Tanin wo Yosetsukenai Chapter 86 Bahasa Indonesia

Chapter 86 — Pelaku

 

Kami meninggalkan gerbang utama dan berjalan menuruni bukit.

Hembusan angin semakin kencang. Jika tidak hati-hati, payung yang kupegang bisa-bisa akan terbalik. Aku mengubah posisi payungku sesuai dengan arah angin, tapi hal itu justru membuatku kehujanan dan aku akhirnya menjadi sedikit basah.

“Ini agak luar biasa kan ...”

Aku merasa tidak enakan pada Noguchi-san, tapi aku senang bisa pulang lebih awal. Dilihat dari awannya yang masih hitam pekat, kurasa hujannya takkan mereda dalam beberapa jam. Bahkan, ada kemungkinan besar kalau hujannya akan semakin deras.

“Ya.”

Fujisaki menahan ujung roknya.

Petir kembali menggelegar. Tetesan air hujan menjadi semakin deras.

Jika bukan karena payung, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Untung saja aku tidak meninggalkan Fujisaki sendirian begitu saja.

“…… Jangan khawatir. Aku tidak melihat apa-apa, kok.”

“Ookusu-kun…”

Aku berkata begitu seraya menatap matanya. Memang benar, aku tidak melihatnya. Tapi aku hampir bisa melihatnya.

Hal pertama yang ingin kulakukan ialah mencari tempat di mana kami bisa bersantai, jadi aku bergegas menuju stasiun. Aku memasuki gedung stasiun, menutup payungku, dan menarik napas lega.

Pada akhirnya aku membuat rambut dan celanaku basah kuyup. Sepatuku juga basah dan aku merasa tidak nyaman. Aku menyalahkan beberapa genangan air yang tak terhindarkan.

Fujisaki yang ada di sebelahku juga basah kuyup.

Poninya menempel di dahinya. Fujisaki yang berdiri di sana dengan wajah basah karena air hujan, tampak lebih seksi dari biasanya.

“Apa kamu mau beli payung?”

Fujisaki menjawab, “Ya”

Kami mengunjungi minimarket yang ada di dalam gedung stasiun. Sementara Fujisaki membeli payung plastik, aku membeli sesuatu yang lain. Aku menyerahkannya kepada Fujisaki saat kami meninggalkan minimarket.

“Ini.”

Kakao panas. Aku tidak tahu yang mana yang dia suka, jadi aku memilih minuman yang tampaknya aman.

“Hah?”

“Badanmu terasa dingin, ‘kan? Aku yang traktir.”

“Kamu yakin?”

“Aku juga membeli yang sama. Lagipula aku tidak bisa meminumnya sendiri.”

Fujisaki membungkus kaleng itu dengan kedua telapak tangannya. Kehangatan kaleng itu pasti telah meresap ke dalam tubuhnya yang dingin.

Membuka tab tarik, aku langsung meminumnya. Rasanya manis. Kalau dipikir-pikir, sudah lama sejak aku minum kakao. Ketika aku membeli sesuatu untuk diriku sendiri, aku biasanya cuma membeli teh atau minuman olahraga.

“Hangatnya…”

Tapi sepertinya aku membuat pilihan yang tepat. Wajah Fujisaki tersenyum.

Orang-orang di stasiun semua tampak terburu-buru. Rupanya, kereta berjalan sedikit terlambat. Pengumuman bahwa kereta berjalan sedikit terlambat karena angin kencang bergema di seluruh area.

“Kamu pulang ke arah mana, Ookusu-kun?”

“Aku menuju sisi Tokyo.”

“Oh, aku pergi ke arah lain.”

Aku terus meminum coklatku. Rasanya sangat panas dan aku tidak bisa menelannya segera.

Aku tidak yakin bagaimana memulai pembicaraan.

Walau dia memberitahuku sedikit, aku bingung sampai sebatas mana aku bisa bertanya.

Tetap saja, sekarang bukan waktunya untuk ragu-ragu lagi. Jika aku melewatkan kesempatan ini, aku mungkin harus menunggu sampai minggu depan.

“Fujisaki, kenapa kamu tidak memulai dari awal dan menceritakan semuanya padaku?”

Fujisaki memegang kaleng di kedua tangan dan menatapku.

“Semuanya…?”

“Tentang perundungan itu. Kamu tidak perlu memberitahuku apa yang tidak ingin kamu ceritakan. Sudah kubilang, ‘kan? Kita akan menangkap siapa pun yang melakukan ini. Aku hanya perlu beberapa petunjuk untuk melakukan itu. ”

“…Maksudmu seperti apa dan semua yang terjadi?”

“Ya. Tapi itu tidak semua. Ceritakan lagi apa yang terjadi saat kamu ditembak.”

Ada sesuatu yang mengganjalku.

Perundungan yang berlangsung selama ini. Fakta bahwa Fujisaki tidak berusaha menangkap pelakunya. Aku merasa bahwa bukan hanya kebaikan Fujisaki yang membuatnya masih berbuat sesukanya.

“Kenapa…? Itu seperti yang dikatakan rumor. ”

“Benakah? Aku pikir itu bohong.”

Wajah Fujisaki tersipu karena terkejut.

Gosip yang kudengar cukup sederhana. Ando memanggil Fujisaki ke atap sekolah. Di sana, Ia mengakui perasaannya. Fujisaki menundukkan kepalanya dan berkata, “Maaf”. Ando mundur dengan mudah. Hanya itu saja.

Rasanya terlalu normal untuk menjadi gosip yang perlu diceritakan. Namun, gosip tersebut bukan hanya mengenai fakta bahwa Ia ditolak tetapi juga tentang situasinya.

Seolah-olah Ando ingin orang lain berpikir kalau itu hanyalah pengakuan gagal yang biasa.

“Fujisaki… Sebenarnya, kamu mungkin sedikit takut, iya ‘kan? Kamu mungkin mencoba sebisa mungkin untuk tidak melakukan sesuatu yang memprovokasi pelakunya.”

Aku tidak punya cukup bukti untuk memastikan. Itu cuma gertak sambal. Tapi raut wajah Fujisaki di depanku menegaskan kalau tebakanku tepat sasaran.

“… Kamu luar biasa, Ookusu-kun.”

Minuman kakao di tanganku sudah kosong tanpa kusadari.

“Jadi, itu aslinya bohong, ya.”

“…Ya.”

Setelah itu, Fujisaki memberitahuku banyak hal. Apa yang terjadi pada hari setelah Ando mengaku padanya dan perundungan macam apa yang terjadi setelah itu.

Kemarahanku mulai memuncak.

Hal yang terlintas di dalam pikiran adalah kejadian di pintu masuk sekolah tadi. Fujisaki mencoba untuk tetap di belakang sendirian, menyaksikan hujan yang turun, tanpa meminta bantuan siapa pun.

Situasi sekarang tidak berbeda dengan waktu itu.

Fujisaki masih belum diselamatkan. Jika aku membiarkannya, dia mungkin akan langsung berlari menorobos ke dalam hujan, tidak peduli seberapa basah tubuhnya. Itu sebabnya aku harus menghentikannya. Aku harus menyelamatkannya.

Oleh karena itu, aku perlu memberitahunya

“Serahkan saja sisanya padaku, oke?”

Aku membuang kaleng kosong kakao ke tempat sampah. Ketika aku berbalik, aku melihat Fujisaki yang kebingungan.

“Yang dikhawatirkan Fujisaki adalah kamu mungkin merasa takut lagi, ‘kan? Jika aku menghadapi pelakunya, Kamu tidak perlu mencemaskan itu. Apa aku benar?”

“Ya tapi …”

Ada keraguan di wajah Fujisaki. Dia pasti khawatir apa itu keputusan yang tepat untuk melibatkanku ke dalam masalahnya...

Inilah sebabnya aku mengatakan kepadanya dengan percaya diri semampuku.

“Jangan khawatir. Aku punya rencana.”

Meski begitu, ada keraguan sesaat, dan kemudian Fujisaki mengangguk kecil.

“Oke”

Aku sudah mendapatkan informasi yang cukup.

Satu-satunya hal yang tersisa ialah menghantamkan palu keadilan kepada pelakunya, Ando.

 

 

Sebelumnya|| Daftar isi || Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama