Daijina Mono wa Shistu Kushite Wakaru Bab 10

Bab 10 — Satu–Satunya Pahlawanku

________________________________________

Catatan: Ada perubahan sudut pandang, dari bab ini sampai akhir adalah sudut pandang Kuraki Mayumi.

________________________________________

Sejak aku masih kecil, aku hanya memperhatikan anak laki-laki itu. Ia adalah satu-satunya orang yang memperlakukanku dengan kebaikan meski semua orang menganggapku sebagai gangguan.

Namanya adalaj Amemiya Hinata

Ketika aku masih duduk di bangku TK, aku pindah dan pergi ke sekolah baru. Semua itu terjadi ketika orang tuaku menikah lagi. Sama seperti kata pepatah, gosip melakukan perjalanan lebih cepat daripada cahaya, dan tidak butuh waktu seminggu sampai kabar tersebar di sekelilingku kalau orang tuaku bercerai.

Saat itu, aku berada di usia di mana aku hanya mengulangi apa yang dikatakan orang-orang di sekitarku. Perceraian, perceraian, perceraian ... Aku tidak memahami makna kata tersebut pada waktu itu, jadi akhirnya aku sering diejek di tempat hidup baruku.

Orang tuanya bercerai ~! Jika kamu menikahinya, kamu juga akan bercerai ~!

—Aku diberitahu begitu. Aku masih mengingat kata-kata yang diteriakan ke telingaku ... yah, aku juga takkan mau menikahi seseorang yang begitu menjengkelkan seperti itu.

Di rumah, orang tua baruku hanya saling bertemu dan aku jarang mendapat perhatian. Jika dipikir-pikir lagi, kurasa aku hanyalah gangguan buat mereka; batu di jalan yang menghalangi waktu mereka bersama. Mereka melakukan kewajiban minimum untukku, jadi sekarang aku bahkan mendapatkan upah hidup. Saat ini, aku tidak mengeluh sama sekali, tapi ceritanya sangat berbeda ketika aku masih kecil.

Bahkan sebagai anak kecil, aku tahu kalau tidak ada seorang pun di dunia ini yang memihakku. Begitulah caraku menjadi diriku yag sekarang.

Namun, ada sinar harapan untuk gadis kecil yang begitu.

... Sinar harapan itu adalah Hinata, meski orangnya sendiri pasti tidak mengingatnya.

“Heya! Ayo makan siang bareng kita-kitaan!”

Sedikit sebelum Ia mengatakan itu, makan siangku sudah ditumpahkan oleh anak-anak yang selalu menggodaku. Rupanya, mereka tidak berniat untuk melangkah sejauh itu, oleh karena itu mereka melarikan diri dengan panik tanpa mengucapkan banyak kata untukku. Kemudian, aku berjongkok dan mengais makanan yang tumpah. Walaupun aku tidak memakannya, sih.

Entah karena aku terlihat sangat bermasalah, atau karena Ia terlalu baik, pada waktu itu Hinata memanggilku bahkan ketika aku tertegun kaku. Sampai hari ini, aku masih bisa membayangkan adegan itu seolah-olah itu baru terjadi kemarin.

Ekspresinya, senyum paling ceria yang bisa Ia tunjukkan sehingga Ia bisa menyembunyikan kekhawatirannya ...

Camilan kecil yang dibawanya dengan nasi…

Aku ingat semuanya.

Pada waktu itu, aku hanya memiliki ekspresi kosong di wajahku, tapi di dalam batinku langsung berteriak senang, bahagia dan meledak dari fakta bahwa ada seseorang yang bersikap baik kepadaku. Aku berusaha mati-matian untuk menahan air mataku, berpikir pada diri aku sendiri bahwa jika aku menangis, aku akan menyia-nyiakan semua niat baiknya ...

Jika aku menangis, aku hanya akan membuatnya merasa canggung.

Jadi, ketika aku selesai makan siang dengan sangat diam, Hinata tiba-tiba berbicara.

“Kamu tahu, um, tidak ada salahnya untuk menangis saat kamu merasa sedih. Bukannya itu normal? Mereka mengatakan kepadaku begitu, umm, dan mereka juga mengatakan bahwa menangis akan membuat segalanya lebih mudah, jadi kamu tidak perlu menahan diri!”

Tidak peduli berapa banyak aku diejek, seberapa besar aku membencinya, atau bahkan seberapa kesepian yang aku rasakan, aku selalu menahannya. Namun, kata-katanya meresap ke dalam hatiku seperti mantra ajaib.

Jadi aku menangis.

Aku menangis sejadi-jadinya sampai setiap air mata di dalam tubuhku akan mengering.

Pada awalnya Hinata terlihat terkejut, tapi dia dengan lembut menggenggam tanganku. Kami tinggal bersama sampai orang dewasa tiba sejak mereka mendengar seorang anak menangis.

Kehangatan jari-jarinya di atas tanganku menenangkan hatiku yang kewalahan, dan air mataku masih tidak mau berhenti mengalir di pipiku. Ketika mereka jatuh ke lantai, perasaan keruh di dalam diriku sepertinya jatuh bersamaan dengan mereka. Segera, aku merasa bermil-mil lebih baik.

Sejak itu, keberadaan Hinata menjadi segalanya bagiku.

Belas kasihnya meluas ke gadis kecil yang kesepian itu, yang mengira dia sendirian di dunia ini. Kebaikannya itu sudah cukup bagiku pada saat itu, dan aku kehilangan pandangan dari yang lainnya.

Aku tidak merasa takut lagi untuk berangkat ke taman kanak -kanak; Justri, itu adalah satu-satunya tempat di mana aku bisa dengannya, jadi ketakutanku berubah menjadi antusiasme. Sebagai anak kecil, aku tidak memiliki keberanian untuk mendekati dan berbicara dengannya, tapi aku mencoba yang terbaik untuk tetap dekat, tidak pernah mengalihkan pandangan darinya.

Karena Ia merupakan sosok yang paling penting bagiku, satu-satunya pahlawan hidupku.

Tapi kemudian aku menyadari bahwa meskipun Hinata adalah segalanya bagiku, perasaan tersebut bukanlah timbal balik ...

Hinata selalu bersama seorang gadis tertentu: Ichinose Suzuka, teman masa kecilnya. Mereka sudah bersama sejak lahir, tinggal di sebelah satu sama lain, dan memiliki hubungan keluarga yang tidak kumiliki. Setiap kali Ia bersama gadis itu, senyum yang penuh kegembiraan selalu muncul di wajahnya.

Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa gadis itu meruapakan sosok segalanya bagi Hinata, sama halnya sebagaimana dirinya bagiku.

Sejak awal, aku dihadapkan dengan fakta bahwa aku takkan pernah mendapatkan apa yang aku rindukan, dan aku memahaminya. Tetapi pemahaman tidak sama dengan menerimanya.

Mengapa? Kenapa gadis itu? Kenapa bukan aku? —Bagi diriku yang masih kecil pada waktu itu, itu bukan sesuatu yang bisa aku terima dengan mudah.

Aku benar-benar ingin mengambil tempat gadis itu, dan berdiri di sisinya, tapi ...

Hinata menginginkan gadis itu.

Itu sebabnya aku memutuskan untuk menunggu tempat di sebelahnya tersedia. Jika aku memisahkan mereka dengan paksa, aku akhirnya akan menyakiti Hinata, sesuatu yang tidak pernah aku inginkan.

Hinata adalah cahayaku, keberadaan yang tidak dapat aku sentuh saat ini. Tapi waktunya pasti akan tiba. Itulah kuncinya: Aku tidak boleh melewatkan kesempatan.

Sejak saat itu, aku menjaga diriku dari kejauhan dan hanya mengamati. Satu-satunya waktu kami berbicara hanyalah saat di TK, dan tidak pernah lagi sejak itu, jadi aku tidak berpikir Ia masih mengingatku. Rasanya tidak terlalu mengejutkan karena kami berdua masih sangat muda pada saat itu. Heck, kami bahkan jarang berinteraksi, jadi Ia mungkin juga tidak ingat kalau kami pernah satu TK.

Namun, aku takkan pernah melupakannya .

Dengan jarak yang tidak terlalu jauh maupun terlalu dekat, aku tetap mengawasinya. Aku meneliti sekolah-sekolah yang ingin Hinata masuki — dari sekolah SD, SMP, dan SMA— lalu mendaftar di sekolah yang sama dengannya.

Ketika aku menghabiskan waktuku untuk mengawasinya, pada saat kami duduk di bangku SMA, aku sudah mengetahui sebagian besar tentang dirinya.

Di mana Ia tinggal, jendela kamarnya, makanan favoritnya, di mana Hinata sering pergi berbelanja, kebiasaannya dengan detail yang menyiksa, dan semua kesukaannya. Aku sudah siap, siap untuk bergerak kapan saja.

Jadi, gadis kecil itu terus menunggu, menunggu dan menunggu sampai kesempatan tiba.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama