Bab 4 — Rutinitas Yang Hancur
Karena Taniguchi memanggil
Suzuka, jadi aku pulang sendirian dan tidak melakukan apa pun sepanjang hari
selain duduk merenung dalam ruangan gelap yang suram. Urusannya sangat jelas
sekali bagi siapa saja yang mempunyai sebutir kepekaan. Bahkan teman sekelasku hampir
semuanya berkata begitu ... benar, tentu saja, itu tentang pengakuan.
Ia adalah pitcher andalan dari tim bisbol, bernomor empat, dan siapapun akan
menganggapnya sebagai seorang pria hebat. Bukan hanya itu saja, tapi tubuhnya yang
terlatih dan terpahat selama kegiatan klub merupakan idaman para gadis.
Popularitasnya juga cukup terkenal mengingat wajahnya yang bersahaja dan
tampan, sudah pasti ada begitu banyak gadis yang mencoba mendekatinya.
Terlepas dari semua itu, Ia masih
belum terlihat sedang berpacaran dengan satu gadis pun. Itu karena Ia sering
sibuk dengan kegiatan klub, salah satu dari banyak alasannya menjadi populer.
Pengabdiannya kepada klubnya adalah ketertarikan para kaum wanita.
Terus terang saja, aku merasa
tidak bisa menang dalam segi apa pun.
Dan kemudian Suzuka. Dia juga
cukup populer di kalangan semua orang, dan dia bahkan sering ditembak oleh
banyak cowok sebelumnya. Setiap kali itu terjadi, aku hampir tidak bisa menahan
kecemasanku, tetapi dia tidak pernah membalas maupun menerima pengakuan cowok
yang berusaha mendekatinya.
Ketika aku bertanya kepadanya
tentang hal itu, dia menjawabku dengan alasan yang samar-samar seakan-akan dia
tidak memamhami topik itu sendiri, yang aku hafalkan kembali. “Hmm, kurasa itu semuanya tergantung pada
perasaan?”
Aku ingin tahu orang seperti
apa yang dia sukai, tapi jawabannya sama sekali tidak membantu.
Memang begitulah perilaku Suzuka.
Dia mungkin akan menolak dan
kembali seperti biasa. Aku yakin dia akan begitu... Aku ingin mempercayainya, tapi
begitu aku mengatakannya pada diriku sendiri, sebuah gambaran muncul di benakku.
Suzuka memiliki ekspresi yang tidak biasa segera setelah Taniguchi
memanggilnya. Pipinya terlihat merah merona, detail kecil semacam itu mau tak
mau membuat gundah hatiku.
Melihat melalui jendelaku ke
rumah tetangga, aku perhatikan kalau kamarnya masih tidak menyala. Waktu sudah
berlalu cukup lama sejak dia dipanggil tetapi sepertinya dia masih belum
pulang, yang mana itu hanya menambah kegelisahan di dalam diriku.
Dengan berbagai tekanan emosi
dan kurangnya nafsu makan, aku memberi tahu orang tuaku kalau aku tidak lapar,
jadi aku langsung menuju ke kamarku. Aku menunggu dan menunggu panggilan, sebuah
pesan darinya.
Sudah
berapa lama waktu berlalu? Aku bertanya pada diriku sendiri.
Tiba -tiba, aku merasakan
getaran di kantongku jadi aku bergegas untuk mengambil ponselku. Ketika memeriksa
layar, aku melihat kalau itu panggilan dari Suzuka, yang sudah kutunggu-tunggu
selama ini. Aku merasa ragu-ragu sejenak, tetapi masih menerima telepon darinya.
“Halo, Suzuka?”
“Hinata.
Apa kamu baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja. Ada apa?”
“Oke,
um, mengenai kejadian yang dipanggil setelah sekolah ... perihal itu.”
“Ya, jadi…?”
“Seperti
yang sudah diduga banyak orang, itu semacam pengakuan.”
“Begitu …. ya. Jadi apa yang
kamu lakukan?”
“Mhm,
jadi begini.”
Kemudian dia terdiam selama
beberapa detik yang terasa seperti sangat lama. Jantungku berdetak kencang,
berpacu dengan menyakitkan ketika naluriku memberitahuku ada sesuatu yang
salah.
“Aku
memutuskan untuk berpacaran dengan Taniguchi-kun.”
“...”
“Kamu
tahu festival olahraga yang terjadi beberapa waktu lalu, ‘kan? Kami berbicara
sebentar pada saat itu, dan obrolan kami cukup klop!”
Tapi aku jauh lebih dekat
denganmu, Suzuka…
“Aku
pikir Ia cukup keren sejak saat itu.”
Jadi ujung-ujungnya masalah
tampang, ya ...
“Berhubung
hari Natal sudah semakin dekat, aku merasakan sesuatu yang memberitahuku kalau
sudah waktunya bagiku untuk mendapatkan pacar.”
Tapi sampai sekarang, kamu
selalu menolakku karena suatu alasan ...
“Hei,
Hinata? Kamu dengar tidak?”
“Tentu saja. Selamat! Yah, aku sangat
terkejut karena kamu selalu menolak pengakuan orang lain sampai hari ini.”
"Yah,
aku sudah dewasa sekarang, ‘kan? Hinata-kun, kamu juga harus segera mencari
pacar, oke. Apa kamu ingin aku membantumu?”
“Haha, apa-apaan dengan aku
membutuhkan bantuan Kamu? Aku tidak berpikir kamu bisa melakukannya, Suzuka.”
“Aduh.
Oh iya, itu benar, jadi mulai besok aku akan pergi ke stasiun kereta di pagi
hari.”
“… Mungkin buat menjemput
pacarmu?”
“Ding
Ding Ding! Seperti yang diharapkan darimu, Hinata. Ia bilang kalau Ia benar-benar
ingin pergi ke sekolah bersamaku.”
“Jadi gadis yang populer emang
sulit, ay?”
“Yah
begitulah ~ jadi, maaf, tapi kelihatannya kita tidak bisa berangkat ke sekolah
bersama lagi.”
“Jangan khawatir tentang itu. Aku
tidak begitu bego buat mengganggu pasangan pengantin baru.”
“Hei,
pengantin baru?! Hinata! Jangan meledekku seenaknya!”
“Aha, maaf, maaf. Jika kamu
ingin menjemputnya pagi-pagi, bukannya itu terlalu dini?"
“Ah,
itu benar! Aku harus pergi tidur lebih awal supaya aku tidak kesiangan!”
“Semoga berhasil dengan
kehidupan sehari-harimu yang baru. Kalau begitu, aku akan hubungi kamu lagi di
sekolah besok.”
“Ya!
Oh, omong -omong, terima kasih banyak Hinata! ”
“…Hah? Kenapa kamu mengatakan
itu begitu mendadak?”
"Nah,
aku hanya ingin mengatakan sesuatu, jangan khawatir tentang itu, oke? Kalau
begitu, sampai nanti!”
Haha, seriusan, apa-apaan
dengan itu?
Segera setelah aku memutus
panggilan telepon, emosi yang sudah berusaha kutahan mulai mengalir keluar dari
mataku sebagai air mata. Aku tidak bisa menunggu panggilan itu berakhir, dan aku
hampir tidak bisa mengeluarkan suara cerahku. Rasanya terlalu menyakitkan untuk
mendengarkan suaranya yang dipenuhi dengan cinta bahagia dan semangat.
Mulai besok, aku tidak bisa
berjalan bersamanya lagi ke sekolah. Padahal, hanya pada momen itulah kami bisa
berdua, tapi sekarang semuanya sudah lenyap.
Orang yang berdiri di sebelahnya
sekarang bukan aku, tapi pria lain. Aku menangis begitu banyak sampai-sampai
kupikir air mataku takkan pernah mengeringkan wajahku, dan pada akhirnya, dalam
waktu yang tak terhitung jumlahnya, aku tidak bisa tidur sepanjang malam.
◇◇◇◇
Keesokan harinya, aku meninggalkan
rumah pada jam biasa dan berjalan langsung ke pintu depannya karena sudah
menjadi kebiasaan. Lalu, aku teringat kalau dia tidak membutuhkanku lagi mulai
hari ini, jadi aku berjalan sendirian menuju ke sekolah.
Itu adalah perjalanan yang
tenang dan membosankan. Jalan setapak yang tadinya terlihat begitu bersinar
ketika dia bersamaku, sekarang terasa kelabu dan tanpa warna.
Begitu tiba di sekolah, aku
juga langsung menuju ke kelas sendirian. Ketika aku melangkah masuk, semua orang
merespons. Karena dia tidak bersamaku, ucapan mereka hanya sebatas “selamat pagi”, seolah-olah mereka sudah
kehilangan minat padaku.
Dan begitulah adanya saat cuma aku
sendiri. Aku duduk di kursiku sendiri dan menatap keluar jendela dengan
linglung. Aku tidak bisa melihat apa pun di sekitarku.
“Tumben sekali kamu sendirian
hari ini.”
Tiba-tiba, ada sebuah suara
yang memanggilku dari kursi di depan. Aku mengalihkan perhatianky ke bagian
depan hanya untuk melihat Kuraki memberiku tatapan menyamping, lalu buru-buru
melihat kembali ke luar jendela lagi.
“… mulai sekarang, kurasa.”
jawabku, sembari masih melihat ke luar.
“…”
Di halaman sekolah yang bisa kulihat
melalui kaca, aku melihat Suzuka dan Taniguchi berjalan dengan riang sambil
dikelilingi oleh banyak orang. Begitu dia melangkah ke dalam ruang kelas, sudah
ada banyak orang yang menghampirinya dan mengajukan pertanyaan.
Kemudian, tanpa alasan khusus
untuk menyembunyikannya, dia secara terbuka mengumumkan keputusannya untuk
mulai berpacaran dengan Taniguchi setelah pengakuannya. Seluruh kelas mulai
dibuat heboh, dan kebisingan berlanjut untuk sementara waktu dengan ucapan
selamat dan pertanyaan mereka.
Setelah beberapa jam pelajaran
dan hari berlalu, ketika orang-orang sudah berhenti melakukan serangan
pertanyaan, Suzuka mulai pergi lebih awal setiap hari selama jam istirahat.
Rupanya, dia mengunjungi pacaranya yang ada di kelas sebelah.
Saat makan siang, dia pernah
berkata, “Maaf, aku akan makan di kelas
sebelah setiap hari mulai sekarang,” dan pergi begitu saja tanpa mendengar
balasanku.
“Hinata-kun, apa kamu tidak
merasa kesepian?” Aku balas tersenyum terhadap perkataan teman sekelasku dengan
“yah …”, tetapi jujur saja, aku bahkan tidak berpikir
kalau aku memasang senyuman yang layak.
Waktu sekolah pun berakhir, dan
Suzuka mulai bersiap-siap untuk pulang seperti biasa. Kemudian, dia berkata, “Hinata,
aku akan menonton latihan tim bisbol setiap hari mulai sekarang, jadi kamu
tidak perlu menungguku.”
Apa
kamu ingin memakan sesuatu yang manis?
Biasanya, kita akan
membicarakan hal semacam, tapi tampaknya hal itu tidak pernah terjadi lagi.
“Oke! Doakan aku!” Dia berseru
kepadaku.
“Mengerti! Sampai ketemu lagi.”
Aku melihatnya pergi sambil
tersenyum dan meninggalkan sekolah sendirian. Para siswa di sekitarku merasa senang
karena mereka akhirnya bebas dari jadwal pelajaran yang padat hari ini.
Ketika aku berjalan menyusuri
jalan setapak yang selalu kami lalui, aku tiba-tiba mengerti.
Begitu
rupanya…
Aku pergi ke sekolah
bersamanya, menghabiskan istirahatku bersama dengannya, dan pulang dengannya.
Dalam rutinitasku sampai sekarang, atau lebih tepatnya, dalam setiap waktuku,
keberadaan Suzuka lebih penting daripada yang lainnya.
Dan rutinitas itu, kehidupan
kita sehari-hari kami, takkan pernah kembali lagi.
Semuanya sudah hancur
berantakan.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya