Chapter 9 — 24 Desember (Kamis) Asamura Yuuta
“Sekarang kita tinggal memiliki
setengah dari kehidupan sekolah SMA kita, ya?”
Aku tidak bermaksud membuat
siapa pun untuk mendengar celotehanku yang kugumam pada diriku sendiri, tetapi
teman baikku yang duduk di kursi di depan secara tak terduga membalikkan tubuh
bagian atasnya yang besar — sebenarnya, bukannya kami masih dalam jam wali
kelas kita yang singkat?
“Asamura. Mulai tahun depan,
kita harus menempatkan fokus yang lebih besar pada ujian masuk kita.” Maru
berkomentar dengan suara yang tenang.
Guru wali kelas kami yang ada
di depan kelas memperingati kami untuk berhati -hati selama liburan musim
dingin. Sembari mendengarkan suara beliau, aku tidak bisa menahan diri untuk
tidak merenungi pernyataan Maru. Ujian masuk, ya? Maru melanjutkan dengan nada
lesu.
“Lagipula, kita akan menjadi
orang dewasa dalam waktu singkat."
“Tapi aku tidak keberatan
dengan gagasan tumbuh dewasa.”
Yang ada justru aku tidak suka
terus tinggal jadi anak-anak melulu. Aku tidak ingin terlindungi selama sisa
hidupku. Yah, faktanya adalah bahwa tumbuh menjadi orang dewasa memang tampak
seperti proses yang melelahkan. Aku hanya mengingat wajah ayahku ...
sebenarnya, mungkin tidak terlalu banyak? Karena aku tidak dapat mengingat
ekspresinya yang kelelahan setelah pernikahannya kembali, kurasa keadaannya terasa
jauh lebih baik sekarang karena ibu lamaku telah pergi.
“Jadi kamu tipe orang yang
ingin cepat-cepat menjadi dewasa, ya?”
"Dan kamu bukan begitu,
Maru?”
“Pertanyaan bagus. Karena
tumbuh dewasa berarti perlu mempelajari lebih banyak dan lebih banyak lagi, aku
akan menyukai semacam ruang waktu untuk menjalani hidupku dengan nyaman.”
“Ohhh.”
Jadi Ia takkan punya waktu
sebanyak yang Ia suka jika mengikuti jalur karir pemain bisbol profesional.
“Aku nantinya tidak bisa
menonton semua anime musiman.”
“Jadi itu masalahmu?!”
“Aku cuma bercanda, doang.”
Aku tidak bisa mempercayai
telingaku dan mencondongkan tubuh ke depan ketika berseru padanya. Apa Ia cuma menggodaku
atau memang serius? Aku masih tidak bisa mengatakannya. Sinar matahari
menyengat tengkukku, membuatku berbalik ke arah jendela. Cahayanya bersinar
terang di luar. Bahkan selama pertengahan sore, matahari rendah, berseri-seri
langsung pada Maru dan aku: orang-orang yang duduk di sebelah jendela. Jadi, rasa
kantuk langsung menyerangku. Ucapan dari guru wali kelas kami mulai menyerupai
lagu pengantar tidur, tapi karena beberapa menit lagi akan diperlukan untuk
mengakhiri kelas, aku jadi berusaha menahannya.
Akhirnya, bel pun berbunyi dan
ceramah guru wali kelas kami berakhir. Semua teman sekelas kita menghela nafas
serempak dan kemudian bersorak. Guru wali kelas kami menggelengkan kepala
sekali dan kemudian meninggalkan ruang kelas, memperingatkan kami untuk
terakhir kalinya supaya tidak terlalu berlebihan selama liburan musim dingin.
“Kami masih di kelas 2. Mengapa
mereka harus menyeramahi kita hanya karena sebentar lagi ada perayaan Natal?”
“Hah?” Aku memiringkan kepalaku
dalam kebingungan ketika Maru mengatakan itu.
“Hubungan tak senonoh dan
sejenisnya. Mana mungkin aku membiarkan beberapa bajingan remaja menghancurkan
masa liburanku yang berharga, kan?”
“Setuju. Aku merasakan hal yang
sama.”
“Jadi Onii-san yang tersayang
tidak merasa khawatir sama sekali?”
Maru menggunakan nada menggoda
dengan kosakata itu menyebabkan mataku terbuka lebar.
“Apa?”
“Mengetahui Ayase, dia mungkin punya
rencana malam ini, bukan?”
“Malam ini?”
“Misalnya sajasSeperti kencan
Natal. Bukannya menurutmu begitu?”
Butuh waktu yang sangat lama
sebelum makna di balik kata-katanya mencapai otakku. Apa Ia ingin menyiratkan
kalau Ayase-san mungkin memiliki rencana kencan hari ini? Yah, pengamat mana
pun tidak bisa mengetahui hubungan macam apa yang kumiliki dengannya. Mungkin
ada orang yang akan mencoba mengajak Ayase-san pada kencan Natal. Dan pada saat
yang sama, mungkin tampak aneh jika dia menolak setiap ajakan. Mungkin dia
bahkan menyetujui satu ajakan ... Tidak, itu mustahil.
Tiba-tiba, aku merasakan
getaran di dekat dadaku dan dengan panik duduk tegak. Setelah mengeluarkan
smartphoneku dari saku, aku melihat kalau ada pesan LINE yang baru masuk. Di
layar kunci, dikatakan “Aku akan pulang
setelah berbelanja," dan pengirimnya adalah Ayase-san. Jadi dia pulang
setelah menjalankan beberapa tugas ... tuh, ‘kan? Aku tahu itu.
“Apa ada yang salah? Apa
Ayase-san mengatakan kalau dia membenci kakak laki-lakinya sekarang atau apa?”
“Mana mungkin dia berbicara
seperti adik perempuan dari anime aneh.”
“Jadi itu dari Ayase-san, ya?”
“Ugh.”
“Kamu gampang sekali dibaca.”
“Kupikir kamu terlalu peka
dalam hal-hal semacam ini.”
“Dan? Apa kamu tidak mau
membalasnya, Onii-san?”
“Tidak, tiak perlu.” Aku
menaruh kembali smartphone-ku ke saku dan meregangkan tubuh.
Sementara itu, Maru meraih
tasnya dan berdiri.
“Ngomong-ngomong, sampai jumpa
lagi nanti, Asamura.”
“Ya. Kita mungkin takkan
bertemu lagi sampai Tahun Baru, jadi ... Selamat Tahun Baru?”
“Benar, aku ragu kalau kita
akan bertemu satu sama lain selama liburan musim dingin, jadi pastikan untuk
memiliki awal yang baik untuk tahun baru” Maru berbalik sembari melambaikan
satu tangannya ke udara, lalu berjalan keluar dari kelas.
Aku menyaksikannya berjalan ke
kejauhan dan kemudian melihat sekeliling kelas sekali lagi. Setengah dari teman
sekelas kami sudah meninggalkan ruang kelas, mungkin karena klub mereka atau
sekedar ingin cepat pulang. Sementara itu, aku merenungkan apakah aku harus
mampir ke toko buku . Sungguh kekhawatiran yang tidak terlalu penting ... oh
iya, hari ini akan menjadi pesta Natal di rumah, aku malah melupakannya.
◇◇◇◇
Dinding dapur tampak berkilau-kilau.
Secara alami, ini bukan berkat upayaku. Akiko-san lah yang tiba-tiba berkata, “Aku akan membersihkan tempat ini dengan
kinclong.” Dan tentu saja, dia menunjuk area dapur ketika mengatakan itu.
Ayase-san dan aku sudah menawarkan untuk membantu. Karena aku dan ayahku jarang
memasak, jadi area dapurnya masih cukup bersih, dan kami selesai membuat
semuanya berkilau setelah membersihkannya selama 2 jam. Sekarang sudah memasuki
waktu sekitar jam 3 sore, jadi setelah istirahat dan mengemil beberapa makanan
ringan—
“Yang tersisa tinggal
menyiapkan makan malam saja, jadi kamu bisa bersantai sekarang, Yuuta-kun,”
kata Akiko-san dan mendepakku keluar
dari area dapur, mungkin karena dia sangat menantikan sesi memasak yang
menyeluruh dengan putrinya. Jadi, aku tidak punya pilihan lain selain kembali
ke kamarku dan membuka tasku. Aku mengambil buku yang baru saja kubeli dan
membalikkan halaman pertama, dengan santai menikmati waktu membacaku. Saat aku
mengangkat kepala, aku menyadari kalau bagian dalam kamarku mulai menjadi
gelap. Matahari sudah lama terbenam. Aku membaca baris terakhir dari buku ini
dan kemudian menghela nafas.
—Buku ini sangat menyenangkan. Aku
membaca semuanya sekaligus. Aku tidak pernah menyangka aku bisa membaca volume
pertama dari kisah fiksi ilmiah hardcover yang berat hanya dalam dua jam, belum
lagi yang versi diterjemahkan. Aku mulai merasa seperti aku sendiri memiliki
tugas besar di pundakku yang memaksaku untuk melakukan perjalanan melalui ruang
dan waktu. Sekarang aku bisa memahami kenapa buku ini menerima adaptasi
Hollywood. Aku menutup buku ketika mendengar Akiko-san dan Ayase-san memanjakan
diri dalam percakapan yang menyenangkan. Setelah menjulurkan kepalaku keluar
dari ruangan, Akiko-san melihatku.
“Yuuta-kun, bisakah kamu
menyalakan TV?”
“TV?”
“Aku cuma ingin ada sedikit
suara saja. Mau itu film atau semacamnya tidak masalah.”
“Ah, begitu. Baiklah.”
Aku mencari remote dan
menyalakan layanan streaming terbaik berikutnya yang bisa aku temukan. Jika dia
menginginkan kebisingan sebagai latar belakang, maka saluran khusus untuk film
bisa melakukan trik itu.
“Mau yang film Jepang? Atau
mungkin yang barat? ”
“Yang barat. Pakai subtitle
juga tidak masalah.”
“... Kamu benar -benar menggunakan
ini sebagai BGM, ya?”
Kemudian lagi, bahkan
kalimatnya dapat memberikan banyak kegembiraan sendiri, walaupun kamu tidak
bisa memahaminya. Aku menyalakan layanan khusus untuk itu dan memilih film acak
yang sesuai dengan musim Natal. Tampaknya itu menjadi film komedi untuk anak
-anak. Aku sudah pernah melihatnya berkali -kali sebelumnya. Film tentang anak-anak
yang ditinggalkan oleh orang tuanya sendirian di rumah dan melakukan ini dan
itu. Tampaknya film itu sangat laku, karena mereka menciptakan sekuel demi
sekuel. Kemudian lagi, ada pendekatan Hollywood-esque yang sangat tidak jelas
apakah ada hubungan antara seri. Mungkin orang tuanya bercerai dalam sekuelnya?
Aku tidak bisa mengecewakan penjagaanku bahkan dengan film keluarga seperti
ini.
“Terima kasih, Yuuta-kun!”
“Um… apa ada yang bisa kubantu?”
“Buatlah dirimu merasa lapar!”
“…Hah?”
Jadi, apa aku perlu melakukan
sedikit latihan ringan? Aku melirik Ayase-san, yang sedang bersenandung pada
dirinya sendiri sambil berayun di sekitar wajan. Kurasa aku tidak boleh mematahkan
konsentrasinya.
“Baiklah, silakan panggil aku
jika kamu membutuhkan bantuan.”
“Okeeeee!”
Setelah membersihkan bak mandi
dan memeriksa permukaan air, aku kembali ke ruang tamu. Aku duduk di sofa dan
kembali untuk menonton film yang sedang ditayangkan. Tak lama setelah itu,
Ayase-san bergabung denganku di sofa, yang mungkin berarti kalau mereka sudah selesai
memasak. Meskipun ada jarak yang terpisah di antara kami, aku teringat malam
kami menonton film bersama. Aku memandang Ayase-san, bertanya-tanya apakah dia
sedang menonton film, tapi ternyata dia sedang melihat-lihat koleksi kosa kata
bahasa inggrisnya. Dan karena Akiko-san bersama kami, aku bahkan tidak yakin
bagaimana berinteraksi dengan Ayase-san.
Kemudian lagi, menonton TV
sebagai keluarga pasti terlihat ...
normal, bukan? Aku terlalu memikirkannya. Ketika aku menatap Ayase-san lagi,
dia telah meletakkan earphone ke telinganya dan mendengarkan sesuatu saat dia
bekerja melalui kosakata. Dia tidak menunjukkan niat berbicara kepadaku. Dia
juga tidak menonton film. Seolah-olah situasi kami kembali sebagaimana seperti
setahun yang lalu.
“Aku pulang.” Ayahku tiba di
rumah sambil membawa kotak plastik di satu tangan.
Kemarin malam Ia bilang akan
pulang sekitar jam 7 malam, tapi sudah setengah jam melewati itu. Ia berjalan
melewati kami dan langsung menuju dapur.
“Aku sudah membeli yang kamu pesan,
tapi karena tempatnya sangat ramai, jadi butuh waktu lama untuk membelinya.
Maaf.”
“Itu sama sekali tidak
masalah!”
Ia membawa kembali satu kue
utuh yang berdiameter dua belas ... mungkin berdiameter lima belas sentimeter?
Mengapa aku bisa tahu? Itu karena aku memutuskan untuk tidak makan kue ketika
Ayase-san dan aku keluar untuk makan malam. Kemudian lagi, kami tidak memiliki
kepercayaan diri untuk menyelesaikan kue 12cm sepenuhnya setelah makan malam.
Namun, kue yang berukuran 15cm mungkin
sulit, bahkan untuk empat orang ... tapi kurasa kami bisa menyimpan sisa
makanan untuk besok.
“Mari kita tinggalkan ini
setelah makan malam,” kata Akiko-san dan memasukkan kue ke dalam kulkas dengan
senyuman.
Karena kami sudah bersiap untuk
akhir tahun, isi kulkas dan freezer kami cukup penuh.
“Yuuta-kun, bisakah kamu membawa
ini dan ini untukku?”
“Tentu.”
Akiko-san lalu menyerahkanku beberapa
bir dan sampanye non-alkohol, yang aku bawa ke meja makan. Kurasa kami akan
membutuhkan beberapa gelas dan pembuka botol juga. Setelah membuat ruang yang
cukup di dalam kulkas, Akiko-san mendorong kotak dengan kue di dalamnya.
Sementara itu, Ayase-san mulai menghangatkan makanan, dan aku membawa pemanas
ke meja. Pada saat ayahku kembali setelah berganti pakaian yang lebih nyaman,
meja makan sudah diatur.
“Wow, semuanya terlihat menggiurkan.”
Fokus utama makan malam Natal
hari ini adalah kalkun panggang rasa herbal. Meski begitu, itu bukan sembarang
daging ayam biasa, itu sebenarnya daging kalkun asli yang cenderung dinikmati
pada acara-acara khusus seperti ini. Wakaupun aku berpikir kalau hidangan
semacam ini biasanya dimakan di negara lain sekitar Thanksgiving. Dagingnya memiliki lebih sedikit lemak daripada daging
ayam biasa, itulah sebabnya hidangan semacam ini sering ditemukan pada menu
untuk orang yang sedang diet. Tidak hanya kalkun, tapi jumlah daging yang
menunggu di atas piring untuk dimakan cukup besar bagiku untuk meragukan apakah
kita bisa menyelesaikannya. Ayahku tampaknya telah memesannya secara online,
memilih opsi yang sudah di panggang.
“Mungkin sesuatu dengan masakan
pasta akan memberikan nuansa mirip Natal?” Akiko-san berkomentar ketika melihat
meja yang penuh hidangan.
Maksudku, kami punya kalkun panggang
sebagai hidangan utamanya tapi masih ada cukup nasi untuk membuat kami merasa
kenyang, dan kami juga punya sup miso yang biasa. Dalam hal warna Natal, ini
pasti ada di sisi yang lebih lemah. Ayase-san berbicara, berusaha memberikan
tindak lanjut.
“Erm, kupikir ini seharusnya
baik -baik saja. Kami juga membuat salad biasa. Aku pikir ini bisa dianggap
sebagai makan malam Natal barat. Lihat saja semua penampilannya juga. Mana yang
kamu sukai, yah?”
“Aku lebih memilih Jepang
klasik.”
Seriusan, asal macam apa yang
dimiliki Natal pada saat ini? Aku tidak punya masalah dengan makan malam Natal,
tapi pikiran itu membuatku bingung.
“Kami juga menyiapkan beberapa acar
sayuran. Di sini, ada beberapa acar kubis dan mentimun. Kamu menyukai itu ‘kan,
Taichi-san?”
“Iya, tentu saja. Terima
kasih.”
“Bu… acarnya sudah cu—”
Cukup— dia mungkin ingin mengatakan itu tapi menelan
kembali kata-katanya. Dia mungkin menyadari bahwa ini tidak cukup untuk
mengomentari. Ayase-san dan aku sama-sama tersenyum masam dan duduk.
Bagaimanapun, Natal seharusnya tentang cinta dan kedamaian.
“Pokoknya… Selamat Natal! Dan
Yuuta, selamat ulang tahun! ”
“Ayah, kamu harus mengatakan itu
pada hari yang sebenarnya ...”
“Kurasa itu masuk akal. Maaf.
Selamat ulang tahun, Saki-chan. Dan Selamat Natal! ”
“Terima kasih banyak.”
“Kalian berdua, selamat ulang
tahun. Sekarang kalian berdua sudah menginjak umur 17,” kata Akiko-san ketika
dia melihat kedua wajah kami.
Orang tua kami membuka bir
mereka, sedangkan Ayase-San dan aku memegang sampanye non-alkohol kami, karena
kami menyatukan gelas untuk bersulang. Seperti yang diharapkan, sup miso buatan
Akiko-san benar-benar lezat. Seperti yang dikatakan Ayahku, berdebat tentang
gaya Jepang atau barat adalah masalah yang sepele. Dan hari ini, sup misonya
berbasis tahu. Tahu putih yang diiris dengan indah dikombinasikan dengan bawang
hijau. Supnya sendiri terbuat dari miso merah. Saat mencicipinya sebentar, aku
menyadari sesuatu.
… Apa dia sengaja membuat ini
dengan warna Natal? Yah, setidaknya itu akan baik -baik saja untuk hari ini.
“Sausnya juga terasa lezat.”
“Dan dagingnya sangat
menyenangkan untuk dikunyah. Kurasa aku mendapat pesanan yang bagus dengan
ini.”
Akiko-san dan Ayahku saling berbagi
kesan tentang makanan, memberitahuku kalau penilaianku tidak terlalu jauh.
Setelah makan malam kami berakhir (di
mana aku menahan sedikit untuk meninggalkan ruang untuk kue), kami
menikmati kopi setelah makan malam dan mulai memotong kue. Bagian atas kue berukuran
15cm dibaca “Merry Christmas” yang
ditulis dengan cokelat dan biskuit berbentuk Santa Claus di sebelahnya. Rasanya
hampir memalukan untuk memotong kue yang dihiasi dengan krim putih yang indah
ini. Di dalam irisan sepon kue, aku melihat daging merah beberapa stroberi. Itu
memang khas untuk Natal, baiklah.
“Lebih baik tetap yang klasik
daripada bereksperimen dan merusak hari, ‘kan?” Kata Ayahku.
Yah, tidak salah sih. Aku
menyodok garpuku ke potongan kue yang diberikan kepadaku oleh Akiko-san, dan
kami melanjutkan untuk merayakan ulang tahun pertama dan Natal sebagai sebuah
keluarga. Ayahku sangat senang bahwa nilaiku naik dibandingkan dengan musim
panas lalu, dan bertanya apakah Ayase-san juga tertarik untuk menghadiri
sekolah bimbel juga.
“Jika kamu mengkhawatirkan
tentang masalah biaya, maka ...”
“Tidak, bukan begitu masalahnya.
Jika aku memulai sesuatu yang baru sekarang, aku mungkin hanya akan terganggu.”
Sungguh tanggapan yang penuh
dengan pengekangan seperti yang diharapkan darinya, tetapi Ayahku masih
memakluminya. Bila dipikir-pikir kembali, sebelum mereka pindah bersama kami,
Ayase-san dan Akiko-san telah hidup sendiri bersama. Tiba -tiba hidup dengan
dua pria pasti sangat sulit. Belum lagi ayahku dan aku telah tinggal di sini
sebelumnya, dan mereka pindah bersama kami. Perubahan lingkungan saja sudah
pasti membuatnya tertekan ... astaga, padahal sudah setengah tahun sejak
pertama kali aku bertemu Ayase-san.
“Jika kamu berubah pikiran,
kamu tinggal beritahu aku kapan saja, oke?”
“Terima kasih banyak ... Ayah.”
Menambahkan bagian terakhir
dari kalimat itu menyebabkan Ayahku mulai tersenyum bahagia. Bagus, Ia tumbuh
menjadi orang tua helikopter yang luar biasa.
“Secara pribadi, aku jauh lebih
khawatir tentang Yuuta-kun. Apa kamu bahkan menemukan waktu untuk bersantai dan
menikmati diri sendiri? ”
“... bukan sebaliknya? Aku
pikir kamu akan khawatir jika ak kurang cukup belajar.”
“Aku tidak pernah pernah
khawatir tentang itu,” balas Ayahku.
Ya, aku tidak ingat kalau
Ayahku menyuruhku untuk “pergi belajar.” Walau begitu, Ia sangat aneh dan
selalu panggilan dari sekolah mengenai keadaanku. Aku tidak ingat berapa lama
dirinya seperti itu, tapi mungkin sejak setelah ibuku pergi. Ia akan memintaku
untuk menunjukkan kepadanya kartu laporanku, serta semua lembar pertanyaan
sejak skolah SMP. Ditambah lagi, Ia bahkan tidak akan mengatakan apa-apa saat
membaca mereka. Ia hanya mengangguk pada dirinya sendiri, menanyakan apa ada
yang tidak kupahami. Rasanya dia melihat foto-foto X-ray aku. Dan kemudian,
beberapa hari kemudian, buku teks dan buku referensi untuk pelajaran yang tidak
kupahami tiba-tiba muncul di mejaku. Itu sendiri menciptakan banyak tekanan.
Meskipun begitu pendidikan wajib selesai dan aku masuk sekolah SMA, Ia hanya
meminta kartu laporan dan tidak ada yang lain.
“Yuuta selalu suka membaca buku
sejak masih kecil. Kehidupanmu sebagai pelajar sangatlah singkat, jadi kamu
harus bersenang -senang dari waktu ke waktu.”
“Meski dibilang begitu, tapi
aku menikmati diriku sendiri, kok?”
“Benarkah? Yah, sebagai orang
tuamu, aku senang mendengarnya. Tapi mengesampingkan itu ...” Ayahku berhenti
dan mengedipkan mata pada Akiko-san.
Dia berdiri dan membuka pintu
ke kamar tidur mereka. Dari sana, dia kembali dengan kantong plastik yang
tersembunyi di belakang pintu.
“Ini adalah hadiah ulang tahun
kami untuk kalian.”
“Hm? Ini…”
“Apa ini buku?” Ayase-san bertanya
dengan bingung.
Benda-benda yang dibungkus
dalam paket Natal cukup tebal, dan alasan utama Ayase-san dan aku bisa menebak
kalau itu adalah buku adalah karena kami terbiasa membungkus buku. Kami sudah
sering melihat pemandangan yang akrab ini berkali-kali.
“Boleh aku membukanya?”
“Tentu saja.”
Aku memberi tatapan yang
meragukan pada Ayahku, yang terus menyeringai pada dirinya sendiri dan melepas
kertas pembungkus. Seperti yang kuduga, itu adalah sebuah buku. Terlebih lagi…
“Buku Soal Latihan Ujian Masuk
Universitas?!”
“Aku pikir ini akan berguna
karena kamu akan segera membutuhkannya. Kamu belum memilikinya, kan?”
“Yah, memang belum sih, tapi
...”
Ayase-san sama bingungnya
denganku, dan aku tidak menyalahkannya. Bagaimanapun juga, hadiah yang kami terima
dari orang tua kami pada hari Natal sepanjang hari adalah “Koleksi Soal Ujian Masuk Universitas dan Fakultas.” Karena sampul
depannya berwarna merah, beberapa orang menyebutnya sebagai akahon, atau “buku merah”. Biasanya, kamu
akan mulai membeli ini setelah melihat-lihat kampus impianmu, tapi ini untuk
semua masalah bersama. Belum lagi buku itu memiliki lima salinan untuk semua
mata pelajaran yang membuatku sedikit kesulitan. Tak perlu dikatakan, aku
sangat berterima kasih untuk ini. Lagi pula, mereka dapat dengan mudah
melampaui harga tiga buku hardcover. Mengizinkanku untuk memilikinya kapan pun aku
mau pasti akan berguna. Namun…
“Tapi ini benar-benar tidak
terasa seperti hadiah.”
“Setelah kamu menjadi dewasa,
kamu bebas untuk menjalani hidupmu seperti yang kamu inginkan, tapi sekarang,
ini adalah waktu ujian masuk.”
“Lakukan yang terbaik, kalian
berdua,” ujar Akiko-san sambil tersenyum.
“Terima kasih banyak. Aku akan
melakukan yang terbaik.” Ayase-san berterima kasih kepada mereka berdua dan
menundukkan kepalanya.
Pada saat itu, Ayase-san dan
aku merasakan rasa aneh dari hadiah Natal yang aneh, masih tidak tahu mengapa
Ayahku dan Akiko-san terus mengedipkan mata satu sama lain. Dari TV, kami
mendengar suara anak yang melindungi rumahnya dari pencuri.
◇◇◇◇
Malam harinya, tepat ketika aku
hendak mendapatkan tidur yang nyenyak, aku mendengar suara-suara samar. Aku
membuka mataku di tengah kegelapan. Aku melihat sekeliling, tidak menemukan
sesuatu yang aneh di kamarku. Atau lebih tepatnya, aku tidak bisa melihat
apa-apa sama sekali. Aku meraih smartphoneku dan menyalakan layar, memeriksa
waktu saat aku melakukannya. Saat itu sudah hampir mendekati dini hari. Aku
baru saja tertidur beberapa saat yang lalu. Namun, karena sekarang aku memiliki
liburan musim dingin mulai besok, jadi tidur sebentar tidak ada salahnya.
Aku kemudian mencari tombol
senter di smartphoneku untuk menerangi area di sekitar pintu. Aku melihat
sebuah kotak kecil di sebelah pintu yang sebelumnya tidak ada. Apa ini? Demi
mendapatkannya, aku benar-benar harus bangun dari tempat tidur... Tapi anehnya aku
penasaran. Aku membuka selimutku, yang menyebabkan tubuhku menggigil karena
udara dingin. Aku merasakan dorongan untuk memeluk diri sendiri untuk
menghangatkan diri sedikit. Aku mematikan AC karena tak berpikir kalau aku akan
benar-benar bangun dari tempat tidur lagi. Setelah berjalan mendekati kotak, aku
mengambilnya dan kembali ke tempat tidurku, menyalakan lampu di sebelah
bantalku.
Karena kotak itu dibungkus
dengan pita di atasnya, aku langsung tahu kalau ini seharusnya hadiah Natal.
Dan itu dari Santa Claus. Nama itu langsung muncul di pikiranku, tapi aku
segera menggelengkan kepalaku. Aku bukan anak kecil lagi. Tapi sudah berapa
lama sejak aku berharap seperti itu? Jadi ini hadiah utamanya, ya? Maksudku,
aku sudah cukup senang mendapatkan akahon
untuk Natal dan ulang tahunku, tapi kurasa itu cuma pengalih perhatian, ya?
Apakah Ayahku tipe orang yang melakukan hal-hal seperti ini? Kurasa tidak, tapi
itu mungkin karena pengaruh Akiko-san.
Ada kemungkinan besar Ayase-san
telah menerima hal yang sama. Aku membuka bungkusnya dan memeriksa isinya.
Segera setelah itu, sesuatu jatuh ke tanah.
“…surat?”
Hadiah dengan kartu? Setelah
memeriksa kartu, aku menemukan bahwa teksnya cukup panjang. Dan itu dimulai
dengan 'Untuk Yuuta, yang akan menjadi
dewasa tahun depan'—Jadi pada dasarnya, karena segalanya akan berantakan
dan stres pada tahun depan, mereka memutuskan untuk merayakan kita menjadi
dewasa sedikit lebih awal.
“Oh ya, kita harus fokus pada
ujian masuk mulai tahun depan…”
Menjadi anak kelas 3 SMA itu
berarti kamu akan mengalami sakit perut yang konstan karena stres. Mungkin akan
sulit untuk memberi kami sesuatu ketika kami terus-menerus berada di bawah
tekanan sebanyak itu. Aku memeriksa di dalam kotak.
“Ternyata ini jam tangan… Belum
lagi…”
Ternyata itu adalah jam tangan
dari produsen yang bahkan pernah aku dengar. Sebagai siswa SMA, harganya
membuatnya menjadi sesuatu yang benar-benar tidak terjangkau. Bahkan yang bekas
bisa dijual dengan harga yang lumayan. Ini akan menjadi hadiah yang sempurna
untuk merayakan pekerjaan seseorang.
—Untuk
Yuuta, yang akan menjadi dewasa tahun depan.
Aku merasakan tekanan besar
dari pesan yang tertulis di kartu itu. Tahun depan, aku akan berusia 18 tahun. Aku
bahkan bisa menikah pada usia itu. Dan kemudian aku akan menjadi mandiri.
Walaupun aku tidak pernah benar-benar memikirkannya sampai sekarang. Ide
bekerja terasa sangat sulit dipercaya. Jadwal regulernya adalah kuliah, lulus
setelah lima hingga enam tahun, dan kemudian mulai bekerja—Sebenarnya, mencari
pekerjaan tidak semudah yang kudengar*. Kamu membutuhkan banyak keberuntungan
untuk menemukan pekerjaan yang baik. Tapi aku membutuhkannya untuk makan dan
mandiri… dan menikah… (TN: Bener banget, mencari pekerjaan itu susahnya minta
ampun, jadi buat para pembaca budiman, banyak-banyak belajar dan mengembangkan
soft skill serta kemampuan lainnya. Carilah relasi sebanyak mungkin supaya
memudahkan kalian bisa mendapat pekerjaan)
Aku menggelengkan kepalaku.
Bagian terakhir itu tidak penting sekarang. Aku mengambil jam tangan dari kotak
dan meletakkannya di pergelangan tanganku. Sabuk perak berkilau dengan warna
terang di bawah lampu LED kamarku. Itu tidak seberat yang kuduga, dan
memakainya terasa cukup nyaman. Tapi untuk saat ini, aku memasukkannya kembali
ke dalam kotak, yang aku letakkan di samping tempat tidurku.
…Aku ingin memperoleh uang yang
cukup sehingga aku dapat membeli jam tangan seperti ini dengan jerih payahku
sendiri. Dan demi mewujudkan itu, aku harus bekerja keras. Aku meringkuk di
balik selimutku, dan bahkan setelah mematikan lampu di samping tempat tidurku,
kilau perak jam tangan tetap terlihat di balik kelopak mataku.
Sebelumnya
|| Daftar isi || Selanjutnya