Chapter 82 — Toko Buku
Pada hari libur kami, aku dan Fujisaki
mengunjungi sebuah toko buku.
Tempat kami berkumpul sedikit
lebih urban daripada area di sekitar sekolah. Di sana ada ritel toko buku
terkenal yang menyediakan berbagai macam buku, dari buku teknis hingga majalah
biasa.
Aku dan Fujisaki berjalan-jalan
sembari melihat sekeliling dengan kagum.
“Rasanya cukup mendebarkan
untuk memeriksa semua sudut lagi. Ada begitu banyak buku, sulit untuk menemukan
yang tepat. Aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana.”
Sepertinya jaraknya sekitar beberapa
puluh meter dari satu ujung ke ujung lainnya.
“Benar juga ... Hei, apa kamu
pernah ke sini sebelumnya, Ookusu-kun?”
“Aku pernah beberapa kali mampir
ke sini. Aku biasanya membeli buku referensi dan buku masak. Di sini memiliki
pilihan yang lebih baik daripada toko lain, jadi aku bisa memilih dengan
hati-hati.”
“Jadi begitu. Kamu juga
memasak, ya, Ookusu-kun.”
“Di zaman sekarang ini, cara
tercepat untuk mencari informasi mungkin melalui Internet, tapi karena aku
tidak memiliki tablet atau printer, jadi buku adalah sarana yang paling
nyaman.”
Kami berjalan melalui rak buku
sambil membicarakan hal-hal ini.
Aku berpura-pura tenang dan
santai, tapi di dalam hati, aku merasa gugup.
Aku bertemu dengan seorang gadis
di hari liburnya. Perihal itu saja sudah menjadi rintangan yang sangat sulit
bagiku, karena aku kebanyakan sendirian saat SMP dulu. Meski begitu, aku tidak
merasa aneh tentang itu, berkat banyak percakapan yang kami lakukan ketika aku
menjadi komite perpustakaan.
Fujisaki terlihat manis dan
imut dengan pakaian kasualnya. Dia mengenakan gaun one-piece bustier-ish semi-panjang. Kontras biru muda dan putih
sangat cocok dengan Fujisaki.
Aku terlalu malu untuk
mengatakan hal seperti itu.
“Oh iya. Ada sesuatu yang ingin
aku tanyakan kepadamu ketika aku di sana.”
Fujisaki melihat sesuatu dan
melesat cepat.
Ketika aku menyusulnya, dia sudah
berada di bagian buku referensi dan buku masalah. Pemilihan buku referensi saja
tampaknya ada sekitar seratus jenis yang berbeda.
“Hei, apa ada buku yang bisa kamu
rekomendasikan, Ookusu-kun?”
“Rekomendasiku? Kenapa?”
“Kamu bilang kalau kamu selalu
mendapatkan nilai sempurna dalam kuis, kan? Aku ingin tahu buku macam apa yang
biasanya kamu pilih untuk dipelajari. Misalnya matematika.”
“Apakah kamu tidak pandai dalam
matematika?”
“Bukannya tidak pandai suh,
tapi aku tidak percaya diri.”
“Jadi begitu…”
Cuma ada dua jenis buku yang biasa
aku gunakan. Dan aku menggunakannya hanya untuk tujuan tambahan karena buku
pelajaran dan buku soal yang ditentukan oleh sekolah umumnya sudah cukup.
Tapi jika aku harus memilih
salah satu, kurasa pilihan yang paling cocok adalah buku ini.
“‘Matematika Komprehensif: Panduan Praktis’? Kedengarannya agak
sulit.”
“Buku ini mencakup semua pola
yang perlu kamu ketahui untuk setiap unit, jadi setelah mencobanya, kamu pasti
akan kaget melihat ada banyak yang bisa kamu selesaikan.”
“Penting untuk mengingat pola
bagaimana menyelesaikan soal matematika dengan benar… Kalau begitu, kurasa aku
akan membeli yang ini.”
“Di sisi lain, apa kamu punya
rekomendasi untukku? Terutama yang bahasa Inggris.”
“Bahasa Inggris, ya? Kurasa ada
buku yang terkenal, tapi kupikir 'Afforest'.
Oh, itu dia.”
“Sebenarnya, aku belum membeli
pernah membelinya. Kurasa aku akan mendapatkannya juga.”
“Buku ini lumayan terkenal dan
sangat mudah dipahami. Aku merekomendasikannya.”
Begitulah cara kami berdua
membeli buku referensi kami sendiri. Setelah kami memasukkannya ke dalam tas,
kami berbicara tentang apa yang harus dilakukan.
“Mungkin kita bisa menaruh yang
kita beli di perpustakaan. Namun, itu tidak terlalu menarik. ”
“Mungkin tidak banyak orang
yang datang ke perpustakaan untuk meminjam buku referensi.”
“Tapi aku ingin menaruh sesuatu
yang terlihat menarik.”
“Sesuatu yang tidak dimiliki
sekolah kita, yang bisa kita dapatkan izinnya, dan menarik perhatian murid …”
Jika memang bisa segampang itu,
kami takkan merasa kesulitan. Pertama-tama, aku memutuskan untuk melihat-lihat
dari satu ujung ke ujung lainnya.
Toko buku ini sangat luas. Sejauh mata memandang, buku,
buku, dan buku. Ada banyak orang berdiri di sekitar rak, membaca buku di sana-sini.
Karyawan toko bukunya sendiri tampak antusias, dan ada banyak sudut dengan
promosi iklan.
“Hei, Ookusu-kun, bagaimana
dengan yang ini?”
Fujisaki lalu menunjuk pada
sesuatu yang terlihat seperti buku kuis. Itu bukan buku teka-teki, melainkan
buku trivia. Tampaknya menarik bahkan sekilas.
“Yang ini lumayan bagus, ‘kan?
Jika kami mengatakan itu mendidik, yang ini pasti bisa mendapat persetujuan. ”
“Semua barang di sini tampaknya
serupa.”
“Baru-baru ini, ada acara TV di
mana mereka melakukan permainan kuis, mungkin itulah yang jadi pengaruhnya. Ada
begitu banyak jenis. Aku akan menuliskan semua penerbit dan judulnya sehingga
kami bisa memberikan saran.”
Aku tidak ingat buku kuis ada
di perpustakaan. Aku akan memeriksanya nanti untuk melihat apakah itu ada. Tapi
mungkin tidak masalah.
“Apa sekolah kita memiliki klub
kuis?”
“Kurasa tidak ada. Setidaknya
aku belum pernah mendengarnya.”
Jika itu masalahnya, kemungkinannya
adanya buku kuis semakin kecil.
Pada saat itu, Fujisaki
menyeringai, seolah-olah dia telah memikirkan sesuatu.
“Mumpung kita di sini, bolehkah
aku bertanya padamu sedikit?”
“Oh, tentu.”
Fujisaki mengambil sebuah buku yang
ada di dekatnya dan membalik halamannya, lalu berhenti di tengah jalan.
“Pertanyaan: Apa warna keringat
kuda nil? 1) kuning; 2) hitam; 3) transparan; 4) merah.”
“Merah. Aku tahu yang ini.”
“Ah, itu tidak adil! Itu
jawaban yang benar…”
Aku mengambil buku kuis lain,
berpikir kalau aku yang harus mengajukan pertanyaan berikutnya.
“Oke, sekarang giliranku. Pada
tahun berapa hewan panda pertama kali datang ke Jepang: 1) 1964; 2) 1972; 3)
1974; 4) 1980?”
“Aku tidak tahu tentang itu
karena itu sebelum aku lahir ... Tapi aku mengingat kalau itu selama Olimpiade
Tokyo, jadi aku pilih satu!”
“Sayang sekali, panda pertama
kali datang di tahun 1972. Saat itulah hubungan diplomatik antara Jepang dan
China dipulihkan.”
“Ah, begitu… aku mungkin sudah
mengetahuinya jika aku memikirkannya.”
“Kurasa skornya 1-0 untukku.”
“Ya ampun! Jangan dijadikan
kontes. Kamu membuatku ingin menang, ‘kan?!.”
Aku benci kalah, begitu pula
Fujisaki. Kami semakin bersemangat saat menanyai satu sama lain, dan tanpa kami
sadari, lebih dari satu jam telah berlalu.
Tapi rasanya cukup
menyenangkan. Aku pikir hal semacam ini tidak terlalu buruk juga.