Chapter 111 — Kambuh
Setelah berhasil menyusulnya, aku
melangkah ke dalam rumah Enami-san sambil berbicara tentang hal-hal acak
dengannya.
Aku selalu merasa gugup ketika
berdiri di pintu masuk rumahnya. Apa karena suasananya yang unik? Atau karena aku
tidak terbiasa memasuki rumah seseorang?
Lorong itu masih memiliki bekas
gesekan sejak hari itu. Permukaan catnya terkelupas.
“Eh? Apa ada yang salah?”
Enami-san menatapku curiga
ketika aku berhenti bergerak.
“Tidak, bukan apa-apa.”
Aku segera melepas sepatuku.
Setelah sekian lama, sungguh
menakjubkan seberapa jauh kami telah berusaha untuk membersihkannya. Adegan
pada wakti itu masihi sangat mengejutkanku.
Matanya yang merah, diiringi
dengan suara keras yang sepertinya mengintimidasi orang.
Dan yang paling penting, dia
tidak peduli jika dia merusak lorong sama sekali.
Dibandingkan dengan
keputusasaan yang aku rasakan saat itu, aku telah berhasil bangkit secara
signifikan. Itu adalah hasil dari kemajuan langkah demi langkah yang hati-hati.
Mempertimbangkan bahwa hasilnya bisa sangat berbeda hanya dengan satu tombol
yang salah, aku benar-benar merasa ingin menepuk punggungku sendiri karena
sudah berjuang sebaik mungkin.
Enami-san membuka pintu ruang
tamu.
Angin dingin menerpa kulitku.
Tetap saja, suhunya tidak terlalu dingin. Itu adalah bukti bahwa sistem pemanas
bnyaekerja dengan baik.
Namun, terlepas dari itu,
tubuhku masih sedikit menggigil.
——Hmmm?
Firasatku langsung merasakan
semacam ketidaknyamanan. Namun, aku tidak bisa langsung mengenali apa itu.
Tapi tetap saja, ada yang
berbeda.
Aku melihat lebih dekat ke
bagian dalam ruang tamu.
Hampir tidak ada sampah lagi.
Dapur, dan bagian rumah lainnya, rapi dan bersih. Perabotan yang
compang-camping masih ada di sana, tetapi aku menyadari apa itu ketika aku memikirkannya.
–Eh?
Mengapa, aku
dibuat kebingungan.
Misalnya, tirai renda di dekat
jendela. Bagian atas dan bawah dihubungkan oleh sambungan samar. Tapi sekarang
itu benar-benar terpisah, dan bagian bawahnya telah jatuh ke lantai.
Dan, karpet di lantai. Seharusnya
direntangkan dari satu ujung ke ujung lainnya, tetapi sekarang digulung atau
dibalik.
Contoh lainnya, di meja makan.
Ada pecahan piring pecah berserakan di mana-mana, padahal seharusnya di sana
sudah bersih dan tidak ada apa-apa. Semua bagian seharusnya telah dikumpulkan,
yang berarti bahwa mereka telah dipatahkan lagi.
Enami-san yang berada di
sebelahku sepertinya juga menyadari hal ini.
“Tidak mungkin…”
Enami-san mengacak-acak
rambutnya kesal. Dari sudut mataku, aku melihat Ibu Enami tidur di sisi lain
meja makan seperti biasa. Hanya ada satu orang yang akan melakukan hal seperti
itu.
Dan kemudian, pada saat itulah
terjadi.
“Oh?”
Mungkin dia memperhatikan
langkah kaki kami atau suara pintu yang dibuka dan ditutup.
Dari belakang ruangan, aku
mendengar suara yang biasa.
Tak lama kemudian, Ibu Enami
berdiri. Dia masih mengenakan piyamanya, dan mendekatiku dengan selendang tipis
yang menutupi bahunya.
Ekspresinya. Gerakannya. Nada
suaranya. Semuanya masih sama seperti biasa.
Tapi aku tahu. Perubahan yang
terjadi di ruang tamu. Aku tahu kalau semuanya
itu perbuatan dari orang yang ada di hadapanku ini.
Aku pikir semuanya akan
baik-baik saja. Itu sama dengan ruangan ini. Karena Ibu Enami telah lama diam,
dan aku dapat melihatnya sebagai ibu yang baik, aku merasa bahwa secara
perlahan dan bertahap, keadaan pikirannya akan membaik pula.
Tapi ternyata itu semua hanya
keangkuhan semata. Jika masalahnya bisa diselesaikan semudah itu, Enami-san
sudah menyelesaikannya sendiri.
Kami terus bergerak maju dan
mundur. Mana mungkin semudah itu untuk bergerak maju.
Ibu Enami berdiri di depanku
dan tersenyum.
“Astaga. Kamu ada di sini lagi
hari ini, Naoya-kun.”
“Ya. Aku minta maaf karena
datang tanpa pemberitahuan ... Aku ingin tahu bagaimana kesehatan anda ...”
Aku pikir naluriku untuk menjadi
anak baik yang memungkinkanku untuk merespon begitu cepat.
“Fufu. Keadaanku hampir
baik-baik saja sekarang. Aku pikir itu berkat kalian. Demamku sudah turun.”
“Aku senang mendengarnya.”
Enami-san yang ada di sampingku
masih terdiam. Dia tampak bingung dengan situasi saat ini.
Alasan dia dalam suasana hati yang
baik belakanganini mungkin karena dia telah dibebaskan dari beban emosional
yang dipikulnya. Namun, tanda-tanda kekambuhan pada kondisi ibu Enami telah
membuat suasana gembira sebelumnya langsung lenyap begitu saja.
“Gadis yang mencolok itu tidak
datang hari ini, ya?”
“Iya, hari ini cuma ada aku.
Aku telah diminta untuk membantu Enami-san…”
“Ah, benarkah? Apa itu mengenai
belajar atau sesuatu? ”
“Itu hanya hal yang biasa.
Sebenarnya, itu…”
Aku tidak tahu bagaimana dia
akan bereaksi, tapi aku tahu kalau dia takkan berada dalam suasana hati yang
buruk hanya karena dia tahu.
Jadi aku dengan berani mengatakannya.
“Aku di sini untuk mengajarinya
cara memasak.”
“Memasak? Eh? Ke Risa?”
“Ya.”
Itu bukan reaksi yang sangat
buruk.
Hanya saja belajar telah
digantikan dengan memasak. Selama dia tidak keberatan kita menggunakan dapur,
seharusnya tidak ada masalah.
“Tumben-tumbennya. Aku tidak
percaya Risa akan memintamu untuk melakukan itu.”
“Itu sama sekali tidak benar.
Enami-sa…Risa-san ingin memasak untuk Anda.”
Enami-san juga menatap wajah
Ibunya.
Tapi tetap saja, perubahan
buruk itu tidak terjadi. Matanya melebar karena terkejut, tetapi wajahnya
segera dibayangi oleh senyuman.
“Aku telah mendengar beberapa
hal yang baik. Aku tidak tahu itu sama sekali. Terima kasih, Risa…”
“Itu bukan perkara besar…”
Enami-san berkata dengan lembut
sembari memalingkan pandangannya.
–Apa
yang sebenarnya sedang terjadi di sini?
Walaupun kami berbicara, sepertinya
Ibu Enami tidak sedang dalam suasana hati yang buruk.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya