Chapter 2 — Kehadiran yang Mendukung Ada Di Dekatnya
Bagi Chinatsu, keberadaan Madoka
merupakan objek kekagumannya.
Itulah sebabnya Ia merasa marah
mengenai apa yang Madoka katakan padanya. Tetapi mengekspresikan kemarahannya
di sini takkan mengubah apa pun. Hal itu membuatnya frustrasi, tetapi Madoka
memberitahunya kalau dia sudah putus dengan pacarnya.
“Kupikir aku hanya merasa
kesepian. Aku meninggalkan kampung halamanku setelah aku masuk kuliah dan
ketika aku pulang ke apartmen, aku akan sendirian, jadi itu sebabnya ...”
“……”
Chinatsu bisa memahaminya
sedikit, Ia bisa memahami bagaimana rasanya sendirian dan kesepian saat dia
pulang.
Pada tahun ini saat dirinya
menginjak kelas 2 SMA, Chinatsu menerima usulan ayahnya. Itu adalah saran untuk
membiasakan hidup sendiri untuk masa depan.
Meski merasa cemas tentang
hidup sendiri, Chinatsu tetap menerimanya karena dirinya sendiri merasa tertarik,
tapi… bukannya berarti Ia tidak merasa kesepian, tapi Ia bisa mengunjungi orang
tuanya kapan pun Ia mau, jadi kesepian masih bisa ditolerir.
“…Tentu saja, jika aku menjalin
hubungan dengan cowok nakal karena itu, aku tidak akan bisa mengurusnya.”
Ahaha, Madoka
tertawa masam, seolah-olah merasa malu pada dirinya sendiri.
Cowok yang dimaksud itu pasti seorang
bajingan menurut pendapat pribadi Chinatsu. Seorang cowok brengsek yang
menggunakan kata-kata untuk merendahkan Madoka tanpa ragu-ragu, dan kemudian
menjalin hubungan dengan gadis lain bahkan tanpa berusaha untuk memutuskan
hubungan dengannya… Sejujurnya, Chinatsu bertanya-tanya bagaimana bisa Ia meninggalkan
gadis cantik dan baik hati seperti Madoka.
“…Nee, Chinatsu-kun.”
“Ah … iya?”
Madoka lalu memanggilnya dan
Chinatsu lalu menjawab seraya menatap matanya.
Chinatsu masih bisa melihat
keputusasaan di kedalaman tatapan matanya, dan Ia bisa melihat bahwa Madoka
masih tidak merasa aman. Bahkan jika dia berhenti sementara untuk saat ini,
Chinatsu masih tidak bisa menghilangkan rasa takut kalau Madoka mungkin
benar-benar gantung diri setelah dirinya pergi.
“Ah… Ini lagi…”
Ia tidak ingin Madoka
mengakhiri hidupnya, itu sebabnya dirinya menangis.
Ketika Chinatsu bertanya-tanya
apakah dirinya memang secengeng ini, tangan Madoka dengan lembut menyelimuti
tangannya. Kehangatan itu begitu menenangkan sehingga menghilangkan
kesedihannya. Chinatsu bahkan ingin dia memegang tangannya sepanjang waktu.
“Chinatsu-kun, kamu benar-benar
orang yang sangat baik hati. Tak kusangka kalau kamu akan menangis seperti itu…
Mana mungkin aku tega mengatakan kalau aku masih akan bunuh diri.”
“…Saiki-san.”
Melepaskan satu tangannya,
Madoka menyeka air mata yang mengalir dari mata Chinatsu.
Mana
mungkin aku tega mengatakan kalau aku masih akan bunuh diri,
inilah yang secara alami membuat Chinatsu merasa senang saat mendengarnya. Tapi
itu juga benar bahwa Ia masih belum bisa mendapat kepastian.
“…Saiki-san, aku… aku sangat
suka berbicara denganmu.”
“Chinatsu-kun?”
Ia menyukainya dalam artian
cinta, tetapi Chinatsu memutuskan untuk mengesampingkannya untuk saat ini.
Chinatsu perlahan-lahan menatap
wajah Madoka dan berbicara.
“Saiki-san dan aku hanyalah
tetangga biasa, tapi jika aku bisa melihat wajahmu di pagi hari, aku merasa
seperti aku bisa melakukan yang terbaik pada hari itu, dan jika aku berhasil
bertemu denganmu ketika aku pulang dari sekolah, aku merasa seperti, 'Oh, aku merasa senang sudah bekerja keras
hari ini.'”
“…Chinatsu-kun.”
Jika ada yang mendengarkan
dengan seksama, kesukaan Chinatsu padanya akan terlihat sangat jelas. Namun,
suasana yang dipancarkan Chinatsu sekarang terlihat sangat serius, dan takkan
ada yang berani meledeknya dengan apakah Chinatsu sangat menyukainya. Pipi Madoka
langsung berubah merah merona, tapi dia tidak menyela dan terus mendengarkan
Chinatsu seraya menatap lurus ke arahnya.
“Aku akan merindukan orang
semacam itu jika seandainya orang itu pergi... Jika orang itu harus pindah karena
suatu alasan, aku takkan menyalahkan mereka... Tapi rasanya terlalu menyedihkan
jika orang tersebut justru mengakhiri hidupnya sendiri.”
“……”
“Aku tahu kalau ini perkataan
yang sangat egois, tapi izinkan aku mengatakan ini… Tolong jangan bunuh diri,
Saiki-san. Aku… aku tidak ingin Saiki-san mati… Aku ingin kamu tinggal di sini
selamanya…!”
Karena jika dia mati, Chinatsu
tidak akan pernah bisa melihatnya lagi.
Seperti yang pernah disebutkan
berkali-kali, pasti selalu saja ada alasan mengapa seseorang memilih untuk
mati. Bahkan jika kamu mengetahui kalau bunuh diri itu salah, akan tetapi itu
merupakan pertanda jika seseorang sudah terpojok hingga ke titik itu. Tetap
saja, Chinatsu masih ingin berindak egois – dirinya hanya menginginkan Madoka
untuk tetap hidup.
“…Aku tidak percaya. Aku tidak
percaya kalau aku membuat seseorang yang lebih muda dariku menangis!”
“Saiki-san?”
Madoka tiba-tiba berdiri di
depan Chinatsu dan dengan lembut memeluknya ke area dadanya. Chinatsu secara
alami terkejut dan bingung dengan pelukan itu, tapi Madoka masih tidak melepaskannya.
Payudaranya yang besar, salah satu hal yang paling didambakan remaja laki-laki,
terasa sangat lembut dan harum.
“…Aku benar-benar tidak tahu
kenapa aku berpacaran dengan pria itu. Aku merasa seperti orang bodoh saja.”
Madoka bergumam dengan suara
yang terdengar seperti dia benar-benar muak dengan dirinya sendiri.
Begitu mendengar suaranya,
Chinatsu mengangguk setuju. Namun, ada lebih banyak lagi yang tidak diketahui
Chinatsu tentang Madoka. Mungkin itulah sebabnya pacarnya ada hubungannya
dengan itu, tetapi tetap saja, ketika kamu mendorong seseorang yang kamu sayangi
sampai ke titik ini, kesanmu tentang orang tersebut akan berada pada titik yang
terendah.
“…Ah, maafkan aku.”
“Ah… Tidak, bukan apa-apa.”
Madoka melepaskannya dengan
gusar, tapi Chinatsu merasa sedikit sedih.
“…Chinatsu-kun, apa kamu menginginkan
aku tetap hidup?”
“Tentu saja!”
Chinatsu secara alami
mengangguk dengan penuh semangat pada pertanyaan itu.
Madoka sedikit kaget dengan
semangatnya, tapi tetap menganggukkan kepalanya seolah-olah dia memikirkan
sesuatu tentang Chinatsu yang tampak putus asa.
“…Ya ampun, aku tidak pernah
tahu ada cowok sebaik ini di dekatku.”
“Saiki-san?”
“Mhmmm, bukan apa-apa.”
Ketika Ia melihat ke atas,
Madoka terlihat sama seperti biasanya.
Chinatsu merasa lega saat melihat
bahwa dia tidak lagi dalam suasana hati yang muram. Kemudian, dengan cara
bercanda, Madoka mengatakan sesuatu seperti ini.
“Bagaimana jika aku memberitahumu
bahwa aku tetap akan mati?”
Itu adalah pertanyaan yang
sangat keji. Madoka sendiri sangat mengetahui itu. Ketika Chinatsu ditanyai
pertanyaan tersebut, Ia berpikir sejenak dan kemudian dengan malu-malu
mengatakan sesuatu seperti ——seraya tidak menyadari bahwa ucapannya itu, dalam
arti tertentu, adalah kutukan.
“Aku mungkin bersikap kurang
ajar karena mengatakan itu …… tapi kumohon hiduplah demi diriku ……. Jika kamu
kehilangan makna hidupmu, maka tolong hiduplah demi aku ......Ahaha, ini terdengar
seperti pengakuan—”
Tapi ketika mendengar kata-kata
ini, tatapan mata Madoka langsung berubah.
◇◇◇◇
[Sudut Pandang Madoka]
(...Apa-apaan dengan anak ini... Ia sangat
manis.)
Madoka bergumam begitu di dalam
pikirannya.
Chinatsu yang berada di hadapannya,
mengatakan hal seperti itu dengan malu-malu, tapi kata-kata tersebut sangat
menusuk tepat ke hati Madoka. Terlepas dari kata-kata baik yang diucapkan untuk
menyembuhkan hatinya yang terluka, penampilan Chinatsu yang sangat berharap
dirinya untuk tetap hidup tampak sangat mempesona bagi Madoka.
(...Anak
ini ingin aku hidup... Aku tidak pernah tahu ada seseorang yang sangat
menginginkanku.)
Sekarang Madoka bisa mengerti
bahwa mantannya memang cowok keparat, tapi tetap saja… Di satu sisi, waktunya
terlalu bagus dan terlalu buruk di saat yang bersamaan.
Perkataan dan kebaikan Chinatsu
kepada Madoka, yang sangat lemah sehingga dia bahkan berpikir untuk mati karena
patah hati, membuat Madoka menjadi sadar akan Chinatsu, dalam artian yang baik
maupun buruk.
“…Chinatsu-kun menginginkan aku
tetap hidup, apa itu yang ingin kamu katakan?”
“Ya ... aku ingin kamu hidup,
Saiki-san.”
Ketika mendengar perkataan Chinatsu
yang menginginkan dirinya untuk tetap hidup, membuat Madoka merasa sangat
senang.
Tentu saja dia punya teman yang
peduli padanya, tapi... Madoka belum pernah bertemu dengan seseorang yang
begitu menginginkannya, begitu terbuka, dan emosional.
(...Ah,
begitu rupanya. Pertemuanku dengan pria itu dan fakta bahwa aku sangat
terluka...semuanya itu dimaksudkan untuk menghubungkanku dengan Chinatsu-kun.)
Sebuah pikiran muncul di benak
Madoka.
Begitu dia menyadari hal ini,
dia segera sangat menyukai keberadaan orang yang ada di hadapannya. Selanjutnya,
kalimat yang dikatakan Chinatsu dengan suasana bercanda, "Aku ingin kamu hidup demi diriku”, terus
bergema di otaknya berulang kali.
“Chinatsu-kun, aku … akan terus
hidup. Aku tidak bisa mengatakan kalau aku akan mati sekarang.”
“Benarkah!?”
“Ya …. jadi…”
Madoka bertanya, solah-olah
meminta semacam konfirmasi,
“Bisakah aku tetap berasa di
sisimu, Chinatsu-kun?”
“Ya …. tentu saja!”
“……”
Madoka diam-diam menggigil
ketika memikirkan betapa indahnya itu.
Madoka yakin kalau Chinatsu tidak
begitu memahami arti sebenarnya di balik kata-kata yang baru saja dia ucapkan. Meski
begitu, semuanya tidak masalah bagi Madoka, karena dia sudah mengatakan
bagiannya.
“…Aku senang.”
Chinatsu tersenyum meyakinkan,
dan perut bagian bawahnya terasa geli.
Karena tak tahan dengan
reaksinya, Madoka memeluk Chinatsu lagi. Tentu saja, menjadi seperti ini
membuatnya merasa sangat aman, dan itu membuatnya ingin tetap seperti ini
selama sisa hidupnya… Melihat Chinatsu yang bahagia, Madoka berpikir bahwa dia
takkan pernah melepaskan kehangatan ini selamanya.
“Nee, Chinatsu-kun, bisakah
kamu memanggil namaku?”
“…Eh!?”
“Kumohon?”
Ketika Madoka berbisik di
telinganya, Chinatsu bergumam pelan sementara wajahnya terlihat memerah.
“…Madoka-san?”
“!?”
Madoka langsung memeluk
Chinatsu lebih erat lagi.
~ ~ ~ ~ ~
Aku tidak bisa jauh dari anak
ini lagi.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya