Daijina Mono wa Shitsu Kushite Wakaru Bab 3

Bab 3 — Perubahan

 

Kami tiba di sekolah dan langsung menuju ke ruang kelas bersama. Begitu dia melangkah masuk, wajah semua orang langsung sumringah dan suasana kelas menjadi lebih hidup. Satu demi satu, teman sekelas kami berbondong-bondong mengelilinginya seolah-olah mereka sudah menunggu kedatangannya. Dengan senyum di wajahnya, Suzuka menjawab sapaan mereka sementara aku diam-diam keluar dari lingkarannya untuk kembali ke tempat dudukku sendiri.

Meski aku berada di sana, aku takkan bisa berbicara dengannya. Bahkan berdiri di sebelahnya pun mustahil, karena orang-orang yang ingin mengatakan sesuatu akan selalu mengganggu.

Tempat dudukku terletak di bagian paling belakang di dekat jendela. Setelah duduk di dekat mejaku, aku menghela napas berat, dan hanya memandangi Suzuka dari kejauhan. Dia masih dikelilingi oleh teman-temannya dan belum menempati kursinya. Dia masih membawa tasnya, tapi dia terus berbicara dengan mereka tanpa merasa jengkel maupun terganggu.

Ketika aku tanpa sadar merenungkan jika sifat itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa dia bisa populer, tiba-tiba ada seseorang yang duduk di kursi depanku.

“Selamat pagi,” aku menyapanya sebentar. Begitu mendengar salamku, dia setengah menoleh dan menjawab, “... pagi”. Aku belum banyak bicara dengannya, tapi dia adalah seseorang yang aku kenal sejak aku masih sekolah SD.

Namanya adalah Kuraki Mayumi, dan dia gadis menonjol dari Suzuka dengan cara yang berbeda. Karena penampilannya yang mencolok, dia menjadi korban banyak gosip tak berdasar, dan mendapat jaga jarak “aman” dari gadis-gadis lain. Walaupun ada saja orang-orang yang mendatanginya karena alasan yang sama, dia jarang berurusan dengan mereka dan biasanya ditinggal sendirian.

Dia kadang-kadang membolos dan hilang entah ke mana, tapi beginilah rutinitas pagi kami yang biasa. Ketika dia ada di sini, tidak ada banyak orang yang lewat dan kursi di dekat jendela menjadi tempat yang tenang. Kadang-kadang aku menemukan diri aku menyukai ketenangan ini karena merasa dapat menenangkan diri dan memilah pikiranku.

Ketika aku sedang duduk dan melihat ke luar jendela, aku berpikir tentang bagaimana Suzuka dan aku bisa menghabiskan Natal bersama.

 

◇◇◇◇

 

“Hinata! Mengenai kunjungan akuarium, Miki dan Ai juga akan datang! Aku akan mengajak yang lainnya juga!”

“Ce-Cepat juga. Sekarang kita tidak bisa berkencan lagi ...” Aku menggumamkan bagian terakhir itu.

“Apa ada yang salah? Kamu tidak mau kalau nongkrong dengan sekelompok gadis? Kamu tidak senang?”

“Aku yakin akan ada banyak anak cowok yang ikutan datang juga. Dengan semua gadis itu, kamu pasti akan mengajak beberapa anak cowok, ‘kan?”

“Aku terkesan! Kamu mengenalku dengan baik!”

“Aku sudah mengenalmu selama lebih dari satu dekade sekarang.”

Selama jam istirahat makan siang, Suzuka datang menghampiri untuk duduk di sebelahku sambil membawa bekal kotak makan siangnya. Kami selalu makan di kelas bersama, serta bersama beberapa temannya. Rupanya, dia menghabiskan sepanjang pagi berbicara dengan banyak orang, dan sekarang ada banyak dari mereka yang ingin ikut pergi ke akuarium bersama kami.

Sekarang, mustahil buat menjadikan rencana itu menjadi kencan kami. Aku menghela nafas dalam hati, tapi kemudian menyiapkan diriku. Maksudku, kita masih bisa bersama, bukan?

“Tapi, beneran tidak apa-apa? Maksudku, bukannya itu kencan kalian berdua?” ucap Miki, teman sekelasku, dan temannya. Dia juga datang ke sini sembari membawa kotak makan siangnya untuk makan bersama kami.

“Tentu saja tidak masalah! Lagian, semakin banyak maka semakin meriah! Benar ‘kan, Hinata?”

“Haha, ya,” aku tertawa kaku, dan Suzuka tidak menyadari kegalauan hatiku.

Tidak ada yang aneh. Sama seperti hari-hari lain biasanya. Beginilah keseharianku bersama dirinya berjalan, dan bagaimana hubungan kami akan terus berjalan ... atau begitulah yang kupikirkan.

 

◇◇◇◇

 

Aku mengikuti jam pelajaran seperti biasa, makan siang bersama dengannya seperti biasa, berbicara dengan teman–temannya seperti biasa, dan kami akan langsung pulang seperti biasa. Kami berdua tidak mengikuti klub mana pun, jadi ketika kami bersiap–siap untuk pulang, dia berjalan mendekati tempat dudukku.

“Sudah beres semua? Mau mampir dulu ke suatu tempat hari ini?”

“Hmm? Apa jangan-jangan kamu menginginkan sesuatu yang manis lagi?”

“Oh, kamu emang pandai menebak apa yang kuinginkan! Tentu saja!”

Dia kembali untuk meraih barang–barangnya sembari memasang wajah yang tampak puas dengan tebakanku. Kami sudah mengenal satu sama lain untuk waktu yang cukup lama, jadi selain ketika teman–temannya mengajaknya bermain, dia biasanya bergaul denganku. Aku biasanya menemaninya untuk mencicipi beberapa jajanan manis.

“Luar biasa sekali, Hinata.”

“Kalian berdua sudah seperti orang pacaran banget, tau?”

Teman sekelas di sekitar kami merasa kagum pada percakapan  kami yang begitu sinkron.

“Betul banget, ‘kan~? Aku bukan cuma sekedar teman masa kecilmu ~! “ Dia menabrak pundaknya, membuat suara ceria ‘yay!’ Di dalam otakku yang gemilang.

“Yah, meskipun dia tidak tahu ke mana aku ingin pergi.”

“Ugh, bukannya kamu sudah janji untuk tidak mengatakan itu!”

Aku menyindir dengan sarkastik, tetapi di dalam diriku merasa sangat gembira karena dianggap pacaran, dan cara Suzuka menggosok bahu dengan cara yang genit seperti itu. Ya, itu karena rasanya seperti kami diakui oleh orang-orang di sekitar kami.

Sebagian besar murid menuju klub mereka masing-masing setelah sepulang sekolah, jadi Suzuka dan aku sering sendirian bersama. Tepat ketika aku sudah siap untuk pulang, ada sesuatu yang terjadi.

Peristiwa inilah yang menjadi titik balik untuk rutinitas kami yang biasa.

“Apa Ichinose-san masih ada di sini?” Aku menoleh ke sumber suara yang tidak dikenal, dan melihat seorang pria tampan berdiri tepat di pintu masuk kelas.

Ia adalah Taniguchi dari kelas sebelah. Ia adalah pemain andalan dari klub bisbol, pemain dengan nomor empat, dan mempunyai fisik Instagrammable yang pasti butuh upaya keras untuk membentuknya. Rambut pendeknya, tidak dicukur, dan menonjolkan wajah tampannya. Walaupun tampaknya Ia populer di kalangan gadis-gadis, Ia tidak pernah menerima pengakuan dari siapa pun.

Bagaimana pendapat Suzuka mengenai cowok yang tampan ini? Pada titik ini, firasatku memberi sinyal kalau ada sesuatu yang buruk.

“Ah, Taginuchi-kun. Apa ada perlu sesuatu denganku?” Suzuka membalas dan bertanya.

“Oh, baguslah, kamu masih di sini. Jika kamu tidak keberatan, aku ingin berbicara sebentar denganmu setelah ini.” Sikapnya yang sedikit gugup hanya membuat instingku berdering keras. Pada saat itu, Suzuka tampaknya merasakan sesuatu juga.

“Sesuatu yang tidak bisa kamu bicarakan di sini?”

“Ya. Jika kamu tidak terganggu dengan itu, aku ingin kamu ikut denganku.”

“… Oke, tentu saja,” dia memikirkannya sebentar, tapi pada akhirnya, dia memutuskan untuk menerima tawaran Taniguchi.

“Maaf, Hinata. Hari ini sepertinya enggak bisa, kamu bisa pulang duluan.”

“…Tidak … masalah. Kalau begitu, aku pulang duluan.”

Segera setelah aku mengatakan kepadanya kalau aku tidak keberatan, Suzuka langsung mengambil barang–barangnya dan meninggalkan ruang kelas bersama Taniguchi. Beberapa saat kemudian, seluruh kelas mulai membuat kehebohan.

“Hei, hei, bukannya ini jelas-jelas pengakuan cinta!”

“Sudah pasti begitu! Lagian, memangnya kamu enggak pernah dengar gosip kalau Taniguchi-kun sudah cukup lama menyukai Suzuka?”

“Astaga! Apa ini kelahiran pasangan yang ideal? ”

“Jadi kurasa Hinata-kun cuma sekedar teman masa kecilnya, ya.”

Aku diam-diam menyelinap dan meninggalkan ruang kelas, membiarkan semua keributan di belakangku. Aku berjuang untuk melawan emosiku, berusaha keras untuk menjaganya tetap di dalam hati dan tidak membiarkannya tumpah. Walaupun akulah yang pertama kali diajaknya, meskipun aku sudah berusaha mengajaknya kencan beberapa kali, dia masih pergi dengan pria yang lain.

Memendam perasaan meledak-ledak ini merupakan tugas yang mustahil. Taniguchi hanya tiba-tiba muncul tanpa adanya pemberitahuan.

Apa ini kemarahan? Kesedihan? Kecemburuan? Apa ini salah Suzuka? Salahku? Atau salah Taniguchi? Aku secara bertahap kehilangan diriku karena emosi yang bercampur aduk, terperangkap di dalam mata badai.

Karena merasa takut kalau aku mungkin akan meluapkan perasaan ini pada orang lain, aku berjalan tertatih-tatih keluar dari sekolah.

“…”

Karena berbagai emosi dan pikiran yang membebani, aku tidak terlalu memperhatikan tatapan seseorang yang kurasakan melalui jendela kelas.

 

 

Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama