Chapter 119 — Demam
Aku harus berhenti menunda
kesimpulanku dengan menyembunyikan apa yang ada di hatiku.
Itulah yang kupikirkan.
Fujisaki mungkin mengumpulkan
keberanian untuk memberitahuku bagaimana perasaannya. Tetapi tidak adil rasanya
kalau cuma aku satu-satunya yang tetap berada di zona aman dan diam.
Besok merupakan hari dimana aku
janjian melakukan karaoke dengan Fujisaki dan Sayaka.
Aku telah memutuskan untuk
menceritakan semuanya padanya.
Tentang masa lalu. Apa yang
telah aku perjuangkan. Setelah itu, aku akan dengan jelas menyatakan kesimpulanku.
Untuk waktu yang lama, aku
berpikir bahwa perasaanku tidak boleh diketahui. Aku tidak ingin orang tahu
betapa buusuknya batinku. Tapi mungkin itu pilihan yang salah.
Dengan tekad seperti itu, aku
menyambut hari berikutnya ... atau begitulah seharusnya.
Tapi kenyataannya tidak
berjalan sesuai keinginanku. Dan penyebabnya karena ….
“Uhuk, uhuk.”
Pagi hari pun menjelang. Namun,
aku cuma berbaring di tempat tidur sambil terbatuk-batuk.
Aku menutup mulutku dengan
tangan dan hidungku mulai meler.
Pandanganku menjadi kabur dan
aku tidak bisa melepaskan kepalaku dari bantal.
Sialan.
Tenggorokanku sakit. Aku
mencoba untuk duduk, tapi badanku langsung goyah dan akhirnya terbaring di atas
kasur.
Aku pasti ketularan. Mempertimbangkan
apa yang sudah kulakukan belakangan ini, kurasa aku ketularan dari Enami-san
atau ibunya. Aku merasa yakin kalau aku bisa menjaga diriku sendiri, jadi aku
percaya kalau aku bakalan baik-baik saja, tapi ternyata aku salah.
Sudah lama sekali aku tidak
mengalami sakit demam.
Setidaknya, aku belum mengalami
sakit sejak ibuku meninggal. Aku mencuci tangan dan berkumur setiap hari dan
mendisiplinkan diri untuk menjalani kehidupan yang teratur. Aku memasak dengan menu
bergizi dan berusaha untuk tidak memakan sesuatu yang tidak sehat.
–Aku
lengah.
Tak peduli seberapa banyak aku
merawat kesehatanku, kalau sedang mengalami ketularan begini, aku tak bisa
berbuat apa-apa.
Membuat sarapan. Pergi keluar
bersama Sayaka. Lalu bertemu dengan Fujisaki dan membicarakan berbagai hal. Aku
memikirkan semua hal yang harus kulakukan hari ini, tetapi aku merasa kalau aku
tidak bisa melakukan salah satunya.
Pada akhirnya, aku memutuskan
untuk menyerahkan pekerjaan rumah kepada ayahku dan Sayaka.
Aku merasa bersalah tentang
Fujisaki dan Sayaka, tetapi aku harus membiarkan mereka pergi berdua hari ini.
Sayaka datang ke kamarku
sekitar setengah jam sebelum waktu yang ditentukan.
“…Aku sudah memberitahu
Fujisaki-san”
Dia mengganti pakaiannya dengan
pakaian kasual. Tujuan karaoke hari ini supaya Sayaka dan Fujisaki bisa saling
bertemu. Meskipun aku tidak ada di sana, tidak ada alasan untuk membatalkan
rencana tersebut.
Aku membalasnya dengan
mengangguk.
“Maaf ... tolong sampaikan
permintaan maafku kepada Fujisaki.”
“Aku tidak keberatan. Maksudku,
waktunya enggak tepat banget, bukan?”
“Rasanya menyakitkan ketika mendengarmu
mengatakan itu…”
Kamu takkan menyalahkanku untuk
ini, kan?
“Kalian bersenang-senang hari
ini. Jangan terlalu mencemaskanku, oke?”
“Aku tahu… Kalau begitu aku
akan pergi dulu.”
Setelah mengatakan itu, Sayaka
meninggalkan kamarku.
Aku mengambil smartphone yang
kutinggalkan di samping tempat tidur. Kemudian, aku membuka aplikasi LINE dan
mengetik pesan.
Ookusu Naoya: Maaf. Aku yakin kamu sudah mendengarnya
dari Sayaka, tapi aku sedang demam. Aku akan membalasnya lagi di lain waktu.
Kepalaku terasa pening.
Sulit untuk melihat layar.
Begitu aku melihat bahwa pesanku sudah dikirim, aku segera meletakkan
smartphone-ku.
Aku memejamkan mata.
…Sudah berapa lama sejak aku
bisa beristirahat seharian penuh?
Sejak kejadian empat tahun
lalu, aku berusaha untuk menahan diri. Aku telah belajar dan melakukan tugas-tugas
sehingga aku tidak perlu memikirkan hal lain. Jika aku punya waktu untuk bersantai,
aku lebih memilih untuk belajar. Aku merasa lebih lega melakukan itu.
Waktu yang aku habiskan untuk
bangun dan tidur sering diulang.
Rasa kantuk dan rasa sakit
bercampur menjadi satu.
Otot-otot di kaki dan lenganku
terasa nyeri. Aku bahkan tidak tahu apakah aku sudah terbangun atau masih tertidur.
Suara kertas bergoyang di
dinding.
Angin hangat dari pemanas.
Lapisan air mata perlahan menyebar di balik kelopak mataku.
Sedikit demi sedikit, tarik
ulur antara kantuk dan penderitaan bergeser ke arah kantuk.
Waktu pun mengalir perlahan.
Suara napasku perlahan memudar.
Tepat ketika aku hampir
kehilangan kesadaran, tiba-tiba aku mendengar suara pintu terbuka dengan
retakan dari bagian belakang ruangan.
—
Hmm?
Aku setengah membuka mataku dan
berbalik untuk melihatnya. Tapi tatapan mataku tidak bisa fokus.
Ada seseorang di dekat pintu.
—Siapa?
Ada seseorang yang berdiri di
ambang pintu dan melihat ke arahku.
Punggungnya tegak lurus. Kulit
putih menutupi wajah dan lengannya.
Aku menajamkan mataku. Tapi
fokusnya masih tidak stabil, sama seperti saat kamu berusaha menggerakkan kaca
pembesar ke atas dan ke bawah.
Orang itu mendekatiku dengan
gaya berjalan santai. Sosok yang tercermin dalam pandangan kaburku bukanlah Sayaka
maupun ayahku. Ketika orang itu berdiri di dekatku, aku memperhatikan bahwa
benda yang menutupi bagian bawah tubuhnya adalah rok.
Aku hampir bisa menjangkau
orang ini jika mengulurkan tanganku. Tapi aku masih tidak tahu siapa yang ada
di hadapanku ini.
Aku lalu mendengar suara.
(Ba…
adaanmu..)
Tapi aku tidak bisa membedakan
apa yang dikatakan.
Aku membuka mulut untuk
menjawab sesuatu, tapi yang keluar dari jalan napasku hanyalah napas tipis.
(Jadi…
ka… laki-laki…)
Kata-kata itu berlanjut. Aku
mendengarkan suaranya yang terputus-putus.
Aku tidak tahu siapa dia, tapi
orang tersebut sudah memasuki ruangan ini. Ruangan itu berantakan dengan kertas
dan bahan belajar. Aku tidak ingin ada yang tahu bahwa aku belajar di tempat
seperti ini. Namun, orang di depanku sepertinya tidak peduli tentang itu.
Kata-kata yang terputus-putus
sesekali disampaikan ke telingaku.
(pada…
dan ketika…)
Terlepas dari keinginanku,
kesadaranku menjadi semakin jauh.
Sosok orang yang berdiri di
depanku terlihat samar-samar. Aku mencoba yang terbaik untuk mengumpulkan kesadaranku
yang semakin kabur dan memfokuskan mataku. Wajahnya terlihat datar, tapi aku
bisa melihat warna rambutnya. Warnanya coklat. Panjang rambutnya mencapai bahu.
Siapa orang ini? Kepalaku tidak berfungsi dengan baik. Suara itu terus
berbicara. Aku tidak mengerti apa yang dikatakannya, tapi aku merasa nyaman
saat mendengar suaranya. Suaranya terdengar halus dan lembut. Sinar matahari
mengambang di sisi tempat tidur. Suaranya membuaiku lebih jauh ke dalam tidur.
Perasaan sakit yang kurasakan tadi sepertinya hilang. Aku harus mengatakan
sesuatu. Rasa kewajiban seperti itu dihancurkan oleh kantuk. Suara itu menjadi
semakin halus dan kabur. Kelopak mataku perlahan menutupi pandanganku.
Aku berada sudah berada di ujung
batasku. Benang kesadaranku hampir putus.
Pada momen terakhir. Tepat saat
kelopak mataku akan menutup, sebuah tanda tanya muncul di benakku.
Untuk sesaat, aku bisa melihat
wajah orang itu dengan jelas.
Itu adalah wajah yang sama yang
sering kulihat akhir-akhir ini, tapi dengan ekspresi yang berbeda dan lebih
lembut, berbicara kepadaku.
Aku lalu memanggil namanya
tanpa suara.
–Enami-san…?
****
Sudah berapa lama aku tertidur?
Tiba-tiba kesadaranku muncul dan kembali pada diriku sendiri.
Aku membuka kelopak mataku.
Dan duduk.
Suasana begitu hening. Adegan
sebelum aku tertidur sepertinya kebohongan semata. Tidak ada orang sama sekali
di dalam ruanganku.
—Hah?
Waktu sekarang tampaknya sudah
menjelang sore. Di luar jendela berwarna kemerahan, dan dahan-dahan tak berdaun
bergoyang tertiup angin.
Aku berada di kamarku. Rasanya
tidak terlihat seperti seseorang telah mengganggu. Sembari menyeka keringat
dari mataku, aku melihat ruang kosong di kamarku.
Tidak ada jejak apapun.
Bahkan ingatanku kabur.
Hanya sedikit sisa ingatan yang
memberitahuku bahwa seseorang pernah ke sini.
Aku memegang kepalaku dengan
tangan kananku.
…Apa itu semua hanya mimpi.?
Apa itu ilusi yang diciptakan secara tidak sadar karena aku tidak bisa
membedakan antara tidur dan terjaga?
Karena mana mungkin itu bisa
terjadi. Mana mungkin Enami-san akan repot-repot untuk memeriksaku ketika aku
sedang mengalami demam. Pertama-tama, dia bahkan mana bisa mengetahui kalau aku
sedang demam.
Setelah memikirkan hal ini, aku
merasa sedikit lebih tenang.
Sepertinya aku merasa sedikit
lebih baik. Rasa dingin telah berkurang secara signifikan.
Saat aku meninggalkan ruangan, aku
bertemu Sayaka. Dia sepertinya baru saja pulang dan masih mengenakan pakaian
kasualnya.
“Ah, kuso-aniki...”
“Cepat sekali pulangnya. Apa
kamu bersenang-senang?”
“Ya.”
Sayaka menekankan tangannya ke
dahiku. Lalu dia mengerutkan kening, “Badanmu masih hangat”.
“Tapi keadaanku sudah sedikit
membaik. Bagaimana dengan Fujisaki?”
“Tidak, tidak ada yang khusus.
Dia mengkhawatirkanmu. Tapi dia berharap kita bertiga bisa pergi bersama lain
kali.”
“Begitu ya … Itu benar. Aku
harus menebusnya lain kali.”
“Yah karena keadaanmu mendadak
sakit, jadi apa boleh buat. Kalau gitu, aku mau berganti dulu …”
Dia cepat-cepat pergi,
seolah-olah dia tidak ingin masuk angin. Itu adalah reaksi alami. Aku turun,
membasahi mulutku dengan air, dan kembali ke kamarku sendiri.
Aku meraih smartphone yang
kutinggalkan di tempat tidur. Aku membuka layar, tapi tidak ada pemberitahuan.
—
Omong-omong…
Aku mengingat kalau aku telah
mengirim pesan LINE sebelum tidur.
Aku bertanya-tanya apakah dia
sudah menjawab.
Aku membuka aplikasi LINE. Tapi
tidak ada yang menghubungiku. Fujisaki memiliki kebiasaan membalas pesan
sesegera mungkin, jadi kurasa dia belum menyadarinya.
Dan kemudian aku memiringkan
kepalaku.
–Hm?
Aku merasakan ada yang janggal,
dan segera menyadari keanehan tersebut.
…Pesan yang seharusnya aku
kirim hari ini mendadak hilang.
Sebelum tertidur, aku sudah meminta
maaf kepada Fujisaki melalui pesan. Aku cukup yakin kalau aku sudah
mengirimkannya.
Aku membuka dan menutup pesan
beberapa kali, tapi tetap tidak muncul. Aku sempat berpikir apa aku hanya
mengigau saja kalau aku sudah mengirim pesan padanya.
Segera setelah aku menutup
riwayat percakapan dan mencoba mematikan smartphone-ku, aku menyadari sesuatu.
(Maaf.
Aku yakin kamu sudah mendengarnya dari Sayaka…)
Kalimat yang aku ingat
ditampilkan di bagian atas layar.
Aku melihat fakta tertentu
juga.
…Pesan itu ditujukan kepada
Enami-san.
Badanku menjadi kaku. Segera, aku
tidak dapat memahami situasinya sendiri.
Dengan panik, aku membuka
riwayat percakapan.
Ookusu Naoya: Maaf. Aku yakin kamu sudah mendengarnya
dari Sayaka, tapi aku sedang demam. Aku akan membalasnya lagi di lain waktu.
Tak peduli berapa kali aku
melihatnya, kenyataannya masih tetap sama. Pesan itu dikirim kepada Enami-san,
bukan Fujisaki.
Memang, kesadaranku sangatlah
kabur saat mengetik pesan itu. Lagi pula, aku sangat sibuk mengetiknya sehingga
aku bahkan tidak bisa memeriksa kepada siapa itu dikirim. Apa jariku memilih
akun Enami-san daripada akun Fujisaki?
Pesan tersebut juga sudah
dibaca. Itu artinya Enami-san membaca pesanku.
Keringat yang berbeda muncul di
wajahku, yang tidak pernah kurasakan saat aku tidur.
Aku merasa perlu untuk
memberitahunya bahwa aku melakukan kesalahan, tapi pada saat yang sama, proses
pemikiranku mulai bergerak ke arah yang berbeda. Tentang apa yang terjadi hari
ini. Aku sudah memikirkan tentang peristiwa yang seperti mimpi...
–Jangan
bilang …
Dia seharusnya tidak tahu kalau
aku sedang demam. Namun, aku pikir Enami-san pasti telah mempelajarinya dari
pesan ini.
Semuanya jadi masuk akal. Apa
kejadian tadi benar-benar nyata? Apa Enami-san benar-benar datang ke rumahku?
—Akan
tetapi…
Satu pertanyaan muncul di benak
aku.
Ada sesuatu yang tidak bisa
kupahami.
Setelah mengkritiknya, aku
mulai terlibat dengan Enami-san. Sebelum itu, kami bahkan tidak pernah
mengobrol. Kami juga bukan teman masa kecil atau semacamnya. Lagipula, baru
ketika menginjak sekolah SMA saja Enami-san dan aku mulai berada di gedung
sekolah yang sama.
—Bagaimana
Enami-san bisa tahu di mana alamat rumahku?
Tidak peduli seberapa banyak aku
memikirkannya, aku tidak bisa mendapatkan jawaban untuk pertanyaan itu.
Aku bahkan tidak bisa menemukan
petunjuk.
Dari luar jendela, aku bisa
mendengar tawa anak-anak.
Di hari Minggu, pada malam
musim dingin. Ruangan yang kutempati terasa semakin dingin.
Aku duduk sendirian di tempat
tidurku dan merenungi itu tanpa henti.
Catatan:
Dengan
chapter ini, mimin udah nerjemahin sampai mentok raw-nya, penulisnya belum
update-update lagi sejak tahun 2021 lalu, dan versi WN nya sendiri kayaknya
lumayan berbeda dengan versi LN. Entah penulisnya nge-drop nih series atau
hiatus, masih belum ada kejelasan, yah mungkin lebih aman kalau kita anggap ini
udah didrop aja kali ya, daripada PHP ngarepin kelanjutannya.
Terima kasih banyak buat kalian
yang masih membaca hingga akhir, sampai ketemu lagi pada project selanjutnya~