Chapter 106 — Kesamaan
Tidak ada gunanya memikirkan
apa yang tidak diketahui.
“Hal tersebut juga berlaku
untukmu, Ookusu-kun.”
“Eh?”
“Biasanya, kamu akan menolaknya.
Itu pasti sangat sulit bagimu. Aku bisa tahu dengan melihatmu. Tidak hanya
dalam artian fisik, tapi juga dalam banyak hal lainnya.”
Itu argumen yang bagus.
Ketika mendengarnya di kafe, aku
tidak bisa menolaknya. Aku secara alami berkata, “Oke, baiklah”. Jawaban itu sama sekali tidak mengejutkanku maupun
Enami-san.
“Pertama kali saat kita berbicara
dengan Enami-san. Ketika guru memintamu untuk membantu, dan saat kami pergi ke
restoran, kamu terlihat sangat enggan.”
“Tidak, bukannya karena aku
enggan atau gimana ...”
“…sejujurnya, kamu tidak ingin
melakukannya, ‘kan?”
“…Ya.”
Aku merasa tidak bisa berbohong
kepada Fujisaki. Mungkin dia bisa melihat melalui kebiasaanku berbohong.
“Baik kamu dan Enami-san
sama-sama misterius. Seolah-olah kalian berdua beresonansi satu sama lain entah
bagaimana. ”
Sebuah tatapan bertanya
mencapaiku. Kemudian dia melanjutkannya dengan “Maaf”.
Sebenarnya, dia tidak perlu
meminta maaf segala. Kurasa aku terlihat sangat tidak nyaman sampai-sampai
membuatnya mengeluarkan permintaan maaf itu.
Tapi ucapan Fujisaki sama
sekali tidaklah salah.
Sisa rasa bersalah itulah yang
membuatku menjadi diriku yang sekarang. Aku ingin melakukan apa yang aku bisa
sebanyak mungkin.
Bukan hanya demi Enami-san.
Tapi juga demi ibunya.
Di dunia ini, ada banyak orang
yang sama sepertiku. Orang-orang yang terjebak di masa lalu sebagai ganjalan.
Ibu Enami juga terikat oleh masa lalunya. Bahkan jika aku tidak tahu detail
situasinya, aku setidaknya bisa memahaminya. Aku bisa mengerti bagaimana
perasaannya dengan cara yang tidak kecil.
Aku sama sekali tidak pantas
untuk menceramahi kepada Ibu Enami. Karena hal yang sama berlaku juga padaku.
Jika aku benar-benar bergerak maju, aku sudah memberikan jawabanku kepada
Fujisaki sejak lama. Alasanku tidak melakukannya adalah karena aku takut untuk
bergerak maju.
“Akulah yang sepenuhnya harus
disalahkan, jadi kamu tidak perlu meminta maaf.”
Aku sudah memberi Fujisaki
banyak perasaan tidak menyenangkan.
“…Apa kamu baik-baik saja
tentang Sayaka-chan sekarang?”
“Ya, aku akan bisa mengambil
cuti mulai sekarang. Aku seharusnya tidak melibatkan Fujisaki ke dalam masalah
keluarga kita.”
Dan saat itulah aku menyadari
sesuatu.
Hal yang sama berlaku untuk
permintaan Enami-san. Ini masalah keluarga. Orang asing seharusnya tidak boleh
terlibat di dalamnya.
Tapi alasanku melibatkan Fujisaki
adalah karena di dalam hatiku berpikir kalau Fujisaki akan menerimanya. Itu
mungkin berlaku sama untuk Enami-san.
“…Bisa kita pergi? Lenganku
mulai sakit.”
“Ah, maafkan aku! Ayo pergi!”
Karena kami berdiri diam, kami
masih jauh dari kelas. Rasanya sulit untuk berjalan tanpa merusak tumpukan
cetakan.
“Aku mungkin akan merindukan melihat
Sayaka-chan.”
“Aku yakin dia akan pergi ke
mana pun demi Fujisaki. Aku harap kamu bersedia mengundangnya untuk pergi jalan
lain kali. Dia tidak punya banyak teman seperti yang kau kira.”
“Eh? Padahal dia begitu manis?”
“Dia tidak terbuka karena dia
selalu bertingkah seperti malu-malu kucing. Aku yakin beberapa cowok mencoba
merayunya, tetapi dia membenci pria genit lebih dari apa pun. ”
“Sepertinya dia gadis yang
baik.”
Sayaka sangat waspada terhadap
orang. Itu karena dia pernah dijahili oleh anak laki-laki ketika dia masih di
taman kanak-kanak. Dia memang imut, awalnya, tapi dia menjadi incaran anak
laki-laki yang ingin menarik perhatiannya.
Aku takkan memberitahu hal ini
kepada Fujisaki, karena jika Sayaka mengetahui kalau aku mengatakan ini, dia pasti
akan membunuhku.
“Tapi, ya, aku mengerti. Aku
akan mengajaknya jalan lain kali. Aku ingin tahu hal seperti apa yang disukai
Sayaka-chan.”
“Dia sangat suka karaoke.”
“Ah, kalau begitu kupikir aku
akan mengajaknya karaokean bareng. Ini adalah tempat yang aman.”
Aku perhatikan bahwa keheningan
yang tidak nyaman mulai memudar. Hanya ada aku dan Fujisaki seperti biasa.
Kami berbicara tentang beberapa
poin yang lebih mendalam, dan mungkin sebab itulah kecanggungan di antara kami
memudar. Aku lebih lega dengan itu daripada fakta bahwa kami telah keluar dari
topik. Lagipula, aku tidak ingin hubunganku dengan Fujisaki memburuk.
“Apa yang biasanya dinyanyikan
Fujisaki saat di karaoke?”
“Aku biasanya menyanyikan lagu-lagu
populer. Bukannya aku tahu banyak tentang itu, sih.”
“Ah, kalau begitu, bagaimana
kalau kita bertiga pergi bersama?”
“Ya, itu ide yang bagus.”
Bahkan ketika kami berada di
komite perpustakaan bersama, kami tidak pernah pergi ke karaoke bersama. Kami hanya
sesekali pergi ke kafe atau restoran keluarga.
Kami memeriksa jadwal
masing-masing dan sepakat bahwa hari Minggu berikutnya akan menjadi waktu yang
tepat.
“Oke. Bagaimanapun, aku akan
bertanya pada Sayaka nanti. Aku pikir dia akan langsung menerimanya.”
“Oke! Aku tak sabar untuk itu.”
Saat kami membicarakan hal ini,
kami akhirnya sampai di depan ruang kelas. Aku akhirnya terbebas dari beban
yang ada di lenganku.
Aku membuka pintu dengan paksa
dengan kaki, berjalan mendekati ke meja guru, dan meletakkan cetakannya di atas
meja. Teman sekelas yang memperhatikan kehadiran kami hanya memberi kami
tatapan jijik, seolah-olah ingin mengatakan, “Lagi?”.
Baik Fujisaki dan aku kembali
ke tempat duduk kami. Bagian punggungku dicolek-colek, jadi aku berbalik untuk melihat
Saito.
“Apa?”
“Apa kamu bermesra-mesraan
dengan Fujisaki-san lagi?”
“Jangan ngaco, mana ada yang seperti itu.”
Dia seharusnya hanya membaca
novel erotis. Tidak perlu baginya untuk mengatakan sesuatu yang tidak perlu.
Aku mengeluarkan materi
pelajaran berikutnya dari dalam kolong mejaku.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya