Chapter 116 — Perpisahan
Ada bagusnya jika dia memakan
semuanya. Tapi aku tidak tahu apakah perubahan itu akan mengarah pada hal baik
atau buruk. Yang bisa kuketahui sekarang adalah dia telah menerima perasaan
Enami-san. Apa yang akan terjadi setelah itu terserah Ibu Enami mulai sekarang.
Dia meraih gelas lagi dan meminum
air.
Enami-san hanya menunggu
kata-katanya.
Aku juga tidak bisa berbuat
apa-apa selain berdiri di sana, dan mengawasi situasi.
“Aku lelah.”
Itulah satu-satunya kata yang
akhirnya keluar dari mulutnya. Enami-san tampak lega dan santai.
“Ah, kalau begitu, apa Ibu
ingin istirahat lagi?”
“Ya… aku ingin istirahat.”
“Oke.”
Enami-san lalu mengambil
mangkuk kotor dan menuju dapur untuk melarikan diri. Dia benar-benar takut.
Menghindari kontak mata sebanyak mungkin, dia mulai mencuci piring.
“Aku merasa iri padamu.”
Suaranya hampir tenggelam oleh
suara air, tapi masih terdengar di telingaku dan Enami-san.
“Aku sudah lelah…”
Tangan Enami-san berhenti
bergerak. Spons yang sedang mencuci piring berhenti mencicit.
“Aku benar-benar lelah... Aku
sangat lelah dan tak berdaya, aku hanya ingin tidur selamanya.”
“Ibu…”
“Bukankah itu hebat? Kamu tidak
perlu mengkhawatirkanku lagi.”
Enami-san mematikan keran.
Suara air menghilang.
“Rasanya pasti menyenangkan menjadi
muda. Kamu selalu bisa mendapatkan sesuatu kembali. Apapun yang terjadi, energi
yang datang dari masa muda akan menjaganya. Meskipun sudah terlambat, aku tahu
hari ini akan datang.”
“…”
Wajah Enami-san tetap murung
untuk beberapa saat.
“Aku tidak menyalahkanmu. Aku
pikir ini sudah sewajarnya. Sudah lama. Aku bertanya-tanya apakah tidak aneh
bahwa aku tetap tertutup sampai sekarang. Sama seperti apa yang kalian pikirkan.”
“Itu…”
Aku akan berdebat dengannya,
tetapi kemudian aku menyadari bahwa aku tidak memiliki kata-kata yang tepat
mengenai itu.
Memang benar bahwa aku selalu
berpikir begitu. Aku ingin mencari solusi atas apa yang terjadi di rumah ini.
Tapi sekali lagi, beliau dan aku
adalah tipe yang sama.
Kami terikat oleh peristiwa
masa lalu. Tidak peduli seberapa keras aku mencoba melarikan diri, tak peduli
seberapa banyak aku memahaminya kalau aku tidak boleh terjebak di masa lalu
selamanya, tubuhku tetap tidak mau mendengarkanku. Seseorang tidak dapat
membebaskan diri dari kenyataan bahwa masa lalu ada di sini dan masa kini ada
di sana.
“Seseorang tidak bisa tetap
marah selamanya merupakan kebohongan semata. Bahkan jika seseorang bisa
melupakan, setiap kali seseorang mengingatnya, kebencian dan rasa sakit akan
muncul. Aku ingin menyingkirkan perasaan itu, tapi ingatanku tidak mengizinkanku.
Aku bosan dikendalikan oleh emosi negatif ini, dan aku mulai tidak peduli
tentang apa pun lagi.”
Pandangan Ibu Enami mulai terpejam.
Tangan di pangkuannya terkepal
erat dan lengannya sedikit gemetar.
“Kamu tidak boleh menjadi
sepertiku, Risa.”
Dia membuka matanya lagi dan
menatap Enami-san yang berdiri di dapur.
“Rasanya sedikit kesepian, tapi
aku sangat bahagia untukmu. Itulah yang benar-benar kurasakan.”
Dan kemudian beliau kembali
memasang ekspresi itu lagi.
Ekspresi kesepian yang sama ketika
dia melihat ke langit-langit.
Akhirnya, aku merasa memahami
sebagian dari perasaan Ibu Enami.
Dia sudah menyerah.
Dia menyerah mencoba melarikan
diri dari masa lalunya sejak lama. Di masa lalu, Enami-san masih sama, dan
mereka berdua melihat ke arah yang sama. Tapi sekarang Enami-san telah
memutuskan untuk bergerak maju.
Ini
adalah perpisahan, pasti itulah yang ada di pikiran Ibu Enami.
“Kalian memiliki pertemuan yang
bagus. Jaga baik-baik hubungan kalian.”
Setelah itu, dia menutup
mulutnya.
Suasana di ruangan itu kembali
hening, tidak ada seorang pun yang berbicara.
Enami-san meletakkan piring di
tangannya di depan wastafel, dan kalender desktop tahun lalu, yang seharusnya
ditinggalkan di sana selama setahun, terjatuh.
Enami-san tercengang. Aku kira
dia tidak pernah berpikir kalau dirinya akan mendengar sesuatu seperti ini.
Tujuan memasak kali ini adalah
untuk menghibur Ibu Enami. Bukan untuk memberitahunya bahwa mereka berpisah.
Alih-alih menyemangatinya, dia pasti merasa frustrasi ketika melihat punggung
ibunya semakin meringkuk.
Enami-san berkata, “Tidak itu
salah. Aku hanya mencoba memberi ibu sedikit makanan…..”
“Itu tidak masalah. Yang aku
tahu adalah bahwa aku sudah mengetahuinya.”
“Kamu tidak mengerti apa-apa. Aku
melakukannya untuk ibu, dan aku berpikir kalau aku membuatnya dengan niat
supaya kita berdua bisa bekerja keras bersama mulai sekarang.”
“Maafkan aku, Risa. Aku tidak
bisa menghilangkan kebencian yang aku miliki untuk orang itu.”
Ibu Enami melihat sekeliling
seluruh ruang tamu.
Ketika aku tiba di sini,
situasinya bahkan lebih buruk. Tirai, karpet, permukaan meja, perabotan yang
rusak. Pada akhirnya, ruangan ini sudah dibersihkan, tetapi tidak diperbaiki
secara mendasar.
Kata-kata dari sebelumnya dan
pemandangan di depanku pasti sama.
“Itu sebabnya, kamu tahu. Kamu
satu-satunya yang dapat melakukan sesuatu tentang hal itu. Hanya itu saja
satu-satunya hal yang bisa kukatakan kepadamu. ”
Kemudian dia tersenyum kecil. Senyumnya
jelas ekali terlihat tegang.
“… Begitu ya.”
Enami-san berkata pelan,
bahunya merosot.
Dia melanjutkan mencuci piring.
Suara air yang keluar dari keran bisa terdengar. Fakta bahwa dia menggosok
tempat yang sama berulang kali menunjukkan bahwa dia masih kesal.
Aku merasa dilema. Aku tidak
tahu apakah aku harus membiarkannya terus seperti ini. Aku hanyalah orang luar,
tapi apa ada yang bisa kukatakan dari pengalamanku sendiri.
Seolah-olah ini adalah akhir
dari percakapan, Ibu Enami menarik kursinya. Pada saat itu, aku tidak bisa mengendalikan
diri lagi.
“Tolong tunggu sebentar.”
Dia berhenti di posisi setengah
jalan, saat dia hendak berdiri.
Kemudian, Ibu Enami menatapku
dengan ragu.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya