Bab 5 — Sesuatu yang Hilang …
Sudah beberapa hari berlalu
sejak Suzuka mulai berpacan dengan Taniguchi. Sejak sore hari penentuan itu,
percakapan kami semakin lama semakin jarang, dan sekarang kami bahkan hampir
tidak berbicara satu sama lain. Interaksi terbesar kami sekarang hanyalah
sebatas saling menyapa.
Suzuka selalu menjemputnya dari
stasiun setiap pagi dan mengunjungi kelasnya setiap jam istirahat. Bahkan
setelah sepulang sekolah, mereka pulang bersama atau berpartisipasi dalam kegiatan
klub yang sama, jadi satu-satunya waktu dia bisa terlihat hanyalah selama jam
pelajaran di kelas.
Mereka selalu bersama, tidak
pernah menyembunyikan fakta bahwa mereka resmi berpacaran. Karena dari awal mereka
berdua sama-sama populer, hubungan mereka langsung tersebar luas di seluruh penjuru
sekolah, dan sekarang mereka secara resmi diakui oleh kebanyakan siswa.
Taniguchi selalu berada di
sisinya. Tempat itu bukan lagi milikku.
Karena aku biasanya selalu bersamanya,
aku mulai menghabiskan sebagian besar waktuku sendirian selama sekolah. Orang-orang
yang ada di sekitar aku saat itu adalah teman-temannya, jadi jika dia tidak bersamaku
lagi, buat apa mereka repot-repot denganku?
Suatu kali, aku tidak bisa
menahan perasaanku dan mengajaknya makan siang. Tak perlu dikatakan lagi,
hasilnya adalah, “Eh, maafkan aku,
Hinata. Aku akan makan dengan pacarku hari ini,” katanya sambil menyiapkan
makan siang. Dia bahkan tidak menatapku sama sekali.
Aku benar-benar patah hati.
Aku lebih suka tidak berbicara
dengannya sama sekali ketimbang menerima jawaban dingin lainnya seperti itu.
◇◇◇◇
Aku berangkat ke sekolah setiap
hari tanpa ada motivasi untuk melakukan apa pun. Aku bangun pada waktu yang
biasa, pergi ke sekolah, tidak melakukan apa pun di sana dan hanya menatap dengan
lesu ke luar jendela. Kegiatan tersebut mengakar kuat ke dalam rutinitasku.
Aku bahkan hampir tidak bisa
mendengarkan isi pelajaran, karena tidak mau memperhatikan apa pun. Ada sesuatu
yang hilang, aku bisa merasakannya. Seolah-olah aku bisa melewati tanganku melalui
lubang menganga yang ada di dadaku. Keseharian yang penuh kekosongan dan
membosankan ini membuatku menyadari bahwa apa yang hilang sudah diambil semua
dariku.
Semua tenagaku, arti keberadaanku,
aku kehilangan segalanya.
Karena terlalu fokus melamun,
aku tidak menyadari kalau sebagian besar teman sekelasku sudah pergi. Suara
lonceng membawa aku kembali ke kenyataan, dan melihat ruang kelas sudah kosong sebelum
aku menyadarinya. Jadwal pelajaran hari ini adalah pelajaran praktek, jadi
tanganku bergegas untuk menyiapkan materi pelajaranku sebelum aku tiba-tiba
berhenti.
Bagaimana
kalau aku membolos saja? … Kurasa itu mungkin ide yang bagus.
Aku meninggalkan ruang kelas
tanpa mengambil buku teksku karena aku ingin sendirian untuk sementara waktu.
Jika aku membolos sambil membawa barang-barangku, aku mungkin akan segera
tertangkap. Aku berkeliaran di lorong sampai aku mencapai atap, tempat yang
biasanya tak pernah diperiksa guru. Biasanya tempat ini akan dipenuhi dengan
siswa lain, tapi sekarang tempat ini terlihat kosong dan tenang.
Chaya matahari dan hembusan
angin melakukan tarian tango yang harmonis, dan aku duduk dengan cara suaya
tidak ada yang bisa melihatku dari bawah. Sambil berbaring telentang, aku
menatap cakrawala tanpa batas. Namun, bahkan ketika sendirian yang hening ini,
kekacauan yang terjadi di dalam hatiku tak kunjung mereda.
Lalu tiba-tiba, sebuah bayangan
mendadak menutupi wajahku, menghalangi pancaran sinar matahari yang lembut.
“Bolos pelajaran?”
“…? Ah, Kuraki-san?”
Sosok yang kulihat setelah
pandangan mataku mulai terbiasa dengan cahaya adalah wajah Kuraki. Dia
menatapku saat aku berbaring di sana. “Tumben banget? Kamu biasanya selalu
begitu serius.” katanya sambil duduk di sebelahku. Aku tidak bisa
menyembunyikan kekagetanku karena kemunculannya yang begitu mendadak.
“Ku-Kuraki-san?! Ada apa?
Bukannya sekarang sedang ada pelajaran praktek.”
“Aku tahu, aku juga membolos.
Tenang saja, aku takkan bilang ke siapa-siapa, kok.”
“Ba-Baiklah. Maaf. Apa kamu
sering kesini?”
“Yah begitulah. Tempat ini
terasa nyaman dan tenang selama jam belajar berlangsung, bukan?”
“…Tentunya.”
Dia duduk di sampingku sambil
menikmati pemandangan. Melalui celah yang jarang di rambutnya yang bergoyang,
aku bisa melihat anting-antingnya bersinar di bawah sinar matahari.
“Kamu kelihatan murung akhir-akhir
ini,” katanya.
“Hmm?! Tidak, itu tidak benar
sama sekali, kok.”
“Pasti ada kaitannya dengan
Ichinose, bukan?”
“…” Aku hanya bisa tergagap
setelah dia langsung mengungkit masalah paling nyelekit tanpa konteks apa pun.
“Mengejutkan sekali, bukan? Dia
ternyata punya pacar, maksudku.”
“… Haah, memangnya aku ini
gampang sekali dibaca?”
“Yah, kamu sudah seperti itu
untuk sementara waktu sekarang.”
“Kupikir tidak ada yang peduli,
haha, ha …” Aku menoleh dan menggertakkan gigiku, berusaha mati-matian untuk
mencoba menelan emosi yang berputar-putar di dalam diriku sambil menghela
nafas.
Menangis di depan Kuraki yang
tidak ada hubungannya denganku, hanya akan membuatnya merasa canggung. Apalagi
itu juga terlihat sangat menyedihkan.
Ya, aku pikir begitu…
“Jangan khawatir, luapkan saja
semuanya. Kamu takkan pernah mendapatkan kelegaan jika kamu terus menahan dan
memendamnya.”
Pandangan mataku melebar
padanya, namun yang dia lakukan hanyalah menatapku dengan tatapan lembut dan ekspresi
khawatir. Perkataannya yang lembut mendesakku untuk menumpahkan semua perasaan
yang tak terbendung ini.
“Kami … kami sudah lama
bersama, jadi kupikir … kupikir kami akan tetap seperti itu selamanya.”
“Mhmm.”
“Jadi, ketika dia tiba-tiba
pergi dan meninggalkan hidupku, aku merasa tersesat. Aku tidak tahu harus
berbuat apa …”
“Mhhmm.”
“Ak-Aku sudah – Hiks– lama sekali bersama-sama
dengannya … hiks … aku berpikir
selamanya … hiks … aku … aku …”
Begitu tetesan air mata jatuh
di atas lantai, tangisanku jadi tidak pernah berhenti. Uneg-uneg berubah
menjadi perkataan, lalu diwakilkan menjadi air mata, dan mereka menodai lantai
tanpa henti. Aku melampiaskan semua pemikiranku yang kacau, yang mana aku
sendiri hampir tidak bisa mengerti, sedangkan bibirku terus mengeluarkan semua
emosiku.
Aku menunduk ke bawah, merasa
malu dengan wajahku yang memalukan. Namun, ketika pandangan mataku tertuju ke
bawah, aku mulai merasakan sensasi hangat di kepalaku.
“Pasti rasanya sangat kesepian,
bukan? Aku yakin siapa pun akan menangis jika mereka berada di posisimu, jadi
tidak apa-apa … tidak ada salahnya untuk menangis.” katanya sambil dengan
lembut menngelus-ngeluskan jari-jemarinya di rambutku.
Aku menangis sejadi-jadinya
sampai aku bahkan tidak bisa berpikir, dan dengan momentum untuk membuang
semuanya. Dan sementara aku melepaskan setiap rasa frustrasi, kebingungan, dan
kesedihanku, Kuraki-san terus duduk di sampingku dan membelai kepalaku dengan
hati-hati.
◇◇◇◇
Lonceng penanda berakhirnya jam
pelajaran berbunyi. Tampaknya semua jadwal jam pelajaran siang sudah berakhir,
dan karena tidak ada yang datang ke area atap kecuali pada jam istirahat makan
siang, aku membolos kelas selama dua jam sambil menangis dengan menyedihkan. Pada
saat ini, kekacauan pikiranku yang bergoyang-goyang secara bertahap mulai
kembali tenang dan rasa malu segera menghampiri.
“Ku-Kuraki-san, um, aku … uh …”
“Hmm? Apa kamu masih belum
tenang setelah menangis?”
“Um, eh, maafkan aku. Aku merasa
malu karena sudah membuatmu mendengar rengekanku yang menyedihkan …”
“Yah, aku tidak terlalu
keberatan, kok. Saat kamu sedang sedih, kamu ingin ada seseorang yang mendengarkanmu,
‘kan?” Dia tidak mengejekku sama sekali. Perkataan dan sikap tenangnya itu
terlihat sangat dewasa bagiku.
“Kamu sangat dewasa sekali ya,
Kuraki-san.”
“Apa-apaan itu, kita ini seumuran,
tau.”
“Tidak, maksudku lebih dalam
hal usia mental.”
“Yah, aku sudah sering dipanggil
dengan banyak julukan, jadi aku sudah
belajar untuk tidak marah pada apa pun yang mereka lontarkan kepadaku.”
“Ka-Kamu sering mengalami banyak
kesulitan …”
“Aku bahkan mendapat pertanyaan
yang sangat terang-terangan seperti, ‘Semalam
berapa?’. Pertanyaan macam apa itu? Menjijikkan.”
“Ugh, wow. Aku bahkan tidak
ingin membayangkannya.”
“Jangan katakan itu, aku sudah
mendengarkanmu, ‘kan?”
“Ya. Terima kasih banyak untuk
itu. Aku senang mendengar ceritamu, Kuraki-san!” Aku menembak balik seperti
senapan mesin.
Dia terkikik pada tanggapan
cepatku, dan aku tertawa bersamanya. Aku bertanya-tanya sudah berapa hari sejak
aku tertawa. Setidaknya aku akhirnya bisa mengalihkan pikiranku kembali.
“Sekarang, seriusan. Terima
kasih banynak, Kuraki-san. Aku merasa seperti terlahir menjadi diriku yang
baru.”
“Kamu dipersilakan untuk berkunjung
kapan saja, komplotan tukang bolos.”
“Ahaha, itu benar. Oh, tapi aku
ingin mengucapkan terima kasih dengan benar, jadi, apa ada sesuatu yang kamu
sukai?” Aku menawarkan.
“Apa pun yang aku suka ya, hmm
~?”
“Apa yang kamu ingin aku lakukan
~? Apa saja tidak masalah!”
“Kalau begitu, pertama-tama,
senang bertemu denganmu~!”
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya