Chapter 102 — Bubur
Hidangan pertama yang kupelajari
untuk memasak adalah bubur.
Aku belum pernah memasak
sebelumnya, dan aku bahkan tidak tahu bagaimana cara membuat telur dadar.
Mungkin hal itu sulit dipercaya sekarang, tapi begitulah ketergantunganku pada
ibuku.
Selama masa depresiku, Sayaka
dan ayahku mencoba untuk memasak. Namun, mereka berdua sama-sama kikuk, dan
makanan yang mereka bawakan untukku biasanya yang sudah jadi. Kebiasaan
tersebut berlanjut beberapa saat setelah aku kembali normal, tapi ada saat di
mana hal tersebut tidak bisa dilakukan.
Sayaka jatuh sakit.
Dia mengalami demam sekitar 38
derajat. Aku membawanya ke rumah sakit dan memberinya obat untuk mengendalikan
gejalanya, tapi sepertinya dia hampir tidak punya nafsu makan. Saat itulah peran
bubur klasik mulai dimainkan. Jadi, aku berdiri di depan dapur dan merasa
linglung karena tidak tahu harus berbuat apa.
–Lagipula,
aku belum pernah memasak nasi sebelumnya.
Apa yang selalu dibawa ke meja
adalah nasi lembut dengan uap yang mengepul darinya. Tapi aku tidak tahu
bagaimana butiran beras yang digiling menjadi seperti itu. Kurasa aku bisa
merebus beras dalam air, tapi butuh berapa banyak beras dan berapa banyak air
yang harus kumasukkan?
Aku langsung mencari informasinya
melalui internet. Ada banyak informasi yang campur aduk, dan aku tidak tahu
mana yang harus digunakan. Pertama-tama, aku mencuci setang beras dan
memasukkannya ke dalam panci. Aku mengisi panci dengan air ke tingkat yang
tepat dan menyalakan api.
Aku lalu menaburkan sedikit
garam dan menunggu sampai airnya mendidih. Kemudian, aku memasukkan telur dan
bawang hijau ke dalam panci, lalu menutup panci.
Rupanya dibutuhkan upaya yang
lumayan. Aku berpikir kalau bubur merupakan hidangan yang gampang dibuat. Tapi
nyatanya tidak begitu, mungkin aku hanya merasa seperti itu karena masih belum terbiasa.
Setelah sekitar setengah jam, saat
dirasa sudah cukup dan mematikan api. Aku mencoba memakannya, tapi rasanya
hampir hambar. Aku menambahkan lebih banyak garam dan beberapa buah plum kering.
Ketika aku memasukkannya ke dalam mangkuk, aku menyadari bahwa aku telah
melakukan kesalahan.
–Jumlahnya
terlalu banyak.
Porsinya terlalu banyak untuk
satu orang yang punya sedikit nafsu makan. Aku tidak tahu berapa banyak porsi
setang nasi. Jumlahnya terlalu sedikit ketika aku memasukkannya ke dalam
cangkir, jadi aku ceroboh.
Aku tidak punya pilihan selain
menuangkan sebagian ke dalam mangkuk untuk kumakan nanti. Aku meletakkan sendok
di atas nampan dan membawanya ke kamar Sayaka.
Dia berbaring di tempat tidurnya
dan berkeringat. Dia sudah banyak tidur, jadi dia tidak merasa mengantuk lagi,
atau begitulah yang dia katakan sebelumnya.
(Apa
itu?)
Dia sepertinya telah
memperhatikan aromanya ketika aku memasuki ruangan. Aku lalu menjawab, (Ini bubur).
Ekspresi Sayaka tampak sangat
terkejut.
(Eh?
Kenapa? Apa Onii-chan yang membuatnya?)
Dia mengangkat bagian atas
tubuhnya dan menatap bubur yang ada di tanganku. Tampilan bubur yang kubawa
tidak terlihat buruk. Aku meletakkan nampan di atas meja.
Sayaka merangkak keluar dari
tempat tidur, membungkus dirinya dengan selimut, dan berkata,
(Oh,
ini beneran bubur.)
(Memangnya
menurutmu ini apaan?)
(Tidak,
kupikir itu sudah menjadi masalah turun-temurun yang mencegah kiita untuk tidak
bisa memasak. Tapi ternyata Onii-chan berbeda.)
Sayaka yang masih memanggilku “Onii-chan” pada waktu itu, menatapku
dengan tatapan berbinar. Aku teringat kalau aku sedikit bangga pada diriku
sendiri.
(Jika
seseorang mencarinya di internet, siapa saja bisa membuat ini.)
(Oke
oke.)
(Ayo
kembali ke tempat tidurmu, aku akan menyuapimu makan.)
(Tidak,
tidak usah.)
(Kamu
ini bicara apa, lihat kepalamu pasti terasa pusing, ‘kan?)
Wajahnya merah, dan matanya
terlihat kurang fokus. Tubuhnya sedikit bergoyang seolah-olah dia tidak stabil.
Sayaka dengan enggan kembali ke
tempat tidur. Aku berjalan ke sisi tempat tidur dengan mangkuk dan sendok. Setelah
menyendok bubur dan meniupnya, aku membawanya ke mulutnya.
Mulutnya hanya mengambil
sedikit. Dia pasti benar-benar tidak punya nafsu makan.
Dia mengunyahnya sebentar, dan
kemudian mengatakan sesuatu.
(Rasanya
terlalu asin dan asam.)
Dia terang-terangan mengerutkan
kening. Mungkin aku menggunakan terlalu banyak garam untuk kedua kalinya.
(Apa
iya….? )
(Nih,
Onii-chan, kamu harus mencobanya sendiri.)
Dia memasukkannya ke dalam mulutku.
Aku lalu mencobanya, dan rasanya seperti yang dia katakan.
(Maaf…)
(Sudah
kuduga, ini jadi masalah turun-temurun.)
Padahal rasanya tidak seburuk
itu ...
Aku begitu fokus pada kegagalan
kuantitas sehingga aku lupa tentang rasanya.
(Jika
rasanya terlalu ringan, itu bisa diperbaiki. Tapi tidak bisa diperbaiki jika
terlalu kuat... Aku akan kembali dan membuatnya lagi.)
(Tidak,
tidak perlu.)
Sayaka lalu menghentikanku yang
hendak beranjak pergi.
Dia mengambil mangkuk dari
tanganku dan mulai makan dengan tenang sendirian. Sejujurnya, aku tidak
berpikir dia bisa makan ketika dia tidak nafsu makan, tetapi dia tidak berhenti
makan. Mungkin dia sedang berusaha perhatian dengan caranya sendiri.
Hal tersebut membuatku frustasi.
Aku memutuskan untuk membuat sesuatu yang lezat lain kali.
Pada akhirnya, Sayaka memakan
seluruh semangkuk bubur. Dia memakannya seolah-olah dia sedang mengisi perutnya
sendiri, jadi dia pasti sedang berusaha keras.
(Kamu
benar-benar memakan semuanya.)
(Yah,
begitulah.)
Dia menyodorkan mangkuk itu
kembali ke arahku, memalingkan wajahnya, dan berbaring. Meskipun gagal, aku
merasa senang bisa membuatnya karena dia memakannya dengan benar.
Aku meninggalkan kamar Sayaka
dan kembali ke dapur. Setelah mencuci piring, aku menghadapi sisa bubur.
–Kurasa
aku harus memakannya.
Tidak masalah jika rasanya
enak, tapi dengan rasanya, aku tidak yakin apakah aku bisa menyelesaikan
semuanya.
Aku memasukkan sendok ke dalam
panci dan mencoba memakannya langsung. Rasanya tetap tidak enak.
–Tapi
bagaimana mungkin aku tidak memakannya ketika dia sudah menghabiskan semuanya?
Butuh waktu sekitar setengah
jam untuk menghabiskannya, tapi aku berhasil menghabiskan semua bubur yang
kumasak.
Semua itu merupakan kenangan
yang terjadi sekitar empat tahun yang lalu.