawabnya dengan
jujur. Butiran air mata tidak berhenti mengalir
di wajahnya.
Dia terus tersenyum, mencoba
yang terbaik untuk menjaga senyum di wajahnya.
“Karena aku tidak bisa
memikirkan jalan keluar yang lain.”
“……”
Setelah mendengar katakata itu
dan perasaan Luna yang sebenarnya, Ichigo tidak bisa berkata apaapa lagi.
“ Ada satu permintaan terakhir.
Aku akan berusaha melupakan Ichi, jadi Ichi juga harus melupakanku.”
Akhirnya, hingga titik ini,
Ichigo akhirnya tahu.
Bahwa dia telah didorong sampai
ke titik ini.
“Luna….san.”
Ichigo mencoba menghentikannya.
Tapi Luna sudah berbalik dan pergi meninggalkan dirinya.
Berpaling dari orang yang
dicintainya.
Cinta pertamanya, patah hati
pertama.
Perasaan cinta yang dia miliki
untuk orang yang dicintainya tidak memiliki tempat untuk dituju, jadi dia
memutuskan untuk mengakhirinya sendiri.
Cintanya berakhir dengan begitu
kejam.
※※※※※
Keesokan harinya, Luna tidak
lagi masuk kerja. Dia juga berhenti dari pekerjaan paruh waktunya.
Berbagai prosedur, seperti
pengembalian seragamnya, juga diselesaikan secara mengejutkan dengan cepat
melalui pos, tanpa pernah muncul di toko.
Mungkin dia sudah memutuskan
untuk melakukan ini pada hari ketika Wakana dan Ichigo berbicara di
kediamannya, dan melakukan persiapan.
Dia bersiap untuk menghilang
dari kehidupan Ichigo.
“Kenapa kamu berhentiii,
Luna-chaaan!”
Di dalam ruangan istirahat.
Aoyama yang terkejut dengan
pengunduran dirinya, membuat suara keras.
“Berisik lu, Aoyama!”
“Eh, kamu masih belum menyerah
juga?”
Trio gadis kampus Ishidate,
Sasaki dan Horinouchi melihat Aoyama dalam keadaan putus asa dengan ekspresi
tercengang di wajah mereka.
Meski bilang begitu, mereka
juga terlihat agak lesu.
“Tapi, kenapa dia mendadak
berhenti begitu, Luna-chan.”
Ujar Horinouchi, tampak sedih.
Mereka bertiga juga ikut terkejut.
“Yah, tampaknya alasan utamanya
karena dia ingin berkonsentrasi pada belajarnya, tapi tampaknya masalah
penguntit tempo hari yang jadi pemicunya.”
Kemudian, sambil mengerutkan
keningnya, Sagisaka menjelaskan.
“Sebenarnya, selain kasus penguntit,
setelah program TV itu ditayangkan, ada beberapa panggilan yang menanyakan informasi
Lunachan dan jadwal dia bekerja. Tentu saja, orang yang menangani panggilan
tersebut menolak untuk memberitahu, tetapi tampaknya panggilan semacam itu akhirnya
sampai ke kantor pusat….”
“Aku tidak menyangka kalau itu
akan menjadi masalah besar…..”
“Oleh karena itu, setelah
memikirkannya matang-matang, dia mengatakan jika hal itu terus berlanjut lebih
jauh, itu mungkin akan menyebabkan masalah bagi toko, maka dia lebih memutuskan
keluar dari pekerjaan paruh waktu ….. dan inilah yang terjadi.”
“Ini dunia yang kejam, ya?”
Mendengar cerita Sagisaka,
Sonozaki juga menghela napas.
“…..”
Ichigo juga hadir dan mendengarkan
percakapan mereka.
Memang benar bahwa selain kasus
penguntit, ada juga beberapa telepon dari orangorang yang ingin bertemu Luna
atau yang mencoba menghubunginya.
Namun, jumlahnya tidak terlalu
banyak, dan tidak ada satupun dari mereka yang terlalu ngotot atau ekstrim
seperti penguntit itu.
Ia belum menerima laporan apa
pun mengenai hal semacam itu secara langsung dari kantor pusat.
Mungkin Luna mengarang ini
sebagai alasan kuat untuk meyakinkan semua orang untuk berhenti dan tidak
kembali lagi.
Ichigo juga terlibat dalam
pengunduran diri Luna ...
Dia sudah menyiapkan segalanya
supaya tidak ada spekulasi semacam itu….meski secara tidak sengaja.
Ichigo yang mengetahui kebenarannya,
terlihat merenungi banyak dan mengepalkan tangannya.
“….Pak manager.”
Kemudian Wakana menatap Ichigo
dengan prihatin.
※※※※※
“Pak manajer, bolehkah aku
minta waktumu sebentar?”
Di halaman belakang.
Setelah itu, ketika Ichigo
hendak meninggalkan pertemuan itu, Wakana mendekatinya secara diam-diam.
“Ada sesuatu yang ingin
kubicarakan…..”
“….Ah, ya.”
Ichigo dan Wakana menuju ruang
pertolongan pertama. Ruangan tertutup.
Di sini, mereka tidak perlu
mencemaskan siapapun yang menguping pembicaraan. Mereka sering menggunakan
ruangan ini untuk diskusi rahasia tentang pekerjaan, jadi mereka yakin para
staf toko tidak akan curiga.
“…. Sebenarnya, sebelum
Hoshigamisan berhenti, aku sempat mengobrol dengannya di toko, hanya kami
berdua.”
“Eh….?”
Pengakuan Wakana membuat Ichigo
terkejut.
“Dia mengatakan kalau dirinya
akan pergi dan takkan muncul di hadapan pak manajer lagi, jadi tolong jangan
beritahu siapa pun tentang hubungan yang dia miliki dengan pak manajer. Dia
tidak ingin jika pak manajer akan dikecam….”
“.........”
Dalam kasus insiden penguntitan
tempo hari dan dalam percakapan dengan Wakana, Luna juga sudah sepenuhnya
menyadari hal ini.
Masalah akan timbul jika dia
dan Ichigo kepergok sedang berduaan.
Hingga sekarang, dia seperti
berada dalam dunia mimpi, tapi begitu dihadapkan pada kenyataan pahit, hal
tersebut mungkin membuat hatinya hancur.
“Selain itu, jumlah pengunjung
toko telah meningkat belakangan ini berkat siaran TV tersebut, jumlah panggilan
dan orangorang yang ingin menggunakan kelas kerajinan tangan sekaligus kursus
juga telah meningkat. Kupikir Hoshigami-san mungkin takut kalau dirinya akan
menarik perhatian dan hubungannya dengan pak manajer bisa terbongkar oleh pihak
yang berusaha mencari tahu dirinya….”
“.........”
Ichigo dibuat terkejut saat mendengar
cerita Wakana,.
Kenyataan bahwa Luna dipojokkan
seperti itu tanpa sepengetahuannya. Di tambah lagi, dia rela mengundurkan diri
demi Ichigo.
※※※※※
“.........”
Pada malam itu, Ichigo pulang
ke rumah dan berbaring di sofa ruang tamu sambil tetap mengenakan kemeja
kerjanya.
Ia tidak bisa menjernihkan
kepalanya.
Dirinyaa juga tidak bisa
menenangkan perasaannya.
Sejak Luna mengucapkan selamat
tinggal, pikirannya sudah menjadi seperti itu.
Ichigo menatap langit-langit
dalam keadaan melamun.
“…. Sakura”
Lalu tibatiba, Ichigo berpikir
kalau belakangan ini dirinya sudah berhenti mengingat kenangannya bersama Sakura.
Kenangan terakhir yang masih
diingat ialah saat di awal musim gugur ketika mengobrol dengannya mengenai
masuk SMA.
Alasan mengenai hal itu sudah
jelas.
Karena Ichigo …. tidak lagi
memiliki banyak kenangan setelah itu.
Jika dipikir-pikir kembali,
pada sekitar waktu itulal, kesempatannya untuk melihat Sakura telah berkurang
karena dia berusaha keras belajar demi ujian masuk SMA.
Mereka tidak sering pergi ke
sekolah bersama, karena memiliki ada pelajaran tambahan di pagi hari.
Kadangkadang ketika Ichigo
menjumpainya, Sakura masih tetap memperlakukannya secara normal.
Mungkin pada saat itu, keluarga
Sakura sudah mengalami kebangkrutan dalam bisnis dan Sakura telah diputuskan
untuk menikah dengan presiden perusahaan besar.
Mungkin rasanya terlalu menyakitkan
untuk bertemu dengan Ichigo.
….. Meski begitu,
Sakura tetap mengikuti ujian
masuk SMA atas pilihan Ichigp.
Dia mengikuti ujian masuk ke
SMA yang ingin dia tuju bersama Ichigo dan pada akhirnya diterima.
Karena itu adalah...
“…karena dia mungkin mencoba
menepati janjinya padaku. Dia bilang kalau dia ingin memasuki SMA yang sama denganku
…..”
Ichigo bergumam, terdiam, dan
tersenyum pahit.
Baik Sakura maupun Luna...
Mereka diamdiam bertindak demi
Ichigo supaya dirinya tidak menderita…
“.........”
Karena tidak ingin memikirkan
hal lain, Ichigo pelan-pelan menutup kelopak matanya.
※※※※※
“Ichi”
Ichigo mendengar kalau namanya
dipanggil.
“… Hah?”
Ichigo melihat kalau Luna
berada tepat di depannya.
...... Tidak, Itu salah.
Dia adalah Sakura.
Sosok yang terlihat seumuran
dengan Luna, tapi dia mengenakan seragam pelaut yang sama dengan apa yang ada
di dalam ingatannya.
Sakura yang di masa itu
mengenakan seragam SMP, berdiri tepat di hadapan Ichigo.
“…Sakura.”
Ichigo menyadarinya tanpa
merasa panik.
Ini adalah mimpi.
Begitu sampai di rumah, Ichigo
tertidur di sofa tanpa makan malam karena kelelahan mental dan fisik yang Ia
alami.
“…..Begitu ya.”
Dan pada saat yang sama, Ichigo
bisa merasakannya.
Sakura yang ada di hapadannya
hanyalah ilusi yang diciptakan oleh pikiran Ichigo.
Semua perkataan dan tindakan
Sakura saat ini hanyalah proyeksi dari imajinasinya.
Meski demikian, fakta bahwa
Ichigo sampai mengalami mimpi semacam ini, menandakan kalau dirinya begitu
tertekan sampai-sampai membuatnya ingin bertemu dengannya, seseorang yang
begitu Ia rindukan dalam ingatannya.
Ini adalah mimpi yang buruk.
Tapi…..
“Sakura…. apa yang harus kulakukan?”
Ichigo bertanya pada Sakura,
“Aku …. menempatkan bayanganmu
pada putrimu, Luna-san. Aku merasa begitu nyaman seolah-olah bisa kembali bersamamu
seperti dulu. Aku sendiri sadar jika hal seperti itu bukanlah sesuatu yang
pantas dilakukan.”
Seakan-akan mengakui
kesalahannya dan mengungkapkan seluruh penyesalannya, Ichigo mengutarakan perasaan
terdalamnya kepada Sakura.
“Ada seseorang yang menyukaiku
saat ini. Seandainya aku memilih orang itu, aku merasa kalau bisa membayangkan
masa depan yang bahagia …. Tidak, jika aku menikahi orang itu, aku yakin, orang
seperti dialah yang ingin aku bahagiakan.”
Namun, Ichigo tidak bisa
melanjutkan hubungannya dengan Luna seperti yang dirinya miliki sekarang.......
...... Tidak, mungkin itu
merupakan akhir dari hubungan mereka.
Ketimbang dirinya yang dipenuhi
kebimbangan, justru Luna yang menguatkan tekad dan mengambil suatu keputusan.
“… tapi di suatu tempat di
dalam lubuk hatiku, ada juga bagian dari diriku yang ingin mempertahankannya.”
Rasanya begitu menyedihkan bagi
Ichigo melihat dia menghilang dari pandangannya.
Meski Luna telah membulatkan
tekad, Ichigo masih merasa khawatir akan kondisi batinnya karena dia terpaksa
membuat pilihan yang begitu sulit.
Namun, mereka takkan bisa
kembali ke hubungan mereka seperti semula.
“Aku sendiri tidak tahu apa aku
dapat melanjutkan hubungan semacam itu, bila itu akan berjalan tanpa masalah,
mungkin aku memang seharusnya tidak bertemu dengannya lagi …..Aku tidak tahu
apa keputusanku sudah benar atau tindakan apa yang harus kulakukan, aku sudah
tidak tahu harus bagaimana lagi.”
Ichigo mencela dan mencemooh
dirinya sendiri.
“…. Aku kehilangan akal sehat,
etika, dan bahkan perasaanku sendiri. Aku memang orang dewasa yang tidak
berguna.”
“Ichi.”
Sakura lalu berkata kepada
Ichigo.
“Ichi, bukannya kamu sudah
punya jawabannya?”
Sakura menatap lurus ke arahnya
dan berkata begitu.
“…hah?”
...... Ah, memang.
Bagaimanapun juga, Sakura yang
berada di hadapannya ini merupakan cerminan dari isi hatinya sendiri.
Oleh karena itu, Ichigo telah
berhadapan pada kenyataan jika dirinya tertarik kepada Luna, menginginkannya,
dan memilih jawaban itu.
Ichigo menyadarinya.
Entah sejak kapan dirinya
berhenti melihat bayangan Sakura dalam diri Luna.
Suatu hari Luna pernah berkata,
“Aku tidak akan menggantikan ibuku, tapi
aku akan membuatmu mencintaiku apa adanya.”
Ya, begitulah yang telah
terjadi.
Luna merupakan orang yang
berbeda dengan Sakura.
Gadis itu, seseorang yang dalam
perjalanan tumbuh dewasa, dia mengalami banyak hal di dunia ini, menemukan jati
diri yang baru, merasa bahagia, dan tersenyum polos....
“Aku menyukai Luna-san.”
“Benar.”
Sakura mengangguk.
“Aku tahu bagaimana perasaan
kalian berdua. Tapi kalian berdua tidak menghadapinya dengan benar.”
Sakura mengucapkanya dengan
lembut seolah-olah sedang menegurnya.
“Menghadapi…”
“Pertama-tama, Luna tidak menghadapi
Ichi dengan benar.”
“…….”
“Gadis itu juga gagal
menyamakan kenyataan dengan perasaannya yang sebenarnya, dia terjebak di antara
keduanya, dan tidak tahu apa yang dia inginkan. Biarkan Luna memahami Ichi dengan
benar.”
Dan
kemudian — Sakura pun melanjutkan.
“Demi mewujudkan itu, Ichi
harus menghadapinya terlebih dahulu.”
“Menghadapi….. apa?”
“Menghadapi kenyataan. Kamu
harus menghadapi kenyataan dengan benar, jujur, dan penuh ketulusan, sekaligus
memberinya jawaban.”
“….Aku duluan yang..”
“Jangan khawatir.”
Sakura mengulurkan tangannya.
Ujung jarinya meraih tangan Ichigo
dan memeganginya eraterat.
“Ichi sudah bukan anak kecil
lagi. Berbeda dengan saat-saat di mana kamu tidak berdaya. Jangan malu-malu,
pikirkanlah dan berikan jawabanmu. Meski pada akhirnya kamu akan menyakiti
orang lain, atau justru menyakiti dirimu sendiri, maka tetaplah lakukan supaya
kamu tidak menyesalinya.”
Setelah itu, Sakura tersenyum.
“Luna masih anak-anak, jadi
pastikan dia menghadapi itu. Lalu tanyakan padanya apa yang ingin dia lakukan.”
“….Terima kasih banyak”
Suatu eksistensi dalam mimpi.
Sebuah delusi dari imajinasinya. Cerminan dari isi hatinya.
Akan tetapi, Sakura…..bagaimanapun
juga, dia memotivasi Ichigo dengan kuat agar bangkit.
Dia adalah eksistensi yang tak
tergantikan dan sangat berharga bagi Ichigo.
“Terima kasih banyak, Sakura.”
“Sama-sama.”
“...... Sakura…”
Ichigo kemudian hendak mengatakan
sesuatu padanya ...
Ia mulai mengatakan sesuatu,
tetapi segera terhendti.
Untuk pertama kalinya dalam
lima belas tahun, Ichigo memiliki begitu banyak hal yang ingin dikatakan. Dirinyaa
juga memiliki segudang perasaan yang ingin disampaikan padanya.
Namun, semuanya sudah tidak ada
gunanya lagi.
Karena ini semua hanyalah
mimpi, sebagai bentuk penegasan kembali perasaannya, dan karena Ichigo tahu
maka dia tidak boleh mengatakannya.
“Tidak, terima kasih.”
“Ya, aku juga.”
Sakura juga mengatakan,
“Aku merasakan hal yang sama
seperti apa yang kamu rasakan. Itulah sebabnya aku tidak akan mengatakan
apaapa lagi kepada Ichi.”
Sosok Sakura pun memudar, dia
akan menghilang.
Mimpi itu pun akan segera
berakhir.
Mungkinini mimpi yang terakhir kali terasa senyaman ini.
Seandainya itu benar, mungkin
Ichigo merasa ingin tinggal di dalam mimpi ini untuk lebih lama lagi, tapi ini
sudah lebih dari cukup.
Namun, untuk terakhir kalinya,
Ia mendengar satu kalimat dari Sakura,
“Semoga kamu bahagia, Ichi.”
※※※※※
Di atas sofa ruang tamu, Ichigo
pun terbangun.
“…..”
Air mata mengalir di pipinya.
Sepertinya Ia menangis saat
melihat sosok Sakura menghilang di dalam mimpinya.
Sambil menyeka air matanya,
Ichigo pun berdiri. Ia kemudian melihat kalender yang ada di dinding.
Ichigo memeriksa jadwal
kerjanya dan melihat kalau dirinya memiliki dua hari libur berturut-turut yang dimulai pada
hari ini.
“Baiklah….”
Ia sudah memutuskan apa yang
harus dilakukan. Pilihannya pun sudah Ia tentukan.
Sudah waktunya menghadapi
kenyataan.
Bersamaan dengan tekad yang baru,
Ichigo mengeluarkan smartphone-nya.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya