Tanin wo Yosetsukenai Chapter 101 Bahasa Indonesia

Chapter 101 — Membujuk

 

 “Tapi walau aku mencoba menjalani hidupku seperti itu, tak peduli dengan hal-hal yang tidak penting, akhir-akhir ini aku merasa sangat lelah. Anehnya, ada lebih banyak hal yang tidak aku pedulikan.”

“Be-Begitukah?”

“Ya. Aku benar-benar ingin tidur sepanjang hari… Aku rasa itulah artinya menjadi tua.”

Ketika aku mendengarkannya, aku penasaran apa itu benar-benar “sesuatu yang tidak dia pedulikan”.

Bukannya itu tidak masalah, tapi dia berusaha untuk “percaya” kalau itu bukanlah sesuatu yang dia pedulikan lagi. Alasan dia melakukannya adalah karena lebih menyakitkan jika dia tidak menipu dirinya sendiri. Tetapi sebagai hasil dari lari dari kenyataan, dia tetap menjadi seperti ini tanpa perubahan apa pun.

“…Kamu seumuran dengan Risa, kan?”

“Ya.”

“Seiring bertambahnya usia, kamu akan mulai memahami. Bahkan jika kamu tidak memahaminya sekarang.”

Aku mengangguk dalam diam.

“Semakin bertambah tua, semakin banyak hal yang kamu miliki. Tapi tidak semua orang bisa hidup dengan memiliki segalanya. Setiap orang harus membuat pilihan. Atau, bahkan jika kita tidak memilihnya, beberapa hal lepas begitu saja dari jangkauan kita. Ketika kamu menjalani kehidupan seperti itu, hal-hal yang penting bagimu saat masih muda dulu mungkin terlihat tidak terlalu penting lagi, atau sebaliknya pun bisa berlaku.”

Ibu Enami memalingkan wajahnya dariku dan terbatuk dua kali.

“Apa kamu mengerti apa yang kukatakan?”

Aku tidak yakin bagaimana harus menjawabnya. Kupikir aku sedikit memahami apa yang coba dia katakan, tapi kurasa aku masih belum mengerti apa yang maksud tersembunyi di baliknya. Pada akhirnya, aku hanya menjawab dengan samar, “Yah” dan hanya itu saja yang keluar dari mulutku.

Lalu. Tiba-tiba, Ibu Enami berhenti bicara.

“……”

Dia menatapku dengan ekspresi kosong. Tatapannya seolah-olah bisa menembus ke dalam lubuk hatiku sampai-sampai rasanya terlalu menakutkan.

Aku panik dalam hati. Aku merasa gelisah apa aku telah mengatakan sesuatu yang salah. Apa salah untuk menjawab, “Yah”?. Ketika aku mati-matian mencoba mencari tahu apa yang harus kulakukan untuk memperbaikinya, ibu Enami tertawa seolah-olah dia akan meletus.

“Fu, Fufu…”

“Ah, um, ada apa…?”

Rupanya, dia tidak marah padaku. Saat aku merasakan ketegangan menghilang, aku tidak bisa mengendalikan perasaan kebingungan yang datang selanjutnya. Aku benar-benar tidak bisa menebak apa yang dipikirkan orang ini.

Dia tidak langsung memberiku jawaban. Dia tertawa sebentar, lalu kembali menatapku.

“Kamu benar-benar menarik …”

“Eh?”

“Kamu tahu, kamu menunjukkan semua yang kamu pikirkan di wajahmu.”

Aku ingat kalau Enami-san pernah mengatakan hal yang sama padaku.

“Memangnya sejelas itu?”

“Ya. Sekarangpun masih sama.”

Aku menyentuh wajahku sendiri, tapi aku tidak tahu wajah seperti apa yang aku buat.

“Ya, benar sekali, ‘kan. Kamu pasti merasa kerepotan untuk mendengar semua omongan ini.”

“Tidak, bukan seperti itu…”

“Tidak apa-apa,  ... lupakan saja semua yang kukatakan tadi.”

Anehnya, Ibu Enami sekarang dalam suasana hati yang baik. Mungkin dia merasa senang karena aku mendengarkannya.

… Pada awalnya, dia juga mungkin hanya seorang ibu biasa. Aku tiba-tiba teringat pada sesuatu yang sudah jelas. Jika kamu melihatnya sekarang, dia terlihat seperti orang yang baik.

“Aku jadi tertarik padamu.”

Tiba-tiba, dia mengatakan itu padaku.

“Risa, yang tidak pandai bersosialisasi, sepertinya tampak terbuka padamu. Aku yakin dia juga menyukaimu.”

“… Meski begitu, dia selalu berbicara buruk padaku.”

“Dia memang seperti itu. Jangan biarkan itu mengganggumu.”

Saat mendengar perkataan itu, aku pun tersadar. Bahwa putrinya bukanlah “sesuatu yang dia tidak pedulikan”.

Aku merasa lega usai mengetahui itu.

“Boleh aku menanyakan namamu lagi?”

“… Namaku Ookusu Naoya.”

“Jadi begitu. Naoya-kun, ya. Aku akan mengingat itu.”

Dan sekarang akhirnya, aku mungkin telah naik peringkat dari “Keradaan tidak penting” menjadi “Penting”.

“… Kami mungkin akan selesai membersihkannya hari ini.”

Ibu Enami hanya mengangguk kecil.

“Anda mungkin menyangkalnya, tapi alasan mengapa demam anda masih belum hilang karena tempat ini bukanlah tempat yang optimal untuk Anda. Karena sekarang sudah bersih, tapi tidak ada gunanya jika tempat ini menjadi kotor lagi.”

Aku tidak tahu apakah perkataanku akan didengarnya atau tidak, tapi aku tetap harus mengatakannya.

“Anda mungkin tidak ingin terpengaruh oleh sampah yang tidak kamu pedulikan. Tapi itu perlu. Itu sebabnya kami datang ke sini untuk membersihkannya.”

Aku merasa seolah-olah perkataanku hanya melayang di udara. Itu membuatku penasaran apa usaha kami tidak ada artinya.

Lagi pula, aku hanya menyentuh permukaan pikiran orang ini. Aku belum menemukan atau memecahkan apa pun yang terletak lebih dalam. Cuma ini yang bisa kulakukan sekarang …

Dan …..

“Tolong berusahalah untuk diri Anda sendiri juga.”

Wajah Ibu Enami kehilangan semua emosi. Bagi orang ini, kekacauan ruangan bukanlah hal yang penting. Itu mungkin mengapa dia tidak bisa memahami apa yang kukatakan.

Di akhir keheningan panjang yang membuatku merasa waktu berhenti lagi, Ibu Enami membuang muka dan hanya mengatakan satu hal.

“Akan kupertimbangkan hal itu.”

Aku tidak tahu apakah kata-kata tersebut melambangkan kemajuan atau stagnasi.

 

 

Sebelumnya|| Daftar isi || Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama