Gimai Seikatsu Vol.6 Chapter 01 Bahasa Indonesia

Chapter 1 — 11 Desember (Jumat) Asamura Yuuta


Suara bel berbunyi keras dari speaker di dalam kelas. Guru yang mengajar pelajaran terakhir dengan cepat menghilang ke lorong, dan ketika suara-suara gembira memenuhi ruang kelas, teman-teman sekelasku memindahkan kursi dan meja mereka untuk bersenang-senang. Sekarang setelah kami menerima hasil ujian UAS, kebanyakan dari mereka tampak segar dan lega. Anak cowok dengan punggung besar di depanku berdiri menjulang dan meraih bagian belakang meja. Ia mungkin mau pergi latihan bisbol seperti biasanya—Atau begitulah menurutku.

“Oh iya, Asamura.”

Aku terkejut saat Ia berbicara padalu. Biasanya Maru cuma memberi salam perpisahan singkat dan langsung pergi ke latihannya.

“Ada apa?”

“Aku ada rapat klub sekarang, tapi apa kamu tidak keberatan buat ikut denganku sampai kita tiba di ruang klub?”

“Hah? Ruang klub? Kenapa?”

“Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu.”

“Yah… oke, baiklah?”

Bukannya aku harus pulang lebih cepat atau semacamnya. Dengan pemikiran itu, aku ikut menemani Maru, dan tidak lupa mengambil tasku sehingga aku bisa pulang segera setelah berbicara dengannya. Saat melirik ke luar jendela lorong, aku bisa melihat semua pohon di halaman dengan cabang-cabangnya yang gundul, tidak ada daun yang terlihat satu pun. Melihat pemandangan ini benar-benar membuatku sadar bahwa musim dingin telah tiba. Dengan tidak ada lagi daun yang menghalangi pandangan, aku bisa melihat halaman di bawah dengan cukup jelas. Angin sepoi-sepoi meniup beberapa daun yang berserakan layaknya sisa-sisa musim gugur yang terakhir.

“Oh ya, Maru. Bagaimana hasil ujianmu?”

“Hm? Aku mendapat total nilai 828 poin.”

“Seperti yang diharapkan, ya?”

Ia tetap menjaga posisinya sebagai pemain inti dalam tim bisbol sambil juga meraih hasil yang terhormat. Omong-omong, aku mendapat total nilai 819.

“Aku masih bukan tandinganmu, Maru. Padahal, aku merasa kalau aku sudah bekerja cukup keras. ”

“Hm… Yah, kamu tidak perlu menjadikanku sebagai acuanmu, ‘kan?”

“Kurasa kamu ada benarnya juga.”

Nilaiku meningkat pesat bila dibandingkan dengan ujian standar terakhir, dan jarak antara Maru dan aku juga semakin kecil.

“Kamu telah meningkat pesat sejak musim panas lalu, kan?”

“Mungkin berkat les bimbel yang aku ambil selama liburan musim panas kemarin.”

“Apa cuma itu saja?”

“Hah?”

“Yah, bukan apa-apa.”

Setelah itu, Maru terus berjalan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Begitu kami melangkah keluar dari pintu depan, hembusan angin dingin membuat tubuhku menggigil. Ujung jariku juga sampai mengkeriput. Mau tak mau aku merasa kasihan pada anggota klub olahraga yang berlatih dalam cuaca sedingin ini. Seseorang dari klub langsung pulang ke rumah macam diriku bahkan tidak bisa dibadningkan dengan mereka. Setelah berjalan beberapa saat, aku mulai melihat gedung ruang klub. Bangunanitu terdiri dari dua lantai, dan menyerupai kompleks apartemen dua lantai biasa. Ruang klub klub bisbol terletak di sebelah halaman.

Hal pertama kali yang menyambutku saat pintu terbuka adalah bau keringat. Dan tepat setelah itu, aku mencium aroma lain dari deodoran jeruk, seolah-olah beusaha menutupi bau keringat yang kucium tadi. Loker di sebelah dinding diisi dengan barang-barang pribadi anggota klub dan perlengkapan lainnya. Beberapa ada yang diatur dengan rapi, tapi ada juga loker lain yang perlengkapannya dimasukkan dengan sembarangan. Di salah satu sudut ruangan berdiri sebuah wadah logam yang tampak seperti tempat penyimpanan payung, hanya saja wadah itu berisi tongkat pemukul dari logam. Beberapa anggota klub tengah berganti baju sambil mengobrol santai, dan mereka memanggil Maru ketika Ia tiba di ruang klub.

Mereka bahkan memberiku salam sopan saat melihatku bersama Maru. Ia memperkenalkanku sebagai teman sekelasnya, dan mereka menemaniku dengan percakapan singkat. Kurasa itu karena aku temannya Maru dan mungkin ada factor kalau aku adalah senior mereka, tapi mereka berinteraksi dengan sopan dan hormat. Namun, hal tersebut membuatku merasa tidak nyaman, seolah-olah aku bukan pada tempatnya. Aku menunggu di dekat pintu masuk ruang klub saat Maru mengeluarkan kantong plastik dari lokernya dan memasukkan ranselnya ke tempatnya. Selama waktu itu, junior Maru berbicara dengannya tentang apa pun yang terlintas dalam benak mereka.

“Maaf sudah menunggu lama.”

“Oke, enggak masalah, kok.”

Aku tidakmembenci melihat Maru sepopuler ini. Bahkan jika itu tidak melibatkanku, aku tetap merasa senang.

“Jadi, apa ini yang ingin kamu berikan padaku?”

“Ya. Aku kurang percaya diri untuk meninggalkannya di kelas.”

Ia membawa kantong plastik kecil di samping pinggangnya. Aku membuka dan melihat sekilas ke dalamnya setelah Maru memberikannya kepadaku. Ternyata benda yang ingin Ia berikan ialah setumupk jilidan manga. Terlebih lagi ukurannya bukan edisi saku paperback biasa (B6 kecil, 17x11cm), tepi ukuran B6 yang sedikit lebih besar, sekitaran 18x13cm. Ukuran ini bisa sering kamu lihat dalam manga dewasa muda. Dan ada tiga volume utuh di sana. Aku jadi memahami kenapa Maru tidak ingin membawa ini ke dalam kelas.

“Dan semua ini untukku?”

“Ya, ini rekomendasi terbaru dariku. Mangan ini cukup bagus. Aku bisa menebak kalau series ini bakalan menjadi series populer berikutnya!”

“Benarkah? Kalau begitu, aku mulai tidak sabar untuk membacanya.”

Namun, hal ini membuatku jadi berpikir. Jika cuma ini saja yang ingin Ia berikan, kami bisa bertemu di tempat lain supaya Ia tidak perlu repot-repot membawanya—dan ketika aku sudah berpikir sejauh itu, aku menyadari maksud dari tindakannya ini.

“Aku membelinya lebih cepat. Minggu ini adalah hari ulang tahunmu, kan?”

Baru sekarang aku menyadari kalau ini dimaksudkan untuk menjadi hadiah ulang tahunku.

“Kamu tidak repot-repot…”

“Yang ini lumayan menarik, tau? Meskipun kadang-kadang tidak ortodoks juga, sih. ”

“Maksudku, sejak kapan rekomendasimu tidak seperti itu, Maru?”

“Haha, memang sih. Lagi pula, aku juga menyukai ortodoks, jadi kamu bisa membacanya tanpa perlu khawatir.”

"Ya ya. Terima kasih, aku merasa senang.”

Aku sedikit meledeknya, tapi aku benar-benar bahagia. Aku tidak bakalan menyangka kalau Maru akan memberiku hadiah. Ia tidak pernah membicarakan tentang ulang tahunku, dan juga tidak memberiku hadiah tahun lalu. Hadiah ini saja sudah menjadi kejutan yang besar. Dan ngomong-ngomong masalah hadiah ulang tahun, aku teringat sesuatu yang Maru katakan padaku setengah tahun yang lalu. Sesuatu mengenai dirinya yang merayakan ulang tahun orang lain. Ia berbicara sendiri ketika aku bertanya siapa itu. Mungkin saat itulah Ia mulai tertarik untuk memberikan hadiah kepada orang lain. Aku harus memberinya sesuatu untuk ulang tahunnya nanti.

“Karena kita tidak bisa bertemu pada hari Minggu, jadi kupikir kalau sekaranglah waktu yang pas.”

“Kamu ada latihan pada hari Minggu, ya?”

“Maaf kita tidak bisa merayakannya bersama. Tapi yah, aku ragu kalau kamu akan kesepian di hari ulang tahunmu.”

“Jangan bilang begitu. Aku sudah merasa sangat senang dengan hadiah ini.”

“Yah, itu bukan masalah besar, jadi jangan terlalu dipikirkan. Sampai jumpa lagi.” Maru melambaikan tangannya dan berjalan ke belakang ruangan.

Aku memutuskan untuk mulai pulang sendiri ketika seorang anggota klub tiba-tiba memanggilku. Aku penasaran apa yang Ia inginkan dariku. Setidaknya, Ia terlihat angkatan yang sama denganku.

“Apa Maru kadang-kadang berbicara dengan Narasaka-san?”

Aku tidak pernah mengira kalau namanya bakalan diungkit di sini.

“Hah? Narasaka… maksudmu …?”

“Ya. Gadis yang sangat manis itu.”

“Jadi ... apa sangkut pautnya dia dengan Maru?”

“Ada kabar burung yang beredar kalau mereka saling berbicara satu sama lain dengan begitu dekat.”

“Yah… sayangnya, aku belum pernah mendengar apapun mengenai itu.”

Aku sama sekali tidak berbohong. Maru tidak memberitahuku apa-apa. Dan seandainya saja jika aku tahu sesuatu, aku takkan memberi tahu semua orang yang bertanya.

“Begitu ya…”

Maru sendiri tampaknya menghindari topik itu atau tetap tutup mulut mengenai itu, jadi tidak banyak informasi yang bisa didapat dari orang yang bersangkutan. Namun, kelihatannya Ia tidak menyangkal fakta kalau mereka berbicara sama sekali. Karena mereka berdua berada di peringkat teratas dalam hal nilai, orang-orang mulai berasumsi kalau mereka mungkin sering mengobrol atau bahkan berpacaran.

“Oke baiklah, aku mengerti. Maaf sudah mengganggumu.”

“Jangan khawatir tentang itu.”

Aku membungkuk ringan dan meninggalkan ruangan klub bisbol. Aku berjalan menuju tempat parkir sepeda sambil memikirkan percakapan yang baru saja terjadi. Aph Maru dan Narasaka-san berpacaran? Sejujurnya, aku pikir itu hanya kesalahpahaman saja, tapi jika itu memang benar adanya, itu berarti mereka berdua menyembunyikan hubungan mereka dariku dan Ayase-san. Sebuah hubungan rahasia.

Namun sekali lagi, privasi semacam itu bukan sesuatu yang perlu mereka umumkan. Mereka tahu tentang hubungan saudaraku dengan Ayase-san, tapi tidak perlu jauh-jauh dan mengatakan kalau kami pada dasarnya saling mencintai. Tidak ada gunanya berkeliling sambil membawa palang kayu yang bertuliskan “Kami mulai berpacaran hari ini”—

“Tunggu sebentar…”

Hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Jika kamu memikirkannya dalam dunia hewan, maka itu masuk akal. Mereka ingin memamerkan bahwa mereka telah memasuki hubungan fisik sebagai hewan jantan dan betina. Itu sebabnya manusia memiliki upacara pernikahan dan pertunangan atau sejenisnya. Plus, jika laki-laki dan perempuan biasa mulai berpacaran seperti pasangan pada umumnya, mayoritas orang akan memberi selamat kepada mereka. Dan jika Kamu suka diberi ucapan selamat, maka semuanya sepadan untuk mengungkapkan rahasia semacam itu.

Namun, ketika  mengingat betapa populernya Narasaka-san, aku merasa beberapa orang akan mengeluh karena dia berpacaran dengan seseorang. Kurasa  masuk akal juga untuk merahasiakannya ... Tapi dia bukan semacam artis idola, jadi tidak ada salahnya untuk mempublikasikannya ... Jika  memang demikian, bukannya tetap diam tentang hubungan mereka justru terlihat jauh lebih aneh? Bagaimanapun, aku mungkin terlalu cepat menyimpulkannya. Dalam kehidupan masyarakat modern, pertanyaan tentang menikah atau tidak seharusnya tidak dipertimbangkan ketika membahas gaya hidup atau pekerjaan. Tidak perlu untuk sepenuhnya menentukan semuanya seperti itu ...

“Fiuh…”

Aku menghela nafas. Semua pemikiran tersebut menyebabkan kepalaku hampir keluar asap. Selama aku tidak tahu apakah Maru dan Narasaka-san benar-benar berpacaran, memikirkan pengandaian dan kemungkinan itu hanya buang-buang waktu saja. Aku memasukkan tasku ke dalam keranjang sepeda dan menginjak pedal. Aku punya giliran kerja di toko buku.

 

◇◇◇◇

 

Karena sekarang sudah menginjak bulan Desember, matahari sudah mulai terbenam. Langit yang mengintip di antara celah bangunan sudah terlihat seperti tirai merah, dan lampu LED di dalam Pusat Kota Shibuya mulai menyala. Sejauh mata memandang, area sekitarku dipenuhi dengan dekorasi, lampu, dan suara orang yang tak terhitung jumlahnya. Pohon yang berdiri di depan stasiun kereta dipenuhi dengan lampu elektronik, dan patung Hachiko di belakangnya memiliki pita merah di sekelilingnya, yang membuat anjing baik itu terlihat seperti sedang tersenyum bangga. Belum lagi layar iklan yang tak terhitung jumlahnya dan di atas gedung-gedung yang mengiklankan segala macam penjualan musim dingin yang sedang berlangsung.

Toko buku tempatku bekerja tidak jauh berbeda. Lampu merah, hijau, dan putih tersebar di mana-mana, dan pintu kaca di depan memiliki bintik-bintik putih yang disemprotkan menyerupai salju. Ya ampun … padahal masih dua minggu lagi sebelum hari perayaan Natal.

Sembari memikirkan hal tersebut, aku memasuki toko buku. Setelah berjalan-jalan di dalam, aku menghela nafas samar lagi. Toko buku biasanya adalah tempat yang tidak mengalami banyak perbedaan dalam hal acara seperti ini, tapi karena kami cukup dekat dengan kawasan hiburan, kami biasanya mendapati lebih banyak pelanggan. Dan hari ini tampaknya mungkin sama. Setelah melihat manajer dan mendengar rencananya untuk jadwal shift, mau tidak mau aku mengeluarkan suara terkejut.

“Tunggu, Yomiuri-senpai mengambil cuti karena dia sedang tidak enak badan?”

“Tepat. Itu sebabnya cuma ada kamu dan Ayase-san hari ini. Aku tahu kalau ini bakalan sulit, tapi aku mengandalkan kalian berdua.”

“Ya baiklah, aku mengerti.”

Cuma kami berdua untuk shift hari ini ... kurasa itu bakalan sulit. Aku harus mengerahkan seluruh tenagaku hari ini. Aku pergi ke ruang ganti, berganti seragam, dan melangkah keluar lagi, lalu—

“Aku minta maaf karena terlambat!”

Ayase-san tiba, dan masih mengenakan seragamnya.

“Jangan khawatir, kamu masih tepat waktu.”

Masih ada sisa sepuluh menit lagi sampai giliran kerja kami dimulai, jadi tidak perlu terburu-buru seperti itu. Aku menyapa rekan-rekan kami yang sudah mengurus mesin kasir hingga saat ini ketika aku menuju ke area belakang. Karena cuma ada dua orang lain yang mengurus mesin kasir, kami mungkin akan mengikuti jejak mereka sampai salah satu rekan kerja lembur kami tiba di sini. Itu sebabnya aku ingin memeriksa gudang penyimpanan dulu...

“Ah, celaka. Seharusnya aku memeriksa rak bukunya dulu.”

Aku menatap tumpukan buku di panggung kami dan mengerang pada diri sendiri. Bahkan jika aku tahu berapa banyak majalah yang kami miliki di gudang, tidak ada gunanya jika aku tidak ingat seberapa padat pajangan di bagian depan. Di bagian kasir, aku dapat menggunakan komputer untuk memastikan berapa banyak stok barang-barang tertentu yang kami miliki, tetapi patut dipertanyakan apa aku bisa meluangkan waktu untuk memeriksa situasi sebenarnya di depan. Jika Yomiuri-senpai ada di sini, dia pasti akan memeriksa stok di rak toko terlebih dahulu. Aku benar-benar ceroboh. Aku dengan ringan menggigit bibirku dan melihat waktu. Masih ada sisa tiga menit lagi sebelum pergantian shift. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan. Aku merindukan Senpaiku yang dapat diandalkan ketika aku berjalan menuju kasir.

“Sudah waktunya. Kami akan mengambil alih!”

“Oh, terima kasih banyak.”

"Semoga berhasil, kalian berdua!"

Dua karyawan yang sebelumnya menjaga kasir menundukkan kepala mereka sedikit saat berterima kasih kepada kami, dan meninggalkan ruang untuk Ayase-san serta diriku. Kami tidak punya banyak waktu untuk berbicara, karena pelanggan berikutnya sudah menunggu di depan kita. Aku segera beralih ke mode layanan pelanggan, menangani permintaan mereka seolah-olah aku sedang kesurupan. Begitu satu pelanggan pergi dengan pembelian mereka, pelanggan berikutnya sudah meletakkan buku mereka di hadapanku. Aku bahkan tidak punya waktu untuk berleha-leha.

Jam sibuk hari ini lumayan sangat sengit. Pasti karena musim Natal sudah semakin dekat, tapi banyak dari mereka ingin pembelian mereka dibungkus dan disiapkan untuk pemberian hadiah, yang membutuhkan waktu ekstra untuk kami urus. Selain menambahkan penutup plastik, kami juga harus membungkusnya seperti hadiah. Sebagai permulaan, pihak kami tidak dapat menggunakan kertas kado biasa. Ada banyak pelanggan yang meminta pembungkus khusus bertema Natal, jadi kami harus memeriksanya terlebih dahulu. Kasus semacam ini biasanya berarti kami harus menunjukkan kepada pihak pelanggan kedua jenis kertas kado dan menanyakannya secara langsung. Tapi mayoritas dari pelanggan lebih memilih yang bertemakan Natal, yang mana hal itu tidak mengejutkan ketika mengingat musimnya.

Dan tentu saja, kami tidak bisa melupakan pita. Pita perekat relatif mudah ditangani, tapi jika kami membungkusnya dengan cara yang salah atau kikuk, yang ada justru akan membuatnya terlihat bekas, dan kami harus memulainya lagi dari awal. Setelah menyelesaikan bentuk silang dan menambahkan ikat simpul di bagian atas, kami tinggal memotongnya dengan gunting. Tapi kami tidak bisa memotongnya lurus; kami harus memotongnya dari sudut ke bawah untuk benar-benar menciptakan nuansa itu. Kalau dipikir-pikir lagi, aku merasa tidak enak dengan pelanggan yang aku hadapi saat aku baru saja mulai bekerja di sini. Dan sambil mengerang secara batin pada setiap  permintaan pembungkusan, aku sekali lagi mulai memikirkan hadiah apa yang akan diberikan kepada Ayase-san, yang belakangan ini selalu saja kupikirkan. Meski begitu, aku masih berhati-hati untuk tidak merusak pembungkusku untuk pelanggan.

Hadiah ulang tahun, ya? Aku mulai berpikir sambil membiarkan tanganku bergerak secara otomatis, hampir seperti robot. Sejujurnya, aku masih tidak punya rencana atau hadiah yang terbesit di dalam benakku. Apa yang harus aku berikan padanya? Hadiah macam apa yang bisa dia terima dengan senang hati? Bahkan saat aku menyiapkan hadiah untuk Narasaka-san, pada dasarnya aku membiarkan Ayase-san menangani semuanya. Syukurlah semuanya berhasil dengan lancar karena dia tahu preferensi Narasaka-san.

"Kerja bagus, kalian berdua."

Suara pak manajer membawaku kembali ke kenyataan. Saat aku linglung bekerja, jumlah pelanggan yang mengantri di depan kasir telah menurun drastis.

“Kamu akan segera mendapatkan bantuan, tolong bertahanlah sebentar lagi.”

“Ya.”

Rasa sakit karena ketidakhadiran Yomiuri-senpai sekali lagi menjadi jelas bagi kami. Kami sama sekali tidak punya waktu untuk mengurus situasi di rak buku atau pajangan. Kami terus menerus berdiri di kasir sepanjang waktu.

“Tadi itu lumayan berat. Untungnya kita punya waktu sebentar untuk bernafas sekarang,” ujar Ayase-san.

“Rasanya memang cukup sulit kalau cuma ada kita berdua, ya.”

“Aku agak khawatir tentang Yomiuri-san.”

"Kuharap ini cuma flu musiman... Tapi kurasa kita sendiri harus berhati-hati.”

Setelah aku memastikan bahwa kami memiliki istirahat singkat dari pelanggan, aku segera menjauh dari kasir.

“Aku akan pergi memeriksa situasi di sekitar toko dulu.”

“Ya, silakan.”

Sambil berhati-hati untuk tidak tergesa-gesa layaknya orang gila, aku pergi untuk memeriksa jumlah majalah di pajangan dan buku di dalam rak buku. Aku juga melihat sekeliling dalam toko untuk melihat apa ada pelanggan yang membutuhkan bantuan. Benar saja, aku menemukan seorang suami yang sedang mencari serial misteri tertentu yang diminta istrinya untuk dibeli, jadi aku segera membimbingnya ke tempat itu. Aku pikir kalau yang Ia cari adalah novel, tapi ternyata yang dicari justru komik, dan setelah aku menebak satu penerbit, tapi Ia memberitahu nama penerbit lain, jadi bahkan membantunya saja sudah menghabiskan sedikit waktu.

Begitu aku kembali ke bagian kasir, aku disambut oleh barisan pelanggan lain. Kurasa aku tidak bisa membuang waktu lagi untuk menjaga area perbelanjaan. Aku kembali ke meja dan membuka mesin kasir kedua. Setelah sekitar satu jam, karyawan lain datang untuk membantu kami, dan kami akhirnya bisa mengambil nafas lega.

Ketika shift kami berakhir dan melangkah keluar dari toko buku, kegelapan malam sudah menyapa kami. Jalanan kota diterangi oleh gemerlap lampu khas Natal, menerangi jalan pulang saat aku mendorong sepedaku sementara Ayase-san berjalan di sampingku. Setiap napas yang kuhembuskan berubah menjadi kabut seputih salju, dan memegang setang saja terasa sangat dingin. Mencengkeramnya bahkan sedikit membuat jari-jariku langsung terasany nyeri.

“Apa kamu tidak punya sarung tangan?” Ayase-san bertanya dari sebelahku.

“Aku selalu parno kalau tanganku terlepas dari setang jika aku memakainya. Yah, kurasa itu cuma masalah sensasi saja.”

Jika dilihat secara obyektif, rasanya agak meragukan apa itu akan membuat tanganku lebih mudah tergelincir jika memakai sarung tangan. Lagi pula, ada sarung tangan khusus yang dibuat khusus untuk sepeda, jadi mengingat keselamatanku sendiri, mungkin lebih baik aku membeli jenis yang itu. Beberapa sekolah di wilayah Tokyo sudah menyesuaikan peraturan sekolah mereka untuk membuat orang-orang dengan sepeda memakai helm saat mereka bepergian ke sekolah. SMA Suisei masih belum menerapkannya, tapi mungkin tidak butuh waktu lama sampai peraturan itu diadopsi. Dan dalam hal ini, mereka mungkin melanjutkan dan menambahkan peraturan untuk mewajibkan sarung tangan juga.

“Kalau begitu kamu pasti membutuhkannya,” komentar Ayase-san setelah mendengarkan opiniku.

Aku bisa menangkap nada khawatir yang samar dari suaranya. Ketika aku menyadarinya, aku tidak mampu mengerahkan keberanian untuk menjawab dengan ringan, “Aku akan baik-baik saja.”

“Ya, kurasa itu benar. Aku akan melihat-lihatnya nanti.”

Meskipun aku tidak tahu bagaimana perasaanku tentang mendapatkan helm yang sebenarnya selain beberapa sarung tangan.

“Kamu juga tidak memakai syal. Memangnya kamu tidak kedinginan?”

“Yang itu sudah pasti terlalu berbahaya. Bagaimana jika syalnya tersangkut di persneling saat aku mengendarai sepeda?”

“Begitu ya. Kurasa itu masuk akal.”

“Aku harus memasukkannya ke dalam pakaianku atau memakai penghangat leher. Walau begitu, aku tidak pernah terlalu terganggu oleh hawa dingin sebanyak itu. ”

“Jadi begitu,” Ayase-san mengangguk. “Tapi cuaca hari ini sangat dingin, bukan? Hei, putar sepedamu ke sini.”

"Hah? Tapi itu sangat sulit untuk berjalan, bukan?”

Aku tidak tahu persis apa alasannya, tapi aku memindahkan sepedaku dari pinggir jalan, meletakkannya di antara aku dan Ayase-san. Itu membuatku merasa seperti jarak di antara kami telah tumbuh, yang membuatku sedikit kecewa. Setelah itu, Ayase-san menggerakkan tangan kirinya ke arah stang sepeda, meletakkannya di atas tangan kanan kiriku—Ahh, begitu rupanya.

Jika aku terus mendorong sepeda di posisi yang sama, Ayase-san harus meregangkan tangannya saat kami berjalan, yang mana hal tersebut akan menyusahkan untuk dilakukan dan agak berbahaya. Berkat ini, aku bisa merasakan kehangatan sarung tangannya  yang menutupi punggung tanganku.

“Apa ini sudah sedikit lebih hangat?”

“Ah… ya…”

“Rasanya akan terlalu berbahaya jika tidak, jadi hanya ini saja yang bisa kupikirkan.”

“Aku tahu, terima kasih.”

Dia harus berhati-hati untuk tidak terlalu menekan tangannya ke tanganku, tapi bahkan ini sudah cukup untuk menutupi tanganku dari hembusan angina dingin, dan itu membuatku merasakan kehangatannya, meski hanya sedikit. Setelah itu, kami terus berjalan berdampingan dalam diam. Kami tidak bisa menghindari berpapasan dengan orang lain yang melewati kami, dan mau tak mau aku sadar bagaimana mereka harus melihat kami berpegangan tangan seperti ini. Meskipun aku mengerti bahwa itu bukan sesuatu yang menonjol. Untuk menyembunyikan rasa maluku sendiri, aku memilih untuk membicarakan hasil ujian yang kami dapatkan kembali hari ini. Ketika aku memberi tahu Ayase-san total nilaiku, dia dengan enggan mengakui miliknya—815 poin. Karena aku memiliki 819, aku menang dengan selisih 4 poin kecil, yang menyebabkan Ayase-san berkomentar dengan ekspresi kalah.

“Aku kalah lagi…”

“Cuma beda 4 poin saja, jadi itu jarak yang sangat kecil. Di tambah lagi, kamu berhasil mendapat nilai 94 dalam bahasa jepang modern, itu sungguh menakjubkan. ”

Rasanya sangat mengesankan melihat nilainya meningkat begitu pesat hanya dalam kurun waktu setengah tahun. Apalagi, aku masih menghadiri sekolah bimbel. Jika Ayase-san bergabung dengan sekolah bimbel sepertiku, dia mungkin akan segera meninggalkanku tak bersisa. Dia bahkan mungkin bisa masuk dalam peringkat 10 besar seangkatan dengan mudah. Tapi saat aku menyebutkan itu, Ayase-san menggelengkan kepalanya.

“Aku tidak punya rencana untuk pergi ke sana.”

“Yah, biayanya juga cukup lumayan, jadi aku mengerti.”

Terlebih lagi, ada juga kepribadian Ayase-san di mana dia tidak ingin bergantung pada orang lain, jadi dia mungkin mati-matian untuk mencapai segalanya dengan kemampuan belajarnya sendiri.

“Maksudku, bukannya aku terlalu keras kepala untuk mengatakan kalau aku takkan pernah pergi… Tapi aku cuma tidak ingin merepotkan keluargaku jika itu terjadi karena aku menghadiri sekolah persiapan. Dan seperti yang pernah kamu katakan sebelumnya, terkadang penting juga untuk mengandakan orang lain.”

"Oh itu? Yah, pada dasarnya aku hanya mengutip perkataan Yomiuri-senpai, sih.”

“Tapi hanya saja, saat ini aku sedang tidak ingin pergi, kurasa?”

“Jika kamu berubah pikiran, tinggal beri tahu saja aku. Aku akan membantumu mempersiapkan segalanya. ”

“Terima kasih,” kata Ayase-san, saat aku merasakan dia menaruh sedikit lebih banyak tenaga pada genggaman tangannya di atas tanganku.

Itu bukan tekanan menindas yang takkan membiarkan aku bergerak, tapi lebih cenderung seperti menyampaikan kehangatannya bahkan lebih ganas dari sebelumnya. Napasku masih mnghembuskan kabut putih, angin musim dingin yang masuk melalui kerahku membeku, namun satu tangan itu saja terasa panas terik.

“Ditambah lagi, jika kita bersama…”

Ucapannya yang samar-samar bergumam tidak mencapai telingaku. Ketika aku menoleh untuk melihatnya, dia sudah mengarahkan pandangannya ke depan, menembus kegelapan malam. Kerumunan orang dan kebisingan malam perlahan tapi pasti semakin menjauh saat kami mulai berjalan menyusuri jalanan sempit yang mengarahkan kami menuju rumah. Setelah kami melewati lampu kuning tempat parkir, kami—adik tiriku dan aku—melihat lampu apartemen kami di kejauhan.

Saat memasuki rumah, pertama-tama kami melihat meja makan. Sebuah tas vinil tengah menutupi sesuatu, sepertinya plastik vinil itu menutuppi kotak makan siang atau semacamnya. Setelah itu, perhatian kami tertuju pada catatan kecil yang melekat padanya.

'Makan malam!'

Aku dengan cepat memeriksa pesan LINE-ku. Ayahku sudah mengirimi pesan yang berisi 'Aku membelikan kalian beberapa makanan ringan ketika kalian pulang dari kerja.'

Kami memeriksa isi di dalamnya. “Oh, gyoza,” seruku.

“Dan ini steak babi dan lada asam manis.” Ayase-san mengeluarkan isi tas dan meletakkannya di atas meja.

Karena shift kami harus disesuaikan, baik Ayase-san maupun aku tidak punya waktu untuk pulang sepulang sekolah dan menyiapkan apa pun untuk makan malam. Ayahku mungkin mengetahui itu dan membeli ini untuk kita. Dan untuk orang yang dimaksud, kemungkinan besar Ia sudah makan dan pergi tidur. Akiko-san, tentu saja, masih bekerja.

“Apa kamu ingin sup, Asamura-kun?”

“Di sana pasti ada sup rebus ‘kan? Aku tidak masalah dengan itu. Bagaimana denganmu, Ayase-san?”

Karena dia mengangguk setuju, aku mengulurkan tanganku ke dalam rak makanan dan mengambil sekantong sup jagung. Yang ini adalah tipe granular. Sementara ketel listrik mendidihkan air, aku mengambil dua mangkuk sup dan meletakkannya di atas meja. Sementara itu, Ayase-san meletakkan sayuran dari kantong plastik di beberapa piring. Jika cuma aku saja, aku tinggal langsung memakannya dengan peralatan makan plastik yang menyertainya, tapi Ayase-san selalu menghangatkan makanan, dan dia lebih suka menggunakan peralatan makan kami sendiri. Rupanya, itu adalah kebijakannya untuk membuatnya terlihat sebagus rasanya, dan melihat sayuran yang mengepul di piring biru memang meningkatkan nafsu makanku. Setelah menambahkan nasi panas, kami berkumpul di meja makan dan mulai memakannya.

“Jadi itu saus yang kamu pakai, Asamura-kun,” gumam Ayase-san.

“Hah? Memangnya aneh?” tanyaku dengan bingung.

Kami berdua menggunakan saus tara dari piring kecil di depan kami masing-masing untuk memakan gyoza. Sepintas, aku tidak bisa membedakannya, tapi setelah memeriksa sausnya lebih dekat, aku akhirnya menyadari apa yang dia maksud.

“Itu yang manis, ‘kan?”

“Iya, yang manis. Apa kamu cuma menggunakan kecap asin?”

“Hah? Bukannya itu yang biasa kamu makan dengan gyoza?”

“Pasti yang manis, ‘kan?”

“…Yah, apa rasanya enak?”

“Justru aku yang harusnya bertanya begitu.”

Aku bahkan tidak bisa membayangkan rasanya. Aku cuma mengatakannya secara spontan, dan Ayase-san menyeodorkan piring kecilnya ke arahku. Dia mungkin menyuruhku untuk mencobanya. Tapi tubuhku tiba-tiba berhenti. Apa aku boleh menggunakan piring yang sama dengannya? Bahkan di antara keluarga, ada saat-saat di mana kamu tidak ingin berbagi sesuatu. Aku pribadi adalah tipe orang yang tidak terganggu olehnya, tapi tetap saja. Aku menyadarinya karena alasan yang berbeda. Alih-alih memikirkannya terlalu lama, aku hanya mengatakan pada diri sendiri bahwa ini adalah hal yang normal untuk dilakukan sebuah keluarga.

Aku mencelupkan gyozaku ke dalam saos manisnya dan menggigitnya. Karena hidangannya masih hangat, aku merasakan umami yang mengepul memenuhi mulutku saat kerak menutupi gigiku. Seiring dengan itu adalah rasa saus manis. Rasanya sangat berbeda dari rasa yang biasa aku rasakan. Tapi tidak terlalu manis untuk aku makan. Rasanya sama-sama enak, tapi aku tidak bisa menjelaskannya dengan baik.

“Begitu, jadi seperti ini rasanya, ya.”

“Enak?”

“Ya, kurasa begitu. Aku merasa agak kurang di beberapa area, tapi rasanya jauh lebih halus.”

“Benar, ‘kan? Rasanya akan lebih menendang jika ditambah dengan lada.”

“Kalau Akiko-san sendiri gimana?”

“Seleranya sama denganku. Kecap asin agak terlalu kaya rasa untuknya. ”

“Begitu ya. Ah, mau coba punyaku juga?”

Aku menggeser piring kecilku ke arahnya. Ayase-san mengambil sepotong gyoza dengan sumpitnya, mencelupkannya ke dalam kecap, dan membawanya kembali ke mulutnya, hanya untuk sesaat berhenti. Namun, dia dengan cepat melanjutkan dan memasukkannya ke mulutnya.

“Mhm, rasanya seperti kecap asin.”

“Mengejutkan, kan?”

Kami mengambil kembali piring kami masing-masing dan melanjutkan makan dalam diam. Sekitar waktu kami menyelesaikan makan malam kami, aku mengangkat topik yang telah aku pikirkan dalam perjalanan pulang.

“Jadi, tentang ulang tahun kita.”

Ayase-san lalu mengangkat kepalanya.

“Hm? Maksudmu hadiah yang akan kita berikan satu sama lain?”

“Ya, aku sedang memikirkan hadiah yang ingin kuberikan padamu. Apa ada sesuatu yang kamu inginkan?”

“Ah, aku juga akan menanyakan hal yang sama.”

Jadi dia memikirkan hal yang sama, ya? Kami benar-benar mirip satu sama lain dalam hal seperti ini. Aku ragu salah satu dari kami akan senang jika kami menerima sesuatu yang tidak akan kami nikmati. Dan itulah mengapa kami berdua ingin memeriksa apa pun sebelumnya. Itu sebabnya kami memutuskan untuk bertanya satu sama lain daripada memikirkan sesuatu sendiri.

“Lalu, harganya. Aku lebih suka sesuatu yang tidak terlalu mahal.”

“Benar. Lagi pula, Kamu mencoba menghemat uang. ”

“Jadi…apa ada sesuatu yang kamu suka, Asamura-kun?”

Pertanyaan semacam itu sedikit sulit untuk dijawab. Oleh karena itu, aku tahu kalau mengatakan “Apa saja tidak masalah” sama sekali tidak mungkin. Ini sama saja dengan mengatakan “terserah” setelah ditanya apa yang ingin kamu makan. Sebaliknya, aku hanya memintanya untuk memberaku sedikit waktu untuk memikirkannya.

“Bagaimana dengan penghangat leher?”

“Ah, karena apa yang barusan kita bicarakan tadi?”

Dalam perjalanan pulang tadi, dia menyebutkan bahwa aku terlihat kedinginan, terutama di sekitar leherku. Aku mengatakan bahwa mengenakan syal akan terlalu berbahaya. Mengikuti pemikiran itu, kemungkinan besar dia mempertimbangkan untuk memberiku syal sebagai hadiah. Dan karena penghangat leher tidak terlalu mahal, itu akan menjadi hadiah yang bagus.

“Bagaimana denganmu, Ayase-san? Adakah hal khusus yang kamu inginkan?”

Aku menerima tanggapan segera.

“Sabun yang bisa aku gunakan untuk mandi.”

“Sabun mandi…?”

Aku tidak terlalu menduga jawaban semacam itu. Ketika memikirkan hadiah, aku pikir mayoritas menginginkan sesuatu yang melambangkan atau membentuk cinta seseorang kepada mu.

“Maksudku, walaupun aku menerima sesuatu yang akan tetap bersamaku setiap tahun, aku akan berakhir mengenakan hadiah di seluruh tubuhku di beberapa titik, dan jika hadiah itu rusak atau hancur, aku akan dipaksa untuk membuang sesuatu yang berharga bagiku. Jika itu masalahnya, aku lebih suka mendapatkan sesuatu yang bisa digunakan sejak awal. ”

Jalan pemikiran itu sangat menggambarkan sifat Ayase-san. Sekilas, cara pandang tersebut mungkin tampak dingin dan jauh, tapi jika dilihat dari sudut pandang lain, pernyataan itu membuatnya terdengar seperti Ayase-san memberikan pendapatnya dengan premis bahwa hubungan kami dan bertukar hadiah akan berlanjut selama bertahun-tahun yang akan datang. Hal ini takkan berakhir setelah hanya sekali ulang tahun saja. Dia berbicara seperti ini karena aku adalah seseorang yang akan terus bertukar hadiah dengannya...

“Oke baiklah. Kalau begitu, hadiahmu tahun ini adalah sabun.”

Ayase-san langsung mengerti apa yang kumaksud dan menunjukkan senyum bahagia.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama