Tanin wo Yosetsukenai Chapter 110 Bahasa Indonesia

Chapter 110 — Ratu

 

“Oh iya. Bukannya kamu harus berbelanja? Aku tidak membawa apa-apa.”

Tanpa peralatan dan bahan memasak, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika aku membersihkan tempat Enami-san sebelumnya, aku membuang banyak barang.

“Jangan khawatir. Aku sudah membeli semuanya. Yang harus kita lakukan tinggal bagian memasaknya saja.”

“… Omong-omong, apa saja yang kamu beli?”

“Aku membeli beras, daun bawang, telur… dan hal-hal lain yang mungkin aku perlukan. Aku punya penggorengan dan panci.”

“Bumbu?”

“Garam, kecap, merica, cuka.”

“Kalau begitu tidak masalah.”

Mungkin dia sudah melihat-lihat resep sebelumnya. Jika dia membeli semua bahan yang tercantum dalam resep, dia takkan melakukan kesalahan.

“Selain itu, aku punya ide bagus tentang apa yang kamu rencanakan. Aku sudah membuat hidangan itu berkali-kali sebelumnya, jadi aku percaya diri.”

Setelah gagal sekali, aku berlatih beberapa kali. Sekarang, aku bisa membuatnya tanpa melihat apa pun.

“Aku senang mendengarnya… Karena aku menaruh harapan besar padamu.”

Tapi hari ini, aku cuma membantunya saja. Enami-san adalah orang yang benar-benar melakukan pekerjaan itu. Aku bisa menghentikannya jika dia mencoba sesuatu yang aneh, atau bahkan mengambil alih jika terjadi kesalahan. Hal itu lebih baik untuk Enami-san juga.

Memasak adalah tentang membiasakan diri. Hal tersebut mungkin membutuhkan beberapa keterampilan, tetapi siapa pun dapat belajar memasak jika mereka cukup berlatih ... Namun, jika kamu melihat keluargaku, ada kemungkinan kalau itu salah.

“Ngomong-ngomong, Enami-san. Apa sebelumnya kamu pernah memasak?”

“Memangnya kamu pikir aku kelihatan pernah memasak?”

“… Kurasa tidak demikian.”

Aku tidak bisa membayangkan dirinya berdiri di dapur. Jika ada, dia akan terlihat lebih baik berbaring tepat di depan seseorang yang sedang melakukan kerja keras memasak.

“Faktanya, itu benar. Aku bahkan tidak pernah berpikir untuk memasak. Pada dasarnya, aku membeli makanan dan memakannya. Aku bahkan merasa kalau aku tidak pernah memegang pisau.”

“Apa yang kamu lakukan selama jam pelajaran tata boga? Kamu terpaksa memegang pisau di sana.”

“Ini adalah sesuatu yang ingin dilakukan oleh anak-anak yang proaktif. Jika kamu tinggal menatap mereka, mereka akan melakukannya sendiri.”

“Memangnya yang begitu bisa disebut proaktif ...”

Sebenarnya, fakta bahwa Enami-san memberikan pose menakutkan saja sudah sangat menakutkan. Jika aku mengatakan kepada orang-orang seperti itu, “Potong bahan-bahan itu”, aku akan membayangkan kalau diriku sendiri yang dipotong.

“Aku benar-benar tidak pandai dalam hal seperti itu. Memasak membutuhkan banyak tenaga dan perlu dilakukan dengan benar. Misalnya mengupas bahan-bahan dan memotongnya, itu sudah membuatku gila.”

“Bagaimana denganku, orang yang melakukannya setiap hari!?”

“Hebat sekali. Kamu pasti seorang masokis.”

“Ini adalah keterampilan yang setidaknya diperlukan dalam sebuah keluarga. Apa kamu lupa kenapa aku ada di sini hari ini?”

“Tidak, aku tidak lupa. Aku cuma bercanda saja kok.”

Memasak bisa diatur sedemikian tupa setelah kamu sudah belajar melakukannya, tapi suka atau tidak suka mungkin merupakan bakat. Faktanya, Sayaka dan ayahku menyerah di tengah jalan.

“Kamu takkan terus memasak…?”

“Entahlah …”

Sebuah jawaban yang tidak jelas. Tapi kurasa itu bukan karena dia tidak tertarik sama sekali. Jika tidak, mana mungkin dia ingin berpikir memasak untuk ibunya seperti ini.

“Kurasa aku harus memikirkan itu juga mulai sekarang.”

Kata-katanya ternyata sangat positif. Aku pikir Enami-san sendiri merasa bahwa dia tidak boleh terus seperti ini. Aku hanya sedikit terlibat, tetapi pada akhirnya semua tergantung dirinya untuk menyelesaikan masalah keluarganya sendiri.

Sebagai orang asing, aku tidak bisa melampaui titik tertentu.

“Setidaknya lakukan dengan benar di pelajaran tata boga mulai sekarang, karena pelajaran tata boga cuma ada sampai kelas 2.”

“Eh…”

“Kamu sudah memutuskan untuk mengikuti pelajaran dengan serius. Kamu juga harus melakukan pelajaran tata boga dengan serius juga.”

“Bukannya ini dan itu masalah yang berbeda? Aku tidak terlalu suka dengan sensei itu.”

“Bukan begitu intinya.”

Ngomong-ngomong, guru pelajaran tata boga kami adalah seorang wanita yang tampak lemah. Dia bertubuh kecil dan memakai kacamata besar. Dia tampaknya tersentak pada keluhan sekecil apa pun dari Enami-san.

“Yah, mau bagaimana lagi... Lain kali, setidaknya aku akan mencuci sayurannya.”

“…itu saja sudah cukup.”

Bahkan jika aku mengatakan sesuatu yang kuat, aku ragu ada lagi yang bisa dikatakan. maafkan aku, sensei…

Setelah melewati tempat parkir dan berbelok di tikungan, apartemen Enami-san sudah dekat. Aku sudah berkat berkali-kali melewatinya, aku jadi lumayan hafal rutenya. Beberapa kucing liar sedang nongkrong di depan sebuah rumah. Mungkin mereka diberi makan oleh orang-orang yang tinggal di sana.

“Imut sekali.”

“Eh?”

Aku bergumam, yang kemudian dibalas Enami-san dengan ekspresi tidak percaya.

“…Maksudku, kucing yang ada di sana. Bukannya mereka itu imut dan manis?”

“Aku tidak salah paham tentang itu. Maksudku, mereka tidak lucu sama sekali. Mereka terlihat kotor dan aku tidak ingin bersentuhan dengan mereka.”

Karena kucing yang di sana merupakan kucing liar, jadi bulunya acak-acakan dan kotor. Namun, matanya yang seperti manik-manik dan suara mengeong sesekali tidak kotor sama sekali.

“Kenapa kamu tidak bisa memahaminya? Sembilan dari sepuluh orang akan menganggapnya lucu.”

“Tidak, pasti tidak begitu. Apa yang kamu bicarakan?"

“Tidak, kucing adalah makhluk yang semua orang anggap lucu. Tidak ada yang bilang kucing itu menjijikkan.”

“Ketika aku meninggalkan rumah di pagi hari, mereka semua membuatku takut. Aku sudah biasa melihat mereka. Aku bahkan tidak tahu sebelah mananya dari mereka yang dianggap lucu.”

“Bodohnya aku mengharapkan sentimen semacam itu dari Enami-san.”

Saat aku mengucapkan kata-kata itu, Enami-san dengan ringan menendang tulang keringku. Saat aku memegangi kakiku dengan kesakitan, Enami-san meninggalkanku dan berjalan cepat ke pintu masuk.

Tepat saat pintu otomatis akan menutup, aku mendengar suara berkata, “Ayo cepatlah masuk”

Aku menghela nafas. Aku seharusnya tidak mengatakan sesuatu yang tidak perlu.

 

 

Sebelumnya|| Daftar isi || Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama