Chapter 118 — Tanda-Tanda
“Um…”
Bagian belakang kelopak mataku
mulai terasa sakit. Kaus kaki biru tuaku menggeliat mengikuti gerakan kakiku.
Aku tidak tahu apa aku sudah
membuatnya kesal. Bahkan jika itu adalah sesuatu yang menurutku benar, tapi
memberitahu mereka adalah masalah lain. Aku membiarkan momentum menguasai diriku,
tetapi aku sudah kehilangan dorongan itu.
Aku merasakan tatapan kuat di
sekitar pelipisku, tapi sepertinya aku tidak bisa melihat ke atas lagi.
Saat itulah aku melihat kaki
Ibu Enami mendekati diriku. Meskipun cuaca dingin, dia bertelanjang kaki.
Pembuluh darah pucatnya terlihat menonjol.
“Kupikir aku sedikit mengerti
...”
Aku tidak bisa bereaksi terhadap
suara yang terdengar di telingaku.
“Angkat kepalamu…”
Aku mengangkatnya dengan takut-takut.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengangkat mataku.
Aku yakin aku memiliki ekspresi
mengerikan di wajahku sekarang.
“Aku ingin tahu apakah kamu
berbicara dengan Risa seperti itu?”
“…Eh?”
“Aku yakin ..… kamu lah orang yang
mengubah Risa, kan?”
Aku menyadari bahwa hampir dua
bulan telah berlalu sejak saat itu. Dua bulan terakhir merupakan masa-masa aneh
bagiku. Hal yang sama berlaku untuk pembersihan rumah Enami. Ini pertama
kalinya aku begitu peduli pada orang lain.
Aku tidak cukup bodoh dan mempercayai
kalau perkataanku memiliki kekuatan. Entah bagaimana, aku tidak pernah berpikir
bahwa kata-kataku akan memiliki efek yang sama dengan kritikan yang mengubah
hidup Enami-san. Tetapi karena aku tahu bahwa akumulasi dapat menggerakkan
orang, aku tidak punya pilihan selain tidak melakukan apa-apa.
Enami-san juga kembali dari area
dapur.
“Seperti yang kupikirkan,
memang seperti itu ya…”
Dia duduk kembali di kursinya
seolah-olah dia akan jatuh. Ada beberapa uban bercampur dengan rambutnya. Aku
bertanya apakah dia baik-baik saja.
Tapi dia sama sekali tidak
menjawab, dia justru melihat kalender yang ada di meja dapur yang telah
dijatuhkan Enami-san sebelumnya.
Di pangkuannya, satu tangan
melingkari tangan lainnya.
“Kira-kira sudah berapa lama …
aku bahkan tidak tahu itu lagi…”
Aku tidak tahu masa lalu yang
dialami Enami-san dan ibunya.
“Semuanya rusak. Dan aku sering
membandingkan sebelum dan sesudah semuanya jadi hancur. Membandingkan sesuatu mungkin
adalah tindakan paling kejam dalam hidup. Ini menunjukkan dengan tepat apa yang
kamu lewatkan. Dan kami mencoba mencari apa yang tidak bisa kami miliki lagi…”
Aku tahu perasaan itu.
“Aku selalu berpikir… Aku
selalu penasaran seberapa bahagia rasanya kembali seperti semula sebelum
dihancurkan. Ketika aku memikirkannya, hati dan kepalaku mulai terasa sakit. Aku
mencoba melakukan yang terbaik, tetapi kemudian aku tiba-tiba memiliki kilas
balik ke masa lalu ...”
“Ya…”
“Aku tidak tahu apa aku
benar-benar berada di tempat yang tepat. Ketika aku berdiri sendiri, aku mulai merasa
tidak nyaman. Pada saat itu, pikiranku menjadi kosong secara mengejutkan.
Ketika Risa pergi ke sekolah, aku akan sendirian, bukan? Aku banyak
memikirkannya. Aku punya banyak waktu untuk memikirkannya…”
Selanjutnya, Enami-san mulai
menjauhkan diri dari ibunya. Jadi, itu adalah waktu yang lebih sulit baginya.
“Aku yakin dalam hal itu, Risa
dan aku berbeda…”
Akhirnya, tatapannya kembali
padaku. Ketika Enami-san berkata, “Bu,” beliau
lalu membalas dengan menggelengkan kepalanya.
Apa ini berarti tidak mungkin?
Apa aku tidak punya pilihan selain menyerah?
Mungkin karena ketulusan
kata-kataku, tapi dia berbicara padaku dengan sangat serius.
Itu sebabnya aku mulai
menyadari bahwa inilah yang sebenarnya dirasakan ibu Enami-san.
"Seperti yang sudah
kukatakan sebelumnya, masa muda sangat berharga ... Semakin tua dirimu,
pemikiranmu akan menajdi semakin kolot ...”
“Ya…”
“Kurasa aku belum siap untuk
membuang semuanya dan memulai dari awal lagi…”
Itulah perasaan tulusnya.
Mendengar pengakuannya membuatku semakin merasa putus asa.
Bahkan jika dia tidak
mengatakannya, aku yakin dia sudah mencoba untuk bergerak maju berkali-kali.
Setiap kali mencobanya, dia merasa goyah, dan sekarang dia terjebak di sini.
Tidak peduli berapa banyak aku mendorongnya, itu semua sudah tidak ada gunanya
...
Bagaimana jika aku tidak pernah
melihatnya lagi? Aku yakin orang ini akan terus hidup di masa lalu... Aku
mendapat firasat seperti itu.
Ketika aku hampir menyerah, dia
mendadak berkata padaku,
“Tapi terima kasih.”
“Eh?”
Sesaat tubuhku tersentak karena
terkejut.
Aku tidak pernah mengharapkan
untuk mendapat berterima kasih.
Aku membuka mulutku dengan tercengang.
Apa dia baru saja mengucapkan
terima kasih? Mana mungkin…
Aku tidak bisa mempercayai
telingaku, tapi Enami-san memiliki reaksi yang sama.
Dan bukan hanya itu saja, Ibu
Enami kemudian tersenyum padaku.
“…”
Aku tidak tahu apakah ini yang
terbaik yang bisa dia lakukan untuk menanggapi ucapanku. Bukannya dia
mengabaikan kata-kataku sebagai tidak layak untuk didengar. Bahkan jika aku
tidak bisa mengubahnya, dia mungkin akan menerima kata-kataku.
Aku benar-benar senang ketika
menyadari hal tersebut.
“Ti-Tidak…”
“Terima kasih banyak, telah
melakukan ini untuk orang sepertiku…”
Tidak mudah untuk bergerak maju
sambil membawa masa lalu. Aku juga tidak berharap dia segera melihat ke depan.
Tapi perubahan ini bisa menjadi
pertanda. Walaupun itu hal yang sangat kecil, bukan berarti tidak ada artinya.
Jika ada keuntungan kecil untuk Ibu Enami, ada kemungkinan dia akan mencapai
tujuan utamanya.
Masa depan memanglah sesuatu
yang tidak pasti. Dia tampaknya tenang sekarang, tapi ada kemungkinan bahwa
keadaan akan menjadi buruk lagi segera.
Aku tidak berpikir ada hari
dimana semua kebencian akan benar-benar hilang dari ibu Enami-san.
Ada kemungkinan besar bahwa
kita takkan pernah mencapai tujuan yang aku inginkan.
Walaupun begitu, ini saja sudah
bagus untuk saat ini.
Tidak ada salahnya untuk
melakukannya sedikit demi sedikit. Aku pikir itu saja sudah lebih dari cukup.
Tanpa harapan, aku tidak tahu
arah mana yang harus aku tuju. Tapi kalau ada tandanya, kita bisa bergerak ke
arah itu. Tidak peduli seberapa lambatnya kita melangkah.
Panas perlahan menumpuk di
dadaku.
“…tolong izinkan aku
mengucapkan terima kasih juga. Terima kasih banyak.”
Sebelum aku menyadarinya, aku
sudah berkata begitu.
Baik Enami-san dan ibunya menatapku
bingung. Mereka takkan mengerti mengapa aku berterima kasih kepada mereka.
Tapi percakapan ini sangat
berarti bagiku.
Mungkin furnitur yang rusak
harus dibiarkan apa adanya. Aku merasa sedikit lebih percaya diri.
“Anak yang aneh, uhuk…”
Ibu Enami memalingkan wajahnya
sambil terbatuk.
Upayaku sama sekali tidak
sia-sia. Aku sangat senang bahwa aku telah berbicara dengannya.
“Maafkan aku…”
“Tidak, tidak apa-apa…”
Ibu Enami memejamkan mata.
“…Aku merasa lelah.”
Ketika dia mengatakan itu, aku
menyadari bahwa aku telah berada di sini terlalu lama. Waktunya sudah cukup
larut dan aku tidak berlama-lama di sini juga.
“Eh, maaf. Aku harus segera
pergi…”
“Ya. kamu harus melakukan itu.”
Waktu sudah menunjukkan pukul
7:30 malam. Aku masih ada urusan yang perlu kulakukan sendiri.
Aku mengucapkan selamat tinggal
terakhirku dan mulai bersiap-siap untuk pergi.
Saat aku meninggalkan ruang tamu
dan memakai sepatuku di pintu masuk, Enami-san datang mendekatiku dari
belakang.
“Kamu …”
Dia berdiri di suatu sudut, dan
menatapku.
“Apa?”
Aku mengetuk jari kakiku dan
mendorong kakiku ke bagian belakang sepatuku sebelum berdiri. Enami-san
menghela napas seraya menggeliat di kakinya.
“Tentang apa yang kamu katakan
hari ini ...”
Suaranya lebih pelan dari
biasanya. Aku menunggu dalam diam sampai dia melanjutkan ucapannya, tapi dia
masih terdiam. Setelah beberapa saat, Enami-san bergumam,
“…Tidak, bukan apa-apa.”
“…?”
Dia menjepit bibirnya di antara
jari-jarinya dan membuat wajah bermasalah. Aku penasaran apa yang ingin dia
katakana, karena dia sudah susah payah menemaniku sampai ke pintu masuk demi
bisa berbicara denganku. Pada akhirnya, Enami-san hanya berkata, “Terima kasih untuk hari ini,” dan
kembali ke ruang tamu.
Seperti biasa, aku tidak bisa
memahami apa yang dia pikirkan. Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku dan
pulang ke rumah.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya