Tanin wo Yosetsukenai Chapter 117 Bahasa Indonesia

Chapter 117

 

…Jika aku melewatkan kesempatan ini, aku tak kan bisa mengatakan apa pun kepada Ibu Enami. Aku takkan bisa menghadapi ibuku sendiri lagi. Meskipun aku dan yang lainnya tidak sama, aku tetap ingin menghindari perpecahan antara Enami-san dan ibunya.

Aku lalu membuka mulutku.

“Apa salahnya untuk selalu terpaku di masa lalu?”

Mungkin itu komentar yang tidak terduga, tapi Ibu Enami tampak sedikit terkejut. Dia meletakkan tangannya di sandaran dan menatap wajahku dengan saksama. Aku tiba-tiba jadi merasa gugup.

“Ah tidak. Aku minta maaf karena mendadak menyela. Tapi aku merasa bahwa bergerak maju dan melupakan masa lalu adalah dua hal yang berbeda.”

Bahkan ketika aku berbicara, aku menyadari bahwa aku memiliki ide ini dalam pikiranku. Bahkan saat belajar, ada perasaan mengatur pikiranmu ketika kamu berusaha menuangkannya ke dalam kata-kata untuk mengajar orang lain. Perasaan yang aku miliki sekarang mirip dengan itu.

Pikiranku yang tadinya campur aduk mulai mengambil bentuk yang lebih jelas.

“Anda tadi bilang, ‘Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku lagi’. Aku pikir memang benar bahwa Enami-san sudah mulai menantikan masa depan. Tapi bukannya berarti kalau dia berhenti peduli tentang masa lalu atau mencoba untuk berpisah.”

“…Kamu masih sangat muda.”

Tatapannya berubah menjadi tatapan yang sama yang dia berikan pada Enami-san sebelumnya.

“Sungguh, jika kamu terus memikirkan masa lalu, kamu takkan pernah bisa melihat ke depan.”

“Aku tidak berpikir demikian.”

Ibu Enami mengernyitkan alisnya saat mendengar nada bicaraku yang jelas. Aku mungkin telah menyinggung perasaannya. Tapi aku merasa bahwa ideku tidak salah.

“Diriku yang sekarang merupakan perpanjangan dari masa lalu. Tidak ada jalan keluar dari kenyataan itu. Sekeras apapun aku mencoba untuk melupakannya, kenangan tersebut akan selalu ada dalam ingatanku. Semakin Anda mencoba untuk melupakannya, Anda akan dibuat mengingatnya lagi dan lagi, kemudian itu akan terukir dalam pikiran Anda.”

“Betul sekali.”

Ibu Enami menimpali sambil menghela nafas.

“Itu sebabnya ini mustahil.”

Dia berdiri dari kursinya dan berjalan ke arahku. Pandangan matanya menyipit. Senyum di wajahnya seakan-akan menyiratkan kalau dia sudah mual.

“Mungkin kamu tidak memahaminya, tapi ...”

“Mungkin saja begitu…”

Situasi antara diriku dan keluarga Enami berbeda. Aku bahkan tidak tahu bagaimana kata "kebencian" bisa diucapkan dari mulutnya.

“Tapi sekali lagi, mungkin tidak…”

Di sisi lain, aku tidak berpikir ada tumpang tindih sama sekali.

“… Aku juga mengalami masa-masa sulit di masa lalu… Saat ketika aku sangat kesakitan, menderita, dan hampir putus asa sehingga sempat berpikir kalau aku takkan pernah pulih…”

Pada saat itu, entah kenapa, bahu Enami-san bergetar. Kemudian dia memeluk bahunya sendiri seolah-olah untuk menutupinya. Pandangan matanya melihat ke arah lain.

Aku lalu terus melanjutkan.

“Setiap hari, aku mengurung diri di rumah dan tidak pergi ke sekolah. Aku bahkan tidak bisa makan, kepalaku menjerit, dan bahkan tidak bisa menangis lagi, dan berpikir kalau aku lebih mati saja.”

Aku tidak tahu ekspresi seperti apa yang ada di wajahku saat ini. Aku malu untuk menunjukkan wajahku, jadi aku memalingkan muka.

Aku mencoba yang terbaik untuk mengeluarkan suaraku.

“Tapi kemudian suatu hari aku menyadari...”

Tangan yang terulur kepadaku dari mereka berdua. Sedikit demi sedikit, aku bisa berdiri.

“Aku menyadari bahwa mungkin masih ada sesuatu yang dapat kulakukan karena telah melalui masa lalu seperti itu. Aku tidak bisa kembali seperti dulu, tapi aku bisa menerima masa lalu dan melakukan yang terbaik supaya tidak menyesalinya lagi. Ketika memiliki tujuan baru, aku merasa sedikit lebih baik. Namun, pada saat itu, aku tidak berpikir aku bergerak maju…  Menilik ke belakang, kupikir pada saat itulah aku akhirnya mengambil langkah pertama.”

“…”

Ibu Enami mendengarkanku dalam diam.

“Aku tidak bisa melepaskan masa lalu, tapi aku belajar dari itu kalau aku dapat menggunakannya untuk memberiku kekuatan pada diriku sendiri untuk bergerak maju. Rasa sakitnya mungkin tidak menghilang, tetapi aku dapat secara bertahap menciptakan diriku yang baru.”

Aku bahkan tidak tahu apakah melakukannya dengan cara yang seperti ini sudah benar. Akhirnya, aku mungkin kewalahan, dan mungkin akan tiba saatnya aku hancur.

Namun pada saat itu, aku tidak punya pilihan lain.

“Itu sebabnya, um…”

Tiba-tiba, aku tidak mampu berkata-kata lagi.

Kecemasan yang berpikir apa aku boleh mengatakan hal seperti itu muncul di benakku. Semuanya mungkin akan menjadi lebih hancur lagi.

Aku selalu ragu. Setiap kali mencoba untuk sampai pada suatu kesimpulan, aku berhenti berpikir.

Rasanya menyedihkan. Ini sangat menyedihkan.

Terlepas dari semua keberanianku, aku masih berantakan. Mulutku menjadi kering, dan tenggorokanku sakit saat menelan ludahku. Keningku jadi berkeringat.

Aku melirik untuk memeriksa Ibu Enami.

Dia memiliki ekspresi serius di wajahnya.

Tiba-tiba aku teringat saat aku mengkritik Enami-san di restoran.

Itu adalah jenis tampilan yang berbeda, tetapi aku merasa bahwa akarnya serupa.

Setelah beberapa saat, Ibu Enami membuka mulutnya.

“…Begitu ya.”

Maaf. Aku meminta maaf kepada Enami-san di dalam hatiku. Aku mungkin sudah membuat kesalahan.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama