Chapter 87 — Buku
Pelakunya, si Ando, merupakan
anggota dari klub tenis.
Klub tenis dari sekolah kamu tidak
terlalu kuat. Namun, di sekolah kami di mana kami tidak perlu berusaha keras
dalam kegiatan klub, hal tersebut tidak terlalu dipermasalahkan. Dengan
bermodalkan wajah yang sedikit tampan, mempunyai kemampuan komunikasi yang baik
dan menjadi anggota klub atletik, hal itu saja sudah membuatnya populer di
kalangan gadis-gadis.
Ia mempunyai kulit yang sedikit
kecoklatan dan tinggi rata-rata. Dia memiliki mata yang cerah dan lebih condong
masuk ke dalam kategori imut. Aku sering melihatnya mengobrol dengan
orang-orang di klub tenis.
Tentu saja, aku tidak
mengenalnya. Aku bahkan tidak pernah berbicara dengannya.
Kami berada di kelas yang
berbeda dan klub yang berbeda. Kami mungkin bahkan tidak mempunyai kesempatan
untuk melakukan pembicaraan secara pribadi.
——
Jadi, apa yang harus kulakukan?
Hal ini perlu ditangani dengan
hati-hati. Yang paling penting ialah memastikan bahwa Fujisaki tidak dirugikan
lebih jauh. Jika tindakan efektif tidak diambil, yang ada justru akan
memperburuk situasi. Jika Ia mengetahui kalau aku telah memperoleh informasi
dari Fujisaki, itu hanya akan memperkeruh suasana dan menyebabkan perundungan
yang lebih kejam pada Fujisaki.
Aku mengawasi gerak-gerik Ando
setiap kali ada kesempatan.
Pagi hari di sekolah. Waktu
istirahat. Saat berjalan untuk pindah kelas.
Di suatu tempat jika ada
kesempatan, Ando pasti akan melakukan aksinya. Perundungan terhadap Fujisaki
terus berlanjut. Perundungan tersebut itu pasti dilakukan oleh Ando sendiri.
Jika memang begitu masalahnya, Ando akan sendirian saat itu.
Namun, Ia tidak menunjukkan
celah sama sekali. Kelas yang berbeda memiliki jadwal kelas yang berbeda,
sehingga sulit untuk melacak apa yang terjadi di kelas lain.
Kemudian waktu sepulang
sekolah.
Aku tidak segera pulang maupun
pergi ke kegiatan klub, tapi aku menunggu di perpustakaan sampai klub tenis
menyelesaikan latihan mereka. Karena aku tidak bertugas hari ini, aku tidak
punya hal khusus yang dilakukan. Aku menyebarkan bahan belajarku, dan saat aku
menggerakkan tanganku, pikiranku melayang ke luar jendeka.
Cuaca cerah hari ini
seolah-olah membuatku berpikir kalau hujan deras kemarin seperti kebohongan
semata. Matahari yang hangat menyinari seluruh tanah.
Di luar jendela, masing-masing
klub olahraga sedang berlatih.
Klub tenis memiliki sekitar 60
anggota. Mereka menempati sekitar setengah dari lapangan, menembak bola satu
sama lain dengan raket.
Di antara mereka, Ando adalah
salah satunya.
Sejujurnya, aku tidak begitu
tahu seberapa bagus pemain tenis itu. Ada pertandingan panjang yang terjadi di
antara dia dan lawan-lawannya dengan kecepatan yang wajar.
Caranya tersenyum begitu ceria
membuatku sulit membayangkan kalau dialah yang membully Fujisaki.
Setelah sekitar tiga jam,
latihan klub tenis akhirnya selesai.
Waktu sudah menunjukkan pukul
enam sore dan sudah memasuki senja. Matahari akan terbenam sekitar setengah jam
lagi.
Aku menyimpan buku pelajaranku
dan meninggalkan perpustakaan.
Saat berjalan menaiki tangga
dan kembali ke ruang kelasku sendiri, tidak ada seorang pun di sana.
Aku meletakkan tasku di
kursiku.
Mereka yang mempunyai kegiatan
klub akan berada di ruang klub, lapangan, atau di gedung olahraga. Mereka yang
tidak melakukan kegiatan klub sudah pada pulang semua. Jadi, kecuali ada
sesuatu yang signifikan terjadi, tidak perlu berada di kelas pada jam seperti
ini.
Itu sebabnya ketika aku
mendengar langkah kaki di lorong, aku berpikir, 'Ini dia'.
Aku berdiri dan bersandar di
dinding di sisi lorong. Tidak ada gunanya terlihat di sini. Aku menunggu
langkah kaki lewat di depan kelas sebelum aku melihat melalui jendela pintu
untuk melihat siapa yang sedang berjalan di lorong.
Sesuai prediksiku, orang
tersebut adalah Ando.
Ando membawa tas raket besar di
punggungnya, mengeringkan rambutnya yang basah oleh keringat dengan handuk
sambil berjalan. Ia segera melangkah ke kelas sebelah.
Dengan hati-hati menutup pintu
agar tidak bersuara, aku melangkah keluar menuju lorong.
Aku mengintip ke ruang kelas
sebelah.
Cuma ada Ando yang ada di sana.
Melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada orang lain di ruangan itu, Ia
meletakkan tas raketnya di atas meja.
Aku menjauh dari pintu dan
memutuskan untuk menunggu sebentar.
Aku bisa mendengar suara-suara
yang datang dari kelas di sampingku. Aku tidak tahu apa yang sedang Ia lakukan.
Itu adalah suara yang tidak enak didengar. Saat perundungan berlangsung,
Fujisaki mulai tidak meninggalkan barang-barang pribadi di dalam kelasnya,
terutama di kolong mejanya.
Aku memutuskan sudah waktunya
untuk melihat ke dalam melalui jendela pintu.
Ando berdiri di depan meja
Fujisaki. Matanya dingin seolah-olah wajah saat Ia latihan tadi cuma kedok
belaka. Di tangannya, Ia memegang pisau cutter.
Suara melengking itu kembali
menggema.
Di tangannya yang lain ada
sebuah buku. Ia sedang merobek buku di meja Fujisaki.
Karena penasaran dengan buku
itu, aku menatap buku itu dengan
seksama.
Kemudian aku menyadari.
Itu adalah buku kuis yang
pernah kumainkan bersama Fujisaki dan kami memutuskan untuk menyimpannya di
perpustakaan. Aku juga bisa mengingat kencanku dengan Fujisaki di toko buku.
——Dasar
brengsek .
…Aku sangat marah.
Sejak awal, aku sudah merasa
jijik padanya, tapi sekarang aku bahkan lebih jijik dari sebelumnya.
Bagaimana Ia bisa tahu kalau
itu adalah buku baru yang diusulkan Fujisaki?
Ando terus mencabik-cabik
pisaunya ke dalam buku kuis, tidak menyadari tatapanku. Kertas itu robek menjadi
beberapa bagian. Buku yang tadinya masih utuh, perlahan-lahan dirobek menjadi
bagian-bagian yang lebih kecil.
——
Sudah cukup.
Aku membuka pintu sekeras yang
aku bisa.
Tubuh Ando bergetar dengan
kaget. Sudah terlambat baginya untuk bersembunyi. Aku segera berjalan ke
arahnya dan bertanya,
“Apa yang sedang kamu lakukan?!”
Di meja Fujisaki, sejumlah
besar kertas yang tidak bisa Ia sembunyikan jatuh berserakan. Aku dengan paksa
meraih sesuatu yang disembunyikan di belakang punggungnya dan menjatuhkannya ke
lantai.
Buku kuis tidak lagi dalam
bentuk aslinya. Aku memungutnya sembari berusaha menahan amarahku yang hampir
meluap-luap.
Ando menatapku dengan wajah
ketakutan.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya