Chapter 92 — Spekulasi
… Ibu Enami terlihat tenang
hari ini.
Aku yakin dia bahkan tidak
perlu repot-repot memantau keberadaan kami sejak awal. Dia mengenakan topeng
senyum di wajahnya, melihat ke seluruh ruang tamu. Setiap gerakan kami sama halnya
seperti aliran udara, menyatu dengan penglihatannya.
“Um…”
Aku merasa penasaran dan
memanggilnya. Dia sedang mengganti lembar pendingin panas.
“Ara? Um, ... namamu ...”
Dia sepertinya lupa dengan nama
yang pernah kuberitahu padanya.
“Saya Ookusu. Apa tubuh anda
baik-baik saja? Karena di sini agak dingin…”
“Ya? Rasanya memang seperti
itu, tapi itu tidak menggangguku.”
Terus terang, sulit dibayangkan
kalau itu tidak mengganggunya sama sekali. Kami mengenakan pakaian hangat untuk
membersihkan ruangan ini, dan kami masih
merasa kalau suhunya terlalu dingin. Jika kamu sedang mengalami demam, demammu
akan bertambah semakin parah.
“Demam anda tidak kunjung sembuh,
kan? Apa Anda sudah meminum obat atau semacamnya? ”
“Aku tidak terlalu suka obat.
Risa membawaku ke rumah sakit sekali, tetapi aku hanya minum obat pada hari pertama.
Obat tersebut sudah manjur untukku sampai sekarang. ”
“Tapi kalau sampai sekarang
belum sembuh..”
“Kamu mengkhawatirkanku, ya?
Terima kasih. Aku mungkin demam, tapi aku tidak sakit. Tenggorokanku tidak
sakit dan aku hanya sedikit pusing.”
Memang, dia sepertinya tidak batuk
maupun pilek. Pipinya memerah, tapi bibirnya tidak membiru.
“Aku mendengar dari putri Anda,
Risa. Dia bilang kalau demam Anda belum turun lebih dari seminggu.”
Ibu Enami memberikan anggukan
tenang.
“Itu benar. Seiring
bertambahnya usia, kita cenderung sembuh lebih lambat. Kalau dulu, aku pasti sembuh
dalam sehari. ”
Dia tersenyum. Senyum di
wajahnya sangat mirip dengan yang kulihat di wajah Enami-san beberapa waktu
lalu.
Aku pikir sebagian besar karena
masalah lingkungan yang membuatnya sulit untuk menyembuhkan demamnya. Cuacanya
dingin, kebersihannya buruk, dan mental Ibu Enam tidak stabil. Pertama-tama,
ketimbang sembuh, aku merasa bahwa dia mungkin juga kehilangan sedikit demi
sedikit.
Ibu Enami menyesap air lagi.
Keningnya kembali dipenuhi keringat.
“Ookusu-kun, ‘kan?”
Kata Ibu Enami setelah meletakkan
botol plastik itu.
“Ah iya.”
“Jika kamu terlalu sering
datang ke sini, kamu mungkin akan masuk angin juga.”
“…Apa itu berarti saya tidak
boleh datang ke sini lagi?”
“Aku tidak mengatakannya sampai
sejauh itu. Tapi jika kamu masuk angin, itu hanya akan membuat keluargamu khawatir.
Kesehatanku adalah urusan keluargaku. Itu bukan urusanmu.”
“…Itu benar.”
Aku pikir Enami-san juga
khawatir tentang itu.
“Risa sering memaksamu, bukan?”
“Aku tidak bisa menyangkal hal
itu ...”
Enami-san bukanlah orang yang
mau membuka pikiran dan perasaannya secara umum. Tidak ada yang pernah bisa
mencapai lubuk hatinya yang tersembunyi di balik layar.
“Tetap saja, akulah yang
memutuskan untuk membantu…”
“Teman Risa sungguh baik hati,
ya.”
Di belakangku, mereka berdua
diam-diam membersihkan. Aku yakin mereka bisa mendengar percakapan kami saat
mereka sedang bersih-bersih.
“… Apa yang anda lihat tadi?”
“Eh?”
“Saat kami sedang bersih-bersih,
saya merasa samar-samar Anda melihat sesuatu ..."
“… Aku tidak begitu mengerti
maksudmu.”
Suara Ibu Enami sedikit
tersendat. Aku merasa kalau aku seharusnya tidak terlalu menyentuh masalah ini,
tapi aku merasa bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan aku bisa bertanya.
“Hari ini, Anda tidak tertidur,
dan tatapan anda terus melihat ke arah kami.”
“Apa iya? Aku sendiri tidak
begitu yakin.”
Dia menolak untuk melakukan
kontak mata denganku.
“... setelah Anda melakukan itu
selama, kira-kira, satu jam?”
“Yahh…”
Pada saat itu.
Aku merasakan waktu di dalam
Ibu Enami berhenti. Hal yang sama pernah terjadi sebelumnya, ketika Enami-san
membuatnya marah. Seperti yang diharapkan, mana mungkin bisa mengulik masalah
ini lebih jauh. Aku pun menyerah untuk bertanya lebih lanjut.
“Yah, kurasa itu terjadi.”
Sedikit demi sedikit, waktu
berjalan untuk Ibu Enami. Matanya, yang bahkan tidak berkedip, perlahan-lahan
menggerakkan kelopaknya.
“Kurasa begitu”
Dia menjawab singkat
seolah-olah menyiratkan kalau percakapan ini sudah berakhir.
Aku hanyalah orang asing. Tidak
perlu mengorek lebih jauh dari yang diperlukan. Tapi aku merasa bahwa aku harus
mencari tahu apa yang ada untuk memecahkan masalah pada akarnya.
Aku memotong pembicaraan dan
kembali bersih-bersih.
Aku diam-diam mengumpulkan
sampah. Masih banyak sampah yang tertinggal. Tapi berkat kerja kerasku hari
ini, area di sekitar meja makan sekarang jauh lebih bersih. Sekarang, yang
perlu kulakukan hanyalah membersihkan dapur, dan segalanya akan menjadi lebih
bersih.
Mungkin aku perlu dua atau tiga
hari lagi untuk menyelesaikan permintaan Enami-san. Aku tidak tahu apa aku
masih bisa sempat memasak, tapi aku akan melakukan semua yang kubisa.
Ketika aku melihat ke atas dan
memeriksa Ibu Enami, dia sudah meringkuk di bawah selimut.
Dia tidak lagi melihat ke arah
kami. Mungkin dia khawatir tentang apa yang baru saja aku katakana tadi.
Ada lebih dari sepuluh kantong
sampah yang menumpuk di sudut ruang tamu hari ini. Pada saat kita menyelesaikan
semuanya, tumpukan itu mungkin akan menjadi dua kali lebih besar.
Kami memutuskan untuk melakukan
penyortiran minimal dan menyudahi bersih-bersih hari ini.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya