Chapter 76 — Fujisaki
“Hei, Ookusu-kun……?”
“Ya?”
Bayangan panjang membentang di
bawah kakiku. Bayangan tersebut dipantulkan karena lampu jalan yang lemah.
Fujisaki terus berkata tanpa
memalingkan wajahnya ke arahku.
“Dengar, maafkan aku jika aku
membuatmu kesal dengan mengatakan ini ...”
“Kamu tidak perlu khawatir.
Jika itu Fujisaki, aku tidak keberatan apa pun yang kamu katakan. ”
Sejujurnya, aku sedikit
kelabakan juga. Baru pertama kalinya aku melihatnya terlihat begitu tidak
nyaman.
Meski begitu, Fujisaki
melanjutkan dengan gentar.
“Kamu itu aneh, ya,
Ookusu-kun?”
….
aneh, ya? Aku terkejut dengan ucapannya yang tidak terduga.
“Yah, kupikir kalau aku normal.
Kurasa kamu bisa mengatakan kalau aku sedikit serius. ”
“Bukan itu yang kumaksud…”
–Ada
yang tidak beres.
Suasana di sekitar kami sangat
sepi sekali. Kami bisa mendengar suara satu sama lain dengan jelas.
“Rasanya seperti kamu memikirkan
hal lain saat berbicara dengan teman sekelas. Maaf, aku tidak bisa
mengungkapkannya dengan benar. ”
“…… Aku tidak begitu mengerti,
tapi apa aku terlihat seperti itu bagimu?”
“Ya”
Perkataan yang diucapkan lebih
pelan dari biasanya, tapi terdengar kuat di telingaku.
“... Apa aku terlihat begitu
terus?”
“Mungkin tidak selalu. Tapi kamu
tahu. Sejak aku mulai berbicara dengan Ookusu-kun, aku mungkin merasakan
seperti itu sedikit demi sedikit. Aku bukannya menilai kalau itu adalah hal
yang buruk atau semacamnya. Aku hanya ingin mengatakan hal itu saja sekarang.”
“Jadi begitu. ……”
Jika memang begitu masalahnya,
mungkin ada kaitannya dengan masa laluku.
Di luar, aku bersikap biasa-biasa
saja, seolah-olah masa lalu semacam itu tidak pernah terjadi. Tapi jauh di
lubuk hatiku, masa lalu tersebut masih terukir jelas dan tidak pernah
meninggalkanku.
Itu sebabnya aku selalu menjadi
yang terbaik di kelas, dan takut kehilangan arah.
Meski aku sudah berusaha mencoba
untuk tidak menunjukkan sosok seperti itu, Fujisaki mungkin bisa merasakannya.
“Entah itu kamu sedang tertawa
atau marah, kamu tampaknya berada di suatu tempat yang jauh. Emosi di wajahmu
dan emosi yang kamu rasakan adalah dua hal yang terpisah. Kamu tidak tertawa
dari hatimu, kamu tidak benar-benar marah, dan kamu tampaknya hidup sambil
melihat sesuatu yang lain.”
“……”
Kata-kata Fujisaki tidaklah
mencela maupun menghibur. Dia hanya menyatakan fakta dengan jelas.
Itu sebabnya hal tersebut
sangat menusuk di hatiku. Aku tidak pernah menyangka kalau dia menganggapku
seperti itu.
“Apa kamu marah?”
“Tidak. Jika itulah yang kamu
pikirkan, itu semua karena perilaku sendiri. Aku akan berhati-hati lagi di masa
depan. ”
“Aku tidak keberatan. Itu
bagian dari dirimu, Ookusu-kun. Hanya saja…”
Hembusan angina bertiup menerpa
tempat kami berdiri. Rok selututnya bergoyang. Tiupan angin keras mengibaskan
poni di depan mata Fujisaki dan syal yang melilit lehernya.
“Hanya saja, ada sesuatu yang
sangat menggangguku. ...... Aku tidak mencoba menyusahkanmu, Ookusu-kun.”
Fujisaki kemudian berjalan
mendekatiku, selangkah demi selangkah.
Dia lalu berhenti ketika jarak di
antara kami berkurang menjadi sekitar satu meter. Dalam kegelapan malam, aku
bisa melihat matanya yang seperti manik-manik. Aku menghela napas kecil.
“Kenapa kamu sangat peduli
dengan Enami-san, Ookusu-kun?”
“Eh?”
Aku tidak punya niat untuk melakukan
itu. Aku selalu bersikap pasif. Enami-san saja yang terus menungguku di depan
gerbang sekolah. Di tengah malam, Enami-san yang mengirimiku pesan teks. Dia sendiri
yang meminta bantuanku ……
Seolah-olah terjebak di
dalamnya, aku jadi lebih mengenal tentang Enami-san, terlibat dengan Enami-san,
dan berbicara dengan Enami-san.
Hanya itu saja.
“Aku tidak terlalu memedulikannya...”
Tapi Fujisaki menggelengkan
kepalanya kuat-kuat.
“Meski kamu biasanya melihat ke
kejauhan, aku merasa kamu menatap lurus ke arah Enami-san. Rasanya seakan-akan
kamu membiarkan emosimu bersinar dan memperhatikan apa yang ada di depanmu. Aku
hanya tidak bisa berhenti memikirkannya. ……”
Fujisaki mengambil langkah
lebih dekat.
“Waktu itu juga sama. Ketika
kita mencoba belajar dengan Enami-san dan Nishikawa-san di restoran keluarga,
kamu benar-benar marah. Aku belum pernah melihatmu begitu serius dan marah
sebelumnya, tapi di depan Enami-san, kamu mengungkapkan emosi seperti itu.”
“Kamu terlalu melebih-lebihkannya
...”
Suaraku terdengar sangat pelan sampai-sampai
tidak ada yang bisa mendengarku.
“Saat Ookusu-kun bersama Enami-san,
kamu terlihat lebih gembira dan hidup. Bahkan saat kamu berbelanja dengan
Nishikawa-san dan Enami-san di depan gerbang utama, kamu menunjukkan wajah yang
biasanya tidak kamu tunjukkan.”
“… Mana ada yang seperti itu.”
Aku tidak dapat menyangkalnya
dengan keras, mungkin karena aku menyadarinya di suatu tempat di lubuk hatiku.
“Aku sangat syok saat melihatnya.
Aku tahu kalau kamu dan Enami-san sering pulang bersama, tapi aku tidak pernah
tahu kalau hubungan kalian sudah begitu dekat. Wajah Ookusu-kun yang tidak
pernah kamu tunjukkan padaku semakin sering muncul.”
Aku akhirnya tak bisa
embantahnya lagi.
Enami-san agak mirip denganku.
Aku merasa seolah-olah perasaan terdalamku sedang diseret keluar olehnya.
Aku ingin tahu apa itu yang
jadi penyebabnya. Apa karena itu ekspresiku jadi terlihat berbeda? Aku tidak
menyadarinya sama sekali, tapi aku penasaran apa aku memang jadi seperti itu.
Aku sendiri tidak memahaminya
sama sekali.
“Ookusu-kun”
Fujisaki kemudian memanggilku.
“Hari ini, kenapa kamu mengundangku
ke rumahmu?”
“Itu ……”
Aku bisa memberikan alasan
sebanyak yang aku mau. Demi Sayaka. Untuk
berterima kasih padanya. Tapi bukan jawaban semacam itu yang dia inginkan.
Udaranya terasa menyakitkan. Tapu
bukan hanya karena cuaca dingin saja yang membuatnya terasa lebih menyakitkan.
Bohong jika aku tidak memiliki motif
tersembunyi sama sekali. Itulah yang Sayaka tunjukkan sebelumnya.
Tapi bukannya berarti aku ingin
berpacaran dengannya atau lainnya.
Aku tidak punya pilihan selain
tetap diam. Aku mengalihkan pandanganku untuk menutupi kesunyianku. Suara
riakan air sungai terdengar di bawah jembatan.
Aku hanya berdiri mematung.
Itu semua karena aku terobsesi
dengan masa lalu. Aku menyadari hal itu.
Memang, aku mungkin belum
mengikhlaskan masa lalu. Kupikir aku sudah melarikan diri sedikit, tetapi aku masih
terjebak di lubang yang dalam.
Aku takut untuk melangkah
keluar.
Aku berpikir kalau aku hanyalah
orang yang tidak berharga. Aku sama sekali tak memiliki apa-apa. Cuma cangkang
kosong yang berusaha memasukkan pengetahuan ke dalam tubuhku seolah-olah aku
mencoba untuk melembabkan tenggorokanku yang kering.
Aku meyakini bahwa orang yang tak
berharga semacam itu seharusnya tidak jatuh cinta dengan seseorang. Paku rasa
bersalah yang secara tidak langsung membunuh ibuku masih tertancap di lubuk
hatiku.
Bagi aku, ini adalah situasi
yang ingin kuhindari.
Jangan
lihat aku. Jangan pedulikan aku. Aku tidak peduli. Aku benar-benar tumpukan
sampah. Biarkan saja orang ini.
Itulah sebabnya aku berpura-pura
tidak menyadarinya.
Aku mengetahui kalau Fujisaki
mungkin jatuh cinta padaku.
Dan sekarang, Fujisaki berusaha
merasuki perasaanku selangkah demi selangkah….
“Maafkan aku. Aku cuma merasa
kalau belakangan ini, aku semakin tidak bisa menahannya. ...... rasanya jadi
semakin sulit. ……”
Sesuatu menghantam dadaku
dengan bunyi gedebuk.
Aku terkejut. Aku tidak pernah
berharapa kalau Fujisaki akan berperilaku seperti ini. Karena selama ini, aku
hanya memperlakukannya sebagai teman baik.
Kadang-kadang, aku memang merasa
berdebar-debar saat menghadapinya. Tapi itu tidak pernah lebih dari itu.
Kecuali pada waktu itu, sekitar …… setahun yang lalu.
“Inilah perasaanku padamu .…”
“……”
Untuk beberapa saat setelah
itu, kami berdua sama-sama terdiam satu sama lain.
Hanya jantungku yang berdegup
kencang.
Emosiku berubah jadi tidak
karuan. Bukannya aku tidak merasa bahagia. Tapi aku juga merasa takut dan
berusaha ingin melarikan diri.
Dinginnya sol sepatuku dan
gemerlap cahaya lampu jalan yang meredup di mataku.
Setiap kali angin bertiup, aku
merasa seolah-olah panas dari dalam tubuhku tersedot keluar. Dan kemudian ada
suhu badan Fujisaki yang bisa aku rasakan di dadaku.
Aku tidak bisa mengatakan
sepatah kata pun.
“ ……”
Aku merasa malu sekaligus
frustasi pada diriku sendiri.
Kurasa Fujisaki sudah
mengeluarkan segenap keberaniannya. Jika tidak, mana mungkin Fujisaki yang
biasanya tenang akan melakukan ini.
Jika kamu seorang cowok, kamu harus
menghadapinya secara langsung dan menanganinya. Itulah yang ingin dia minta
saat menciptakan suasana seperti ini.
Sekarang bukan waktunya untuk
berdiri mematung dan diam terus.
Aku tahu itu. Tapi tidak ada
yang bisa aku lakukan.
Aku bisa merasakan napas kecil
Fujisaki di dadaku dan mendongak ke atas langit.
Pada saat itu, aku jadi
mengingat pertemuan pertamaku dengan Fujisaki.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya