Tanin wo Yosetsukenai Chapter 75 Bahasa Indonesia

Chapter 75 — Jalanan Malam

 

 

Seperti biasa, ayahku segera tidur nyenyak dan aku bisa langsung mendengar suara dengkuran dari kamar bergaya Jepang. Seperti yang sudah dijanjikan, aku membungkus kari yang akan dia makan dan duduk di kursi dalam diam.

“..... Apa ayahmu baik-baik saja?”

“Jika kamu ingin bertanya apa tubuhnya baik-baik saja setelah semua itu, aku akan mengatakan kalau Ia bakalan tidak apa-apa. Tetapi jika kamu ingin menanyakan apa kepalanya baik-baik saja, aku cuma bisa menggelengkan kepala ...”

“Tentu saja yang terakhir. Tapi ya, dia memang ayah yang sangat lucu.”

“Aku minta maaf karena membuatmu merasa tidak nyaman.”

“Aku juga minta maaf atas kekasaran ayahku. Fujisaki-san, tolong jangan terlalu membencinya….”

Semuanya tertulis jelas di wajah Sayaka kalau dia ingin memberi pelajaran pada ayahnya.

“Tapi aku memang sedikit terkejut, sih. Karena Ia berbicara kepadaku seakan-akan aku sudah menjadi bagian dari keluarga. ……”

Aku yakin kalau ayahku cuma terlalu gembira saja. Karena aku belum pernah membawa pulang seorang gadis pun sejak aku masih di SD. Kurasa aku sudah sangat mengkhawatirkannya sehingga Ia kehilangan keberanian. Meski begitu, semua juga ada batasannya.

“H-Hei ….”

Fujisaki berseru dengan wajah menunduk.

“Apa yang kamu bicarakan dengan ayahmu sebelum makan malam tadi?”

“Ia hanya menanyakan apa karinya cukup manis. Seperti yang bisa kamu lihat sendiri, Ia tidak suka makanan pedas, jadi aku selalu membuatnya manis. Dan Ia tidak ingin kamu mengetahui kalau dirinya, seorang pria dewasa, cuma bisa makan kari manis, jadi Ia diam-diam bertanya kepadaku.”

“Kuso aniki ...... tumben-tumbennya kamu banyak bicara.”

Sayaka memberiku tatapan bingung.

“Oh begitu rupanya. Kupikir itu …….”

Fujisaki kemudian terdiam di sana.

Keheningan yang berat ini berkat kesalahan ayahku. Ada hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang tidak boleh dilakukan.

Sayaka bergantian melirik wajahku dan Fujisaki dengan ekspresi bingung. Aku tidak tahu apa yang dia rasakan, tetapi dia terlihat sangat tidak nyaman.

“Fu-Fujisaki-san, …… boleh minta tolongnya sebentar?”

“Eh?”

Untuk beberapa alasan, Sayaka tiba-tiba menunjuk wajahku.

“Bisakah kamu menatap wajah kakakku?”

Fujisaki menganggukkan kepalanya tetapi tampaknya tidak punya pilihan selain menurut. Dia lalu menatap lurus ke wajahku.

Saat aku melihatnya wajahnya seperti ini, aku masih berpikir kalau Fujisaki memang gadis yang imut dan manis. Di kelas kami saja ada banyak cowok yang diam-diam menyukai Fujisaki. Tidak ada alasan untuk tidak menyukainya, bukan hanya karena penampilannya tetapi juga karena kepribadiannya.

Pandangan mataku bertemu dengan mata Fujisaki.

Dia segera mengalihkan pandangannya. Namun, itu bukan perubahan besar. Dia hanya mengalihkan pandangannya ke sisiku.

“Apa ini sudah cukup Sayaka-chan?”

“Jadi begitu”

Aku tidak tahu apa yang meyakinkannya, tapi Sayaka mengerutkan alisnya dan memberiku tatapan bermasalah.

“Apa yang sedang kamu coba lakukan?”

“Itu bukan urusanmu, kuso aniki. Kamu bisa terus menjalani hidupmu dalam keadaan linglung. Jika ini medan perang, kamu cuma bisa bengong sehingga kamu akan tertembak dari belakang. ”

"Oh ya?"

Ada sedikit rasa jijik di dalam pandangan mata Sayaka.

Setelah beberapa saat, semua orang selesai makan kari mereka. Fujisaki mengucapkan terima kasih sekali lagi untuk makanannya. Aku senang mendengar saat dia menyukainya.

“Aku akan mengurus piring kotor ini. Fujisaki dan Sayaka bisa melanjutkan belajar. Lalu, kalau kamu pulang terlalu malam, aku akan mengantarmu pulang, jadi kamu bisa menelponku saat kamu ingin pergi.”

“Ka-Kamu tidak perlu melakukannya sejauh itu.”

“Fujisaki-san. Jangan mengkhawatirkan kakakku yang brengsek ini, kamu bisa  memanfaatkannya dengan bebas. ”

“Aku tinggal jalan kaki sebentar ke stasiun. Itu bukan masalah besar kok. Aku bakalan baik-baik saja.”

“Tida, tidak, kamu tidak perlu sungkan-sungkan segala.”

Mereka berdua kemudian naik ke lantai atas lagi.

Aku masih bisa mendengar suara dengkuran dari kamar bergaya Jepang. Kalau begini terus, Ia takkan bangun untuk sementara waktu.

Sekitar satu setengah jam kemudian, Fujisaki turun dari lantai atas. Aku baru saja menyelesaikan semua tugasku dan hendak bersantai di ruang tengah. Aku sedang mempelajari sejarah dunia di smartphone-ku, tapi aku segera mendongak ketika melihat Fujisaki mendekat.

“Sebaiknya aku segera pulang.”

“Oke. Aku akan mengambil mantelku dulu.”

Aku segera mengambilnya dari kamarku dan menarik lengan bajuku. Ayahku masih tertidur. Aku punya firasat bahwa Ia takkan bangun sampai pagi.

Kami berdua berjalan keluar pintu bersama-sama. Sejujurnya, suhu di luar lumayan dingin. Aku masih belum terbiasa dengan suhu dingin ini.

Tampaknya ada beberapa anjing yang berkelahi di suatu tempat, dua jenis gonggongan yang berbeda terjadi di malam hari. Aku tidak tahu apa mereka mulai berkelahi di malam hari, atau apa aku saja yang tidak mendengarnya di siang hari. Tapi mereka selalu terdengar di malam hari.

“Aku melihatmu sedang belajar di smartphone tadi. Itu aplikasi bernama 'World History Navigator' ‘kan?.”

“Apa kamu tahu tentang itu?”

“Aku juga menggunakannya. Aplikasi itu cukup bermanfaat.”

Saat memegang smartphone, ada kalanya kamu justru cuma memainkannya atau bermain sosmed. Tapi jika kamu membuka aplikasi ini pada waktu senggang, kamu takkan membuang waktu. Akumulasi semacam ini membuat perbedaan yang sangat besar.

“Kamu selalu belajar setiap kali ada kesempatan. Tidak mengherankan kalau aku tidak bisa menang.”

“Yah, itu cuma terjadi secara kebetulan. Aku kebetulan sedang mencari beberapa pelajaran untuk dilakukan. ”

“Itu bohong.”

Sebenarnya, itu memang bohong. Tetapi aku tidak ingin mengatakan kalau aku terlalu banyak belajar. Aku merasa malu untuk menunjukkan seberapa banyak upaya yang kulakukan.

Setelah berjalan sebentar, aku segera melihat jembatan. Aku bisa melihat dari kejauhan bahwa gedung stasiun itu tampak berkilauan.

Di tengah jembatan, aku mendengar suara langkah kaki di belakangku mendadak berhenti.

Aku berbalik dan melihat kalau Fujisaki berdiri mematung di sana.

“Hei.”

Suaranya terdengar pelan. Aku memiringkan kepalaku untuk bertanya padanya.

“Apa ada yang salah?”

Dia tampak aneh. Dia tidak mau melihat ke arahku dan tetap menundukkan kepalanya.

 

 

Sebelumnya|| Daftar isi || Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama