Chapter 6 — Itulah yang Namanya Cinta
Pada malam itu, Ichigo segera
membuat janji untuk bertemu dengan Wakana.
Ia merasa bimbang di mana
mereka harus bertemu, namun Ia memutuskan untuk bertemu di kedai Izakaya di kota.
Di dalam ruang pribadi yang
dipesan, Ichigo menunggu pasangan yang dijanjikan itu tiba.
Tak berselang lama kemudian...
“Maaf aku terlambat.”
Beberapa menit lebih lambat
dari waktu yang ditentukan, Wakana akhirnya tiba.
“Maafkan aku, aku tidak
bermaksud untuk meneleponmu yang sedang dalam perjalanan pulang kerja.”
“Tidak, aku tidak keberatan
sama sekali.”
Wakana mungkin menebak apa yang
akan mereka bicarakan. Meski baru selesai bekerja, tetapi dia tidak mengenakan
pakaian kerjanya.
Dia sudah berganti ke pakaiannya
yang kasual, rambut sekaligus pakaiannya pun tertata rapi. Dia pasti buru-buru
mempersiapkan diri untuk bertemu Ichigo.
Melihat suasana seperti itu,
Ichigo merasakan hatinya menjadi perih.
“.,,,Fyuuh”
Namun, dirinya harus
mengatakannya.
Ia harus memberitahu Wakana
mengenai jawabannya sendiri.
“Wakana-san ….. maafkan aku karena
harus mengatakan ini, padahal kita baru saja berjanji tempo hari kalau kita
akan pergi berkencan lagi ….. sekali lagi maaf, tapi aku sudah memutuskan
jawabanku.”
Kemudian, seraya membungkuk
dalam-dalam ke arah Wakana, Ichigo dengan jelas menyatakan niatnya.
“Aku sungguh minta maaf, tapi aku
tidak bisa membalas perasaanmu, Wakana-san.”
“……”
Ichigo kemudian mengangkat
wajahnya.
Ia menghadapi Wakana dengan
tegas.
Dari tempat duduk di
seberangnya— Ichigo bisa melihat ekspresinya yang berangsur-angsur memudar dari
wajah Wakana, padahal beberapa waktu yang lalu, dia tersenyum lebar.
Pandangan matanya menunduk ke
bawah dan bibirnya mengerucut seakan menahan sesuatu di dalam dirinya.
Ah,
aku telah melukai perasaannya.
Ichigo menyadari jika dirinya
sudah menghancurkan perasaan tulus dan indah dari orang luar biasa yang
menyukainya dan melihatnya sebagai orang yang istimewa.
Rasanya sungguh menyayat
hatinya.
Ia merasa ingin memutar kembali
waktu.
Mau tak mau Ichigo memikirkan
hal itu sekarang, tanpa rasa bersalah ataupun malu.
Namun, dirinya tidak boleh
melihat ke belakang dan berhenti melangkah maju.
Saat memilih seseorang, maka
pasti ada orang lain yang tidak dipilih.
Jika itu yang terjadi, kamu
akan menyakiti mereka atau kamu yang akan menyakiti dirimu sendiri.
Ichigo mengatakan hal tersebut
dengan jelas karena sudah siap menghadapi kenyataan yang seperti itu. Itulah
sebabnya, Wakana juga harus siap untuk itu.
“Sekarang, aku memiliki seseorang
yang sangat penting bagiku dan aku tidak tega meninggalkannya atau membiarkannya
sendirian. Oleh karena itu, aku tidak bisa menjadi kekasih Wakana-san.”
Ichigo mengatakannya dengan
jujur.
“Aku mengerti…”
Wakana tidak berkata apa-apa
lagi.
Dia tahu betul siapa yang
Ichigo maksud.
“Pak manajer… terima kasih
karena telah menganggap serius perasaanku, dan juga telah mengatakan sesuatu
yang sulit untuk disampaikan.”
Sebaliknya, Wakana membalas
perkataan Ichigo dengan ucapan terima kasih.
Wajahnya memancarkan ekspresi
yang menarik, tegas dan bahkan penuh hormat.
“Sejujurnya, entah bagaimana
aku tahu kalau inilah yang bakal terjadi.”
“Eh…..”
“Dia membutuhkan Pak manajer.
Beberapa hari yang lalu, ketika aku berbicara dengan Hoshigami-san ….aku
mempunyai firasat kalau Pak manajer juga membutuhkannya”
“Apa itu…. saat di mana
Luna-san mengundurkan diri dari pekerjaannya?”
“Ya, aku pernah mengatakan
bahwa dia datang untuk berbicara denganku dulu sebelum dia mengundurkan diri,
kan? Hoshigami-san datang menemuiku dan memohon-mohon untuk melindungi Pak
manajer. Dia bahkan sampai mencoba untuk bersujud di tempat. Gadis yang
berusia lima belas tahun sampai berbuat sejauh itu.”
“.........”
“‘Kumohon, aku takkan bertemu pak
manajer lagi di masa depan, dan aku ingin kamu melupakan hubunganku dengannya…’
dia bilang sampai segitunya. Dan pada saat itu juga aku berpikir kalau pak manajer
dan dia memiliki ikatan yang sangat kuat."
Ehehe, Wakana
tertawa.
Entah karena bersikap sok tegar
atau perhatian, tetapi Ichigo menyadari bahwa ketegarannya begitu mengagumkan.
Sungguh, sekali lagi, ….. Ichigo
merasa bangga bahwa ada orang yang begitu menarik menyukai dirinya, dan dirinya
tidak bisa berhenti dari merasa bersalah.
“Apa aku boleh memberitahu
sesuatu yang memalukan…?”
“Iya?”
“Sebenarnya, pak manajer adalah
cinta pertamaku.”
Wakana mengatakannya dengan
pipinya yang kembali memerah. Suaranya pun terdengar dengan cukup jelas.
“Umm, karena ini baru pertama
kalinya aku menyadari kalau aku menyukai seorang pria. Aku sangat bersyukur
memiliki pengalaman ini. Maafkan aku karena telah mengatakan sesuatu yang berat
pada akhirnya.”
“Tidak, aku juga merasa
senang.”
Ichigo juga menerima perkataannya
satu per satu.
“Oleh karena itu …. aku telah
mengambil keputusan di dalam benakku.”
Kemudian Wakana berdeham dan
mulai berbicara.
“Eh?”
“Sebenarnya, beberapa saat yang
lalu, aku menerima tawaran dari kantor pusat untuk dipromosikan menjadi manajer
toko.”
“Promosi menjadi manajer toko…”
“Ya, aku dipromosikan untuk
manajer toko pada area di mana perusahaan pusat belum pernah membuka cabang
sebelumnya, dan mereka akan memberiku waktu untuk menanggapinya. Sedangkan
bagiku sendiri, aku berpikir untuk menolaknya dengan alasan bahwa aku masih
ingin mendapatkan pengalaman, tapi sebenarnya tujuanku tidaklah murni malah aku
hanya merasa ingin berada di dekat Pak manajer.”
Setelah mengatakan ini, Wakana
mengangkat wajahnya dengan muka tersipu.
“Tapi kurasa aku akan mengambil
kesempatan ini. Aku merasa ini adalah kesempatan yang bagus untuk memulai awal
yang baru.”
“…. Wakana-san”
Ichigo menundukkan kepalanya
sekali lagi sebagai tanggapan atas pernyataan Wakana yang penuh tekad.
“Selamat atas promosinya …..
Tapi apa itu tidak apa-apa? Kamu mendapat promosi kenaikan jabatan, ‘kan? jadi
ini suatu pencapaian yang besar.”
“Fufu~ terima kasih.”
Dia tersenyum, diam sejenak,
dan kemudian.
“Itulah sebabnya, meski bukan
karena perkara ini yang jadi penyebabnya, tapi aku akan meninggalkan toko itu
juga, jadi tolong jangan khawatirkan tentang hal itu. Sebaiknya lupakan saja.”
Itulah yang Wakana katakan.
“Dan juga, semoga pak manajer
bisa mendapat kebahagiaan. Aku tahu ada banyak halangan dan rintangan yang
harus dilalui, tetapi setidaknya aku berharap demikian.”
“...... Ya. Aku yakin kalau Wakana-san
juga, pasti…”
[Pasti
akan menemukan orang yang tepat]
[Kali
ini, kamu akan menemukan cintamu yang luar biasa]
Ichigo bahkan tidak tahu apakah
dirinya bisa mengatakan hal semacam itu dengan mudahnya.
Karena itu, Ia cuma bisa
mengatakan satu hal.
Meski ada banyak hal yang ingin
dia katakan, hanya saja katakata yang bisa Ia sampaikan terbatas.
Sama seperti tadi malam saat
bersama dengan Sakura.
Ichigo sekali lagi menyadari
bahwa dirinya telah bertemu dengan banyak wanita yang begitu luar biasa.
“Aku berharap, kamu juga bisa
mendapat kebahagiaan.”
Hanya itu yang harus Iasampaikan
kepada Wakana.
“Ya.”
Wakana pun menjawab Ichigo
dengan senyum cerah di wajahnya.
※※※※※
“Haaa~.”
Wakana meninggalkan kedai dan
berpisah dengan Ichigo.
Setelah berjalan beberapa saat,
dia menghela napas di bawah cuaca dingin.
Karena mereka akan bertemu di
kedai izakaya, untuk berjaga-jaga, dia datang ke sana menggunakan transportasi
umum ketimbang menaiki mobil pribadi.
Sayangnya, mereka bahkan tidak
makan, apalagi minum-minum, jadi seakan-akan harapannya jadi tak sia-sia.
“…. Sia-sia, huh?”
Pada hari liburnya, Ichigo
menelepon Wakana sehingga membuatnya merasa senang untuk bertemu dengannya.
Dia bergegas pulang ke rumah,
menata rambutnya, memilih pakaiannya, dan datang dengan sedikit rasa gugup
sekaligus khawatir, tetapi lebih dari itu, dia merasa cukup berharap.
Kemudian, dia justru patah
hati.
Dia merasa seperti ada lubang
yang menganga di hatinya.
Perasaan cintanya pada Ichigo.
Kenangan yang mereka lalui
bersama.
Wajahnya, ekspresinya,
gerakannya, dan bahkan tindak-tanduknya yang dia sukai….
Dia merasa nyaman, penuh
kasihsayang, dan bereaksi terhadap hal itu semua dengan seluruh perasaannya.
Dia juga membayangkan masa
depan yang indah dan bahagia. Dia ingin melakukan banyak hal.
Dia ingin pergi ke suatu
tempat.
Dia ingin menghabiskan waktu
bersama seperti ini.
Semua imajinasinya itu, bahkan
dengan segala kemungkinan yang ada, telah menghilang, dan cuma menyisakan
kekosongan besar di hatinya.
(....Pada
akhirnya, kami tetap tidak bisa minum-minum bersama, ya ....)
Lagipula, itu tidak bisa
dipungkiri...
Inilah yang namanya cinta
Inilah yang namanya patah hati.
Ini juga merupakan hasil dari
kekejaman perasaan cinta, yang dia alami untuk pertama kalinya.
(Aku
bisa sedikit memahami perasaan orangorang yang mengatakan kalau mereka tidak
mau merasakan jatuh cinta lagi......)
Kata-kata yang selama ini tidak
pernah Wakana rasakan rasa simpatinya ......
atau bahkan perasaan yang bisa
dia anggap nyata sebelumnya, tetapi sekarang, katakata itu malah menjadi
sangat akrab baginya.
Hal itu terasa agak aneh
sampai-sampai membuat Wakana tersenyum.
“….Kurasa aku akan meminta
Rei-chan untuk menghiburku.”
Wakana lalu mengeluarkan ponsel
dari tasnya. Kemudian, dia mencari nomor Hosoe dan meneleponnya.
Sekali lagi, dia tidak memesan
apa pun di kedai yang baru saja dia kunjungi.
Mulai sekarang, dia mungkin
bisa pergi ke suatu tempat untuk makan, atau jika bisa, sekaligus untuk
minum-minum. Dia yakin, kalau sahabatnya itu akan dengan senang hati
menemaninya.
Dia juga memiliki cerita yang
ingin disampaikan.
“Ya~
halo?”
Dari ujung lain telepon, Wakana
mendengar suara ceria yang sama.
“Ah, Rei-chan.”
“Ah,
Wakanana? Ada apa? Tumben-tumbennya menelepon di jam segini?”
“Um, yah, kamu tahu, ini lebih
seperti memberi laporan…”
Suaranya seketika tercekat.
Meskipun dia hanya harus
mengeluarkan beberapa kata dari mulutnya, tiba tiba dia merasa seolah-olah tercekik dan merasa putus asa.
“Begini….”
“…..Wakanana?”
Suara Hosoe yang prihatin terdengar di telinganya.
Bibir Wakana yang gemetaran,
matanya yang menjadi panas dan dia mulai menyadari jika air matanya mulai
mengalir.
“….Aku …. baru saja ditolak pak
Manajer…”
Dia merasa kalau seharusnya dia
bisa mengatakannya dengan kata yang sedikit lebih tepat.
Kenapa, dia menggunakan
kosakata yang kekanak-kanakan dan mengatakan sesuatu yang paling menyakitkan
bagi dirinya sendiri.
Mengapa dia berpikir ingin menangisi hal itu dari lubuk hatinya yang terdalam. Padahal di hadapan orang yang dicintainya,
dia mampu bertindak begitu tegar.
Dia mampu mendukung hubungannya
dengan orang lain, bukan dengan diriku sendiri.
Wakana sendiri tidak tahu.
Dia sendiri tidak tahu.
Akan tetapi, inilah artinya
jatuh cinta. Itulah yang sangat disadari oleh Wakana.
“Aku….habis ditolak pak manajer, Rei-chan.”
“…..Wakanana,
sekarang kamu ada di mana?”
Sahabatnya yang berada di sisi
lain telepon dengan lembut membalas suaranya yang terisak.
“Apa
kita bisa bertemu sekarang? Ayo pergi minum-minum.”
“….yeah.”
Titik pertemuan mereka adalah
tempat Wakana berada sekarang.
Hosoe langsung segera menemuinya.
Syukurlah, dia adalah seorang teman yang baik.
Tiba-tiba, Wakana melihat
bayangan dirinya yang terpantul di etalase toko.
Ekspresi emosionalnya masih terlihat
kusut dan memalukan.
Akan tetapi, kemudian dia
melihat rambutnya yang tertata rapi, pakaiannya yang bagus, dan mengingat
kegembiraan hatinya pada saat dia berbagi waktu bersama dengan orang yang dia
cintai.
“…. Itu semua tidaklah
sia-sia.”
Fakta bahwa Wakana Nanao jatuh
cinta kepada Kugiyama Ichigo bukanlah hal yang sia-sia.
Dia benar-benar berpikir
begitu.
※※※※※
“….Hah.”
Sementara itu, di lokasi yang
berbeda.
Setelah berpisah dengan Wakana
dan meninggalkan kedai Izakaya, Ichigo tidak kembali ke mobilnya di tempat parkir,
melainkan berjalan menyusuri jalanan di bawah cuaca dingin.
Ada perasaan bahwa penyelesaian
dengan Wakana telah menyakiti dirinya lebih dari yang bisa Ia harapkan.
Namun, itu juga berlaku sama
untuk Ichigo.
Ia terluka dan tersakiti.
Dirinya menyadari hal itu dan
itulah sebabnya Ia harus tetap melanjutkan hidup.
Namun, ini semua belum selesai.
Ya, semuanya masih belum
selesai.
Sambil menenangkan diri, Ichigo
kembali ke mobilnya di tempat parkir dan mengeluarkan smartphone-nya.
Ia membuka aplikasi pesan dan
melihat riwayat percakapannya dengan Luna.
Ichigo sudah mengiriminya
beberapa pesan sejak terakhir kali mereka berdua berpisah beberapa hari yang
lalu, tapi dia belum membalasnya sama sekali.
Ia sudah mengirim beberapa
pesan kekhawatiran padanya, tapi pesannya dibiarkan begitu tanpa dibaca.
Ichigo tidak tahu apakah dia
sengaja mengabaikannya, atau karena dia sudah menghapus kontak Ichigo, Ia juga
ragu kalau panggilannya akan tersambung
meski Ia berusaha menelepon Luna.
“Baiklah.”
Jika itu memang yang terjadi,
hanya ada satu tindakan yang harus diambil.
Berbeda dari pertama kali
ketika dirinya bimbang sekaligus khawatir sehingga hanya memilih cara yang
berteletele.
Setalah memutuskan apa yang
harus dilakukan, Ichigo menatap tajam ke depan.
※※※※※
Keesokan paginya.
Seorang gadis SMA muncul dari
apartemennya. Mengenakan seragam SMA khusus perempuan Himesuhara, dia berjalan
lesu menyusuri jalanan sepi dengan raut wajahnya yang kosong, gadis tersebut
adalah Luna.
“.........”
Area tempat tinggalnya hampir
jarang dilalui orang pada pagi hari ini.
Dalam kabut pagi di mana sinar
matahari yang kabur menyinari, dan cuma ada kicauan burung yang bergema di
jalanan.
Dia melangkah tanpa tujuan di
sepanjang jalan setapak yang mengarah ke stasiun.
“.........”
Ekspresi yang suram. Tatapan
mata yang kehilangan cahaya.
Seolah-olah dia telah
kehilangan sesuatu yang begitu berharga sehingga tidak ada secuil pun harapan
yang tersisa.
Layaknya boneka, dia telah
kehilangan emosinya dan tampaknya hidup hanya demi memenuhi kewajibannya
sehari-hari.
“…. Luna-san”
Seseorang memanggil namanya.
Saat mendengar suara itu,
gendang telinganya terguncang, Luna membuka lebar matanya dan tersentak setelah
beberapa saat.
Di sana, Ichigo berdiri di
hadapannya.
“..Eh?”
Luna terkejut dan tidak bisa
berkata apaapa.
Namun, emosi yang menghilang
dalam dirinya telah kembali ke wajahnya.
Ichigo kemudian berjalan ke
arahnya.
Luna secara tidak sengaja mencoba
melarikan diri darinya. Tapi, Ichigo tetap menutup jarak di hadapannya.
Ichigo sekarang memiliki
ekspresi wajah dan pandangan mata yang belum pernah dilihat oleh Luna
sebelumnya.
Luna tidak bisa bergerak,
sebagian karena dia merasa tertekan oleh Ichigo.
“Um-Umm….”
“Luna-san, apa kamu baik-baik
saja sekarang?”
Luna tidak bisa menyembunyikan
kegelisahannya terhadap desakan Ichigo
Sudah terlalu banyak yang
terjadi untuk melakukan percakapan normal seperti ini.
Luna tidak tahu, wajah dan
sikap seperti apa yang harus dia tunjukkan di hadapannya.
Melihat reaksi Luna yang
seperti itu, Ichigo bersiap menyampaikan tekadnya.
Ia meletakkan tangannya di
pundak Luna yang terasa kaku dan dengan cepat mendekatkan wajahnya ke wajah
Luna.
Dan kemudian …. Ichigo mencium
pipi Luna.
“…. Eh.”
Ichigo berkata dengan malumalu
kepada Luna yang tertegun.
“….Maaf, aku tidak bisa memikirkan
cara lain yang lebih baik untuk menyampaikan tekadku.”
Jadi, sama seperti yang pernah
dilakukan Luna yang tidak mampu menekan perasaannya terhadap Ichigo.
Ichigo juga memutuskan untuk menyentuhnya
dengan bibirnya. Ia menciumnya di pipi karena …. Ia masih memiliki etika.
Terhadap pilihan dan tindakan
yang dipilih Ichigo, Luna terlihat seperti akan menangis.
Dia mungkin masih belum bisa
memahami situasi tersebut. Kebingungannya bahkan mungkin semakin bertambah.
Karena tindakan yang Ichigo
lakukan merupakan simbol kebahagiaan yang seharusnya terputus, di mana hal
seperti itu tidak boleh terjadi.
“Kenapa ......, bukannya
Wakana-san…”
“Aku sudah berbicara dengan
Wakana-san tadi malam.”
Ichigo tidak mengatakan sesuatu
yang spesifik. Akan tetapi, itu sudah cukup bagi Luna untuk memahami keputusan
seperti apa yang telah dipilih Ichigo.
“Kenapa …. Bukannya Wakana-san
orang yang luar biasa dan sangat mencintai Ichi….?”
“Ah, memang.... tapi, aku tetap
memilihmu.”
“…. Tidak boleh.”
Luna mencoba yang terbaik untuk
menyampaikan kata-katanya, dengan matanya yang terlihat sembab seolah-olah
hampir menangis dan ekspresi wajahnya berubah
“Ichi, kamu cuma melihat
bayangan ibuku dalam diriku, dan jika kamu tetap bersamaku seperti itu, kamu takkan
pernah bahagia…”
“Sakura tidak ada hubungannya
dengan itu.”
Di sisi lain, Ichigo tidak mau
menyerah.
“Memang benar kalau aku pernah
melihat bayangan Sakura dalam dirimu, aku mengakui hal itu. Tapi hal itu tidak
ada hubungannya lagi, karena aku melihat dirimu apa adanya sekarang…”
“.........”
“Meski aku bilang begitu …. tapi
kurasa aku belum bisa melupakan Sakura seutuhnya.”
Ucap Ichigo sambil tersenyum
getir. Dirinyaa sadar kalau Ia sudah mengatakan sesuatu yang menyedihkan.
Namun, memang begitulah
faktanya dan juga merupakan salah satu alasan yang sangat kuat mengapa Ichigo
mencintai Luna.
Ichigo harus mengakuinya.
Ia harus mengakuinya, menyatakannya
dan juga menerimanya.
“Aku melihat hantu Sakura
melalui dirimu. Aku pikir itu adalah hal yang mengerikan, baik bagiku maupun
Sakura. Tapi, jawabanku adalah memilihmu, termasuk perasaan penebusan dosaku
terhadap Sakura.”
“….Apa kamu benar-benar tidak
keberatan?”
Tentu saja Luna masih
meragukannya. Dia sudah menyerah pada segalanya. Dia memutuskan untuk tidak
menghadapi kisah mimpinya, tapi tiba-tiba Ichigo muncul di hadapannya.
Luna mungkin masih belum bisa
menerima kenyataan ini.
“Jika aku bersamamu, aku cuma
akan menimbulkan masalah bagi Ichi.”
“Aku butuh waktu lima tahun.”
Dengan begitu, Ichigo
mempersembahkannya kepada Luna. Suatu bentuk tanggung jawab karena telah
memilih Luna dan apa saja yang akan Ia lakukan padanya.
Ichigo menunjukkan apa yang
sudah dirinya siap lakukan.
Menghadapi kenyataan—itulah
yang harus dilakukan Ichigo, sebagaimana yang dikatakan oleh Sakura kepadanya.
“Aku ingin Luna-san menunggu
sampai kamu berusia dua puluh tahun, usia di mana kamu sudah dewasa….jika kamu
sudah dewasa, maka tidak akan ada permasalahan sosial. Aku ingin kita
menghabiskan lima tahun itu sebagai orang dewasa dan anakanak. Janji kita di masa
depan… Aku tidak tahu apa pantas menyebutnya seperti itu.”
“…….”
“Aku tahu, lima tahun mungkin
merupakan waktu yang cukup lama. Itu bisa saja merampas semua keinginan bebasmu
selama waktu itu. Kamu mungkin tidak dapat melakukan sebagian besar halhal
nyata yang ingin dilakukan bersama kekasihmu. Tapi, hubungan yang aku dan kamu
inginkan itu bukanlah hubungan yang bisa kita bentuk sekarang. Sebaliknya,
sementara kamu menunggu, aku juga akan hidup bersama seorang wanita yang baru
saja mencapai usia dewasanya …. aku akan dipersiapkan dengan baik untuk itu.
Semua itu merupakan tekad yang sudah siap kulakukan.”
Ichigo berkata pada Luna dengan
serius dan sungguhsungguh serayam enempatkan tangannya di dadanya sendiri.
“Aku tahu itu pilihan yang
terlalu berat. Tapi jika kamu bersedia melakukan itu, kumohon pilihlah aku.”
“…. Ichi”
Inilah jawaban yang Ichigo berikan
dengan tenang dan sesuai norma sosial, tetapi tetap bertekad untuk bisa bersama
Luna.
Usai mendengar isi hatinya,
Luna pun menerimanya dan….
“…..Maaf, maafkan aku, Ichi."
Matanya sembab dan buliran air
mata mengalir di pipinya. Ichigo tahu apa yang dia rasakan.
“Aku sekarang ….. sangat ketakutan.”
Ya, rasa takut.
Luna dan Ichigo sekarang telah
saling berhadapan dalam artian yang sebenarnya.
Mereka tidak menyampaikan
perasaannya secara sepihak dari satu sisi, maupun saling mengecam satu sama
lain, bahkan sebaliknya, mereka saling berhadapan.
Luna kemudian menjadi takut
bagaimana dirinya harus atau bagaimana dia bisa menanggapi kasih sayang begitu
kuat yang diarahkan padanya oleh Ichigo.
Pada saat yang sama, dia juga
menyadari kekejaman dari apa yang telah dia lakukan pada Ichigo.
Aku
ingin dia melihatku, aku ingin dia menyukaiku, aku ingin dia berpaling
kepadaku, dan aku ingin dia memilihku.
Aku
mengalihkan rasa cintaku secara sepihak, dan berusaha menyelesaikan semuanya
dengan pikiranku sendiri.
Luna bahkan mengabaikan
perasaan Ichigo terhadapnya.
Itu adalah ketakutan yang sama
yang dia rasakan beberapa hari yang lalu di rumah Ichigo ketika Wakana memberitahunya
tentang sanksi sosial.
Luna menyadari
ketidakdewasaannya, beban yang dia berikan pada Ichigo, dan menyadari rasa
takut itu.
“Maafkan aku.”
Ichigo meletakkan lengannya di
sekitar Luna untuk menopang tubuhnya yang terisak.
“Apa boleh buat.
Karena kamu juga masih anak-anak, aku ingin berjalan bersamamu sampai kamu
sudah menjadi dewasa. Yang terpenting, kamu harus menyadari bahwa kamu masihlah
anak kecil. Itulah titik awal dari tumbuh menjadi dewasa.”
Ichigo kemudian mencium pipi
Luna lagi.
“Hanya ini saja yang bisa
kulakukan untukmu sekarang, tapi aku berharap kalau kamu akan menerimanya sebagai
bukti dari tekadku.”
Pagi-pagi sekali, kabut pagi
menyelimuti tempat itu dalam keheningan yang menyesakkan.
Ichigo terus merangkul tubuh
Luna yang menangis dengan selembut mungkin.
Lalu…..
Gemetar dan isak tangis tubuh
Luna dalam pelukannya berhenti.
“Apa Ichi … benar-benar tidak
keberatan?”
Luna bertanya pada Ichigo
dengan wajahnya yang terkubur di dadanya.
“Hanya demi diriku, kamu sampai…..”
“Aku sudah memikirkannya,”
Balas Ichigo kepada Luna yang
berada dalam pelukannya.
“Aku tidak tahu berapa banyak
rasa sakit yang kamu alami untuk membuat keputusan berpisah denganku, berapa
banyak waktu yang kamu butuhkan untuk memikirkannya…..aku sendiri tidak tahu.
Mungkin itu tidak setara dengan sebara lamu kamu menderita, tetapi aku tetap
merasa bangga mengatakan jawaban yang kuanggap serius seperti yang kamu
lakukan.”
“Maafkan aku ...... Aku sungguh
minta maaf. ”
Di sana, Luna berhenti berkata.
Luna akhirnya menelan kecemasan
dan ketakutannya.
Mungkin karena perasaan Ichigo
yang kuat untuknya, membantunya mengambil keputusan yang benar.
“….Tidak, terima kasih.”
Dan kemudian, Luna menjauhkan
wajahnya yang terkubur di dada Ichigo.
Mereka berdua saling menatap
satu sama lain.
Tatapan matanya basah oleh air
mata, kelopak matanya merah dan bengkak, pipinya juga ikut memerah.
Wajahnya terlihat menyedihkan,
tapi dipenuhi dengan senyuman.
“Tolong dengarkan jawabanku.”
“….ya.”
“Kumohon...”
Luna membalas pernyataan Ichigo
sebelumnya.
“Kumohon jadikan aku… sebagai
kekasihmu.”
Kisah Ichigo dan Luna — perkatan
yang memulai segalanya.
Tetapi kali ini berbeda.
Itu bukanlah pertanyaan,
melainkan tanggapan. Dan kalimat tersebut merupakan arti dari segalanya.
Mereka berdua sama-sama
tersenyum dan bertukar pandang.
Sekali lagi, mereka saling berpelukan
seolah-olah berbagi momen membahagiakan.
Itu saja sudah cukup bagi
mereka berdua untuk saling berkomunikasi.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya