Bab 8 — Kamu Akan Memahami Saat Kehilangannya
“Jadi, aku menghancurkan pertandingan
latihan terakhir yang kumainkan. Sungguh menakjubkan, dan aku melakukannya
dengan baik! ”
“Ah, benarkah…”
Aku makan siang di kantin hari
ini sementara menonton Hinata dan Kuraki, yang duduk sedikit terpisah dariku.
Orang yang duduk di seberang adalah pacarku, yang merasa hebat dan terus membual
tentang seberapa jagonya Ia melakukannya di klubnya hari ini.
—Itu
menjengkelkan sekali.
Orang ini mengundangku untuk
makan bersamanya di kelas, dan meski aku sudah menolaknya, Ia masih tetap mengikutiku ke kantin tanpa
mempertimbangkan keadaanku. Memangnya Ia tidak punya satu pun rasa peduli?
Aku harus mengawasi Hinata
untuk berjaga-jaga jika Kuraki melakukan yang aneh-aneh, tapi orang ini terus
menyalak dan menyalak tanpa membaca suasana sama sekali. Bisa dibilang, orang
ini cuma pengganggu.
“Dengar, bisa kamu diam sebentar
saat makan?”
“Eh, ah … baiklah.” Meski Ia
tampak tidak puas setelah aku membungkan omongan membualnya itu, Ia masih tutup
mulut dan mulai makan makanannya.
Lihat, jika kamu merasa tidak
senang, pergi ke tempat lain dan bicaralah dengan siapa pun! Ugh, merepotkan
banget! Jika kamu tidak dapat menyesuaikan diri denganku, kamu itu cuma
penghalang. Seandainya itu Hinata, dia akan memikirkan perasaanku dan bertindak
sesuai …
Kalau dipikir-pikir lagi, orang
ini selalu seperti itu. Ia cuma ingin aku mendengarkan dirinya berteriak
tentang permainan bisbolnya, dan selalu sombong tentang hal itu. Setiap kali
aku mencoba dan berbicara dengannya, Ia tidak pernah menunjukkan minat pada apa
pun selain olahraga dan tidak mencoba untuk memperluas topik pembicaraan.
Ia sangat berbeda jauh dengan
Hinata. Jika itu Hinata, Ia selalu beradaptasi dengan apa yang kubicarakan, dan
selalu mendengarkanku, meskipun Ia bahkan tidak tahu apa yang kubicarakan.
Setiap kali aku ingin berkonsentrasi, dHinata bisa merasakannya dan tetap diam.
Sebenarnya, Ia bahkan sampai mencari tahu topik yang tampak menarik bagiku!
Ia sangat berbeda dari orang
yang selalu, dan hanya berbicara tentang hal-hal yang menarik minatnya. Ketika
aku sedang memikirkan itu, aku menyadari kalau pacarku menyantap makan siang
dengan ekspresi cemberut di wajahnya saat Ia sesekali melirik aku. Seolah-olah
dia ingin aku memulai percakapan.
Pada akhirnya, aku terus
menonton Hinata dan gadis itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun, lalu
meninggalkan kantin pada saat yang sama mereka berdua pergi.
◇◇◇◇
Pada waktu sepulang sekolah,
pacarku datang mengunjungi ruang kelasku tepat saat lonceng terakhir.
Sekelompok teman sekelas yang bersemangat berjalan menghampirinya dan mengajak
kami untuk nongkrong menikmati beberapan jajanan manis langka di suatu tempat.
Sementara itu, Hinata meninggalkan ruang kelas bersama Kuraki.
Aku dikelilingi oleh orang-orang
meskipun aku mencoba mengejar mereka berdua, yang mana berujung gagal dan akhirnya
pergi ke kafe itu bersama pacarku dan yang lainnya.
Mereka memakan semua waktuku,
benar-benar mangganggu …
“Hei, kamu tahu … kenapa kamu
tidak datang ke tempatku besok, Sabtu, pada malam Natal nanti? Aku tahu kalau aku
terlambat bertanya padamu karena kita belum berbicara dengan baik akhir-akhir
ini …” dan Ia mulai menyalak lagi, mengganggu pikiranku ketika sedang melihat
ke luar jendela sambil penasaran dengan apa yang Hinata lakukan.
“Eh? Malam natal?”
“Ya, ini malam natal pertama
kita, jadi aku ingin menghabiskan sepanjang hari bersama denganmu.”
Kamu pasti bercanda. Aku
menghabiskan Natalku bersama Hinata setiap tahun, jadi jika aku mengatakan
kepadanya bahwa aku akan menghabiskannya di rumah pria lain, dia terlalu malu
untuk ikut.
“Tidak, aku tidak bisa. Hinata nanti
tidak akan bisa ikut denganku.”
“Hinata lagi, Hinata lagi.
Teman masa kecilmu tidak ada hubungannya dengan ini.”
“Kenapa? Ia jelas-jelas ada
hubungannya. Aku selalu menghabiskan malam Natalku bersama dengannya.”
“Apa? Apa yang kamu bicarakan?
Sebenarnya, aku selalu mengatakan ini untuk sementara waktu, tetapi bukannya
itu aneh kalau kamu terus membicarakannya padahal Ia itu cuma seorang teman,
sedangkan aku adalah pacarmu?”
“… Jangan bilang Ia ‘cuma’ teman. Kami sudah selalu bersama
sejak lahir, jadi kami bukan teman masa kecil biasa. Kami tidak bisa dipisahkan,
dan kami dimaksudkan untuk bersama. Kami akan selalu bersama. ”
“Aku itu pacarmu! Tapi yang
kamu bicarakan hanyalah cowok lain! Siapa yang lebih penting, aku, atau dia?!”
Ada sesuatu yang ngeh di dalam kepalaku ketika Ia
mengatakan itu.
Satu–satunya yang penting…
itulah keberadaan Hinata bagiku.
Betul sekali. Ia adalah teman
masa kecilku. Kami sudah bersama dari bahkan sebelum kami bisa berpikir, dan
kami akan selalu tetap seperti itu. Kupikir tidak ada masalah untuk tetap seperti
sekarang, hanya teman, tapi supaya kami bisa tetap bersama-sama terus, kami perlu
mengubah hubungan kami. Ia harus menjadi pacarku, lalu suamiku.
Keterikatanku sebelumnya pada
status “teman masa kecil” menghalangi hubunganku dengannya. Baru saat itulah
aku menyadarinya.
Dan demi itu … aku akan
menjadikan Hinata sebagai pacarku.
Ketika aku akhirnya memilah
pikiranku di tempat dan memutuskan, cowok yang ada di hadapanku menjadi gangguan.
Ia hanya menjadi penghalang.
“Tentu saja Hinata, pertanyaan macam
apa itu?”
“… Eh? Apa?”
Ekspresinya begitu bingung
seolah-olah tanggapanku sama sekali menjadi jawaban yang tak diduganya. Kenapa
Ia terlihat sangat kaget begitu? Memangnya Ia berpikir kalau aku akan
mengatakan dirinya lebih penting bagi daripada Hinata?
Ah, begitu rupanya. Sejak awal,
berpacaran dengan orang ini merupakan sebuah kesalahan. Aku terbawa suasana
karena aku sedikit populer dan mulai berpacaran dengannya. Oleh karena itu, aku
tidak punya waktu untuk dihabiskan bersama orang yang penting, dan dalam keabsenanku,
Kuraki mulai menjajah ke tempat yang bukan miliknya.
Ini tidak bagus … Aku pasti membuat
Hinata merasa kesepian juga.
“Kamu ini bicara apa?! Kamu ‘kan
berpacaran denganku! Apa kamu mengerti itu?”
“Terus? Jika kamu tidak
menyukainya, mengapa kita tidak putus saja?”
“Hah?! A-Apa kamu yakin?
Semuanya bakal terlambat jika kamu menyesalinya nanti!”
“Aku tidak keberatan. Sampai
jumpa.”
“Ah, tunggu!”
Aku meninggalkan kafe itu tanpa
menggubris ocehan mantan pacarku. Aku seharusnya melakukan ini sejak awal ...
Aku sudah menghapus alasan keraguan Hinata.
Sekarang Ia tidak punya alasan
untuk menahan diri lagi. Aku akan segera meneleponnya setelah aku pulang, atau
aku bisa melihatnya secara langsung! Lalu kami berdua bisa membuat rencana
untuk Natal kami bersama-sama.
Aku merasa sangat frustrasi
selama beberapa hari terakhir, tapi sekarang pikiranku menjadi jernih seperti
langit biru.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya