Chapter 115 — Kesepian
Aku teringat kembali saat
pertama kali memasak hidangan dan meminta seseorang mencobanya.
Suara sendok memukul mangkuk.
Ketegangan saat bergerak ke dalam mulut. Masa-masa yang dipenuhi ketegangan dan
kegugupan.
Mulai sekarang, Enami-san akan
mengalami perasaan yang sama.
Kaki panjang Enami-san bergerak
maju sedikit demi sedikit.
Mungkin karena sirkulasi udara
yang buruk, semakin dekat dirinya dengan ibunya, badannya jadi semkin gemetar. Aku
yakin ada banyak hal yang terlintas di kepalanya, tetapi langkahnya tidak
melambat sama sekali.
Ibu Enami membuka matanya
dengan bingung.
“Ibu, ini…”
Di atas nampan ada semangkuk
bubur yang telah dibuat Enami-san. Uap yang mengepul keluar berbaur di udara.
“…Eh?”
Pada saat itu, apa yang muncul
di wajah Ibu Enami adalah ekspresi bingung tanpa ruang kosong. Matanya terbuka
lebar, sangat lebar sehingga bagian putih matanya menonjol.
“Apa kamu … serius?”
“Sudah kubilang aku akan
memasak untuk ibu, ‘kan. Kenapa kamu tampak terkejut begitu?”
Punggung Ibu Enami membentur
lemari. Dia mengerutkan kening dengan “Aduh”.
Kemudian dia menyentuh bibirnya
dengan tangan kirinya.
“Apa jangan-jangan dari tadi
ibu ketiduran?”
“…Betul sekali.”
Saat kami berdiri di dapur,
kami tidak mendengar suara apapun dari sisi Ibu Enami.
“Kamu ingin memberikan ini
padaku…?”
“Itulah yang kukatakan dari
tadi. Bukan aku yang memakannya.”
Dia meletakkan nampan di atas
meja.
Selendang yang disampirkan di
bahu Ibu Enami terpeleset. Dia menarik selimut dari tubuh bagian atasnya dan
mengintip bubur dengan gentar.
Itu hanyalah bubur yang sangat
biasa. bubur telur. Ada bawang hijau cincang di atasnya.
“Ibu harus sembuh dari demam
ini sesegera mungkin. …Ibu belum bisa makan banyak nasi, jadi Ibu perlu
memakannya… Jadi kupikir…”
“Tidak kusangka Risa akan memasak…”
Karena dia memasak di bawah pengawasanku,
jadi seharusnya tidak ada yang salah dengan itu. Aku juga telah mengkonfirmasi
bahwa rasanya enak.
“Duduklah, Bu.”
“…”
Ibu Enami masih tercengang.
Aku mulai merasa sedikit tidak
nyaman. Aku ingin tahu apa yang sedang Ibu Enami pikirkan saat ini. Apada dia
merasa tidak nyaman? Bisa jadi apa yang kita lakukan memiliki efek sebaliknya…
Akhirnya, Ibu Enami duduk di
kursi yang mungkin sudah bertahun-tahun tidak digunakan. Bagian belakang kursi
itu goyah, dengan kakinya bertumpu di atas futon, tetapi dia tampaknya tidak
terlalu keberatan. Matanya tetap tertuju pada makanan di depannya.
Tangannya bergerak perlahan.
Sendok menyendok bubur.
Perlahan-lahan mendekati mulut Ibu Enami.
“….”
Dia memasukkannya ke dalam
mulutnya. Dia mengunyah dengan bibir membuka dan menutup dengan gerakan kecil.
Lalu dia menelan.
“Bagaimana, bu?”
Enami-san bertanya dengan
cemas, tapi Ibunya masih tidak menjawab pertanyaan itu.
Saat dia memakannya,
ekspresinya tidak banyak berubah, dan aku tidak tahu apa yang dia pikirkan.
Namun, dia tidak terlihat marah atau dalam suasana hati yang buruk. Jelas
sekali kalau situasinya bukan yang terburuk.
Tangannya mulai bergerak lagi
untuk suapan berikutnya.
Suapan demi suapan memasuki
mulut Ibu Enami. Setiap suapan yang diambil sangat kecil, jadi kecepatan
makannya lambat, tapi mangkuknya pasti habis.
Tidak ada yang mengatakan
sepatah kata pun untuk waktu yang lama.
Yang bisa aku lakukan hanyalah
menonton mereka.
Aku sudah melakukan semua yang
bisa aku lakukan. Sebagai orang luar, aku hanya bisa mengawasinya.
“… Anehnya, kamu melakukannya
dengan baik.”
Ketika dia sudah makan sekitar
setengahnya, ibu Enami mulai memberikan tanggapan.
“Itu jelas. Aku mendapat
bantuan dari pria yang selalu memasak …. ”
“Ini semua berkat Naoya-kun, ya.”
Kemudian Ibu Enami menoleh ke
Enami-san.
“Apa kamu membawa air?”
“Ah, aku lupa. Aku akan segera
membawanya…”
Enami-san mengambil botol
plastik dua liter dari kulkas. Itu bukan teh, tapi air mineral. Aku pikir air dingin
buruk untuk kesehatannya saat ini, tetapi aku kira itu tidak dapat dipanaskan
karena dia belum membeli panci baru.
Ibu Enami meminum air dari
gelas.
“Terima kasih.”
Saat dia memasukkan bubur ke
dalam mulutnya, dia terbatuk, memegang mulutnya seolah-olah dia tersedak.
“Ah, astaga…”
Enami-san mengusap punggungnya.
Menanggapi hal itu, tidak ada tanda-tanda
penolakan dari Ibu Enami. Ketika dia sudah lumayan tenang, dia meminum air lagi
dan tersenyum, mengatakan bahwa dia baik-baik saja sekarang.
Sepertinya dia berniat untuk
memakan semuanya.
…Mungkin, mungkin saja.
Aku mempercayai kalau ini
pertanda bagus.
Karena, tubuh Enami-san gemetaran.
Baik kaki, lengan, dan bibirnya bergetar sedikit demi sedikit.
Ini bukan wajah putus asa
sebelum memasak. Tubuhnya tidak mampu mengendalikan berbagai emosi yang
disebabkan oleh pemandangan di depannya.
Ibu Enami dan Enami-san tidak
mengungkapkan hal seperti itu dengan kata-kata.
Mereka bahkan tidak
menunjukkannya dalam ekspresi mereka.
Tapi kukira inu merupakan perubahan
yang luar biasa.
–-tring~ Sebuah
suara terdengar.
Sendok tersebut terlepas dari
tangan Ibu Enami. Mangkuk itu kosong. Dia menghela napas keras, matanya menatap
langit-langit.
“…”
Pada saat itu, ada sebuah emosi
akhirnya muncul di wajah Ibu Enami.
Aku tidak bisa mengerti emosi
macam apa itu saat ini. Dia tampak tersenyum, tapi juga sebenarnya tidak. Dia
tidak mengerutkan kening.
Itu adalah ekspresi yang aneh.
Kegembiraan, kesedihan, rasa
sakit, kemarahan, antisipasi, kelegaan, kecemasan... Aku mencoba menerapkan
berbagai kata pada ekspresinya, tapi aku tidak menemukan satu pun kata yang
cocok.
Akhirnya, aku menyadari emosi
apa yang dia rasakan, dan itu sangat pas dengan ada yang di pikiranku.
Aku tidak tahu mengapa aku
merasa seperti itu. Butuh waktu lama bagiku untuk menemukan kata tersebut
karena aku tidak memahaminya.
…Kupikir wajah itu pasti
mewakili “kesepian”.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya