Chapter 74 — Balas Dendam
Sendok jatuh dari tangan
Fujisaki dan mengenai tepian mangkuk. Dia jelas-jelas merasa terkejut dengan pertanyaan yang begitu blak-blakan.
“Ap-Ap-Ap-Apa maksudnya dengan
apa yang kupikirkan?”
“Te-Tenanglah dulu sebentar,
Fujisaki.”
Kepanikannya sampai menyebar
padaku. Aku merasa sebal saat ayahku melihat Fujisaki dengan wajah tersenyum.
Apa maksudnya dengan, serahkan semuanya padaku? Bukannya tadi itu terlalu terus
terang.
“Apa? Maksudnya sesuai dengan apa
yang kutanyakan kok.”
“Itu pelecehan seksual, tau.”
Aku ingin tahu apa ayahku ini
memiliki hubungan yang baik dengan rekan kerja wanita sampai bisa membuatnya
bertanya “Apa kamu sudah punya pacar?”
atau “Apa kamu menyukai pria itu?”
atau semacamnya. Kalau tidak, Ia takkan menanyakan pertanyaan seperti itu dalam
situasi ini.
“Tidak, aku tidak…”
“Diam. Tutup mulutmu, Ayah
brengsek.”
Sayaka juga sampai ikut-ikutan
memelototi Ayah. Tampaknya itu adalah komentar yang menjengkelkan bahkan dari
sudut pandang Sayaka.
“Tapi——”
“Tidak ada tapi-tapian. Ayah
benar-benar harus diam. Jika kamu tidak diam di sini, aku takkan pernah
berbicara denganmu lagi.”
Seperti yang diharapkan, tidak
ada yang bisa dia lakukan ketika dia sudah mengatakan sebanyak itu. Ayahku
menutup mulutnya.
“Maaf, Fujisaki.”
Fujisaki lalu mengambil sendok
yang terjatuh.
“Mm, aku tidak keberatan. Aku
hanya sedikit terkejut ketika beliau tiba-tiba menanyakan itu. ……”
“Aku akan mengubur orang tua
itu nanti, jadi kamu bisa memakan karimu pelan-pelan.”
“Ya.”
Ayahku sudah menutup mulutnya,
tapi Ia tampaknya tidak mengerti mengapa Sayaka menjadi marah. Ia menyentuh
sendok makannya dan mulai mengunyah.
“Bagaimana dengan belajarmu, Sayaka?”
“Ini lebih baik dari kemarin.”
Tampaknya hal itu berjalan
dengan baik. Fujisaki juga mengangguk.
“Aku pikir dia gampang
menangkap isi pelajaran. Jadi aku merasa mudah untuk mengajarinya.”
“Aku senang mendengarnya.”
Namun, ayahku tiba-tiba ikutan
nimbrung.
“Fujisaki-san juga lumayan
akrab dengan Sayaka, ya? Kamu sudah sampai sejauh ini, kamu sudah seperti
anggota keluarga kami. ”
Tidak, aku tidak bisa
meninggalkan ayahku seperti ini terus, Ia akan selalu menimbulka masalah
untukku.
Dengan pemikiran itu, aku
mengambil botol kecil yang ada di dekatnya. Panjangnya sekitar sepuluh
sentimeter. Di dalam botol tersebut terdapat cairan merah.
“Ayah, kamu lupa menuangkannya.”
Aku melepas tutupnya dan
menuangkan isinya ke dalam botol tanpa menunggu tanggapan apa pun. Cairan merah
jatuh pada hidangan kari dan mengubahnya menjadi warna gelap.
“Hey, apa yang sedang kamu
lakukan?”
“Aku cuma menuangkan kecap kok,
jangan khawatir.”
Labelnya sudah dilepas dari
botolnya, jadi sekilas akan sulit untuk mengetahui isinya.
“Tapi bukannya itu tabas–” (TN: Tabasco – Bumbu
pedas)
"Rasanya enak loh, Ayah
juga harus mencobanya.”
Aku mengambil sendoknya dan mengambil
bagian yang menghitam dan membawanya ke mulutnya.
“O-Oi, Naoya. Hei.”
“Ayah tinggal percaya padaku.”
Matanya mengarah kemana-mana,
tapi akhirnya dia tersadar. Mulut kecilnya terbuka, dan aku mendorongnya ke
sana.
“Hei, itu cuma kecap, kan?”
“Hah? Tentu, ini tidak pedas,
kok. ”
Ia lalu mengunyahnya sebentar,
tetapi segera wajahnya menjadi merah padam.
“Seperti yang kuduga, ini tabascooooooooooooo.”
“Ups, kurasa aku salah memasukkan
bumbu.”
Ayahku tukang pilih-pilih
makanan dan bukan penggemar makanan pedas. Rasanya terlalu pedas untuknya, jadi
Ia meminum banyak teh dari cangkir dengan air mata berlinang.
“Oh, Ayah, apa anda baik-baik
saja?”
“Ha~a, Ha~a. ……”
Napasnya terengah-engah
sehingga Ia bahkan tidak bisa menanggapi kata-kata Fujisaki. Ia biasanya
meminta karinya manis, jadi pedasnya Tabasco sudah cukup untuk membuatnya
pingsan.
“Naoya, bisakah kamu memberiku
lebih banyak air, tolong? ……”
“Apa boleh buat.”
Aku meninggalkan tempat dudukku
dan pergi ke dapur sambil membawa cangkir ayahku. Di dalam kulkas, ada
secangkir teh jelay dingin.
Saat itulah aku mendengar suara
ayahku lagi.
“Fujisaki-san …….”
Caranya memanggil Fujisaki
terdengar seperti orang mesum.
“Bukankah kamu baru saja
mengatakan, 'Oh, ayah' ......?”
Aku mengambil minuman lain dari
kulkas, menuangkannya ke dalam gelas, dan membawanya ke ayahku.
“Ini minumannya.”
“Ya terima kasih …….”
Ia sepertinya sangat kehausan
karena dia meminumnya dalam satu tegukan sampai habis.
“Akhirnya, aku bisa santai
dengan ini–—”
“Oh maaf. Aku tidak sengaja
memasukkan bir.”
“– Tenggorokanku sakittttttttttttttttttttttttttttttttttt”
Ia berteriak kesakitan sambil
memegangi lehernya.
Karbonasi bir tampaknya telah
meresap ke tenggorokannya. Semuanya telah berjalan sesuai rencana.
“Kuso Aniki ......”
“Ookusu-kun……”
Aku bisa merasakan tatapan mata
yang tertuju padaku, bertanya-tanya apa perbuatanku terlalu berlebihan, tapi
aku ingin mereka mengerti perasaanku. Itu adalah pengorbanan yang diperlukan
demi bisa menikmati momen makan yang damai.
“Naoya, Naoya, bukannya ini
terlalu berlebihan? Aku melakukan semua ini demi kamu…”
Dan itu bukan satu-satunya
langkah dalam rencananya. Ayahku memiliki kelemahan lain.
“–Aku sedang berpikir… Eh? Ah,
dunia tampaknya berputar, Naoya.”
Ia memiliki kelemahan dalam
alkohol. Ia tidak hanya membenci makanan pedas, tapi Ia gampang sekali mabuk,
yang membuat wajahnya semakin merah. Ia sepertinya tidak bisa menjaga keseimbangannya,
dan tampak sempoyongan.
“Naoya. Hei~, apa yang sedang
kulakukan di sini? Aku tidak dapat menemukan kari di mana pun. Aku punya
sendok, tapi tidak ada yang bisa dimakan. Kemana perginya kariku?”
Tentu saja, karinya masih di
depan ayahku sekarang, tapi pandangannya terlalu kabur untuk melihatnya.
“Maaf, aku membuatmu minum bir
yang salah, jadi ayah sedang mabuk sekarang. Ayah harus tenang. Aku akan
menyimpan kari dengan bungkus plastik, sehingga Ayah bisa memakannya setelah
sudah tersadar. ”
“Aku tidak begitu memahaminya,
tapi aku akan melakukannya.”
Aku memegang bahu ayahku dan
membawanya ke kamar bergaya Jepang di mana kasur sudah diletakkan. Ia takkan
bisa pulih setidaknya selama tiga jam.
“Maafkan aku. Tapi itu semua salah
ayah.”
Aku bergumam pada diriku
sendiri setelah membaringkannya di futon.
Aku segera berjalan kembali ke
meja makan. Kemudian Sayaka menghela nafas dengan keras.
“Yah, kurasa Ia pantas
mendapatkannya.”
Aku menanggapinya dengan mengangguk
kecil.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya