Tanin wo Yosetsukenai Chapter 71 Bahasa Indonesia

Chapter 71 — Halangan

 

Aku sedikit kaget, sejak kapan dia bangun? Kira-kira, apa dia tahu kedatangan kami dan menunggu kami di sini, mengharapkan kami kembali ke ruang tamu.

“Y-Ya, ada apa?”

Suaraku gemetaran karena aku berada di bawah tekanan dari intimidasi misterius.

Aku tidak tahu apa yang tengah dipikirkan Ibu Enami-san.

“Apa yang sedang kamu lakukan sekarang?”

Nada suaranya lesu dan tanpa intonasi. Aku merasa seolah-olah emosi yang kuat berputar-putar di balik kurangnya emosi.

Enami-san melangkah maju untuk menggantikanku dan menjawab pertanyaan tersebut.

“Aku sudah memberitahu Ibu kemarin. Kami sedang membersihkan ruang tamu. Cuma itu saja.”

Ibu Enami-san membuka matanya lebar-lebar dan menutup mulutnya.

Kemudian, layaknya sepasang teropong di observatorium, dia menggerakkan kepalanya untuk melihat sekeliling ruang tamu. Aku merasa merinding. Rasanya sangat menakutkan karena dia terus diam. Perkataab Enami-san kembali terlintas di benakku.

(Ibu juga sedikit pendiam hari ini, jadi ayo lakukan selagi bisa)

Aku merasaka kalau ini mungkin akan berubah menjadi situasi yang buruk.

Kalau aku boleh menebak, bisa terlihat dengan jelas kalau Ibu Enami-san sangat terikat pada ruang tamunya.

“Sepertinya semua perabotan yang dulu ada di sana-sini sudah hilang. Apa yang terjadi? Aku merasa resah kalau tidak ada itu.”

Tidak peduli seberapa meresahkannya, itu sama sekali tidak ada gunanya karena mereka rusak. Namun, aku tidak berhak mengatakan hal seperti itu dengan jelas.

“Apakah mereka akan dikembalikan setelah dibersihkan? Akan dikembalikan, iya ‘kan?”

Dia menatap lurus ke arah mataku. Tatapan matanya membuatku merasa seolah-olah tubuhku akan tersedot ke kedalaman matanya.

Enami-san berdiri menengahiku dan Ibunya.

“Aku sudah membuang semuanya.”

Itu sebabnya aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku pada pernyataannya yang berani.

“Karena semua perabotan itu dibutuhkan, jadi aku membuangnya. Lagipula itu sudah rusak dan berbahaya. Kita harus membeli perabotan baru.”

“Dibuang semuanya ......?”

“Ya.”

Nishikawa dan aku saling bertukar pandang. Kami berdua sama-sama bingung, tidak tahu harus berbuat apa.

Yang kami lakukan hanyalah membuang perabotan yang rusak. Itu saja. Aku bertanya-tanya mengapa suasananya jadi begitu tegang ketika kami cuma melakukan sesuatu yang sudah sewajarnya.

“Jangan khawatir, bu. Ibu tidak perlu takut atau cemas. Serahkan saja padaku dan aku akan mengurus semuanya.”

Kata-kata ini sepertinya tidak tersampaikan kepada Ibu Enami-san. Tidak ada perubahan dalam ekspresinya. Aku penasaran apa kalimat yang dikatakan hanya melewati telinganya.

Saat aku sedang memikirkan ini, Ibu Enami-san mulai bergerak.

Dia membuka pintu ruang tamu dan mulai berjalan menyusuri lorong menuju pintu depan. Kami buru-buru mengikutinya.

Dia melihat tumpukan perabotan yang tergeletak di pintu depan. Dia berdiri diam. Kepalanya tidak bergerak, lengannya menggantung ke bawah, dia hanya berdiri diam di sana.

“…….Bantu aku dengan ini”

Tanpa menunggu jawaban kami, dia meraih ujung meja yang diletakkan di sana. Dia mencoba mengangkatnya, tapi kurasa dia tidak bisa mengumpulkan tenaga. Dia segera menyerah dan mulai menyeretnya dengan paksa.

“Risa!”

Dia mendadak berteriak memanggil Enami-san. Ini adalah pertama kalinya aku mendengar suara sekeras itu datang dari ibu Enami-san.

“Apa kamu tidak bisa mendengarku?!”

Dia meneriaki itu sambil terus menyeretnya. Suara teredam bergema saat meja bergesekan dengan lantai. Meski begitu, Ibu Enami-san sepertinya tidak terganggu dengan hal itu. Kurasa dia tidak peduli jika lantai rumahnya rusak.

“Cepat!?”

Di koridor yang sempit ini, tidak ada tempat untuk melarikan diri atau ruang untuk berkeliling. Kami tidak punya pilihan selain mundur perlahan dari Ibu Enami-san saat dia datang dari arah depan kami.

Meja yang rusak tersebut kembali ke ruang tamu dengan bunyi gedebuk. Permukaan lorong itu dipenuhi lecet dan meninggalkan bekas.

Ibu Enami-san akhirnya memposisikan ulang meja di depan TV sendirian.

Kaki mejanya masih patah, jadi saat tangannya meninggalkan meja, meja itu menghantam lantai dengan bunyi gedebuk.

“Apa yang ingin Ibu lakukan dengan membawa kembali mejanya ke sini? Itu masih rusak.”

Enami-san bertanya dengan nada suara yang lembut. Kurasa dia memutuskan kalau dia tidak boleh terlalu memprovokasi ibunya. Untuk saat ini, Ibu Enami-san tidak menanggapi sama sekali. Bagaimana mungkin dia tidak menyadari kalau kaki meja tersebut sudah patah? Seolah-olah dia tidak peduli tentang itu.

Aku bertanya-tanya apa dia sudah merasa puas setelah mengembalikannya. Ibu Enami-san kembali berbaring di atas futon di sisi lain meja makan.

Yang tersisa di ruang tamu hanyalah perabotan yang rusak dan kami dalam keadaan linglung, serta keheningan yang mencekam.

Akhirnya, aku mengerti apa yang dimaksud Enami-san. Jika kita membersihkannya, itu akan memberikan beberapa perubahan pada ruang tamu. Ibu Enami-san, yang tidak menyukai itu, akan menghalangi. Bahkan jika ruangan itu tidak dimaksudkan untuk dihuni, atau bahkan jika dia berada di tempat tidur karena pilek, dia takkan membiarkan perubahan itu.

“Apa yang harus kita lakukan ……?”

Mata Nishikawa melihat sekeliling ruang tamu. Enami-san menjawab dengan nada meminta maaf.

“Maaf karena sudah membuat kalian tidak nyaman, tapi kurasa kita harus terus membersihkannya sedikit demi sedikit, meskipun kita diganggu seperti ini. Kalau tidak, kita takkan bisa menyelesaikannya dalam waktu dekat.”

Memang benar bahwa satu perabot telah dikembalikan, tapi sisanya masih di ruang depan. Ini bukannya berarti kita kembali ke titik awal.

“Aku benar-benar minta maaf …….”

Ujar Enami-san dengan ekspresi murung. Kelelahan terlihat jelas di wajahnya.

Kejadian semacam ini mungkin bukan pertama kalinya. Pasti ada banyak peristiwa seperti ini di masa lalu. Itu sebabnya dia tidak bisa bergerak maju.

Aku tidak tahu tentang situasi Ibu Enami. Perubahan yang tidak masuk akal mungkin hanya membuatnya kesal. Apa kami harus menyerah, atau tetap berusaha melanjutkan? Aku tidak tahu sama sekali.

Namun, jika Enami-san masih ingin melanjutkan,

Kami tidak punya pilihan selain bergerak maju selangkah demi selangkah, bahkan jika kami harus memaksanya. Itulah yang kupikirkan juga.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama