Tanin wo Yosetsukenai Chapter 107 Bahasa Indonesia

Chapter 107 — Orang Buta Nada

 

Ketika aku memberitahu Sayaka mengenai ajakan dari Fujisaki, dia langsung menyetujuinya. Dia tampak cukup senang diundang dan tampak bersemangat tentang apa yang akan dikenakannya. Namun, ketika aku menambahkan kalau aku akan ikut bersama mereka juga, ekspresinya langsung menunjukkan wajah enggan.

“Eh? Kenapa kuso-aniki sampai ikutan segala?”

“Kamu sangat tidak menyukai kehadiranku?”

“Ya.”

Dia mengatakannya dengan blak-blakan. Hatiku merasa tersakiti ketika mendengarnya.

Aku sedang berada di dalam kamar Sayaka saat memberitahu berita tersebut. Berkat kedatangan Fujisaki baru-baru ini, ruangannya menjadi jauh lebih rapi. Tempat sampah yang biasanya disimpan di pojok ruangan sudah dikumpulkan semua, dan buku pelajaran serta buku referensi sudah tertata di atas meja.

Rasanya akan jauh lebih mudah jika dia selalu melakukan seperti ini.

Aku lalu menghela nafas.

“Tidak ada salahnya, ‘kan? Bahkan aku sangat menantikannya. Maksudku, hanya ada kami bertiga, bukan dalam kelompok besar, dan aku yakin kamu bisa berbicara dengan Fujisaki secara normal.”

“Intinya bukan begitu. Rasanya agak memalukan ketika ada anggota keluargamu di sana. ”

“Aku tidak berpikir begitu sama sekali.”

Itu adalah komentar khas remaja. Mungkin dia khawatir dengan kenyataan bahwa aku selalu memperlakukannya seperti anak kecil.

“Jadi, kita akan pergi kemana?”

“Karaoke.”

“Begitu ya, bukan pilihan yang buruk.”

Sayaka suka pergi ke Karaoke. Suasana hatinya yang baik tampaknya telah kembali sedikit.

“Hmm… aku juga tidak bisa meninggalkan kuso-aniki di pojokkan. Jangan bilang kalau kamu menggunakanku sebagai alasan supaya kamu bisa berkencan dengan Fujisaki-san?

“Mana ada. Itu hanya karena Fujisaki juga mengatakan kalau dia merindukanmu. Meskipun kalian berada di sekolah yang sama, kalian tidak punya kesempatan untuk berbicara karena kalian berada di kelas yang berbeda.”

“Itu benar, sih…”

Dia sepertinya merasa malu. Ada bagian dari dirinya yang tidak bisa jujur ​​bahagia di saat-saat seperti ini. Bahkan sekarang, dia hanya menggerakkan ujung bibirnya dan berusaha untuk tidak menunjukkannya di wajahnya.

“Kalau begitu, aku akan memberitahu pada Fujisaki kalau kamu setuju.”

“Oke.”

Aku mengeluarkan smartphone-ku daro saku dan mengirim pesan singkat di Line. Tampaknya pihak lain juga sedang melihat teleponnya, dan itu segera dibaca. Segera, aku menerima stiker dengan wajah tersenyum.

Aku memutuskan waktu saat berbicara dengan Sayaka, dan ketika aku memberi tahu Fujisaki, dia setuju. Aku memasukkan smartphone-ku kembali ke saku dan memberi tahu Sayaka tentang hal itu juga.

“Baiklah, mari kita bertemu di stasiun berikutnya pada hari Minggu jam 1 siang. Ada aula Karaoke di sana.”

“Ya, baiklah.”

Aku pernah ke sana sekali bersama keluargaku. Mesinnya tidak terlalu tua dan kamarnya tidak terlalu kecil.

“…Sudah lama sejak aku pergi karaoke bersama kuso-aniki”

“Yah, kamu dan aku jarang sekali pergi bersama.”

“Habisnya kamu selalu menyanyikan lagu-lagu yang tidak kukenal, sih. Sesuatu seperti melodi lawas? Semuanya tentang lagu 1990-an dan awal 2000-an. Aku tidak pernah mendengarkan lagu jadul semacam itu.”

“Dan kamu selalu menyanyikan lagu tema dari beberapa gim otome yang tidak kupahami.”

“Hehehe sayang sekali, aku sudah mendengarkan semua lagu populer terbaru dan dapat menyanyikannya. Mana mungkin aku akan memilih lagu-lagu itu di depan Fujisaki-san.”

“Seperti yang diharapkan dari seorang otaku rahasia…”

Dia pasti menyembunyikan hobi otaku dari beberapa temannya juga. Mungkin dia sedang mempersiapkan waktu untuk pergi karaoke bersama teman-teman itu.

Di sisi lain, aku tidak terlalu familiar dengan lagu-lagu terbaru, kecuali lagu anime. Lagu yang bisa kunyanyikan cuma terdiri dari lagu-lagu yang kudengar ketika aku masih kecil dan lagu-lagu yang aku pelajari dari hobi otakuku. Dalam hal itu, aku tidak jauh berbeda dari Sayaka.

“Jangan pernah menyanyikan lagu-lagu aneh, oke? Aku tahu kalau aku sama sepertimu, tapi jika kamu menyanyikan lagu-lagu yang penuh dengan cita rasa otaku, Fujisaki-san akan melihatmu seolah-olah kamu itu aneh.”

“Aku sendiri tahu betul hal itu. Aku hanya akan menyanyikan lagu-lagu yang semua orang tahu.”

Banyak sekali lagu populer dari tahun 90-an dan awal 2000-an masih didengarkan sampai sekarang, hanya saja Sayaka tidak tahu banyak tentang hal tersebut. Masa-masa itu adalah masa ketika CD dijual seperti kacang goreng, dan popularitas artis waktu itu menjadi fenomena sosial.

“Sayaka, terkadang kamu melewatkan satu nada, jadi sebaiknya kamu berhati-hati. Pastikan kalau kamu perlu menutup satu telinga supaya kamu dapat mendengar suaramu sendiri…”

Kemudian, Sayaka yang berwajah merah merona berteriak keras.

“Ugh, kamu nyebelin  banget! Tinggalkan aku sendiri! Kuso aniki juga tidak jauh berbeda,, ‘kan? ”

“Itu benar, sih. Yah, mungkin itu semua karena faktor genetik. ”

Ketika aku mengatakan itu, Sayaka tertawa pahit dan mengalihkan pandangannya ke samping.

Ada satu alasan lagi kenapa aku dan Sayaka tidak pergi karaoke bersama. Itu karena kami sekeluarga jarang pergi ke karaoke.

Itu semua karena kami tidak ingin pergi dengan ayah kami.

“Yah, bagaimanapun juga, kamu lebih baik dari ayah ...”

Tatapannya memandang ke arah jauh.

Aku masih mengingatnya dengan jelas. Waktunya mungkin sekitar dua tahun yang lalu. Ayahku tiba-tiba berkata, “Ayo pergi ke karaoke!” dan karena tidak ada alasan untuk menolak, aku dan Sayaka memutuskan untuk menemaninya.

Dan apa yang menunggu kita setelah itu adalah neraka.

Pertama-tama, ayahku ternyata orang buta nada. Suaranya berdenyut sedemikian misterius sehingga aku lupa konsep nada. Rasanya hampir menakutkan untuk didengarkan.

Selanjutnya, ayahku mengabaikan aliran liriknya. Atau perlu kubilang, Ia tidak terlalu mahir dalam hal itu? Setiap kali dia berpikir, “Oh, aku merasa ingin menyanyikan lagu itu,” Ia akan mulai menyanyikannya secara berurutan. Aku mencoba mengeluh kepadanya, tetapi Ia dalam suasana hati yang baik sehingga Ia tidak mau mendengarkanku.

Kejadian terbut lalu menjadi trauma bagi kami.

Setelah itu, tidak peduli berapa kali ayahku meminta kami pergi bersamanya, kami tidak pernah mau menemaninya lagi. Jadi setiap kali Ia pergi ke karaoke, Ia selalu pergi sendirian.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama