Chapter 112 — Memasak Dimulai
“Maafkan aku. Aku pikir dia hanya
merasa malu. Dia bukan gadis yang sangat lugas, tapi tolong bertemanlah
dengannya. ”
“Ya. Yah, kurasa dia tidak
merasa malu…”
“Benarkah? Yah, oke.”
Jika aku tidak menindaklanjuti
apa pun di sini, aku tidak tahu apa yang akan dia katakan nanti.
Ibu Enami mundur ke belakang
ruangan, menjaga ekspresi tenang di wajahnya. Badanku seketika langsung merasa
lemas.
Pikiran manusia tidak semudah
itu untuk dipahami. Aku merasakan hal itu sekali lagi.
“…jadi, apa yang kita lakukan?”
Aku bertanya, tetapi aku tahu
bahwa tidak ada jalan keluar.
Aku sudah mengatakan kepadanya
bahwa aku akan memasak untuknya. Tidak wajar untuk tidak melakukannya kalau
sudah mengatakannya sejauh itu.
“…Apa kamu baik-baik saja dengan
ini?”
“Sekarang bukan masalah
baik-baik saja atau gimana. Untuk itulah aku di sini. Aku tidak terlalu peduli
tentang itu.”
“Kamu secara mengejutkan
pemberani juga.”
Enami-san berjalan cepat menuju
dapur. Waktu menunjukkan sudah lewat jam lima sore. Titik balik matahari musim
dingin sudah dekat dan hari sudah mulai gelap di luar jendela. Di ruang tamu
yang remang-remang, cahaya di dapur tampak redup.
Aku mengikuti di belakang
Enami-san.
Di dalam area dapur, aku
menemukan semua peralatan masak yang pernah Enami-san ceritakan padaku. Wajan,
panci, pisau, talenan, bumbu, dan sebagainya. Sejauh yang aku bisa lihat, tidak
ada yang kurang. Dengan ini, aku bisa mulai memasak segera.
Enami-san melilitkan celemek
polos yang tidak berantakan di sekujur tubuhnya. Dia menawarkan satu celemek
kepadaku tanpa mengucapkan sepatah kata pun, jadi aku memakainya juga. Aku
bertanya-tanya apakah dia membeli dua celemek karena tahu kalau aku bakalan
datang.
“Aku tahu hidangan dasarnya.
Tapi apa ada hal lain yang ingin kamu buat?”
“…Sejujurnya, aku belum
berpikir sejauh itu. Aku sudah menyiapkan berbagai hal yang bisa kita gunakan,
tapi aku tidak tahu kalau semua bahannya sudah cukup…”
Dia menunjukkan isi kulkasnya.
Kulkas nya sendiri tidak
terlihat baru, tapi tampak bersih dan terawat. Tidak terlalu banyak barang di
dalamnya, karena dia mungkin baru saja mulai menggunakannya. Namun, ada
beberapa sayuran dari berbagai jenis.
“Kamu juga akan memakan makanan
yang kita buat nanti, ‘kan, Enami-san?”
“Itulah rencananya.”
“Begitu ya.”
Tentu saja, hidangan utamanya
untuk Ibu Enami. Namun, jika aku akan memasak saat ini, rasanya sangat
disayangkan kalau hanya memasak untuk satu orang. Makanan yang akan aku buat
bukanlah makanan yang biasa dimakan Enami-san. Jadi, aku perlu menyiapkan hidangan
biasa juga.
“Aku mengerti sekarang. Karena aku
sudah mengetahui semuanya, mari kita buat beberapa hidangan dasar yang mungkin
berguna di masa depan. Kupikir lebih baik yang seperti itu untuk Enami-san.”
“Apa saja tidak samalah.”
Aku tidak tahu keahlian
Enami-san. Mungkin lebih aman untuk membuatnya sesederhana mungkin.
Aku segera mencuci tangan.
Seperti yang diharapkan, Enam-san tampaknya memiliki akal sehat di area ini.
Dia mencuci talenan, panci, dan pisau tanpa perlu aku menyuruhnya melakukannya.
Mari kita mulai dengan hal
pertama yang sudah kita putuskan.
“Apa kamu mempunyai berasnya?”
“Di sini.”
Dia memberiku sebungkus beras.
Jenis yang bisa dimasak dengan menggunakan kompor.
Aku memasukkan sekitar dua
bagian ke dalam kompor terlebih dahulu. Jumlahnya sedikit terlalu banyak untuk
dimakan ibunya, tapi bahkan jika ada sisa, porsinya tidak akan banyak.
Aku mengambil beberapa bawang
hijau dari penyimpanan sayur.
Setelah dicuci dengan baik, aku
meletakkannya di talenan.
“Sekarang, mari kita potong
bahan sayuran ini.”
Aku membiarkan Enami-san yang
memimpin.
Rasanya tidak sulit untuk memotong
bawang hijau. Selamakamu memotongnya menjadi lingkaran, mereka akan terbentuk.
“…”
Setelah menarik napas
dalam-dalam, Enami-san mulai mengambil pisaunya. Dia sepertinya tidak terbiasa
memegang itu dan menatap datar pisau dan ujung pisau. Beberapa saat kemudian,
dia meraih bawang hijau dengan tangan kirinya dan perlahan-lahan menurunkan
pisau dengan tangan kanannya.
Tang.
Dia memotong akarnya. Seperti
yang diharapkan, dia tahu bahwa dia tidak bisa memakannya, jadi dia menarik
akarnya ke tepi talenan.
Tang,
Tang, Tang.
Dengan hati-hati dan
perlahan-lahan. Tapi tentunya bawang hijau dipotong dengan ukuran yang tepat.
Dia mengikuti aturan “tangan kiri
membentuk mirip cakar kucing” yang diajarkan di sekolah dasar, dan pisaunya
bergerak maju mundur.
Inilah perbedaan besar dari
keluargaku.
Ngomong-ngomong, ayahku sangat
buruk dalam menggunakan pisau dapur, Ia tidak bisa memotong sayuran sama sekali
meski sering memindahkannya ke atas dan ke bawah. Sayaka sedikit lebih baik
dari ayahku, tetapi dia tidak memperhatikan tangannya dengan cermat, jadi dia
sering melukai tangannya.
Dibandingkan dengan itu, aku
bisa mengatakan kalau Enami-san melakukannya dengan cukup baik.
Setelah meletakkan pisaunya
beberapa kali, Enami-san berbalik.
“Seberapa banyak yang kamu
butuhkan?”
Aku mengintip dari belakang
Enami-san.
“Sekitar dua kali lipat jumlah
ini.”
“Oke, baiklah.”
Suaranya terdengar teratur dan
stabil. Aku bisa merasakan keseriusannya.
“Bagaimana kalau sebanyak ini?”
“Kurasa jumlahnya sudah cukup
untuk saat ini.”
Aku mengumpulkan irisan daun
bawang dan menaruhnya di mangkuk. Aku mencuci talenan lagi dan meletakkannya di
atas meja memasak.
Tepat saat kompor berbunyi, aku
mengeluarkan nasi darinya dan membawanya ke tepi dapur.
“Fiuh, rasanya cukup
melelahkan.”
“Tidak, bukannya itu masih
terlalu cepat!?”
“Aku tidak pernah menggunakan
pisau. Aku sudah menghabiskan semangatku hanya dengan memegang pisau ini.”
“Hmm. Yah, semua orang awalnya
juga begitu. ”
Aku tidak ingin terlalu rumit,
jadi aku memutuskan kalau jumlah ini akan menjadi persiapan yang cukup untuk
hidangan pertama.
Selanjutnya, aku mengeluarkan
sayuran lainnya.
Kubis, wortel, bawang... jenis
sayuran ini merupakan sayuran standar yang akan selalu digunakan jika ingin
memasak secara normal. Sementara aku di sini, aku ingin mengajarinya cara
memotong sayuran ini.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya