Prolog — Sang Pahlawan dan Si Penyihir
Seorang laki-laki dan perempuan
berhadapan satu sama lain di medan perang yang telah berubah menjadi padang gurun.
Mereka berdua tampak seperti
masih berusia remaja. Walaupun penampilan mereka masih muda, akan tetapi mereka
berdua memiliki kekuatan yang cukup kuat untuk mempengaruhi nasib dunia.
“… Begitu rupanya. Jadi kamu
sudah bisa menyingkirkan kutukanku, ya.”
Ujar si penyihir berambut
perak, sosok pembawa kutukan dan penyebab dari berbagai bencana yang terjadi di
dunia.
“Tentu saja. Lagipula aku
dipilih untuk menyingkirkan kutukanmu itu!”
Anak laki-laki berambut pirang
itu menjawab dengan tegas, sang pahlawan terkuat yang pernah ada dan orang yang
mengemban nasib untuk menyelamatkan dunia.
“…Begitu, jadi tidak ada yang
perlu dikhawatirkan lagi, ya.”
Bekas luka mengerikan yang
mencabik-cabik pakaian dan tubuh mereka merupakan tanda dari pertempuran sengit
mereka. Lingkungan di sekitaran mereka pun mengalami hal yang sama. Hutan yang
sebelumnya rimbun dan dipenuhi dengan tanaman hijau yang megah, sekarang berubah
menjadi tanah tandus kering yang penuh dengan debu.
Sang pahlawan lalu mendekati
penyihir dan mengacungkan pedangnya ke arah tenggorokan penyihir.
“Semuanya sudah berakhir. Atau
apa kamu masih berpikir untuk melawanku?”
“…Tidak perlu. Selain itu, aku
tidak punya alasan untuk bertarung lagi. Mari kita akhiri saja ini.”
Si Penyihir itu memejamkan
matanya dan berkata dengan nada berbisik.
“Tapi, izinkan aku untuk
mengingatkan bahwa membunuhku takkan menghilangkan semua kutukan yang menimpa
dunia ini. Jika kamu tidak menyerang sumber sebenarnya dari kutukan yang ada di
dunia, bencana dan malapetaka masih akan menimpa orang-orang yang kamu coba
lindungi.”
“…Ya, aku tahu itu. Aku sudah
mendengar kata-kata tersebut jutaan kali. ”
Sang Pahlawan balas mengangguk
dengan ekspresi yang tidak terbaca. Si Penyihir mengabaikannya dan melanjutkan.
“Dengan kekuatanmu, aku yakin
kamu akan baik-baik saja. Bagaimanapun juga, kamu berhasil mengalahkanku. Meski
aku bilang begitu, aku tidak punya alasan untuk tetap berada di dunia ini lagi
...”
'Jadi,
kamu bisa membunuhku sekarang ...', penyihir itu melanjutkan.
Sang Pahlawan lalu mengacungkan
pedang putih bersih di tangannya. Sebelum Ia menggerakkan tangannya, mulutnya
bergerak untuk mengajukan satu pertanyaan terakhir.
“Boleh aku bertanya mengapa
kamu melakukan semua ini?”
“…Benar juga, apa kamu bersedia
mendengarkanku? Baiklah, izinkan aku menceritakan sebuah kisah tentang seorang
penyihir yang malang. Jangan pernah melupakan itu, oke? Anggap saja itu sebagai hadiah
terakhir dariku.”
Kemudian, Si Penyihir itu
menceritakan sebuah kisah. Tentang pikirannya, untuk apa dia berjuang dan untuk
apa dia mati. Kata-kata yang keluar dari mulutnya berputar dengan indah
disertai suaranya yang indah. Si Penyihir itu, tidak, gadis itu, menceritakan
kisah hidupnya kepada anak laki-laki itu.
“Aku akan menyerahkan segalanya
padamu. Pastikan untuk menyelamatkan dunia, Pahlawan…”
“Kamu tidak perlu
mengkhawatirkan itu. Selamat tinggal, Penyihir…”
Setelah cerita Si Penyihir itu
selesai, sekali lagi, Sang Pahlawan mengacungkan pedangnya.
Kemudian, anak laki-laki yang
mengemban nasib untuk menyelamatkan dunia, akhirnya berhasil menjadi penyelamat
dunia.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya
Catatan: Upload ulang, karena setelah dilihat-lihat lagi di web sebelah, di sana sudah lama enggak aktif. Jadi bakal dilanjutin lagi nih project.